Materi 11b Sejarah : Perkembangan Kehidupan Politik dan Ekonomi Indonesia pada Masa Reformasi (1998 - 2009)
A.
Masa Akhir Orde Baru
Proses
kejatuhan Orde Baru telah tampak ketika Indonesia mengalami dampak langsung
dari krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Asia. Ketika krisis ini
melanda Indonesia, nilai rupiah jatuh secara drastis, dampaknya terus menggerus
di segala bidang kehidupan, mulai dari bidang ekonomi, politik dan sosial.
Tidak sampai menempuh waktu yang lama, sejak pertengahan tahun 1997, ketika
krisis moneter melanda dunia, bulan Mei 1998, Orde Baru akhirnya runtuh. Krisis
moneter membuka jalan bagi kita menuju terwujudnya kehidupan berdemokrasi yang
sehat, yang selama ini terkukung oleh sistem kekuasaan Orde Baru yang serba
menguasai semua sisi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pada
saat krisis semakin dalam, muncul ketegangan-ketegangan sosial dalam
masyarakat. Pada bulan-bulan awal 1998 di sejumlah kota terjadi kerusuhan anti
Cina. Kelompok ini menjadi sasaran kemarahan masyarakat karena mereka
mendominasi perekonomian di Indonesia.
Gerakan
mahasiswa yang mulai mengkristal di kampus-kampus, seperti ITB, UI dan
lain-lain semakin meningkat intensitasnya sejak terpilihnya
Soeharto.Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa berskala besar di seluruh Indonesia
melibatkan pula para staf akademis maupun pimpinan universitas. Garis besar
tuntutan mahasiswa dalam aksi-aksinya di kampus di berbagai kota, yaitu
tuntutan penurunan harga sembako (sembilan bahan pokok), penghapusan monopoli,
kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) serta suksesi kepemimpinan nasional.
Dalam
rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan pada
tanggal 20 Mei 1998 direncanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai momen Hari
Reformasi Nasional. Namun ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan di luar
dugaan. Pada tanggal 12 Mei 1998 empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta
tewas tertembak peluru aparat keamanan saat demonstrasi menuntut Soeharto
mundur. Mereka adalah Elang Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan
Hafidhin Royan.
Tuntutan dan Agenda Reformasi
Reformasi
adalah gerakan untuk mengubah bentuk atau perilaku suatu tatanan, karena
tatanan tersebut tidak lagi disukai atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman,
baik karena tidak efisien maupun tidak bersih dan tidak demokratis.
“Reformasi
atau mati”. Demikian tuntutan yang torehkan oleh para aktivis mahasiswa pada
spanduk-spanduk yang terpampang di kampus mereka, atau yang mereka teriakan
saat melakukan aksi protes melalui kegiatan unjuk rasa pada akhir April 1998.
Tuntutan tersebut menggambarkan sebuah titik kulminasi dari gerakan aksi protes
yang tumbuh di lingkungan kampus secara nasional sejak awal tahun 1998. Gerakan
ini bertujuan untuk melakukan tekanan agar pemerintah mengadakan perubahan
politik yang berarti, melalui pelaksanaan reformasi secara total.
Kemunculan gerakan reformasi dilatarbelakangi terjadinya
krisis multidimensi yang dihadapi bangsa Indonesia. Gerakan ini pada awalnya
hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus besar. Namun mahasiswa akhirnya harus
turun ke jalan karena aspirasi mereka tidak mendapatkan respon dari pemerintah.
Gerakan Reformasi tahun 1998 mempunyai enam agenda yaitu:
1. Suksesi kepemimpinan nasional
2. Amendemen UUD 1945
3. Pemberantasan KKN
4. Penghapusan dwifungsi ABRI
5. Penegakan supremasi hukum,
6. Pelaksanaan otonomi daerah
Ketua
MPR/DPR Harmoko kembali meminta Soeharto mengundurkan diri pada hari Jumat
tanggal 20 Mei 1998 atau DPR/MPR akan terpaksa memilih presiden baru. Bersamaan
dengan itu, sebelas menteri Kabinet Pembangunan
VII mengundurkan diri. Akhirnya, pada pukul
09.00 WIB Presiden Soeharto membacakan pernyataan pengunduran dirinya. Itulah
beberapa peristiwa penting menyangkut gerakan reformasi tahun 1998. Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan presiden yang telah dipegang selama 32 tahun. Soeharto kemudian digantikan
B.J. Habibie. Sejak saat itu berakhirlah era Orde Baru selama 32 tahun,
Indonesia memasuki sebuah era baru yang kemudian dikenal sebagai Masa
Reformasi.
B. Perkembangan Politik dan Ekonomi
1.
Masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie
Setelah
Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik
Indonesia pada 21 Mei 1998, pada hari itu juga Wakil Presiden B.J Habibie
dilantik menjadi presiden RI ketiga di bawah pimpinan Mahkamah Agung di Istana
Negara. Dasar hukum pengangkatan Habibie adalah berdasarkan TAP MPR
No.VII/MPR/1973 yang berisi “jika Presiden berhalangan, maka Wakil Presiden
ditetapkan menjadi Presiden”. Ketika
Habibie naik sebagai Presiden, Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi
terburuk dalam waktu 30 tahun terakhir, disebabkan oleh krisis mata uang yang
didorong oleh hutang luar negeri yang luar biasa besar sehingga menurunkan
nilai rupiah menjadi seperempat dari nilai tahun 1997.
Ditambah
kerusuhan Mei 1998 telah menghancurkan pusat-pusat bisnis perkotaan, khususnya
di kalangan investor keturunan Cina yang memainkan peran dominan dalam ekonomi
Indonesia. Larinya modal, dan hancurnya produksi serta distribusi barang-barang
menjadikan upaya pemulihan menjadi sangat sulit, hal tersebut menyebabkan
tingkat inflasi yang tinggi.
Dalam
pidato pertamanya pada tanggal 21 Mei 1998, malam harinya setelah dilantik
sebagai Presiden, pukul.19.30 WIB di Istana Merdeka yang disiarkan langsung
melalui RRI dan TVRI, B.J. Habibie menyatakan tekadnya untuk melaksanakan
reformasi. Pidato tersebut bisa dikatakan merupakan visi kepemimpinan B.J.
Habibie guna menjawab tuntutan Reformasi secara cepat dan tepat. Beberapa point
penting dari pidatonya tersebut adalah kabinetnya akan menyiapkan proses
reformasi di ketiga bidang yaitu :
1) Di
bidang politik antara lain dengan memperbarui berbagai perundang-undangan dalam
rangka lebih meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik yang bernuansa pada
PEMILU sebagaimana yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN).
2) Di
bidang hukum antara lain meninjau kembali Undang-Undang Subversi.
3) Di
bidang ekonomi dengan mempercepat penyelesaian undang-undang yang menghilangkan
praktik-praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.
a.
Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan
Sehari
setelah dilantik, B.J. Habibie telah berhasil membentuk kabinet yang diberi
nama Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri dari
36 Menteri, yaitu 4 Menteri Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20
Menteri Negara yang memimpin Departemen, dan 12 Menteri Negara yang memimpin
tugas tertentu.
Pada
sidang pertama Kabinet Reformasi Pembangunan, 25 Mei 1998, B.J. Habibie
memberikan pengarahan bahwa pemerintah harus mengatasi krisis ekonomi dengan
dua sasaran pokok, yakni tersedianya bahan makanan pokok masyarakat dan
berputarnya kembali roda perekonomian masyarakat. Pusat perhatian Kabinet
Reformasi Pembangunan adalah meningkatkan kualitas, produktivitas dan daya
saing ekonomi rakyat, dengan memberi peran perusahaan kecil, menengah dan
koperasi, karena terbukti memiliki ketahanan ekonomi dalam menghadapi krisis.
Dalam
sidang pertama kabinet itu juga, Habibie memerintahkan bahwa
departemen-departemen terkait secepatnya mengambil langkah persiapan dan
pelaksanaan reformasi, khususnya menyangkut reformasi di bidang politik, bidang
ekonomi dan bidang hukum. Perangkat perundang-undangan yang perlu diperbaharui
antara lain Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang tentang Partai Politik dan
Golkar, UU tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU tentang
Pemerintahan Daerah.
b.
Sidang Istimewa MPR 1998
Di
tengah maraknya gelombang demonstrasi mahasiswa dan desakan kaum intelektual
terhadap legitimasi pemerintahan Habibie, pada 10-13 November 1998, MPR mengadakan
Sidang Istimewa untuk menetapkan langkah pemerintah dalam melaksanakan
reformasi di segala bidang. Beberapa hasil yang dijanjikan pemerintah dalam
menghadapi tuntutan keras dari mahasiswa dan gerakan reformasi telah terwujud
dalam ketetapan-ketetapan yang dihasilkan MPR, antara lain:
• Terbukanya kesempatan untuk
mengamandemen UUD 1945 tanpa melalui referendum.
• Pencabutan keputusan P4
sebagai mata pelajaran wajib (Tap MPR No.XVIII/MPR/1998).
• Masa jabatan presiden dan
wakil presiden dibatasi hanya sampai dua kali masa tugas, masing masing lima
tahun (Tap MPR No.XIII/MPR/1998).
• Agenda reformasi politik
meliputi pemilihan umum, ketentuan untuk memeriksa kekuasaan pemerintah,
pengawasan yang baik dan berbagai perubahan terhadap Dwifungsi ABRI.
• Tap MPR No.XVII/MPR/1998
tentang Hak Azasi Manusia, mendorong kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan
pers, kebebasan berserikat, dan pembebasan tahanan politik dan narapidana
politik.
c.
Reformasi Bidang Politik
Sesuai
dengan Tap MPR No. X/MPR/1998, Kabinet Reformasi Pembangunan telah berupaya
melaksanakan sejumlah agenda politik, yaitu merubah budaya politik yang
diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya, seperti pemusatan kekuasaan,
dilanggarnya prinsip-prinsip demokrasi, terbatasnya partisipasi politik rakyat,
menonjolnya pendekatan represif yang menekankan keamanan dan stabilitas, serta
terabaikannya nilai-nilai Hak Azasi Manusia dan prinsip supremasi hukum.
Beberapa
hal yang telah dilakukan B.J Habibie adalah:
• Diberlakukannya Otonomi
Daerah yang lebih demokratis dan semakin luas. Dengan kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah,
diharapkan akan meminimalkan ancaman disintegrasi bangsa. Otonomi daerah
ditetapkan melalui Ketetapan MPR No XV/MPR/1998.
• Kebebasan berpolitik
dilakukan dengan pencabutan pembatasan partai politik. Sebelumnya. Dengan
adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik, pada pertengahan bulan
Oktober 1998 sudah tercatat sebanyak 80 partai politik dibentuk. Menjelang
Pemilihan Umum, partai politik yang terdaftar mencapai 141 partai. Setelah
diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 95 partai, dan yang
berhak mengikuti Pemilihan Umum sebanyak 48 partai saja. Dalam hal kebebasan
berpolitik, pemerintah juga telah mencabut larangan mengeluarkan pendapat,
berserikat, dan mengadakan rapat umum.
• Pencabutan ketetapan untuk
meminta Surat Izin Terbit (SIT) bagi media massa cetak,sehingga media massa
cetak tidak lagi khawatir dibredel melalui mekanisme pencabutan Surat Izin
Terbit. Hal penting lainnya dalam kebebasan mengeluarkan pendapat bagi pekerja
media massa adalah diberinya kebebasan untuk mendirikan organisasi-organisasi
profesi. Pada era Soeharto, para wartawan diwajibkan menjadi anggota
satu-satunya organisasi persatuan wartawan yang dibentuk oleh pemerintah.
Sehingga merasa selalu dikontrol dan dikendalikan oleh pemerintah.
• Dalam hal menghindarkan
munculnya penguasa yang otoriter dengan masa kekuasaan yang tidak terbatas,
diberlakukan pembatasan masa jabatan Presiden. Seorang warga negara Indonesia
dibatasi menjadi Presiden sebanyak dua kali masa jabatan saja.
d.
Pelaksanaan Pemilu 1999
Pelaksanaan
Pemilu 1999, boleh dikatakan sebagai salah satu hasil terpenting lainnya yang
dicapai Habibie pada masa kepresidenannya. Pemilu 1999 adalah penyelenggaraan
pemilu multipartai (yang diikuti oleh 48 partai politik). Sebelum
menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang
partai politik, tentang pemilu, dan tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD. Setelah
RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan
Umum (KPU) yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil partai politik dan wakil
pemerintah. Hal yang membedakan pemilu 1999 dengan pemilu sebelumnya (kecuali
pemilu 1955) adalah dikuti oleh banyak partai politik. Ini dimungkinkan karena
adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Dengan masa persiapan yang
tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini dapat
dikatakan sesuai dengan jadwal, 7 Juni 1999.
Berdasarkan
keputusan KPU, Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), pada 1 September
1999,melakukan pembagian kursi hasil pemilu. Hasil pembagian kursi itu
menunjukan lima partai besar menduduki 417 kursi di DPR, atau 90,26 % dari 462
kursi yang diperebutkan. PDI-P muncul sebagai pemenang pemilu dengan meraih 153
kursi. Golkar memperoleh 120 kursi, PKB 51 Kursi, PPP 48 kusi, dan PAN 34
kursi.
e.
Pelaksanaan Referendum Timor-Timur
Satu
peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie
adalah diadakannya Referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk menyelesaikan
permasalahan Timor-Timur yang merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya.
Harus diakui bahwa integrasi Timor-Timur (Tim-Tim) ke wilayah RI tahun 1975
yang dikukuhkan oleh TAP MPR No.VI/M7PR/1978, atas kemauan sebagian warga
Timor-Timur tidak pemah mendapat pengakuan internasional.
Sesuai
dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD ‘45, bahwa kemerdekaan
adalah hak segala bangsa, maka Presiden Habibie mengharapkan MPR berkenan
membahas hasil jajak pendapat tersebut dan menuangkannya dalam ketetapan yang
memberikan pengakuan terhadap keputusan rakyat Timor-Timur. Sesuai dengan
perjanjian New York, ketetapan tersebut mensahkan pemisahan Timor-Timur dan RI
secara baik, terhormat dan damai, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa
Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional yang bertanggung jawab,
demokratis, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
f.
Reformasi Bidang Ekonomi
Kebijakan
ekonomi Presiden B.J. Habibie dilakukan dengan mengikuti saran-saran dari Dana
Moneter Internasional yang dimodifikasi dengan mempertimbangkan kondisi
perekonomian Indonesia yang semakin memburuk. Reformasi ekonomi mempunyai tiga
tujuan utama yaitu:
1. Merestrukturisasi
dan memperkuat sektor keuangan dan perbankan.
2. Memperkuat
basis sektor riil ekonomi.
3. Menyediakan
jaringan pengaman sosial bagi mereka yang paling menderita akibat krisis.
Secara
perlahan presiden Habibie berhasil membawa perekonomian melangkah ke arah yang
jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan ekonomi yang sangat buruk, ketika
terjadinya pengalihan kepemimpinan nasional dari Soeharto kepada Habibie.
Pemerintahan Habibie berhasil menurunkan laju inflasi dan distribusi kebutuhan
pokok mulai kembali berjalan dengan baik. Selain itu, yang paling signifikan
adalah nilai tukar rupiah mengalami penguatan secara simultan hingga menyentuh
Rp. 6.700,-/dolar AS pada bulan Juni 1999.
g.
Reformasi Bidang Hukum
Sesuai
Tap MPR No.X/MPR/1998 reformasi di bidang hukum diarahkan untuk menanggulangi
krisis dan melaksanakan agenda reformasi di bidang hukum yang sekaligus
dimaksudkan untuk menunjang upaya reformasi di bidang ekonomi, politik dan
sosial budaya.
Keberhasilan
menyelesaikan 68 produk perundang-undangan dalam waktu yang relatif singkat,
yaitu hanya dalam waktu 16 bulan. Setiap bulan rata-rata dapat dihasilkan
sebanyak 4,2 undang-undang yang jauh melebihi angka produktivitas legislatif
selama masa Orde Baru yang hanya tercatat sebanyak 4,07 undang-undang per tahun
(0,34 per bulan).
Untuk
meningkatkan kinerja aparatur penegak hukum, organisasi kepolisian telah
dikembangkan keberadaannya sehingga terpisah dari organisasi Tentara Nasional
Indonesia. Dengan demikian, fungsi kepolisian negara dapat lebih terkait ke
dalam kerangka sistem penegakan hukum.
Pada
tanggal 1 sampai 21 Oktober 1999, diadakan Sidang Umum MPR hasil pemilu 1999.
Tanggal 1 Oktober 1999, 700 anggota DPR/MPR periode 1999-2004 dilantik. Lewat
mekanisme voting, Amin Rais dari Partai Amanat Nasional (PAN) terpilih sebagai
Ketua MPR dan Akbar Tanjung dari Partai Golkar terpilih sebagai Ketua DPR. Pada
14 Oktober 1999, Presiden B.J. Habibie menyampaikan pidato
pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR. Dalam pemandangan umum
fraksi-fraksi atas pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie tanggal 15-16
Oktober 1999, dari sebelas fraksi yang menyampaikan pemandangan umumnya, hanya
empat fraksi yang secara tegas menolak, sedangkan enam fraksi lainnya masih
belum menentukan putusannya. Kebanyakan fraksi itu memberikan catatan serta
pertanyaan balik atas pertanggungjawaban Habibie itu. Pada umumnya masalah yang
dipersoalkan adalah masalah Timor-Timur, pemberantasan KKN, masalah ekonomi dan
masalah Hak Azasi Manusia.
Setelah
mendengar jawaban Presiden Habibie atas pemandangan umum fraksi-fraksi, MPR
dalam sidangnya tanggal 20 Oktober 1999, dini hari akhirnya menolak
pertanggungjawaban Presiden Habibie melalui proses voting. Tepat pukul 00.35
Rabu dini hari, Ketua MPR Amin Rais menutup rapat paripurna dengan mengumumkan
hasil rapat bahwa pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak pagi harinya, 20
Oktober 1999, pada pukul 08.30 di rumah kediamannya. Presiden Habibie
memperlihatkan sikap kenegarawanannya dengan menyatakan bahwa dia ikhlas
menerima keputusan MPR yang menolak laporan pertanggung jawabannya. Pada
kesempatan itu, Habibie juga menyatakan mengundurkan diri dari pencalonan
presiden periode berikutnya.
Pada
20 Oktober 1999, Rapat Paripurna ke-13 MPR dengan agenda pemilihan presiden
dilaksanakan. Beberapa calon diantaranya adalah Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri dan Yusril Ihza Mahendra. Calon yang disebut terakhir menyatakan
pengunduran dirinya beberapa saat menjelang dilaksanakannya voting pemilihan
presiden. Lewat dukungan poros tengah (koalisi partai-partai Islam) Abdurrahman
Wahid memenangkan pemilihan presiden melalui proses pemungutan suara. Ia
mengungguli Megawati yang didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) yang nota bene adalah pemenang pemilu 1999. Peristiwa ini menandai berakhirnya
kekuasaan Presiden Habibie yang hanya berlangsung singkat kurang lebih 17
bulan.
2.
Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
Abdurrahman
Wahid yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur terpilih menjadi Presiden
Republik Indonesia keempat pada tanggal 20 Oktober 1999. Terpilihnya Gus Dur
sebagai presiden tidak terlepas dari keputusan MPR yang menolak laporan
pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie. Berkat dukungan partai-partai Islam
yang tergabung dalam Poros Tengah, Abdurrahman Wahid mengungguli calon presiden
lain yakni Megawati Soekarno Putri dalam pemilihan presiden yang dilakukan
melalui pemungutan suara dalam rapat paripurna ke-13 MPR. Megawati Soekarno
Putri sendiri terpilih menjadi wakil presiden setelah mengungguli Hamzah Haz
dalam pemilihan wakil presiden melalui pemungutan suara pula. Ia dilantik
menjadi wakil presiden pada tanggal 21 Oktober 1999.
Perjalanan
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dalam melanjutkan cita-cita reformasi
diawali dengan membentuk Kabinet Persatuan Nasional. Kabinet ini adalah kabinet
koalisi dari partai-partai politik yang sebelumnya mengusung Abdurrahman Wahid
menjadi presiden yakni PKB, Golkar, PPP, PAN, PK dan PDI-P.
Di
awal pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan dua departemen
yakni Departemen Penerangan dan Departemen Sosial dengan alasan perampingan
struktur pemerintahan.
Departemen
Eksplorasi Laut melalui Keputusan Presiden No. 355/M tahun 1999 tanggal 26
Oktober 1999. Sedangkan penjelasan mengenai tugas dan fungsi termasuk susunan
organisasi dan tata kerja departemen ini tertuang dalam Keputusan Presiden No.
136 tahun 1999 tanggal 10 November 1999. Nama departemen ini berubah menjadi
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 165
tahun 2000 tanggal 23 November 2000. Pembentukan departemen ini memiliki nilai
strategis mengingat hingga masa pemerintahan Presiden Habibie, sektor kelautan
Indonesia yang menyimpan kekayaan sumber daya alam besar justru belum mendapat
perhatian serius dari pemerintah sebelumnya. Selain explorasi dan eksploitasi
sumber daya kelautan, berbagai kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan
laut meliputi pariwisata, pengangkutan laut, pabrik dan perawatan kapal dan
pengembangan budi daya laut melalui pemanfaatan bioteknologi.
a.
Reformasi Bidang Hukum dan Pemerintahan
Pada
masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945
pada tanggal 18 Agustus 2000. Amandemen tersebut berkaitan dengan susunan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas pemerintahan
pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Amandemen ini sekaligus mengubah
pelaksanaan proses pemilihan umum berikutnya yakni pemilik hak suara dapat
memilih langsung wakil-wakil mereka di tiap tingkat Dewan Perwakilan tersebut.
Selain amandemen tersebut, upaya reformasi di bidang hukum dan pemerintahan
juga menyentuh institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
terdiri atas unsur TNI dan Polri. Pemisahan TNI dan Polri juga merupakan upaya
untuk mengembalikan fungsi masing-masing unsur tersebut. TNI dapat memfokuskan
diri dalam menjaga kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari ancaman kekuatan
asing, sementara Polri dapat lebih berkonsentrasi dalam menjaga keamanan dan
ketertiban.
Masalah
lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
adalah upaya untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN yang dilakukan pada masa
pemerintahan Orde Baru. Berbagai kasus KKN tersebut kembali dibuka pada tanggal
6 Desember 1999 dan terfokus pada apa yang telah dilakukan oleh mantan Presiden
Soeharto dan keluarganya. Namun dengan alasan kesehatan, proses hukum terhadap
Soeharto belum dapat dilanjutkan. Kendati proses hukum belum dapat dilanjutkan,
Kejaksaan Agung menetapkan mantan Presiden Soeharto menjadi tahanan kota dan
dilarang bepergian ke luar negeri. Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto
ditetapkan sebagai terdakwa terkait beberapa yayasan yang dipimpinnya.
Pencapaian
lain pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah pemulihan hak minoritas keturunan
Tionghoa untuk menjalankan keyakinan mereka yang beragama Konghucu melalui
Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut
agama Konghucu. Sikap Presiden Abdurrahman Wahid yang cenderung mendukung
pluralisme dalam masyarakat termasuk dalam kehidupan beragama dan hak-hak
kelompok minoritas merupakan salah satu titik awal munculnya berbagai aksi
penolakan terhadap kebijakan dan gagasan-gagasannya. Gagasan
tersebut mendapat tantangan dari kalangan Islam termasuk Majelis Ulama
Indonesia dan tokoh-tokoh organisasi massa dan partai politik Islam.
Kejatuhan
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terlepas dari akumulasi berbagai
gagasan dan keputusannya yang kontroversial dan mendapat tantangan keras dari
berbagai organisasi massa dan partai politik Islam yang semula mendukungnya
kecuali NU dan PKB. hubungan
Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR dan bahkan dengan beberapa menteri dalam
kabinet pemerintahannya terbilang tidak harmonis. Penyebab ketidakharmonisan
tersebut berawal dari seringnya presiden memberhentikan dan mengangkat menteri
tanpa memberikan keterangan yang dapat diterima oleh DPR.
Kepercayaan
masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dan jajaran pemerintahannya
semakin menipis seiring dengan adanya dugaan bahwa presiden terlibat dalam
pencairan dan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera)
Bulog sebesar 35 miliar rupiah dan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam
sebesar 2 juta dollar AS. DPR akhirnya membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk
melakukan penyelidikan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam kasus
tersebut. (Gonggong, Asy’arie ed, 2005: 220)
Dua
hari menjelang pelaksanaan Sidang Paipurna DPR, Kejaksaan Agung mengumumkan
bahwa hasil penyelidikan kasus skandal keuangan Yayasan Yanatera Bulog dan
sumbangan Sultan Brunai yang diduga melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid tidak
terbukti. Hasil akhir pemeriksaan ini disampaikan Jaksa Agung Marzuki Darusman
kepada pimpinan DPR tanggal 28 Mei 2001. Ketegangan antara pendukung
presiden dan pendukung diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR tidak menyurutkan
niat DPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. Presiden sendiri
menganggap bahwa landasan hukum memorandum kedua belum jelas. DPR akhirnya
menyelenggarakan rapat paripurna untuk meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa
MPR.
Pada
tanggal 21 Juli 2001 MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa yang dipimpin oleh
ketua MPR Amien Rais. Di sisi lain Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa
ia tidak akan mundur dari jabatan presiden dan sebaliknya menganggap bahwa
sidang istimewa tersebut melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah dan
illegal.
Menyadari
posisinya yang terancam, presiden selanjutnya mengeluarkan Maklumat Presiden
tertanggal 22 Juli 2001. Maklumat tersebut selanjutnya disebut Dekrit Presiden.
Secara umum dekrit tersebut berisi tentang pembekuan MPR dan DPR RI,
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mempersiapkan pemilu dalam waktu
satu tahun dan menyelamatkan gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde
Baru sekaligus membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah
Agung.
Namun
isi dekrit tersebut tidak dapat dijalankan terutama karena TNI dan Polri yang
diperintahkan untuk mengamankan langkah-langkah penyelamatan tidak melaksanakan
tugasnya. Seperti yang dijelaskan oleh Panglima TNI Widodo AS, sejak Januari
2001, baik TNI maupun Polri konsisten untuk tidak melibatkan diri dalam politik
praktis.
Sikap
TNI dan Polri tersebut turut memuluskan jalan bagi MPR untuk kembali menggelar
Sidang Istimewa dengan agenda pemandangan umum fraksi-fraksi atas
pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan dengan
pemungutan suara untuk menerima atau menolak Rancangan Ketetapan MPR No.
II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid dan Rancangan
Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Megawati
Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia.
Seluruh
anggota MPR yang hadir menerima dua ketetapan tersebut. Presiden dianggap telah
melanggar haluan negara karena tidak hadir dan menolak untuk memberikan
pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR termasuk penerbitan Maklumat
Presiden RI. Dengan demikian MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai
Presiden dan mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai presiden
kelima Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001.
3. Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri
Presiden Megawati Soekarno Putri mengawali tugasnya sebagai presiden kelima Republik Indonesia dengan membentuk Kabinet Gotong Royong. Kabinet ini memiliki lima agenda utama yakni membuktikan sikap tegas pemerintah dalam menghapus KKN, menyusun langkah untuk menyelamatkan rakyat dari krisis yang berkepanjangan, meneruskan pembangunan politik, mempertahankan supremasi hukum dan menciptakan situasi sosial kultural yang kondusif untuk memajukan kehidupan masyarakat sipil, menciptakan kesejahteraan dan rasa aman masyarakat dengan meningkatkan keamanan dan hak asasi manusia.
Tugas Presiden Megawati di awal pemerintahannya terutama upaya untuk memberantas KKN terbilang berat karena selain banyaknya kasus-kasus KKN masa Orde Baru yang belum tuntas, kasus KKN pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid menambah beban pemerintahan baru tersebut. Untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN, pemerintahan Presiden Megawati membentuk Komisi Tindak Pidana Korupsi setelah keluarnya UU RI No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
Pembentukan komisi ini menuai kritik karena pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid telah dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Dari sisi kemiripan tugas, keberadaan dua komisi tersebut tersebut terkesan tumpang tindih. Dalam perjalanan pemerintahan Megawati, kedua komisi tersebut tidak berjalan maksimal karena hingga akhir pemerintahan Presiden Megawati, berbagai kasus KKN yang ada belum dapat diselesaikan.
a. Reformasi Bidang Hukum dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, MPR kembali melakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 10 November 2001. Amandemen tersebut meliputi penegasan Indonesia sebagai negara hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Salah satu perubahan penting terkait dengan pemilihan umum adalah perubahan tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dan mulai diterapkan pada pemilu tahun 2004. Dengan demikian rakyat akan berpartisipasi dalam pemilihan umum untuk memilih calon anggota legislatif, presiden dan kepala daerah secara terpisah.
Hal lain yang dilakukan terkait dengan reformasi di bidang hukum dan pemerintahan adalah pembatasan wewenang MPR, kesejajaran kedudukan antara presiden dan DPR yang secara langsung menguatkan posisi DPR, kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), penetapan APBN yang diajukan oleh presiden dan penegasan wewenang BPK.
Salah satu bagian penting amandemen yang dilakukan MPR terkait upaya pemberantasan KKN adalah penegasan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan independen untuk menyelenggarakan peradilan yang adil dan bersih guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Amandemen ini memberikan kekuatan bagi penegak hukum untuk menembus birokrasi yang selama ini disalahgunakan untuk mencegah penyelidikan terhadap tersangka kejahatan terlebih jika sebuah kasus menimpa pejabat pemerintah yang tengah berkuasa. Upaya lain untuk melanjutkan cita-cita reformasi di bidang hukum adalah pencanangan pembentukan Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003.
Selain beberapa amandemen terkait masalah hukum dan pemerintahan, pemerintahan Presiden Megawati juga berupaya melanjutkan upaya reformasi di bidang pers yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Pers dan Undang-undang Penyiaran. Dilihat dari sisi kebebasan mengeluarkan pendapat, keberadaan kedua undang-undang tersebut berdampak positif namun di sisi lain berbagai media yang diterbitkan oleh partai-partai politik dan LSM seringkali melahirkan polemik dan sulit dikontrol oleh pemerintah.
b. Reformasi Bidang Ekonomi
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1998 belum dapat dilalui oleh dua presiden sebelum Megawati sehingga pemerintahannya mewarisi berbagai persoalan ekonomi yang harus dituntaskan. Masalah ekonomi yang kompleks dan saling berkaitan menuntut perhatian pemerintah untuk memulihkan situasi ekonomi guna memperbaiki kehidupan rakyat. Wakil Presiden Hamzah Haz menjelaskan bahwa pemerintah merancang paket kebijakan pemulihan ekonomi menyeluruh yang dapat menggerakkan sektor riil dan keuangan agar dapat menjadi stimulus pemulihan ekonomi. Selain upaya pemerintah untuk memperbaiki sektor ekonomi, MPR berhasil mengeluarkan keputusan yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi di masa reformasi yaitu Tap MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004. Sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004, arah kebijakan penyelenggaraan negara harus dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) lima tahun yang ditetapkan oleh presiden bersama DPR.
Minimnya kontroversi selama masa pemerintahan Megawati berdampak positif pada sektor ekonomi. Hal ini membuat pemerintahan Megawati mencatat beberapa pencapaian di bidang ekonomi dan dianggap berhasil membangun kembali perekonomian bangsa yang sempat terpuruk sejak beralihnya pemerintahan dari pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan pada era reformasi. Salah satu indikator keberhasilan pemerintahan Presiden Megawati adalah rendahnya tingkat inflasi dan stabilnya cadangan devisa negara. Nilai tukar rupiah relatif membaik dan berdampak pada stabilnya harga-harga barang. Kondisi ini juga meningkatkan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia yang dianggap menunjukkan perkembangan positif.
Kenaikan inflasi pada bulan Januari 2002 akibat kenaikan harga dan suku bunga serta berbagai bencana lainnya juga berhasil ditekan pada bulan Maret dan April 2002. Namun berbagai pencapaian di bidang ekonomi pemerintahan Presiden Megawati mulai menunjukkan penurunan pada paruh kedua pemerintahannya. Pada pertengahan tahun 2002-2003 nilai tukar rupiah yang sempat menguat hingga Rp. 8.500,- per dolar kemudian melemah seiring menurunnya kinerja pemerintah. Di sisi lain, berbagai pencapaian tersebut juga tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduk yang ternyata masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.
Popularitas pemerintah juga menurun akibat berbagai kebijakan yang tidak populis dan meningkatkan inflasi. Meningkatnya inflasi berdampak buruk terhadap tingkat inflasi riil. Diantara kebijakan tersebut adalah kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL) serta pajak pendapatan negara. (Sarwanto, 2004: 50). Selain itu, persoalan hutang luar negeri juga menjadi persoalan pada masa pemerintahan Presiden Megawati karena pembayaran hutang luar negeri mengambil porsi APBN yang paling besar yakni mencapai 52% dari total penerimaan pajak yang dibayarkan oleh rakyat sebesar 219,4 triliun rupiah. Hal ini mengakibatkan pemerintah mengalami defisit anggaran dan kebutuhan pinjaman baru.
c. Masalah Disintegrasi dan Kedaulatan Wilayah
Pemerataan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia merupakan salah satu pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Megawati. Tidak meratanya pembangunan dan tidak adilnya pembagian hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah menjadi masalah yang berujung pada keinginan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia terutama beberapa provinsi yang kaya akan sumber daya alam tetapi hanya mendapatkan sedikit dari hasil sumber daya alam mereka. Dua provinsi yang rentan untuk melepaskan diri adalah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua. Kebijakan represif yang diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru di kedua provinsi tersebut menjadi alat propaganda efektif bagi kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri.
Untuk meredam keinginan melepaskan diri kedua provinsi tersebut, Presiden Megawati melakukan upaya-upaya untuk menyelesaikan permasalahan disintegrasi dan memperbaiki persentase pembagian hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah di kedua propinsi tersebut. Berdasarkan UU No. 1b/2001 dan UU No. 21/2001 baik propinsi NAD dan Papua akan menerima 70% dari hasil pertambangan minyak bumi dan gas alam. Upaya Presiden Megawati untuk memperbaiki hubungan pemerintah pusat dan rakyat propinsi NAD juga dilakukan dengan melakukan kunjungan kerja ke Banda Aceh pada tanggal 8 September 2001. Dalam kunjungan kerja tersebut, presiden melakukan dialog dengan sejumlah tokoh Aceh dan berpidato di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Dalam kesempatan tersebut, presiden mensosialisasikan UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus Provinsi NAD.
Presiden Megawati juga menandatangani prasasti perubahan status Universitas Malikussaleh Lhokseumawe menjadi universitas negeri.Upaya Presiden Megawati untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI juga diuji saat pemerintah berusaha untuk menyelesaikan sengketa status Pulau Sipadan dan Ligitan dengan pemerintah Malaysia. Sengketa status kedua pulau tersebut tidak dapat diselesaikan melalui perundingan bilateral antara pemerintah Indonesia dan Malaysia. Kedua negara sepakat untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1997 telah memperjuangkan pengakuan internasional bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia. Namun Mahkamah Internasional pada akhirnya memutuskan bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari Malaysia. Dari 17 hakim yang terlibat dalam proses keputusan Mahkamah Internasional, satu-satunya hakim yang memberikan keputusan bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Indonesia adalah Hakim Ad Hoc Thomas Franck yang ditunjuk oleh Indonesia.Terlepasnya Pulau Sipadan yang memiliki luas 10,4 hektar dan Pulau Ligitan yang memiliki luas 7,9 hektar merupakan pukulan bagi diplomasi luar negeri Indonesia setelah terlepasnya Timor Timur. Kasus ini juga menunjukkan lemahnya diplomasi luar negeri Indonesia saat berhadapan dengan negara lain terutama dalam sengketa perbatasan dengan negara-negara tetangga.
d. Desentralisasi Politik dan Keuangan
Terkait hubungan pemerintah pusat dan daerah, pemerintahan Presiden Megawati berupaya untuk melanjutkan kebijakan otonomi daerah yang telah dirintis sejak tahun 1999 seiring dengan dikeluarkannya UU No. 2 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah. Upaya ini merupakan proses reformasi tingkat lokal terutama pada bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan pemanfaatan sumber-sumber daya alam daerah untuk kepentingan masyarakat setempat. Upaya desentralisasi politik dan keuangan ini sejalan dengan struktur pemerintahan di masa mendatang dimana masing-masing daerah akan diberi wewenang lebih besar untuk mengelola hasil-hasil sumber daya alam dan potensi ekonomi yang mereka miliki.Otonomi daerah merupakan isu penting sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998. Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru, rakyat di beberapa daerah mulai menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem sentralisasi kekuasaan dan wewenang pemerintah pusat yang sangat kuat. Kepala daerah yang bertugas di beberapa daerah mulai dari posisi gubernur hingga bupati seringkali bukan merupakan pilihan masyarakat setempat.
Proses pelaksanaan otonomi daerah berikut pengadaan perangkat hukumnya berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum berikutnya yang akan diselenggarakan pada tahun 2004. Sejalan dengan rencana pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah secara aktif mengeluarkan beberapa undang-undang yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah sekaligus memberikan pedoman dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan saat undang-undang tersebut diberlakukan. Terkait dengan itu, pemerintah mengeluarkan UU No. 12 tahun 2003 mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD. Penerbitan undang-undang ini diikuti dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD serta UU No. 23 tahun 2003 mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden. Untuk melengkapi berbagai perangkat hukum mengenai otonomi daerah yang sudah ada, pemerintahan Presiden Megawati di tahun terakhir masa pemerintahnnya mengeluarkan UU No. 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah yang memuat antara lain kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, konsep otonomi dan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan.
Sistem pemilihan langsung terhadap wakil-wakil rakyat di daerah dan kepala daerah menjadikan pelaksanaan otonomi daerah semakin memberikan kesempatan bagi rakyat di daerah untuk berperan lebih besar dalam memajukan wilayah mereka. Terpilihnya wakil rakyat dan kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat setempat diharapkan lebih dapat mengakomodasi keinginan masyarakat karena memahami seluk beluk masalah dan potensi masyarakat dan sumber daya alam yang dimiliki oleh wilayah bersangkutan disamping lebih memahami karakter dan adat istiadat yang berlaku di wilayah tersebut.
e. Upaya Pemberantasan KKN
Kendati berhasil melakukan berbagai pencapaian di bidang ekonomi dan politik terutama dalam menghasilkan produk undang-undang mengenai pelaksanaan otonomi daerah, pemerintahan Presiden Megawati belum berhasil melakukan penegakkan hukum (law enforcement). Berbagai kasus KKN yang diharapkan dapat diselesaikan pada masa pemerintahannya menunjukkan masih belum maksimalnya upaya Presiden Megawati dalam penegakkan hukum terutama kasus-kasus KKN besar yang melibatkan pejabat negara. Belum maksimalnya penanganan kasus-kasus tersebut juga disebabkan karena kurangnya jumlah dan kualitas aparat penegak hukum sehingga proses hukum terhadap beberapa kasus berjalan sangat lambat dan berimbas pada belum adanya pembuktian dari kasus-kasus yang ditangani.
Namun keseriusan pemerintah untuk memerangi tindak pidana korupsi tercermin dari dikeluarkannya UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Produk hukum tersebut merupakan produk hukum yang dikeluarkan khusus untuk memerangi korupsi.
Pengeluaran produk hukum tentang Tipikor diikuti dengan dikeluarkannya berbagai produk hukum lain seperti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), PP No, 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim, Inpres No. 2 Tahun 2002 tentang Penambang Pasir Laut dan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
f. Pelaksanaan Pemilu 2004
Pemilu tahun 2004 merupakan pemilu pertama dimana untuk pertama kalinya masyarakat pemilik hak suara dapat memilih wakil rakyat mereka di tingkat pusat dan daerah secara langsung. Pemilu untuk memilih anggota legislatif tersebut selanjutnya diikuti dengan pemihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden yang juga dipilih langsung oleh rakyat. Pemilihan anggota legislatif dan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden memiliki keterkaitan erat karena setelah pemilu legislatif selesai, maka partai yang memiliki suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presidennya untuk maju ke pemilu presiden. Jika dalam pemilu presiden dan wakil presiden terdapat satu pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka pasangan tersebut dinyatakan sebagai pasangan pemenang pemilu presiden.
Jika pada pemilu presiden tidak terdapat pasangan yang mendapatkan suara lebih dari 50%, maka pasangan yang mendapatkan suara tertinggi pertama dan kedua berhak mengikuti pemilu presiden putaran kedua.Pemilu legislatif 2004 yang diselenggarakan pada tanggal 5 April 2004 diikuti oleh 24 partai politik. Lima partai politik yang berhasil mendapatkan suara terbanyak adalah Partai Golkar (24.480.757 atau 21,58% suara), PDI-P (21.026.629 atau 18,53% suara), PKB (11.989.564 atau 10,57% suara), PPP (9.248.764 atau 8,15% suara) dan PAN (7.303.324 atau 6,44% suara).
Pemilu presiden yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 belum menghasilkan satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% sehingga pemilu presiden diselenggarakan dalam dua putaran. Dalam pemilu presiden putaran kedua yang diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004, pasangan H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. Muhammad Jusuf Kalla mengungguli pasangan Hj. Megawati Soekarnoputri dan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi. Pada pemilu putaran kedua tersebut, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla memperoleh 62.266.350 suara atau 60,62% sementara pasangan Hj. Megawati Soekarnoputri dan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi memperoleh 44.990.704 suara atau 39,38% . (Gonggong & Asy’arie, 2005: 239).
4. Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden pertama RI yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Susilo Bambang Yudhoyono yang sering disapa SBY dan Jusuf Kalla dilantik oleh MPR sebagai presiden dan wakil presiden RI ke-6 pada tanggal 20 Oktober 2004.Terpilihnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden diikuti dengan berbagai aksi protes mahasiswa, diantaranya aksi yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar, Bali, yang meminta agar presiden terpilih segera merealisasikan janji-janji mereka selama kampanye presiden. Tidak lama setelah terpilih, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri segera membentuk susunan kabinet pemerintahannya yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu.
Salah satu program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah bantuan langsung tunai (BLT). Pada tahun 2006, BLT dianggarkan sebesar Rp. 18,8 triliun untuk 19,1 juta keluarga. Tahun 2007 dilakukan BLT bersyarat bagi 500 ribu rumah tangga miskin di 7 propinsi, 51 kabupaten, 348 kecamatan. Bantuan tersebut meliputi bantuan tetap, pendidikan, kesehatan dengan rata-rata bantuan per rumah tangga sebesar Rp. 1.390.000 (Suasta, 2013: 31-33).Selain memfokuskan pada manusia dan rumah tangganya, program pengentasan kemiskinan juga berupaya untuk memperbaiki fisik lingkungan dan prasarananya seperti gedung sekolah, fasilitas kesehatan, jalan, air bersih, dll.
a. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Sejak krisis yang dialami bangsa pada tahun 1998, kondisi perekonomian masyarakat Indonesia belum pulih. Upaya pengentasan kemiskinan yang juga pernah dicanangkan oleh presiden sebelumnya masih belum terlaksana sepenuhnya. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya sejumlah bencana alam terutama tragedi tsunami di Aceh yang merenggut banyak korban dengan kerugian material yang sangat besar. Presiden SBY bersama Kabinet Indonesia Bersatu segera mengambil langkah-langkah penanggulangan pasca bencana. Salah satunya adalah dengan menetapkan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 mengenai Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Aceh dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara. Selain itu dibentuk pula Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Aceh dan Nias (Yudhoyono, 2013).
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upaya untuk pengentasan kemiskinan direalisasikan melalui peningkatan anggaran di sektor pertanian termasuk upaya untuk swasembada pangan. Anggaran untuk sektor ini yang semula hanya sebesar 3,6 triliun rupiah ditingkatkan menjadi 10,1 triliun rupiah. Untuk mendukung perbaikan di sektor pertanian, pemerintah menyediakan pupuk murah bagi petani. Selain berupaya memperkuat ketahanan pangan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga berupaya memperbaiki sektor pendidikan dengan cara meningkatkan anggaran pendidikan yang semula berjumlah 21,49 triliun pada tahun 2004 menjadi 50 triliun pada tahun 2007. Seiring dengan itu, program bantuan operasional sekolah atau BOS juga ditingkatkan. Perbaikan di sektor pendidikan ini berhasil menurunkan persentase tingkat putus sekolahdari 4,25% pada tahun 2005 menjadi 1,5% pada tahun 2006. Selain upaya untuk memperbaiki kelangsungan pendidikan para peserta didik, pemerintah juga meningkatkan tunjangan kesejahteraan tenaga pendidik.
Di bidang kesehatan, pemerintah memberikan bantuan kesehatan gratis untuk berobat ke puskesmas dan rumah sakit melalui pemberian Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin dan beberapa kali menurunkan harga obat generik. (Suasta, 2013: 33-36). Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan perhatian besar pada permasalahan kesejahteraan rakyat lainnya seperti sektor perumahan, pengembangan usaha kecil, peningkatan kesejahteraan PNS termasuk prajurit TNI dan Polri dan juga kesejahteraan buruh. Pelayanan dan fasilitas publik juga ditingkatan. Di bidang hukum, upaya pemerintah untuk melanjutkan program pemberantasan korupsi dan penegakkan supremasi hukum jugamendapat perhatian pemerintah.
b. Reformasi di Bidang Politik dan Upaya Menjaga Kesolidan Pemerintahan
Setgab merupakan format koalisi yang dianggap SBY sesuai dengan etika demokrasi dan dibentuk sebagai sarana komunikasi politik pada masa pemerintahan SBY (Suasta, 2013: 25).Sejalan dengan upaya menjaga kesolidan pemerintahan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga melanjutkan reformasi politik seperti yang telah dirintis oleh pemerintahan sebelumnya pada era reformasi. Upaya untuk penerapan otonomi daerah dengan cara mengurangi wewenang pemerintah pusat dan memperluas wewenang pemerintah daerah dilakukan secara proporsional dan seimbang. (Suasta, 2013: 259). Selain itu, pemerintah juga mengupayakan reformasi birokrasi yang mengedepankan aspek transparansi, partisipasi dan akuntabilitas demi menciptakan good governance. Reformasi birokrasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah karena proses pengambilan keputusan dilakukan secara transparan dan dapat diakses oleh masyarakat terutama dalam pengambilan keputusan yang terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak seperti masalah kenaikan BBM dan pengadilan terhadap para koruptor.
Untuk membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat, pemerintah memaksimalkan penggunaan media sosial seperti SMS online dan twitter, Melalui media tersebut, partisipasi masyarakat dalam perjalanan pemerintahan diharapkan meningkat. Di sisi lain pemerintah dapat dengan cepat mengetahui pendapat masyarakat terkait masalah-masalah tertentu termasuk opini masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah dalam kasus-kasus yang dianggap krusial.
c. Upaya untuk menyelesaikan konflik dalam negeri
Selain berupaya untuk menjaga kedaulatan wilayah dari ancaman luar, upaya internal yang dilakukan pemerintah untuk menjaga kedaulatan wilayah adalah mencegah terjadinya disintegrasi di wilayah konflik.
Konflik berkepanjangan di wilayah Aceh dan Papua yang belum juga berhasil diselesaikan pada masa pemerintahan presiden sebelumnya, mendapat perhatian serius dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kendati telah dilakukan pendekatan baru melalui dialog pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie termasuk dengan mencabut status DOM yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru, namun konflik di Aceh tidak kunjung selesai.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah berupaya untuk lebih mengefektifkan forum-forum dialog mulai dari tingkat lokal Aceh hingga tingkat internasional. Di tingkat internasional, upaya tersebut menghasilkan Geneva Agreement(Kesepakatan Penghentian Permusuhan/Cessation of Hostilities Agreement(CoHA). Tujuan dari kesepakatan tersebut adalah menghentikan segala bentuk pertempuran sekaligus menjadi kerangka dasar dalam upaya negosiasi damai diantara semua pihak yang berseteru di Aceh. Namun pada kenyataannya, CoHA dan pembentukkan komite keamanan bersama belum mampu menciptakan perdamaian yang sesungguhnya. Belum dapat dilaksanakannya kesepakatan tersebut dikarenakan minimnya dukungan di tingkat domestik, baik dari kalangan DPR maupun militer selain tidak adanya pula dukungan dari pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka). (Yudhoyono, 2013).Selain berupaya menyelesaikan konflik Aceh melalui perundingan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga melakukan pendekatan langsung dengan masyarakat Aceh melalui kunjungan yang dilakukan ke Aceh pada tanggal 26 November 2004. Dalam kunjungan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan pentingnya penerapan otonomi khusus di Aceh sebagai sebuah otonomi yang luas. Presiden juga berupaya untuk membicarakan amnesti dengan DPR bagi anggota GAM seraya menekankan bahwa solusi militer tidak akan menyelesaikan masalah Aceh secara permanen.
Selain konflik di Aceh, konflik lain yang berpotensi menjadi konflik berskala luas adalah konflik bernuansa agama di Poso. Konflik yang dimulai pada tahun 1998 tersebut terus berlanjut hingga masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu kebijakan presiden untuk menyelesaikan konflik Poso adalah dengan mengeluarkan Intruksi Presiden No 14 Tahun 2005 tentang langkah-langkah komprehensif penanganan masalah Poso.
Melalui Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan untuk:
1. Melaksanakan percepatan penanganan masalah Poso melalui langkah- langkah komprehensif, terpadu dan terkoordinasi.
2. Menindak secara tegas setiap kasus kriminal, korupsi dan teror serta mengungkap jaringannya.
3. Upaya penanganan masalah Poso dilakukan dengan tetap memperhatikan Deklarasi Malino 20 Desember 2001.
Selain konflik Aceh dan Poso, konflik lain yang mendapat perhatian serius pemerintah adalah konflik di Papua. Seperti halnya konflik di Aceh, upaya untuk menyelesaikan konflik di Papua juga mengedepankan aspek dialog dan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kurangnya keadilan bagi masyarakat Papua menimbulkan adanya perlawanan dan keinginan sebagian masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI. Perhatian pemerintah sudah sewajarnya lebih diberikan untuk meningkatkan sisi ekonomi dan pemberdayaan sumber daya manusia masyarakat yang tinggal di wilayah ini melalui pemberian pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka di bidang pertanian dan pemahaman birokrasi, terlebih propinsi Papua memiliki sumber daya alam besar terutama di sektor pertambangan. Terkait dengan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluarkan kebijakan otonomi khusus bagi Papua. Otonomi khusus tersebut diharapkan dapat memberikan porsi keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan kepada orang asli Papua.
Kebijakan tersebut didukung oleh pemerintah melalui aliran dana yang cukup besar agar rakyat Papua dapat menikmati rasa aman dan tentram di tengah derap pembangunan (Suasta, 2013: 294).
d. Pelaksanaan Pemilu 2009
Berbagai pencapaian pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meningkatkan popularitas dan kepercayaan masyarakat kepadanya. Hal ini juga tidak terlepas dari gaya kepemimpinan yang berkorelasi dengan penerapan berbagai kebijakan pemerintah yang efektif di lapangan. Transparansi dan partisipasi masyarakat juga menjadi faktor penting yang berperan sebagai modal sosial dalam pembangunan termasuk adanya sinergi antara pemerintah dengan dunia usaha dan perguruan tinggi. Selain itu, situasi dalam negeri yang semakin kondusif termasuk meredanya beberapa konflik dalam negeri meningkatkan investor asing untuk menanamkan modal mereka di Indonesia sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Kondisi ini ikut mengurangi angka pengangguran yang di awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih sangat tinggi. keberhasilan beberapa program pembangunan juga tidak terlepas dari adanya stabilitas politik, keamanan, dan ketertiban serta harmoni sosial.
Berbagai pencapaian pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dirasakan langsung oleh masyarakat menjadi modal bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kembali maju sebagai calon presiden pada pemilu presiden tahun 2009. Berpasangan dengan seorang ahli ekonomi yakni Boediono, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil mendapatkan kembali mandat dari rakyat untuk memimpin Indonesia untuk masa pemerintahan berikutnya. Pada pemilu presiden yang diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009 pasangan Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangkan pemilu hanya melalui satu putaran.