Blog Kang One

Catatan Sederhana untuk Berbagi

Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Kejutan



JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (22)

Judul kejutan. A

"Sudah Fakhri katakan, itu hanya keinginan Salma saja. Bukan permintaannya." Fakhri menghela nafasnya. Berharap dia memiliki banyak kesabaran, ketika orangtuanya kembali mengungkit keinginan mendiang istrinya itu.

Bukan berarti Fakhri tidak suka dengan adiknya Arfan. Fakhri sangat mencintai dan menyayanginya. Tapi, rasa cinta dan sayang yang dia rasakan, adalah sebagai seorang kakak pada adiknya.

"Tapi, Gus. Bukankah keinginan itu tandanya agar dituruti?" tanya Bu Nyai hati-hati. Bu Nyai sudah melihat gelagat Fakhri yang sudah mulai kehilangan kesabaran.

"Beda, Umi. Fakhri juga sudah katakan, setelah Salma mengungkapkan keinginannya itu, Fakhri langsung menolaknya. Tolonglah, Umi! Jangan membebankan hisaban Salma dengan masalah ini!"

Bu Nyai terhenyak, menyadari bahwa apa yang dikatakan putranya itu, memang benar. Dia terus mendesak putranya, sehingga menjadikan putranya terus berdebat dengannya.

Tapi, di satu sisi Bu Nyai ingin putranya kembali mempunyai istri. Bagaimanapun juga, Ihsan butuh sosok seorang ibu.

"Fakhri harap, ini yang terakhir kalinya kita bahas masalah itu. Fakhri pamit dulu, hari sudah semakin siang. Fakhri masih harus bekerja. Sekali lagi, percayalah, Umi! Dia akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Fakhri," ucap Fakhri sambil mencium tangan ibunya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh."

Fakhri segera berbalik, dan melangkah keluar.

Bu Nyai menghela nafasnya berat. Sungguh! Beliau sangat bimbang. Disatu sisi, dia memang tidak ingin memaksa putranya. Tapi, disisi lain, beliau begitu tahu bagaimana tatapan pilu putri angkatnya itu, ketika Fakhri menolak perjodohan mereka secara mentah-mentah.

Bu Nyai tidak akan tenang, jika salah satu putra dan putrinya mendapatkan kebahagiaan secara tidak adil.

'YaAlloh, bagaimana ini? Apa yang harus hamba lakukan? Hamba sangat mencintai dan menyayangi keduanya. Semoga secepatnya mendapatkan penyelesaian yang baik,' Bu Nyai merapalkan do'anya.

Di balik tembok tempat Fakhri dan Bu Nyai berbincang, Arfan menguping. Tangannya mengepal kuat, kala suara Fakhri menyeruakan penolakannya kembali.

'Aku tahu, kamu sudah memilih Kamila untuk calonmu. Tapi, maafkan aku! Aku akan mencuri star darimu terlebih dahulu. Maafkan aku, Gus!'

"Gus Arfan."

Arfan menoleh, kala ada suara memanggil. Menyadarkannya dari lamunan.

"Maaf, Gus. Mbak Mila sudah berada di depan."

Arfan mengangguk, sambil tersenyum, "iya, saya akan segera kesana. Terimakasih, Mbak Mawar," ucap Arfan pada staff santri putri.

Arfan menghembuskan nafasnya, berharap, apa yang sedang di rencanakannya adalah keputusan yang tepat.

Setelah tadi pagi dia menguping pembicaraan Fakhri dan Bu Nyai. Dia bertekad, bahwa dia tidak akan membiarkan orang lain mencuri kesempatannya.

Arfan beranjak dan melangkah ketempat dimana Mila berada.

'Toktoktok' "Assalamu'alaikum."

Mila yang memang sedang melamun, terlonjak kaget, karena ada yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

Mila mengangguk, lalu menunduk, " Wa'alaikumussalaam, Gus Arfan. "

Arfan tersenyum, lalu duduk di belakang Mila, sambil membelakangi Mila. Jadi, posisi mereka sekarang adalah, saling membelakangi.

"Apakah aku mengganggumu, Mbak Mila?" tanya Arfan.

Mila sebenarnya merasakan perasaan tak nyaman, ketika Arfan mengganti panggilannya dari formal menjadi sapaan akrab. -Aku, kamu.-

"Ah, ti,tidak, Gus. Kalau boleh saya tahu, ada apa, ya?" ucap Mila.

Arfan diam beberapa saat. Ingin sekali dirinya menatap Mila saat ini. Dia tersenyum kikuk, "bagaimana memulainya, ya?" ucap Arfan sambil mengusap tengkuknya.

"Mungkin, ada yang bisa saya bantu, Gus."

Arfan menghirup udara dalam, "Mbak Kamila, sebenarnya ... Dari awal kita bertemu, aku sudah tertarik padamu," ucap Arfan to the point.

Arfan menunggu respon Mila dengan perasaan was-was. Walaupun dia tak melihat ekspresi Mila. Tapi, dia bisa memastikan, kalau Mila sangat terkejut. Karena nafas Mila yang tiba-tiba terhenti, serta ada suara henyakan samar dari bibir perempuan yang berada di belakangnya ini.

Ada sedikit rasa menyesal, mungkin dia terlalu cepat mengungkapkan maksudnya. Tapi, bukankah, lebih cepat lebih baik? Siapa cepat, dia dapat, bukan?

Mila yang hatinya sudah entah kemana, semenjak mendengar kabar tentang calon ibu baru Ihsan tersebut. Semakin tak karuan, kala mendengar ucapan Arfan yang sangat ambigu juga tiba-tiba untuknya.

Apa maksudnya? Tertarik? Tertarik pada apanya?

"Ma,maksud G,gus Arfan g,gimana?" Mila sangat gugup, kala hatinya menerka maksud ucapan Arfan.

"Maksudku, mungkin ... Ini, terlalu mendadak bagimu, Mbak Mila. Tapi, aku tidak bisa memendam sesuatu yang bahkan aku sendiripun tak bisa mengatasinya. Jadi ... Aku pikir, mungkin akan lebih baik, jika aku langsung mengungkapkannya. Lebih cepat, mungkin akan lebih baik," jawab Arfan.

Hening.

"Maaf! Jika terkesan mendadak bagimu," Arfan melanjutkan ucapannya, ketika dia tidak mendapatkan respon dari Mila, "tapi, dengan niat yang tulus ... Mbak Mila, maukah kamu menerima pinanganku?" tanyanya mantap. Dia sangat berharap, jika Mila mengatakan 'Ya'.

Mila seakan mati kutu, pikirannya serasa beku seketika. Pengakuan Arfan sungguh di luar dugaannya. Apa yang harus dia jawab? YaAlloh, apa yang harus dia lakukan?

"Mbak Mila," Arfan memanggil Mila, karena dia tak mendapatkan respon apapun. Ingin sekali dia berbalik, dan melihat bagaimana wajah perempuan yang sudah dia lamar ini.

"Mbak Mil--"

"A,ah, m,maaf, G,gus A,arfan! S,s,saya, s,s,saya, ..." Mila tak bisa menjawab, dia bingung. Sangat bingung, harus menjawab apa. Terlebih, hatinya saat ini sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Arfan menghela nafasnya, memejamkan matanya. Dia sudah menduganya. Tapi, dia tak menduga akan se-kecewa ini.

"Tak perlu di jawab sekarang! Aku tahu, kamu pasti sangat terkejut. Tapi, satu yang harus kamu yakini! Bahwa aku tulus dengan niatku ini. Maka dari itu, bisakah kamu mempertimbangkan lamaranku ini?" Arfan akan mencoba peruntungan kembali. Dia bertekad, dia akan meyakinkan Mila. Bahwa dia adalah sosok yang patut dipercaya dan dipertimbangkan.

"T,terimakasih a,atas pengertiannya, G,gus."

"Aku mengerti, aku juga gak mau memaksamu. Tapi, terus terang, aku sangat berharap kamu mengatakan 'iya'. Aku akan bersabar sampai kamu bisa menjawab niatku ini," jawab Arfan kembali sambil menekan kata 'iya'.

Mila menunduk, hatinya sangat bersyukur dan merasa bersalah pada Arfan. Dia berterimakasih, karena Arfan mau mengerti. Tapi, juga merasa bersalah, karena dia tahu, Arfan pasti kecewa dengan tindakannya saat ini.

Mila tak mau mengambil langkah salah lagi. Dia tak mau berpura-pura menerima, sedangkan hatinya menolaknya. Dia sudah merasakannya, dan itu sangat mengecewakan.

"K,kalau b,begitu, b,bolehkah s,s,saya u,undur d,diri? Mo,mohon m,maaf a,atas se,semuanya, G,gus!" saat ini, Mila hanya ingin menyendiri. Tak mau di ganggu siapapun.

"Ya, silahkan! Aku juga minta maaf, telah membuatmu terbebani dengan pengakuanku. Dan juga mengganggu waktumu."

"Ti,tidak ap,aoa-apa. K,kalau b,begitu, s,saya undur diri, As,Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh."

Mila perlahan berdiri, dan melangkah menuju pintu keluar.

"Mbak Mila, tunggu!" Arfan kembali memanggil Mila, ketika dia sudah menyentuh gagang pintu.

Mila berbalik dengan kepala yang menunduk.

"Satu lagi. Maafkan aku! Aku telah berbohong kepadamu."

Mila mendongak, menatap Arfan, dan menunggu Arfan melanjutkan kalimatnya.

"Sebenarnya, aku sangat mengenal Zahra, sahabatmu itu."

Mila melotot, dan menganga. Untuk apa Arfan berbohong padanya?

Arfan terkekeh, "sudah kuduga kamu akan merasa kaget seperti itu. Awalnya, aku hanya ingin tahu, apakah kamu benar-benar kenal adikku itu, atau hanya kamuflase semata. Tapi, ternyata memang benar, adikku adalah sahabatmu. Dia juga sudah memarahiku, karena telah mengerjai sahabat baiknya."

'JESSSSSSS' Seakan tersiram air es dari planet pluto. Tubuh Mila membeku, begitupun dengan otaknya. Dia tak mendengar ucapan Arfan, telinganya menolak cerocosan Arfan, pendengarannya terus mendengung, kala satu buah fakta menusuk kesadarannya.

"A,adik? J,jadi ... Z,zahra itu, a,a,adiknya G,g,gus A,Arfan?" Mila bertanya dengan nada semakin terbata.

Arfan tersenyum, lalu mengangguk, "benar."

"J,jadi ... Z,zahra a,adalah ... Ca,ca,calon istrinya--"

"Calon istri?" 'deg' Arfan memotong ucapan Mila. Jantungnya berdegup kencang, dia tak menyangka, kalau Mila sudah tahu soal itu. Dia fikir, dia akan mendapatkan Mila sebelum Mila tahu, bahwa Zahra adalah calon istrinya Fakhri.

"C,calon i,istri, ya? Waaah darimana kamu tahu? Sepertinya, gosip memang cepat sekali menyebar, ya?" ucap Arfan.

Mila tidak menjawab, pandangannya kosong.

"Benar, Zahra sudah di jodohkan dengan Gus Fakhri empat tahun yang lalu. Namun, karena Zahra harus menuntut ilmu di Jakarta, membuat perjodohan ini harus ditunda dulu. Dan ... Pernikahannya akan di laksanakan ketika dia sudah pulang akhir bulan ini."

Mila meremas pakaiannya kuat. Hari ini dia sudah mendapatkan tiga kejutan sekaligus.

Dia benar-benar tidak menyangka, kalau sahabatnya-lah yang akan menjadi istri Fakhri.

'Heh, memangnya kenapa kalau itu Zahra, Kamila? Semua tidak ada yang salah disini. Kamunya aja yang berlebihan. Memangnya, apa hubungannya denganmu tentang perjodohan mereka? Siapa kau yang harus merasa tersakiti?' logika Mila menyeruak.

Mila tersenyum, benar! Apalah dirinya ini? Kenapa harus ikut campur? Apalagi mencampur biarkan di ngan urusan hatinya ini. Seharusnya dia bahagia bukan, kalau sahabatnya akan segera menikah?

Mila menghirup nafasnya yang entah kenapa sangat susah sekali dihirupnya, dia menelan ludah yang entah kenapa seperti sangat keras sekali, sehingga tidak bisa dia telan dengan mudahnya.

Dia sadar, dia bukanlah siapa-siapanya Fakhri dan Ihsan. Dia hanya seorang santri yang beruntung bisa berinteraksi akrab dengan ayah dan anak tersebut. Tapi, mengapa hatinya merasakan sakit? Malah, rasa sakit karena kegagalan pernikahannya tidak ada apa-apanya, dibandingkan rasa sakit yang kini sedang dia rasakan.

Tanpa bicara sepatah katapun, Mila tersenyum kearah Arfan, lalu berbalik dan melanjutkan niatnya untuk segera pergi dari sana.

Mila mengerjapkan matanya berulang kali, menghirup udara sebanyak mungkin, berharap rasa sesak di dadanya berkurang, meski sedikit saja.

"Mbak Mila. Mbak tidak apa-apa?"

Mika menoleh, dan tersenyum kepada Mawar yang menyapanya. Tercetak sangat jelas sekali, Mawar sangat penasaran dengan dirinya.

"Aku tidak apa-apa, Mbak Mawar. Kalau begitu, aku permisi dulu, Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," Mawar menjawab salam Mila. Meski dia sangat tak puas dengan jawaban yang Mila berikan. 'Pasti ada sesuatu.'

Arfan berdiri di dekat kaca, memperhatikan punggung Mila yang kian menjauh. Di dasar hatinya, dia merasakan kesakitan. Melihat mimik muka Mila yang sangat tidak baik-baik saja. 'Maafkan aku, Mila! Aku tahu, kamu sudah menaruh hati pada Fakhri. Aku berjanji, aku akan menghilangkan rasa cintamu itu padanya. Dan aku berjanji, akan aku ganti dengan jutaan kasih sayang yang akan berikan padamu. Tapi, aku mohon, Bantulah aku! Mewujudkan kebahagiaan adikku yang sederhana ini.'

........

"Mbak Mila." Mila terlonjak kaget, ketika ada yang memanggilnya.

Anisa menghampirinya, dan memeluknya. Tak perlu berbicara, Anisa tahu, saat ini, sahabatnya ini sedang dalam hati yang kacau. Tak ada kata atau pembicaraan, Anisa terus memeluk tubuh Mila, sambil mengusap punggung sahabat yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri.

Mila yang mendapat perlakuan seperti itu, langsung membalas pelukan Anisa dengan sangat erat. Dia tahu, tanpa dia menceritakan pun, sahabatnya yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri ini, sudah mengerti keadaannya.

"Weleh, weleh, kenapa kalian berpelukan tanpa mengajak kami."

Mila buru-buru menghapus airmatanya, yang entah sejak kapan keluar mengalir begitu saja tanpa ia sadari.

Mila dan Anisa mengurai pelukannya. Mereka saling melempar senyuman, meski suara segukan terdengar samar dari bibir Mila.

"Mbak Mila kenapa? Kok menangis?" Rohmi bertanya heran.

"Mbak Mila katanya sudah rindu rumahnya," Bukan Mila yang menjawab, tapi Anisa.

"O, begituuu."

"Sudahlah! Mbak Mila, bukankah hari ini Mbak harus kerumah Gus Fakhri, untuk mengajari Gus Ihsan?" tanya Anisa.

Mila menegang, sanggupkah dia? Menoleh kearah Anisa yang sudah menatapnya, sambil tersenyum dan mengangguk, seolah mengatakan ... Semua akan baik-baik saja.

"Haaah, aku yakin. Selama Mbak Mila di dalam kandungan ibunya. Ibu Mbak Mila sering sekali melakukan amal Shodaqoh deh." suara itu menyeletuk dari bibir Tia.

"Memangnya kenapa?" tanya Rohmi penasaran.

"Lihatlah! Nasib baik, selalu mengelilingi Mbak Mila. Dari mulai, berparas cantik, berotak cerdas, berperilaku baik, disukai dan disayangi banyak orang, dan yang paling menguntungkan adalah bisa keluar masuk rumahnya Gus Fakhri tanpa rintangan apapun, dan ... Tentu sangat memungkinkan, Mbak Mila sering bertemu dengan Gus Duda ganteng itu, lalu lambat laun ... Karena terbiasa, cintapun bersemi tanpa diduga di antara keduanya. Lalu, mereka menikah, dan hidup bahagia selamanya," Tia menjawab panjang lebar, sambil menerawang, seolah dia sedang menonton televisi kartun cinderella.

'Deg' tubuh Mila menegang. -karena terbiasa, cintapun bersemi tanpa diduga- 'Astagfirullah! Jadi, rasa sakit yang sedang dia rasakan ini, karena dia sudah ...? Astagfirullah, YaAlloh ...'

"Hihihi, Mbak Tia keren juga. Kamu membuat aku terlena. Aku sangat setuju dengan pendapatmu, jika saja aku tidak mengingat atau mengetahui, bahwa Gus Fakhri sudah memiliki calon istri sendiri."

'Jlebb' seolah tak pernah puas, sesak itu menyerangnya kembali. Apalagi dia sudah mengetahui, siapa calon istrinya.

Mila menghirup udara sebanyak mungkin. 'YaAlloh ...' lirihnya penuh kesedihan.


sumber  : WAG

Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Teka-teki




JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (21)

Judul : teka teki

"WAAMMAA INKAANA MINALMUKADZDZIBIINADLDLOOLLIIN, FANUZULUM-MIN HAMIIMIN-WATASHLIATU JAHIIM, INNA HAADZA LAHUA-LHAQQUL YAQIIN, FASABBIH BISMI ROBBIKA-L'ADHZIIM, SHODAQOLLOOHU-L'ADHZIIM," seorang santri mengakhiri hafalannya.

Fakhri segera beranjak dari duduknya, meski masih banyak santri yang belum menyetorkan hafalan, dia tetap melangkah keluar. Karena dia yakin, tidak ada lagi yang akan menyetorkan hafalan kepadanya.

Entah mengapa, setiap ada penyetoran hafalan, entah itu dari hafalan AlQur-an, atau dari hafalan Kitab, Fakhri tak pernah banyak yang akan menyetorkan kepadanya. Banyak juga desus yang beredar, bahwa santri yang punya nyali besarlah, yang akan sanggup menyetor hafalan kepadanya.

Mereka selalu merasa takut, jika melakukan kesalahan. Padahal, semuanya juga belum pernah ada yang menyaksikan tentang kemarahan Fakhri terhadap santri yang menemukan kesalahan pada hafalannya. Seperti, membentak, atau memukul.

Berbeda jika ia sedang mengajar mengaji balagan (mengaji bandung kuping), selalu penuh, entah dari santri putra,maupun santri putri.

Fakhri tak ambil pusing, ketika dirinya dipandang apapun oleh semua santri.  Bahkan semua orang. Biarlah mereka menilai dirinya, sesuai sugestinya masing-masing.

"Gus."

Fakhri menoleh, kala seseorang memanggilnya, dia tersenyum, dan melangkah menghampiri ibunya yang sedang berdiri di ambang pintu rumah orangtuanya.

"Assalamu'alaikum, Umi," sapanya.

"Wa'alaikumussalaam, Gus. Masuklah dulu! Habis dari Aula putra, ya?" Bu Nyai mengajak Fakhri kedalam.

"Iya, Umi," jawab Fakhri.

"Memang kamu pulang jam berapa dari kantor?" Bu Nyai bertanya lagi. Dia yakin, kalau dari Aula putra berarti putranya ikut memantau hafalan para santri putra.

"Sebelum 'Ashar, Umi."

Bu Nyai mengangguk tersenyum.

"Gus, dari Aula putra kamu?"

Fakhri dan Bu Nyai menoleh, Pak Kyai datang dan bergabung di sana. Fakhri mencium tangan ayahnya, "Assalamu'alaikum, Abi."

"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," jawab Pak Kyai sambil menepuk pundak putranya.

"Benar, Abi. Habis mendengarkan hafalan santri," Fakhri menjawab pertanyaan Pak Kyai yang sempat terselang salam.

Pak Kyai tersenyum, merasa senang, putra satu-satunya itu, mulai aktif kembali ikut mengurus kegiatan pesantren. Beliau juga tahu, kalau Fakhri sudah mulai punya jadwal sendiri tentang balagan Kitab.

"Abi senang, kamu mulai ikut aktif kembali berpartisipasi dengan kegiatan para santri. Kerja memang perlu, tapi menyebarkan dan memberikan ilmu adalah bentuk Shodaqoh yang paling menguntungkan. Itu sebabnya, kenapa ilmu yang bermanfaat termasuk dengan Shodaqoh jariyyah? Karena ketika kita mati, akan terus mengalir pahalanya, jika orang yang pernah kita beri ilmu tersebut mengamalkan ilmunya. Juga, ilmu tak seperti harta. Ilmu, semakin kita berikan dan amalkan, maka semakin banyak pula ilmu yang kita dapat. Berbeda dengan harta. Harta akan habis, jika terus-menerus kita pakai, pasti pada akhirnya harta itu pasti akan berkurang."

Fakhri mengangguk, mengamini apa yang di sampaikan Pak Kyai, "iya, Abi. Terimakasih atas wejangannya. InsyaAlloh, Fakhri akan selalu mengingatnya."

"Ngomong-omong, kamu berniat terus tinggal di rumah komplek Pesantren, kan?"

"Belum tahu, Abi. Fakhri gimana Fatah saja."

Pak Kyai mengangguk, Bu Nyai melirik kearah Pak Kyai, sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu.

"Abi, Umi, kalau begitu, Fakhri undur diri dulu. Fakhri belum ketemu sama Fatah setelah pulang dari kantor tadi," ucap Fakhri berpamitan.

Pak Kyai dan Bu Nyai saling pandang. Membuat Fakhri mengerutkan dahinya.

"Oh, i,iya, Gus. Silahkan!" jawab Pak Kyai agak terbata.

"Apa ada sesuatu yang ingin Abi sampaikan pada Fakhri?" tanya Fakhri.

"O, ti,tidak ada. Pulanglah! Fatah pasti sudah menunggumu," jawab Pak Kyai.

Fakhri mengangguk, tak memperpanjang percakapan. Dia menghampiri ayah ibunya, untuk bersalaman.

"Kalau begitu, Fakhri pamit dulu. Assalamu'alaikum," ucap Fakhri sambil mencium kedua tangan orangtuanya.

"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," jawab Pak Kyai dan Bu Nyai bersamaan.

Fakhri berbalik, dan melangkah keluar.

'Plak' "Astagfirullah, kenapa Ibu memukul Bapak?" tanya Pak Kyai ketika pukulan halus mendarat di pahanya.

"Bapak ini, gimana sih? Katanya akan membicarakan tentang keinginan Nok Salma, kok malah membiarkan Attar pulang?" tanya Bu Nyai, ketika dirasa, Fakhri sudah tak lagi berada di sana.

Pak Kyai menghela nafasnya, "ya ... Mau gimana lagi, Bu. Bapak agak canggung sama Attar."

"Bapak ini, masa sama putra sendiri canggung sih?"

"Ibu juga kan tahu, Attar berbeda dengan putra kita yang lainnya. Berbeda dengan Lukman dan Arfan. Attar itu orangnya tak punya banyak warna muka," jawab Pak Kyai.

Bu Nyai kembali memukul, bukan. Lebih tepatnya menepuk, "Bapak ini, memangnya wajah Attar itu pelangi, dikatain berwarna segala."

"Ya, maksud Bapak, tak banyak ekspresi. Datar." sergah Pak Kyai.

"Iya ya, Pak. Kok Attar punya sifat seperti itu, ya? Nurun dari siapa coba?" tanya Bu Nyai.

"Siapa lagi. Dari Ibu lah," jawab Pak Kyai tenang.

Bu Nyai menghadap Pak Kyai, "ish, Ibu gak judes, Ibu itu humble," protes Bu Nyai.

"Oia ya, bibir Ibu-kan ... Sedikit tipis dan mungil, kata orang banyak bicaranya."

"Bapak!" Bu Nyai kembali protes.

"Hahaha, Maafkan Bapak, Ibu!" ucap Pak Kyai sambil merangkul pundak Bu Nyai, "Bapak cuma bercanda. Soal keinginan terakhir Salma, kita bicarakan lagi nanti. Lagian, Bapak lihat, Fakhri akan menjawab sama seperti yang sudah-sudah."

"Tapi, Pak. Kata Gus Arfan--"

"Iya, kita akan mencobanya kembali." potong Pak Kyai.

Bu Nyai menghembuskan nafasnya, kemudian mengangguk.

....

"Waah, Mbak Mila, coba lihat? Bunganya mekar dengan indah, ya?"

Langkah Fakhri terhenti, kala mendengar suara Rifa yang sangat antusias sekali. Adiknya itu sedang berada di kebun bunganya bersama Mila.

"Iya, Nok Rifa. Saya sangat juga senang melihatnya,"

Fakhri ikut tersenyum, ketika dia melihat lengkungan bibir Mila yang sedang tersenyum. 'Ah, manis sekali. Astagfirullah, jaga pandanganmu, Fakhri!' Fakhri segera menundukan kepalanya, ketika hatinya sadar, dia telah menatap Mila. -Wanita yang saat ini, masih belum halal untuknya.-

'Sepertinya, dia sudah selesai mengajar Fatah,' ucapnya dalam hati. Fakhri kembali melangkah menuju pintu rumahnya.

"Itu semua, karena tangan Mbak Mila yang ajaib,"

"Jangan berlebihan, Nok Rifa. Nok yang selalu menyiaminya setiap hari."

"Tante, Note, lihat! Ini indah sekali."

Fakhri kembali menghentikan langkahnya, ketika telinganya mendengar teriakan putranya penuh gembira.

Terlihat Ihsan sedang berlarian kearah Mila dan Rifa dengan penuh antusias.

Serasa ada kupu-kupu dalam perutnya, kala melihat binar bahagia putranya. Fakhri sangat bahagia. Tersenyum, dan kembali melangkah. Dia bukannya tidak mau melihat lebih lama keantusiasan Ihsan. Hanya saja, dia takut, matanya akan kembali belok pada yang lain.

"Lihatlah! Cantik sekali bukan?" terdengar Ihsan kembali berbicara dengan nada gembiranya.

"KYAAAAAAA, hatcim, hatcim, hatcim,"

Fakhri yang semula sudah masuk, kembali keluar, kala mendengar teriakan Mila penuh keterkejutan. Dia melihat wajah Mila yang sudah memerah serta bersin tak tiada hentinya.

Terlihat Rifa dan Ihsan sedang mondar-mandir merasakan kepanikan. Fakhri masih di teras rumahnya menyaksikan kejadian yang begitu tak trduga itu.

Otaknya terus berfikir, kenapa bisa begitu? Apa yang membuat Mila seperti itu?

Seketika Fakhri melangkah kearah dimana ada Mila, Rifa, juga Ihsan, setelah ujung matanya menangkap sesuatu di depan Mila.

"Oia, parfum Papa. Fatah akan ambilkan parfum Papa dulu,"

Fakhri mendengar Ihsan berbicara, berarti dugaannya memang benar.

'Pluk' Fakhri melemparkan sorban yang dia pakai. Yang memang selalu dia pakai ketika sedang Sholat dan juga mengajar.

Sebenarnya Fakhri gak tahu, apakah tindakannya itu tepat atau tidak, tapi mengingat bahwa aroma parfumnya dapat mengurangi alergi Mila, dia refleks melemparkannya. Apalagi ketika Ihsan berseru tentang parfum itu.

Hening. Tidak ada teriakan Ihsan. Tidak ada suara kepanikan Rifa, bahkan tidak ada lagi terdengar suara bersin dari mulut Mila. Bahkan tubuh Mila menjadi kaku layaknya menekan.

Tubuh Fakhri menegang, kala telinganya mendengar degupan jantung milik Mila. Dan sepertinya jantungnya pun ikut terinfeksi. Karena dia juga merasakan sama. Jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya.

"Fatah, kamu sudah tahukan? Bahwa Nona Kamila ini, alergi yang berbau ulat?" Fakhri berkata pada putranya. Seolah sedang menegurnya.

Terlihat Ihsan salah tingkah, sepertinya ini bukan di sengaja. Ihsan melupakan alergi Mila. Catat! Bukan disengaja.

"Bawa Nona Kamila-nya masuk kedalam, Gus! Berikan dia minuman hangat."

Ihsan mengangguk antusias, "ayok, Note!" ajak Ihsan.

Setelah Ihsan berlalu bersama Mila. Fakhri tidak dapat menyembunyikan senyumannya, dia menunduk, kemudian menggeleng, "seorang gadis, takut kupu-kupu? Lucu sekali," gumamnya.

Fakhri mendongak, dan matanya bertubrukan dengan mata Rifa yang masih melongo, terkejut.

"Ekhem, Nok," Fakhri mencoba memanggil adiknya dengan nada senormal mungkin. Sungguh. Ini kaki pertama dia tercyduk, apalagi oleh adiknya sendiri.

"YA!" Rifa refleks menjawab dengan keterkejutan yang nyata, "Ma,maaf, Mas! Euma ... Tidak apa-apa, m,maksud Rifa, hanya panik. Ya, hanya panik," Rifa menjawab dengan gugup.

-Aneh, yang tercyduk siapa? Yang gugupnya siapa?-

Fakhri menganggukkan kepalanya, lalu berbalik dab melangkah, 'Astagfirullah! Macam abegeh saja kau, Fakhri!' tegurnya dalam hati.

..........

"Hihihi."

Ihsan tak bisa menghentikan tawanya, ketika ingatannya terus memutar kejadian kemarin sore. Andai saja dirinya tahu akan ada kejadian seperti kemarin, dia akan merekamnya, dan menjadikannya sebuah film. 'Wkwkwkwk' Ihsan tertawa dalam hatinya kala terlintas idenya itu.

"Gus Fatah."

Ihsan menoleh, dan seketika senyumannya menjadi mengerucut, ketika mengetahui siapa yang memanggilnya.

Arfan tersenyum, kala melihat sikap Ihsan. Dia juga merasa bingung, kenapa Ihsan selalu bersikap jutek bila bertemu dengan dirinya.

"Assalamu'alaikum, Gus Fatah," Arfan menyapa lembut.

"Wa'alaikumussalaam," tapi Ihsan menjawab datar.

'Benar-benar replika ayahnya,' ucap Arfan dalam hati.

"Sedang ngapain, Gus?" tanya Arfan kembali.

"Sedang tidak ingin di ganggu," jawab Ihsan sambil memalingkan wajahnya.

Ihsan masih sebal pada Arfan, karena otaknya terus mengingat kejadian itu, kejadian dimana Arfan sempat membantu Mila mengumpulkan belalang.

Arfan tersenyum, dia memaklumi sikap Ihsan, tapi dia juga tidak akan menyerah, "waah kalau begitu, Maaf sekali, ya! Karena kedatangan Om kesini ada keperluan dengan Gus Fatah."

Arfan sengaja tidak basa-basi lagi. Karena ia tahu, Ihsan akan terus menolaknya.

"Om ada keperluan apa sama Fatah?" tanya Ihsan mulai kepo. Walau hatinya sudah waspada. 'Ingat! Om Arfan adalah saingannya dalam merebut hati Note-nya,' ucap Ihsan dalam hatinya.

"Ini menyangkut tentang ..." Arfan sengaja menggantungkan kalimatnya, agar Ihsan semakin penasaran, "Ibumu."

"Ibu?" tanya Ihsan refleks, "maksud Om, Mama Fatah?"

Arfan tersenyum, lalu mengangguk, "iya, Om punya cerita tentang Mamamu."

Terlihat wajah Ihsan menjadi sangat penasaran, pasalnya selama ini tidak ada yang mengungkit-ungkit tentang ibunya. Tapi, kenapa Omnya yang satu ini tiba-tiba berbicara tentang ibunya.

"Apa itu?" tanya Ihsan penasaran.

Arfan tersenyum, bersyukur, Ihsan mau mendengarkan.

"Begini, ..."

................

Universitas Indonesia. Jakarta.

"Ekhem, Nona yang di sana! Apakah anda berniat mendengarkan pelajaran saya?"

Semua orang menoleh ke salahsatu murid yang di tunjuk oleh sang dosen. Mereka tak berani bergerak, karena merasa takut pada gurunya itu. Apalagi julukannya saja udah 'Dosen Otoriter' dan sekarang ditambah aura sang Dosen sangat gelap sekali. Sehingga julukan 'Killer' pun sangat terhormat untuk Dosen tersebut.

Salahsatu mahasiswi disana memutar bola matanya. Dia berdiri, dan dengan angkuhnya berjalan menghampiri murid yang mungkin sedang melamun itu.

'BRAK'

"Astagfirullah."

Sang murid yang melamun Zahra, murid yang melamun itu mengusap dadanya berkali-kali, ia mendongak, dan mendapati wajah sombong Jessica yang sedang bersedekap dada.

"Ada apa ya, Mbak Jessica?" tanya Zahra.

Jessica yang berubah gaya menjadi bertolak pinggang, akan menyemburkan layarnya, kalau saja ...

"Nona Zahra, apakah anda berniat mendengarkan pelajaran saya?" suara Juand tidak menengahi.

Zahra menatap sekelilingnya, dia menunduk, kala sadar bahwa dirinya sedang menjadi pusat perhatian.

"Mohon maaf, Pak," ucap Zahra.

"Sekali lagi saya melihat anda tidak memperhatikan pelajaran saya, lebih baik anda kembali pulang. Mengerti?" ucap Juand penuh intimidasi.

"Baik, Pak," jawab Zahra sambil mengangguk.

"Jessica, kembali ke tempat duduk!"

Jessica mendengus kearah Zahra, lalu kembali berjalan ke tempat duduknya.

"Haaahhh," Zahra menghembuskan nafasnya. Semenjak dia di keluarkan dari pekerjaannya(menjadi AsDos) Zahra menjadi seperti tidak semangat lagi. Apalagi jika harus bertemu dengan Juand dan lintahnya itu.

Lintahnya? Iya. Lintahnya. si Jessica. Dia itukan seperti Lintah. Terus menempel kepada Juand.

'Astagfirullah, Allohu Akbar! YaAlloh, kenapa dirinya menjadi begini sih? Tak seharusnya dia mencampuri urusan orang lain, apalagi sampai mengatai orang lain lintah segala. YaAlloh, ampuni hamba!' racau Zahra dalam hatinya.

Pandangan Zahra kembali kepada Juand yang sedang memberikan arahan kepada muridnya, seketika Zahra menunduk, kala hatinya mengatakan bahwa dia menatap Juand bukan sekedar menatap orang yang sedang memberikan ilmu padanya, melainkan menatap Juand sebagai seorang ...

"Nona Zahra."

Zahra langsung mendongak, kala suara Juand memecahkan lamunannya kembali.

"Maaf, Pak. Sepertinya, saya memang membutuhkan pulang untuk saat ini," ucap Zahra sambil berdiri, kepalanya dia anggukan syarat kesopanan.

Tanpa memperdulikan keadaan setempat, Zahra terus melangkah menuju kearah pintu. Kalau saja dia punya pintu doraemon, dia rasanya ingin masuk kesana. Agar dirinya tidak melewati Dosen Otoriter itu.

'Manusia gagal move on,' seketika langkahnya terhenti, kala telinganya mendengar bisikan Juand. Tapi, hanya sebentar. Dia melanjutkan langkahnya, meski dalam hati terus bertanya, apa maksud ucapan Juand tersebut? Manusia gagal move on? Dia yakin, bahwa bisikan itu di tujukan pada dirinya.

"Ahhhhhh," Zahra menghembuskan nafasnya kembali, ketika dia sudah duduk di kursi taman. Sekarang menunjukan pukul sebelas.

Memejamkan matanya, mencoba untuk menenangkan jiwanya, yang entah kenapa akhir-akhir ini dia merasa tidak enak hati. Tak nyaman, ada rasa marah, tapi entah kepada siapa.

'Drrrt' ponselnya bergetar, tangannya membuka tasnya, dan mengambil benda pipih persegi itu. Bibirnya melengkung senang, kala melihat siapa yang menelponnya.

"Assalamu'alaikum, Kamila," sapanya antusias.

"...."

"Aku baik. Kamu?"

"...."

"Heeeeh," Zahra menghembuskan nafasnya sambil cemberut.

"...."

"Gak ada apa-apa, cuma lagi bete aja."

"...."

"Tidak, Pak Juand sudah tidak menggangguku lagi."

Terdengar helaan nafas lega dari seberang sana. "...."

"Iya," 'tapi, aku yang merasa tak nyaman,' lanjutnya dalam hati.

"...."

"He-em, aju juga akan pulang tak lama lagi, Mila sayang. Tunggu aku di sana, ya! Pokoknya sebelum kamu pulang, aku akan pulang paling dahulu," ucap Zahra mencoba mengalihkan pembicaraan dari si Dosen otoriter itu.

"Halo, Mil. Mila. Kamu masih di sana kan?" tanya Zahra. Ketika tidak ada sahutan dari sahabatnya itu.

"...."

"Kirain kamu kemana? Oia, kamu sering hubungi om sama tante bukan?"

"...."

"Iya, tak terasa, waktu kabur mu hanya enam minggu lagi. Wkwkwkwk,"

"...."

"Iya maaf, cantik! Hehehe. Puas-puasin deh ya di sana. Semoga pas kamu pulang, kamu bawa gendolan cogan buat di setorin sama Pak Kakek. Hihihi."

"...."

"Wkwkwk, ya semoga aha kali, hihi."

"...."

"Iya, yuk! Assalamu'alaikum."

"...." 'klik'

"Haaaaah, ASTAGFIRULLAH."

Zahra menjerit kaget, ketika sesuatu yang dingin menempel di pipi kanannya.

Dia menoleh, dan seketika matanya mendelik, kearah sang tersangka.

"Ish, Bapak ngagetin aja. Kalau saya kena penyakit jantung, tanggung jawab!"

Orang yang di cerca hanya menatap datar Zahra. Tangannya menyodorkan satu kaleng larutan dingin.

Dahi Zahra mengerut, bingung, "ini apa?" tanya Zahra.

"Ck, anda mendadak tidak bisa membaca juga? Setelah seharian ini tidak fokus sama pelajaran saya. Andapun mengalami amnesia terhadap huruf?"

Zahra mendelik, bibirnya mengerucut, "buka begitu maksud saya, saya tidak sedang sariawan. Jadi tidak memerlukan itu. Dan kalau bicara, di saring kek! Itu mulut, apa bon cabe?"

"Ini, ambilah!" ucap orang itu. Yang tak lain adalah Juand.

"Untuk apa?"

"Saya harus memastikan, bahwa anda masuh baik-baik saja. Sebelum anda mengatakan, dimana keberadaan adik saya, otak anda harus tetap tegak. Jangan berkurang sedikitpun," ujar Juand sambil berlalu.

Zahra melotot, lalu terdengar lirih dia menyerapahi Juand. 'Sakit perut tahu rasa.'

"Satu lagi," Juand menghentikan langkahnya, "cobalah untuk move on, Nona! Jangan terus terkurung di masalalu!" lanjut Juand penuh teka-teki.

Zahra langsung menoleh kearah Juand, 'siapa yang di sebut gagal move on itu? Dirinya kah? Astagfirullah ... Jadi Juand tahu, kalau dirinya gagal move on dari asisten Dosennya? Ck, sombong sekali. Lihat saja.sebentar lagi dia akan melupakan pekerjaannya itu.'

........

Annur dua. Bululawang. Malang. Jawa Timur.

'Klik'

"Ahhhh" Mila menghela nafasnya, dia sempat melupakan, bahwa dirinya hanya punya waktu sebulan setengah lagi di sana. Padahal ... Dia sudah betah disini.

Mampukah Mila melepas begitu saja? Rasanya akan berat. Apalagi ada seseorang yang membuatnya enggan pulang kerumahnya. Siapa kalau buka Ihsan. Gus Ihsan yang pintar dan manis.

Ya, manis. Manis sekali. Gus kecil itu sudah berubah menjadi madu setelah menjadi lebah sebelumnya.

"Aaaahhhh" Mila sekali lagi menghembuskan nafasnya.

"Kenapa, Mbak Mila?" Anisa yang melihat tingkah Mila, menghampirinya, dan bertanya.

"Ah, oh, itu, tidak apa-apa, Mbak Nisa," jawab Mila tersenyum.

"Sepertinya, Mbak Mil--"

"Hancur sudaaaaah, haraapankuuuu."

Ucapan Anisa terhenti, ketika suara nyanyian melengking jelas dari seseorang yang baru saja masuk ke kamar mereka.

Terlihat Rohmi sedang berlagak menyanyi dengan kedua tangannya yang ikut ber-atraksi.

Mila terkekeh, merasa geli. Sedang Anisa menggelengkan kepalanya.

"Mbak Rohmi, tidak baik lho. Seorang wanita meninggikan suaranya. Tidak takut apa, di dengar laki-laki ghoir mahrom kita?" Anisa menegur halus Rohmi.

Rohmi hanya cengengesan, lalu mimik mukanya kembali mendramatisir.

"Aku baru saja patah hati, Mbak Anisa," logat Rohmi sepilu mungkin.

"Kenapa?"

"Mbak tahu gak? Kalau sebentar lagi, calon istri Gus Fakhri akan pulang. Itu berarti, sebentar lagi, Gus Fakhri sudah bukan duda lagi. Huwaaaaaa,"

'DEG' jantung Mila serasa berhenti. Tubuhnya menegang. Hatinya bergetar kuat. Otaknya 'blank' seketika. 'Apa? Calon istri?'

'Astagfirullah!' Mila menggelengkan kepalanya terus-menerus. Kala hatinya mengakui sesuatu. Dia terus beristigfar. Memohon ampun, dan meminta agar Alloh mengenyahkan pikiran tersebut.

Anisa langsung melirik Mila, kala ucapan Rohmi telah berhenti. Tangannya memeras pundak Mila, berharap Mila sadar akan tingkahnya.

"Mbak Mila kenapa?" tanya Rohmi.

"Ah, neng,enggak apa-apa k,kok," jawab Mila kikuk.

Tangan Anisa masih memegang pundak Mila.

"Cukup, Mbak Rohmi! Apapun itu, bukan urusan kita."

Rohmi cemberut mendengar teguran Anisa.

"Calon istri?" Mila bergumam.

Seolah mendapatkan jalan, Rohmi menganggukkan kepalanya berulang kali, menghiraukan teguran kecil lainnya dari Anisa.

"Iya, Mbak Mila. Calon istri Gus Fakhri itu, adalah adiknya Gus Arfan yang sekarang sedang berkuliah di luar kota. Menurut yang aku dengar, sebentar lagi dia akan pulang. Dan akan langsung mengadakan resepsi akad pernikahan. Aku--"

"Mbak Rohmi, sudah! Jangan berani-beraninya menyebarkan segala sesuatu yang di dengar. Apalagi kita tidak tahu sebenarnya," Anisa menghentikan ucapan Rohmi. Bukan karena melihat reaksi Mila saja. Tapi, dia juga merasa kasihan, bila nanti Rohmi akan mendapatkan masalah sari hasil menggosipnya itu. Dia menyayangi keduanya. Mila dan Rohmi.

Seolah tak bernyawa, Mila juga ikut-ikutan tak mengindahkan Anisa.

"Kalau boleh tahu, siapa namanya?"

"Namanya adal---"

'Toktoktok' ucapan Rohmi seketika terhenti, karena ada yang mengetuk pintu.

"Assalamu'alaikum, maaf mengganggu! Mbak Mila, Gus Arfan ingin bertemu dengan Mbak. Beliau sedang menunggumu di ruang kantor santriwati," ucap salahsatu santri putri di sana.

"Aahhhh, baiklah. Terimakasih," ucap Mila.

Dia menoleh kearah Anisa dan Rohmi untuk berpamitan.

Anisa menghembuskan nafasnya, lalu menoleh kearah Rohmi yang sedang mematung, mungkin Rohmi kaget. Orang yang sedang di bicarakan, malah memanggil salah satunya, 'sepertinya, ucapan Anisa benar.'

Mila melangkah dengan otak dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. 'Siapa calon istri Gus Fakhri?'


sumber : WAG

Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Satu Syarat2




JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (20)

Judul : dengan satu syarat. 2

"Saya sudah mengikhlaskan parfum itu. Saya ikhlas memberikannya pada anda, Nona."

Mila menghela nafasnya lega. Ah, ternyata Alhamdulillah ...

"Tapi, dengan satu syarat."

"Ck, katanya ikhlas, tapi kok nuntut," tanpa sadar, Mila bergumam.

"Ekhem. Maaf, Nona! Saya mendengarnya."

Mila langsung menggigit jarinya dan memejamkan matanya rapat. 'Astagfirullah ...'

"Apa kira-kira syaratnya, Gus?"

"Syaratnya ... Nona harus bersedia menjadi ibu---"

"Appa???" Mila refleks menjerit. 'Dag-dig-dug, dag-dig-dug, dag-dig-dug,' jantungnya berdetak sepuluh kali lipat cepatnya.

'Apa tadi katanya? Ibu?'

Fakhri berjingkat kaget, kala jeritan Mila melengking tiba-tiba. Tubuh Fakhri menegang, mendengar debaran jantung milik Mila. 'Kenapa dia kaget? Apa ada yang salah dengan ucapanku?' tanya Fakhri dalam hati.

"Ekhem, Nona, anda tidak apa-apa?" tanya Fakhri hati-hati. Dia tidak bisa melihat raut muka Mila, karena saat ini mereka di halangi oleh lemari buku. Tapi, Fakhri dapat memastikan, kalau Mila sangat syok dengan ucapannya. Terlebih, dia mendengar suara detak jantung Mila. Meski tidak begitu jelas.

Tidak ada sahutan, ataupun jawaban dari Mila, membuat Fakhri terus mengingat, apa yang barusan dia katakan.

Seulas senyum terukir dibibir pria tersebut, kala ia mendapatkan satu kesimpulan, 'mungkinkah Nona Kamila ini, mengira ...'

"Ekhem, maaf, Nona! Sepertinya saya belum selesai bicara," ucap Fakhri setenang mungkin. Entah mengapa, dia ingin sekali tersenyum.

"Haah?" bukannya mereda, jantung Mila semakin berpacu hebat. Bahkan, mukanya sudah sangat panas. Tangannya berkeringat. 'Astagfirullah... Kenapa aku sangat keterlaluan? Bisa-bisanya aku memotong ucapan Fakhri, apalagi dengan lengkingannya itu. Bagaimana kalau Fakhri tahu, kalau dirinya sempat galfok dengan kata ibu itu?'

"Ma,maafkan s,saya, G,gus!" Mila berkata dengan terbata.

"Tidak apa-apa. Jadi, bisakah saya meneruskannya?"

Mila menganggukkan kepalanya.

"Nona, bagaimana? Apakah saya bisa melanjutkan perbincangannya?" tanya Fakhri, karena Mila tak kunjung menjawabnya.

"A,ah .. I,iya, Gus. Silahkan!" jawab Mila sambil menepuk jidatnya. Kenapa malah melamun sih? Ini lagi, jantungnya masih belum berdetak normal. 'Jantung, oh jantung, tenanglah!'

"Syaratnya, adalah ... Saya meminta Nona agar bersedia menjadi ibu pembimbing putra saya."

'Blushhh' andai ada yang tahu, bagaimana kondisi wajah Mila saat ini. 'YaAlloh ... Kenapa dia sempat berpikiran, kalau tadi Fakhri memintanya menjadi ...' 'tidak, tidak, tidak!' Mila menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Saya yakin, Nona bisa membuat putra saya menjadi anak yang penurut," lanjut Fakhri. Tanpa tahu, orang yang sedang di ajak bicaranya, masih menenangkan jantung dan hatinya.

"Ba,bagaimana anda yakin? Bahkan sampai saat ini, G,gus Ihsan selalu membuat saya jantungan," jawab Mila dengan suara pelan.

"Saya pastikan, bahwa ucapan saya bisa di andalkan. Mungkin Nona berfikir, bahwa putra saya bersikap seperti itu ke semua orang. Tapi, nyatanya, sifat jahil tersebut, setelah dia bertemu denganmu, dan hanya kepadamu saja, Nona."

"Jadi, menurut anda, saya telah membawa pengaruh buruk pada putra anda, begitu?" tanya Mila nyolot. Dia merasa tak terima bahwa dia seolah pihak tersangka di sini.

"Bukan. Jangan! Maksud saya, bukan begitu. Saya tidak ada sedikitpun menyalahkan anda, Nona. Saya justru berterimakasih pada Nona. Krarena Nona, bisa membangun sifat Fatah yang seharusnya."

Mila benar-benar tidak begitu faham dengan ucapan Fakhri, membangun sifat yang seharusnya? Apa itu? Jadi, sifat menyebalkan Ihsan itu adalah sifat yang seharusnya? 'Arrgh. Gak mengerti aku, dia jadi bingung harus menjawab apa. Dia takut salah alamat lagi, kayak tadi. Tentang menjadi Ib-- lupakan!'

"Maaf, Gus. Saya tidak faham," Mila rasa, itu adalah tanggapan yang paling aman.

"Sifat Fatah selama ini, cenderung tenang dan santai. Cuek, dan tak pernah peduli terhadap sekitarnya. Selalu bersikap seperti orang dewasa," Fakhri mencoba menjelaskan.

"Masa sih? Kok, aku gak percaya," lagi-lagi, Mila bergumam tanpa sadar.

Fakhri tersenyum, 'sudah ku duga, Nona ini pasti tak akan mudah percaya.'

"Tapi, itulah kenyataannya, saya melihat tingkah Fatah yang jail, suka cemberut jika tak dituruti, selalu bercerita tentang masalahnya, itu setelah dia bertemu dengan anda, Nona. Bahkan, saya tidak mengira, bahwa dia akan menjebak saya seperti sekarang ini. Saya memang tidak setuju, bahkan marah dengan kelakuannya saat ini. Tapi, terlepas dari itu semua, saya merasa bersyukur, setidaknya dengan sikap nakalnya itu, saya bisa menyimpulkan, bahwa dia masih sosok seorang anak kecil, yang bertindak tanpa berfikir dahulu."

Mila menghela nafasnya, "tapi, saya merasa tidak yakin, Gus. Saya takut, kenakalan putra anda, akan bertambah akut, jika saya yang menjadi mentor belajarnya."

"Saya berani menjamin itu. Sudah saya katakan bukan? Dia hanya bersikap seperti itu hanya terhadap Nona saja. Katakan saja, dia bersikap seperti itu, karena dia ingin mendapat perhatian dari anda, Nona."

"Perhatian dari saya? Kok bisa? Gus Ihsan ingin perhatian dariku?"

"Untuk soal itu, Nona bisa tanyakan langsung pada Fatah, dan ... Ekhem, saya tidak bisa mendengar kata 'tidak' dari jawaban anda," tandas Fakhri pada akhirnya. Sebenarnya, Fakhri sangat ingin lebih banyak waktu untuk berbincang dengan Mila. Tak dapat dipungkiri, dia juga merasa nyaman mengobrol dengan gadis di balik lemari itu. Tapi, dia sadar. Situasi ini akan menimbulkan banyak konsekuensi. Seperti pikiran negatif dari luar, dan juga tidak menutup kemungkinan syetan datang di waktu yang tak disangka-sangka.

"Sepertinya, perbincangan kita cukup sampai disini, Nona. Saya minta maaf, atas semua kenakalan yang dibuat putra saya terhadap anda. Percayalah! Berikan dia perhatian lebih, maka ia tak akan berbuat nakal lagi terhadap anda," ucap Fakhri. Dia sudah beranjak dari duduknya menuju pintu keluar.

Sedangkan Mila masih bingung dengan kata 'perhatian' itu. Oh, tak bisakah Gus duda itu, bicara yang sedikit lebih jelas? Dia yang bingung sendiri bukan? Terus apa yang harus dia lakukan untuk kata memberi perhatian itu? "Argh! Pusyiang," Mila mengacak kerudungnya.

"DORDORDOR, FATAH, BUKA PINTUNYA!" Fakhri kembali menggedor pintu, sambil memanggil putra nakalnya itu.

Terdengar suara kunci diputar, dan 'Ceklek' pintu terbuka.

Fakhri yang niat awalnya akan langsung menegur putranya, langsung berganti raut muka bingung, kala Mbok Sum lah yang membukanya, "lho, kok Mbok yang bukain pintu? Fatah mana, Mbok?" tanya Fakhri.

"Anu, Tuan. Den kecil ikut Non Rifa keluar, dan Astagfirullah, itu hidung Tuan kenapa berdarah?" si Mbok tak melanjutkan ucapannya, ketika matanya melihat hidung majikannya mengeluarkan darah.

"Oh, ini. Tidak apa-apa, Mbok. Oia, Mbok, sepertinya Nona itu belum tahu kalau saya sudah keluar, tolong samperin dia, ya!" ucap Fakhri sambil melangkah hendak meninggalkan tempat.

"Lho, bukannya Tuan sama Ning ayu bersama di dalam? Kenapa Ning ayu tidak tahu Tuan keluar?"

Fakhri menghentikan langkahnya, dan berbalik serta tersenyum, "kami memang satu ruangan. Tapi, kami tidak saling berhadapan, Nona itu berada di balik lemari buku, Mbok," jawab Fakhri, setelah itu langsung berbalik kembali, dia merogoh saku celananya. Mendial nomor seseorang.

Mbok Sum tersenyum, merasa lega. Setidaknya mereka masih bisa menjaga satu sama lainnya, meski dalam satu ruangan. Tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Mbok Sum melangkah memasuki ruangan kerja majikannya. Ternyata benar, Mila masih termenung di sana.

"Ning ayu," ucap Mbok Sum sambil menepuk pelan pundak Mila.

"Astagfirullah ..." Mila terlonjak kaget saat merasakan tepukan itu, menoleh, dan menghela nafasnya, "Mbok," ucapnya sambil mengurut dadanya.

...........

"Gus, kenapa kamu sekarang jail pada orang sih?" tanya Rifa ketika mereka sudah di rumahnya Mina.

"Aku gak jail, Tante," jawab Ihsan cemberut.

"Lalu apa yang kamu barusan lakukan pada Mbak Mila?"

"Aku hanya menjalankan tugas," jawab Ihsan singkat.

"Tugas?"

"Ya, tugas. Otak Fatah yang memberikan tugas itu. Tante tahu? Note-ku sangat takut pada Papa, aku tak suka Note-ku takut sama Papa. Makanya Fatah merencanakan ini semua. Note harus tahu, bahwa Papa adalah orang baik," jawab Ihsan antusias.

Rifa menatap Ihsan lekat sekali. Kenapa Ihsan begitu peduli dengan Mila?

"Gus."

"Ya?"

"Apa kamu ingin Mbak Mila menjadi ibumu?" tanya Rifa hati-hati. Dia sebenarnya ragu, apakah Ihsan tahu maksud pertanyaannya atau tidak.

Ihsan menatap Rifa, "ibu? Kan ibu Fatah sudah meninggal, Tante."

"Maksud Tante, ibu pengganti."

Ihsan langsung mendelik kearah Rifa, "tak akan ada yang bisa menggantikan Mama, mama Fatah hanya satu," jawabnya ketus.

"Lalu, kenapa kamu bersikeras membuat Mbak Mila agar tidak takut pada Papamu, Gus?"

"Karena itu sebagian dari rencana awal Fatah."

Rifa mengernyit bingung, "rencana awal? Apalagi tuh?"

"Rencana awal. Fatah bertekad akan membuat Note klepek-klepek sama Papa," jawabnya sambil mengepalkan tangannya di simpan di depan dadanya. Terlihat binar matanya sangat hidup penuh semangat.

Rifa menganga, lalu menepuk jidatnya, "Fatah, kamu keterlaluan."

Ihsan cemberut disebut keterlaluan.
"Aku tidak keterlaluan, Papa orang yang paling tampan, aku gak suka, Note malu-malu jika bertemu dengan om Arfan. Om Arfan kegenitan, suka godain Note-ku."

'Deg' ^om Arfan suka kegenitan, suka godain Note-ku,^ tiba-tiba ucapan Ihsan yang terakhir sangat mengusik hatinya.

Rifa menghembuskan nafasnya, ternyata tidak mudah melupakan cinta yang telah mengakar kuat, meski tanpa dia pupuk. Bahkan Rifa sudah berusaha untuk mematikannya. Namun, sebesar dia berniat menghapus, sebesar itu pula keinginannya untuk lebih berharap. Tanpa dia sadari, nama Arfanlah, lelaki yang selalu mengisi disetiap hembusan do'anya.

Arfan cinta dalam diamnya, yang tak akan pernah bisa dia gapai.

"Sedang membicarakan apa sih? Serius banget," Mina datang sambil membawa cemilan.

Rifa tersenyum, "tidak usah repot-repot, Nok. Mana mas Lukman?"

"Mas Lukman pergi ke kantor, om Attar menelponnya, dia tidak bisa ke kantor karena katanya ada urusan sama Fatah. Tapi, kenapa Fatah ada disini?" ucap Mina, heran. Tak mungkinkan suaminya berbohong.

Rifa menghela nafasnya, "Fatah sengaja kesini, karena takut dihukum ayahnya. Dia telah membuat satu kesalahan."

Mina mengernyit dahinya, bingung. Pasalnya, seingat Mina, Ihsan tak pernah membuat omnya itu marah.

"Panjang ceritanya. Oia, udah berapa bulan ini baby?" ucap Rifa sambil mengelus perut Mina.

"InsyaAlloh, menginjak bulan ke lima," jawab Mina bahagia, "Tante kapan nyusul?" tanya Mina pada Rifa.

Rifa hanya menghela nafas, lalu cemberut.

"Aku yakin, mas Arfan juga mempunyai rasa terhadapmu. Dia keras kepala, ya. Padahal, meskipun adiknya akan di jadikan ibu dari Fatah. Diapun bisa menikahi Tante."

Rifa menoleh kearah Mina, 'Astagfirullah, dia lupa. Bahwa adik Arfan adalah gadis yang di wasiatkan oleh mendiang kakak iparnya.'

'YaAlloh, bagaimana ini? Sedangkan Ihsan sudah terlanjur tertarik terhadap Mila. Rifa tahu, meskipun Ihsan mengatakan tidak akan ada yang menggantikan sosok ibunya, tapi tanpa Ihsan mengerti, bahwa dirinya sudah sangat bergantung pada sosok Mila. Bagaimana ini?'

'Drrt' ponsel Rifa bergetar, dia melihat siapa yang menelponnya, matanya membulat kala melihat nama kakak laki-lakinya tertera di sana.

"Gus, Papamu menelpon Tante, nih kamu yang angkat!" ujar Rifa sambil menyodorkan ponselnya.

"Iiih, Papa nelpon ke Hpnya Tante, jadi Papa perlunya sama Tante. Jadi, yang angkat harus Tante dong. bilangin Papa, ya. Fatah akan menginap di rumah nenek," ucap Ihsan sambil berlalu.

Ihsan yakin, Papanya tidak akan berani memarahinya, jika dia bersama neneknya. 'Yes, aku aman,' Ihsan berjingkrak dalam hati.

Rifa menghembuskan nafasnya, "halo, Assalaamu'alaikum."

...........

Universitas Indonesia. Jakarta.

"Ekhem, Nona Zahra."

Zahra yang semula sedang berkutat di laporan nilai siswa, mendongak, kala mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata dosen otoriternya. Dahi Zahra berkerut, ketika dia melihat Juand tidak sendirian, melainkan bersama seseorang.

"Nona, mulai saat ini, anda tidak perlu membantu saya lagi," ucap Juand dingin, "pekerjaanmu akan di ganti sama Jessica," lanjutnya.

Zahra seketika terkejut, namun hanya sesaat. Dia mengangguk seraya tersenyum antusias, " baik, Pak. Terimakasih," ucapnya semangat.

Juand tidak membalas, melainkan tersenyum sinis sambil berbalik. Jessica tersenyum mengejek kearah Zahra, sebelum mengikuti langkah Juand.

"Aahh ..." Zahra menghela nafasnya, setelah kepergian Juand dan Jessica. Seharusnya dia lega kan? Bahagia kan? Dia tidak akan berurusan lagi dengan dosen otoriter itu? Tapi, kenapa hatinya tidak merasakan kelegaan itu? Malah cenderung tidak nyaman, dan sedikit menyesal dengan keputusan Juand.

Zahra menggelengkan kepalanya, kala sekelebat pikiran masuk pada hatinya. Zahra Segera membereskan barang-barangnya, dia ingin segera keluar, agar pikirannya kembali normal.

'Dia, tidak mungkin tertarik pada dosen otoriter itu, bukan?'

...............

Malang. Jawa Timur.

"Mas, katanya hari ini ada meeting di kantor, ya?" tanya Mina ketika menyiapkan pakaian suaminya. Hari ini adalah hari senin.

"Ya. Tapi, Mas sudah minta izin pada Gus Attar, akan menemanimu memeriksa kandunganmu," jawab Lukman lembut.

Tubuh Mina menegang, "kenapa harus izin sih? Biar aku sendiri saja yang periksa."

Lukman menatap lekat istrinya. Merasa ada yang tak beres. Pasalnya, sudah beberapa kali dia ingin ikut pemeriksaan, Mina selalu menolak.

"Mas, jangan menatapku seperti itu! Serem tahu," ucap Mina pura-pura merajuk, "oke, periksanya sama Mas. Tapi, setelah Mas ikut meeting, ya!"

Lukman menghela nafasnya, "sebenarnya kenapa sih kamu gak bolehin Mas ikut periksa anak kita? Mas juga kan ingin mendengar detak jantungnya, melihat tubuhnya yang sedang bergerak di dalam," keluh Lukman.

Lukman tidak menyadari, ucapannya membuat Mina harus mati-matian menahan gejolak di hatinya. Dia menggigit bibir dalamnya kuat, agar dia tak menumpahkan tangisannya. Sungguh. Dia sangat berdosa kepada suaminya itu. Tapi, dia juga tidak ingin kehilangan anaknya. Dia takut, kalau suaminya tahu. Dia akan memaksanya menggugurkan kandungannya.

"Hei, hei, kenapa malah menangis? Oke, maafkan, Mas! Tapi, berhenti menangis!" Lukman kaget, karena tiba-tiba saja, airmata Mina mengalir, mungkin ini adalah efek kesensitifan istrinya karena sedang hamil. Diraihnya tubuh mungil itu kedalam pelukannya.

Mina semakin tergugu, tangannya terus memukul dada suaminya. Dia berharap, suaminya mengira bahwa tangisannya itu atas dasar kelabilannya yang sedang hamil.

"Mas jahat, Mas nuduh aku. Hiks, hiks, hiks."

"Maaf, Mas minta maaf. Mas tidak bermaksud seperti itu," ucap Lukman sambil terus mengecup kening istrinya dan tangan kanannya mengelus punggung Mina.

"Kan udah dibilangin. Kita periksa bersama, setelah meeting Mas selesai, anak kita, gak mau Ayahnya bolos kerja sesuka hatinya," ucap Mina dengan nada merengek.

Lukman terkekeh, "baiklah, Mas akan kerja dulu. Puaskan? Heum?"

Mina tersenyum, dia mengecup pipi Lukman sekilas, "terimakasih, Ayah. I love you," ucap Mina memeluk kembali tubuh suaminya.

Lukman membalas pelukan istrinya. Mengecup berkali-kali kening Mina, "i love you so much, Bunda," bisik Lukman amat sangat tulus.

Mina semakin mengeratkan pelukannya, menghirup aroma suaminya sangat dalam. 'Aku sangat percaya, kamu mencintaiku, Mas. Tapi, aku juga tahu, di dasar hatimu yang lain, kau masih menyebut namanya.'

,.........

PonPes Al-Zamil.

Wajah penuh keceriaan selalu terpatri di wajah kecil milik Ihsan. Semenjak Mila menjadi guru pembimbingnya, tak pernah sekalipun Ihsan tidak tersenyum.

Wajahnya begitu penuh warna. Benar apa yang dikatakan Fakhri. Ihsan tidak lagi berbuat onar,  semenjak Mila selalu berada disisinya.

Meski tidak setiap hari mereka bertemu. Ihsan tidak keberatan, dua hari sekali, Mila akan kerumahnya. Bahkan, sekarang Mila suka membantu Rifa mengurus kebun bunganya.

Bukan hanya Ihsan saja yang merasakan bahagia itu, pun dengan sang ayah, yang bahkan tanpa ia sadari selalu menunggu hari dimana Mila akan kerumahnya.

Lucu sekali, Mila selalu mendapatkan perhatian, berupa hadiah, ataupun makanan dari keduanya. Yang membuatnya lucu adalah, ketika yang memberikannya Ihsan, maka Ihsan akan berkata, bahwa itu pemberian Ayahnya, begitupun dengan Fakhri. Dia akan berkata bahwa sesuatu yang diberikannya itu, adalah atas desakan Ihsan.

Seringnya mereka bertemu dan berinteraksi, tak memungkiri membuat satu perasaan asing tumbuh pada keduanya. Fakhri selalu merasa ada percikan kabahagian jika melihat Mila, bahkan dia suka terpergok senyum-senyum sendiri oleh Mbok Sum.

Begitupun dengan yang dialami Mila. Terkadang dia selalu tertawa bahkan tiba-tiba merasakan wajahnya memanas bila mengingat ayah Gus kecil itu.

Dan itu juga tidak menutup sekelilingnya merasakan perubahan itu. Anisa sang sahabatpun merasakan keganjilan pada diri Mila. Begitupun dengan Rifa juga ... Arfan.

Rifa selalu menolak bahwa perubahan kakaknya itu adalah semata merasa ikut senang atas keantusiasan Ihsan terhadap Mila. Tapi, bagi Arfan, itu adalah sebuah ancaman. Dia bahkan sudah mengantisipasi segala kemungkinan tersebut dengan berdiskusi tentang perjodohan Fakhri atas keinginan terakhir mendiang Salma pada Bu Nyai dan Pak Kyai.

Dia tidak akan membiarkan semua yang pengorbanannya sia-sia. Terlebih ... Kebahagiaan adiknya adalah tujuannya dia hidup saat ini.

.......

"Waah, Mbak Mila, coba lihat? Bunganya mekar dengan indah, ya?" ucap Rifa antusias. Dia sangat senang sekali melihat bunga di kebun kakaknya tumbuh menjadi lebih subur dan asri.

"Iya, Nok Rifa. Saya sangat juga senang melihatnya," jawab Mila ikut tersenyum.

Setelah menjadi guru pembimbing Ihsan. Mila ikut menyiram bunga di kebun depan rumah Fakhri. Kebetulan, saat ini bunga sedang bermekaran.

"Itu semua, karena tangan Mbak Mila yang ajaib," ucap Rifa sambil bertepuk tangan.

"Jangan berlebihan, Nok Rifa. Nok yang selalu menyiaminya setiap hari."

"Tante, Note, lihat! Ini indah sekali."

Ihsan bersorak riang, berlari kearah Mila dan Rifa, di tangannya dia membawa sesuatu.

"Lihatlah! Cantik sekali bukan?" tanyanya tersenyum lebar. Sambil menyodorkan sesuatu itu pada Mila.

"KYAAAAAAA, hatcim, hatcim, hatcim," di luar dugaan. Mila malah bersin bersin sambil menggosok tubuhnya yang sudah memerah.

Rifa dan Ihsan menjadi panik, berlarian tak tentu arah, saking paniknya. Ihsan baru sadar bahwa Note-nya itu alergi ...

"Oia, parfum Papa. Fatah akan ambilkan parfum Papa dulu," ucap Ihsan berbalik akan mengambil langkah seribu. Sebelum ....

'Pluk' sesuatu mendarat di kepala Mila.

'Mujarab,' Mila langsung berhenti dari bersin-bersinnya itu. Ketika satu buah sorban menutupi kepalanya dengan aroma yang tak asing lagi baginya. Aroma yang selalu membuatnya tenang. Aroma khas Fakhri.

Tubuh Mila mematung, tak bisa bergerak, kala jantungnya berpacu sangat cepat. Bahkan dia merasakan sesuatu yang melilit di perutnya.

Bukan hanya Mila saja yang terkejut, melainkan Rifa,dan juga Ihsan. Tidak menyangka, bahwa Fakhri akan menjadi pahlawan tepat waktu.

"Fatah, kamu sudah tahukan? Bahwa Nona Kamila ini alergi yang berbau ulat?" Fakhri berkata pada putranya. Seolah sedang menegurnya.

Ihsan tersenyum kikuk, ia benar-benar lupa. 'Padahal kupu-kupu itu sangat cantik, persis seperti Note,' ucap Ihsan dalam hatinya.

"Bawa Nona Kamila-nya masuk kedalam, Gus! Berikan dia minuman hangat."

Ihsan mengangguk antusias, "ayok, Note!" ajak Ihsan.

Setelah diyakini Mila masuk, Fakhri tersenyum sambil menggeleng, "seorang gadis takut kupu-kupu, lucu sekali," gumamnya sambil berlalu.

Rifa masih mematung di tempatnya, dia yakin .. Bahwa kakaknya sudah tertarik pada Mila. Sangat terlihat dari mata pria satu anak itu.

Sedangkan di atas atap tak jauh dari sana. Arfan melihat semuanya, dengan mengepalkan kedua tangannya, "bolehkah, sekali ini saja aku bersikap egois?" gumamnya sangat pelan.

Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Satu Syarat




JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (19)

Judul : dengan satu syarat. 1

"Ke,ke,kenapa bis,bis,bisa G,g,g,gus berkata se,se,sep,seperti i,i,itu?" sungguh. Mila benar-benar seperti sosok IJAT dalam serial IPAN DAN APIN. latah, seeelatah-latahnya.

"Not---" 'breem' ucapan Ihsan terhenti kala mendengar suara mobil masuk ke pekarangan rumahnya. Dia beranjak, lalu mengintip melalui jendela kamarnya.

"Papa? Kenapa Papa sudah pulang?" tanya Ihsan lebih, pada dirinya sendiri. Merasa heran.

"APAAA?" 'tamatlah sudah kau, Milaaaaaaa.' jerit Mila menangis kejer.

Mila langsung kalang kabut, dia berjalan kesana kemari. Sungguh! Benar-benar masalah besar.

Sedangkan Ihsan terus mengintip ayahnya dari balik tirai kamarnya, 'kenapa Papa cepat sekali pulangnya?'

"Gus, bagaimana ini? A,apa yang harus saya lakukan?" wajah Mila sudah pucat, tangannya pun gemetaran.

"GUS, TOLONGIN SAYA!" Mila memanggil Ihsan dengan sedikit membentak. Tak mempedulikan siapa Ihsan di sini. Yang hanya Mila ingat adalah bagaimana caranya kabur dari Fakhri.

"Tuan, sudah pulang?" terdengar si Mbok bertanya kepada Fakhri di teras rumah.

"Saya mau ambil barang yang ketinggalan di rumah, Mbok," terdengar Fakhri menjawab.

Ihsan menatap lekat Mila, "ada apa dengan wajah Note? Kenapa pucat sekali?" tanya Ihsan khawatir.

Mila memutar bola matanya kesal, "tolong saya, Gus! Bantu saya kabur! Sebelum ayah Gus menemukan saya. Tolong!" ucap Mila memohon.

'Ting- oia, Note kan takut Papa,' otaknya Ihsan kembali bekerja.

"Fatah dimana, Mbok?" terdengar lagi suara Fakhri.

Mila semakin kalang kabut. Tangannya sudah dingin sekali. Ihsan hanya menggelengkan kepalanya, merasa heran, 'kenapa harus takut pada Papa coba?'

"Gu--"

"Ikut saya! Pekerjaan Note belum selesai, Papa cuma sebentar di rumah, katanya mau ambil barang yang tertinggal. Jadi, Note harus sembunyi dulu," ucap Ihsan sambil membawa Mila keluar kamar.

Mila yang pada dasarnya sudah ketakutan, terus mengikuti kemana Ihsan membawanya. Ihsan membawa Mila ke suatu tempat.

"Gus, kenapa kesini?" tanya Mila, ketika dia sadar, bahwa ruangan itu adalah ...

"Note bersembunyi, cepetan! Papa sudah memanggilku," Ihsan tak menjawab kebingungan Mila.

"Fatah."

Mila kembali kalang kabut kala mendengar suara Fakhri memanggil Ihsan.

"Duuuuh, gimana ini? Aku harus ngumpet dimana?" Mila hilir mudik tak karuan. Otak, oh otak. Dimana kamu? Kenapa mendadak nge-blank begini?

"Note, di sana saja," ujar Ihsan sambil menunjuk ke suatu tempat, "jangan dulu keluar sebelum saya memerintah."

Mila mengangguk, tanpa di suruh dua kali, dia langsung bersembunyi di tempat yang di intruksikan Ihsan terhadapnya.

Setelah memastikan Mila aman, Ihsan buru-buru keluar.

"Gus."

Ihsan berjalan agak berlari, ketika suara ayahnya makin mendekat.

"Di sini, Papa."

"Kamu dari mana aja?"

"Dari belakang, Pa," jawab Ihsan.

Fakhri mengangguk, "Gus, kamu lihat map ayah gak? Yang kemarin Papa simpan di atas nakas kamar Papa."

Ihsan menelengkan matanya, sedang berfikir, "bukannya Papa taruhnya di meja kerja Papa?"

Fakhri mengerutkan dahinya, "masa sih? Seingat Papa sudah di bawa ke kamar deh."

"Apa di kamar ada, Pa?"

"Itu dia, gada."

"Coba Papa cek di meja kerja!"

"Baiklah. Oia, kata si Mbok, ada Mbak santri kesini, dimana dia?" tanya Fakhri.

Ihsan menegang seketika, membuat Fakhri menatap curiga, "Gus, ka--"

"Ada, Pa. Tadi, sewaktu Papa pulang lagi, dia sedang membereskan pakaian Fatah," jawab Ihsan cepat.

"Ya sudah," ucap Fakhri sambil berlalu kearah ruang kerjanya.

....

Mila masih menunggu dengan sabar di tempat persembunyiannya, dia berharap semoga Fakhri cepat pergi lagi.

'Ceklek' suara pintu dibuka, Mila tersenyum. Itu tandanya Fakhri sudah kembali pergi.

Suara langkah kaki terdengar semakin mendekatinya, dan berhenti tepat di belakangnya, lebih tepatnya, langkah itu berhenti di depan meja yang di jadikan Mila tempat persembunyiannya.

Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan ... Mila sudah menghitung sampai detik ke sepuluh, Ihsan belum juga memanggilnya.

'Ck,' Mila berdecak pelan. 'Ihsan pasti sedang mengerjainya.'

"Gus, gimana? Sudah belum?" Mila berucap sangat pelan kepada orang yang dia yakini sedang berdiri di depan meja itu.

Namun, tak ada sahutan yang di dengar Mila.

"Gus Ihsan. Gus, Gus Ihsan," Mila kembali memanggil.

Hening, tidak ada sahutan.
'Deg' seketika jantungnya berpacu cepat, kala hidungnya mencium sesuatu yang tak asing lagi baginya.

'Jangan-jangan ...' "KYAAAA" 'Bugh' "Astagfirullah ..."

Mila melotot kala tangannya tak sengaja menjotos wajah seseorang. Dia semakin ketakutan setelah melihat siapa yang dia tinju barusan itu.

Fakhri, awalnya akan mengambil map pekerjaannya, yang tak sengaja dia tinggalkan itu ke ruang kerjanya, tiba-tiba terhenti, kala matanya menemukan sesuatu yang aneh di bawah meja kerjanya. Dia tak bersuara, menunggu sesuatu untuk dipastikan.

Dan ternyata dugaannya benar, ada sesuatu di bawah meja kerjanya. Semakin yakin, bahwa itu bukanlah salah pendengarannya saja, dia berjongkok untuk melihat langsung.

Namun, naas. Ketika baru saja di mendongak ke bawah meja. Jeritan melengking, disertai tinjuan mantul dia dapatkan di wajahnya.

Baru saja Fakhri akan memarahi orang tersebut, namun seketika niatnya ia urungkan kala melihat tubuh di hadapannya itu menggigil ketakutan. Wajahnya sangat pucat sampai ada derai airmata yang berjatuhan.

Fakhri langsung berdiri lagi, "keluarlah, Nona! Sedang apa anda di situ?" tanya Fakhri setenang mungkin.

Fakhri menunggu orang itu keluar, namun di tunggu sampai lima detik, orang itu tidak keluar-keluar.

"Keluarlah! Saya tunggu sampai hitungan ke tiga, kalau anda tetap tidak keluar juga, jangan salahkan saya," ucap Fakhri dingin.

Ketakutan Mila semakin menjadi. Andai dia sedang berada di sebuah film, mungkin dia akan ngompol di celananya, saking ketakutannya itu. Beruntung dia hanya berada di sebuah cerita.

"Satu," 'dakdikdukdakdikduk'' suara gaduh di bawah meja jelas sekali, tak ayal membuat Fakhri yang mendengar juga meringis, membayangkan bagaimana itu kepala terpentok ke sana-sini.

"Dua," 'dakdikdukdakdikduk' suara itu semakin menjadi.

"Ti---"

"Ampun, ampun, ampuni saya, Gus! Saya mohon, ampuni saya, hiks," Mila tiba-tiba memohon ampun sambil setengah menangis. Dia sudah pasrah, jika duda beranak itu akan menghukumnya seberat mungkin. Dia semakin ketakutan, kala melihat ujung hidung Fakhri mengeluarkan darah.

Fakhri menautkan alisnya, ketika wajah perempuan itu sudah terlihat jelas, "Nona Kamila?" gumamnya pelan.

"Ampuni saya, Gus Fakhri. Saya tidak sengaja. Saya, saya, saya ... Saya ju,juga Ti,tidak tahu, kalau parfum itu milik anda. Dan, dan, ..." Mila terus meracau sambil menggoyangkan tangannya, dan juga tubuhnya. Jangan berfikir goyangan Mila yang aduhai, ya! Ini goyangan ketika seseorang sedang dilanda kepanikan akut.

"Nona, tenanglah! Apa yang sedang anda--" Fakhri tak melanjutkan ucapannya, kala otaknya mengatakan sesuatu, ia berjalan cepat kearah pintu ruang kerjanya. Dan benar saja. Fakhri menghirup udara sedalam-dalamnya, matanya dia pejamkan, sebelum ....

'DORDORDOR,' "IHSAN FATAHILLAH, JANGAN BERCANDA, BUKA PINTUNYA," Fakhri berteriak murka memanggil putranya, ia tak habis pikir, bahwa kenakalan Ihsan akan se-keterlaluan ini.

Mila tambah ketakutan, kala mendengar teriakan Fakhri yang sedang murka. Tangan itu menggedor kuat pintu tersebut. 'Ternyata gus kecil itu, lagi-lagi telah menggiringnya kesebuah masalah besar.'

Tubuh Mila terus bergoyang, apalagi sekarang Mila merasakan sesuatu mendorong dari bagian tubuhnya, hatinya tambah panik dan kalang kabut, 'YaAlloh ... Jangan sampai!!'

Fakhri menoleh kebelakang, dan seketika matanya melihat wajah Mila yang semakin memucat. Keringat bercucuran diwajahnya.

"Nona, tenanglah! Saya janji, tidak akan melakukan apapun terhadap Nona. Anda tenang sedikit, oke!" Fakhri mencoba berbicara lembut, berharap Mila sedikit tenang.

Mila mengangguk, namun seketika menggeleng. Tubuh Mila tetap saja bergoyang, "aduuuh, aduuuh, bagaimana ini? Bagaimana ini?" racau Mila tak jelas.

"Ten--"

"Anu, sa,saya ... S,s,saya ... Kebelet pi,pip,pi,piiiiiis," ucap Mila terbata. Wajahnya berwarna merah dan putih pucat.

Fakhri seketika melongo mendengar ucapan Mila.

"Toloooongh," ucap Mila memelas, tangannya sudah di letakan dibawah perutnya.

Fakhri kembali berbalik, dan menggedor kembali pintu ruangan kerjanya, 'DORDORDOR' "FATAH, BUKA PINTUNYA! NONA KAMILA KEBELET BUANG AIR. FATAH, BUKA PINTUNYA!" Fakhri kembali berteriak.

"Di dalam ada kamar mandinya, Pa. Suruh Note-ku buang hajatnya di sana!" terdengar suara Ihsan dari luar mengomentari panggilan Fakhri.

Fakhri semakin melongo, mendengar jawaban Ihsan. Dia menduga, bahwa ini sudah direncanakan putranya. 'Astagfirullah ... Dia kena jebakan Batman dari putranya.'

"Nona, itu adalah kamar mandi. Nona bisa pakai," ucap Fakhri sambil menunjuk ke sebuah pintu.

Tak perlu fi komando lagi, Mila langsung berlari masuk kedalam.

Fakhri mondar-mandir sambil menunggu Mila keluar dari sana. Dia tak pernah berfikir, bahwa putranya akan mengelabuinya, dan menjahilinya.

'Ceklek' pintu kamar mandi itu terbuka, sosok Mila keluar dari sana. Fakhri kembali kearah pintu keluar, melihat gelagat Mila yang sepertinya benar-benar takut terhadap dirinya.

'DORDORDOR' "FATAH, BUKA PINTUNYA! PAPA JANJI GAK AKAN MEMARAHIMU," 'tapi sedikit akan memberimu hukuman,' lanjut Fakhri dalam hati.

"PA, NOTE TADI BILANG KE FATAH, KALAU DIA SANGAT TAKUT TERHADAP PAPA, COBA PAPA TANYAKAN! APA WAJAH PAPA MENYERAMKAN?!" kembali terdengar jawaban Ihsan dari luar. Mila menganga, tidak menyangka, bahwa Ihsan akan melaporkan itu kepada Fakhri langsung. Tubuh Mila seketika membeku, kala dengan tiba-tiba Fakhri menolehkan wajahnya kearahnya.

Mila menghela nafasnya, ketika tubuh Fakhri kembali memunggunginya.

"OKE, PAPA AKAN TANYAKAN. TAPI, BUKA DULU PINTUNYA. KITA AKAN SAMA-SAMA TANYAKAN PADA NONA INI," Fakhri kembali berteriak, memberikan negosiasi pada putranya.

"NONA KAMILA, PAPA. BUKAN NONA INI! DIA PUNYA NAMA, PA. TIDAK AKAN DI BUKA, SEBELUM PAPA TANYAKAN SENDIRI, KENAPA NOTE-KU TAKUT PADA PAPA." Ihsan menjawab lagi sambil berteriak.

Ingin rasanya Mila mengulek Ihsan, dan dijadikannya sambal cobek. 'Nona itu punya nama. Lalu? Kenapa dirinya menyebut Mila dengan sebutan terigu?' Begitu pun dengan Fakhri, dia mengacak rambutnya frustasi. Seketika tubuh berbalik, menatap Mila lekat. Mila langsung menghentikan nafasnya. Pasrah.

"Nona, anda duduklah di sana! Sifat Fatah tidak bisa di ganggu gugat. Dia tidak akan membukakan pintu untuk kita,sebelum apa yang di inginkannya terkabul."

Mila langsung berjalan kearah kursi yang agak jauh dari tempat Fakhri berdiri.

Fakhri masih berjalan mondar-mandir, mencari ide, namun ... "Argh" dia mengusap wajahnya. Tidak menemukan ide samasekali. 'Tidak tahukah putranya itu? Bahwa dia sedang bersama wanita ghoir mahram. Itu artinya dia sedang ber-khulwah. Astagfirullah ...' racau Fakhri.

Merogoh saku celananya, mendial nomor seseorang, lalu 'tut, tut, tut,'

"...."

"Wa'alaikumussalaam, Man. Maaf! Bisakah kamu menyelesaikan pekerjaanku di kantor? Berkasnya akan aku kirimkan lewat email komputerku. Hanya tinggal sedikit lagi."

"...."

"Iya, sekarang. Aku ada urusan mendadak dengan Fatah. Jadi bisakah?"

"...."

"Oke, terimakasih. Assalamu'alaikum." 'tut'

Fakhri menghela nafasnya, dia merasa bersalah, karena telah menyita waktu ponakan iparnya itu. Namun, ya harus bagaimana lagi?

Fakhri membalikkan tubuhnya, dan menghela nafasnya kembali, ketika melihat reaksi tubuh Mila masih sama seperti tadi. 'Menegang jika dia menatapnya.'

"Ekhem, Nona. Bisakah anda duduk di balik lemari buku ini? Saya akan menuruti permintaan putra saya. Tapi tidak saling berhadapan."

Tubuh Mila bergetar, namun Mila tetap berdiri menuruti perintah Fakhri.

Fakhri duduk disamping kursi yang baru saja di duduki Mila. Setelah dirasa cukup. Fakhri memulai percakapannya.

"Jadi, bisa anda jelaskan, kenapa anda takut terhadap saya?!" pertanyaan Fakhri lebih kepada pernyataan.

Mila menghirup nafasnya dalam-dalam. Sudahlah! Lagian mengakui kesalahan adalah sesuatu yang seharusnya bukan? Mila pasrah dengan segala konsekuensinya.

"Ma,maafkan saya, Gus Fakhri! Saya, telah melakukan sebuah kesalahan terhadap anda," jawab Mila mencicit.

Fakhri mengernyitkan dahinya, kenapa sedikit ganjal? Oh, 'ternyata dia sudah tahu rupanya, bahwa Fakhri dan Attar adalah orang yang sama.'

Fakhri mengulum senyumannya, dia mengerti, kenapa Mila sampai merasa takut terhadapnya. Kita lihat, seberapa beraninya dia mengakui kesalahan itu.

"Katakan! Apa kesalahan anda itu. Saya akan mendengarkan, sebelum saya menentukan, apakah anda pantas saya maafkan atau tidak."

Mila bergetar kembali, dia benar-benar telah masuk ke kandang macan.

"Maafkan saya, Gus Fakh--"

"Simpan dulu kata maafnya! Saya ingin mendengar pengakuannya saja, sekarang."

Bibir Mila mengerucut, beruntung dia dan Fakhri tak bertatap muka, jadi dia bisa mengekspresikan wajahnya sesuka hatinya.

"Saya telah ...."

.....

Sementara di luar, Ihsan sedang tersenyum. Beruntung, dia menyiapkannya lebih awal. Sehingga, meski ayahnya pulang tak sesuai perkiraannya, tetap rencananya berjalan lancar. Dia juga sudah memperkirakan bahwa ayahnya akan murka. Dia siap untuk diberi hukuman. Walau sebenarnya, dia berharap, ayahnya memaafkan saja.

"Gus." Ihsan berbalik kala ada yang memanggilnya, terlihat Rifa sedang berjalan kearahnya, sambil menatapnya bingung.

"Kenapa berdiri saja di situ? Dan lagi, kenapa telinganya dirapatkan di pintu? Ada apa di dalam?" tanya Rifa.

Dia bermaksud membawa Ihsan untuk main kerumah Mina, karena ia mendengar, Ihsan sedang merajuk, disebabkan ayahnya pergi kekantor. Tapi dia bingung, karena melihat wajah Ihsan yang sedang tersenyum sambil menempelkan daun telinganya ke pintu ruang kerja kakaknya.

Ihsan menggandeng tangan Rifa dan membawanya jauh dari ruang kerja ayahnya.

"Sutt," Ihsan menempelkan telunjuknya di depan bibirnya, mengisyaratkan bahwa dia meminta Rifa untuk diam.

"Papa dan Note-ku, sedang berduaan di ruang kerja Papa," ucap Ihsan tersenyum antusias.

Rifa langsung melotot mendengar ucapan ponakannya itu.

"Apa? Kenapa bisa seperti itu?" tanya Rifa sedikit menjerit.

"Suttt, Tante, kecilkan suaramu. Fatah yang mengunci mereka. Fatah gak akan bukain pintunya, sebelum Note mengakui kenapa dia takut pada Papa."

Rifa semakin menganga, 'Astagfirullah ... Ihsan Fatahillah.'

"Astagfirullah ... Gus. Kamu tahu gak sih. Tindakanmu itu, membuat ayahmu melakukan Khulwah."

"Khulwah? Apa itu, Tante?" tanya Ihsan bingung.

"Khulwah itu, istilah lainnya adalah ... Kumpul kebo," jawab Rifa.

Ihsan seketika melotot kearah tantenya, membuat Rifa merasa lega, bersyukur, ponakannya itu berotak cerdas, sehingga langsung bisa mengerti apa yang di katakannya dengan sekali saja.

"Tante, menyebut Papa kebo? Ihsan bilangin nih sama Papa, kalau Tante menyebutnya kebo, PAP---"

"Eh, eh, eh, bukan begitu maksud Tante," sergah Rifa sambil membekap mulut Ihsan, dia menyesal memuji Ihsan barusan. Ternyata kecerdasan Ihsan hanya berfungsi untuk kenakalannya saja, "maksud Tante, itu ibaratnya. Peribahasa. Atau--"

"Sama aja. Tante menyamakan Papa dengan kebo. Ingat lho, Tan! Kata Papa, kita itu harus menghormati orang yang lebih tua, Tante tidak sopan bilang Papa seperti kebo," ucap Ihsan, memotong ucapan Rifa.

Rifa menggigit jarinya karena kesal, sangat kesal. 'Apa katanya tadi? Harus menghormati orang yang lebih tua? Terus, apa dong namanya dengan kelakuan Ihsan itu? Menjahili orang tuannya sendiri?'

"Ihsan, Khulwah itu hukumnya haram. Khulwah adalah berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan. Itu termasuk dosa badan. Kamu mau Papamu seperti itu?"

Ihsan langsung menggeleng, "Papa tidak berduaan kok, dirumah ini ada kita, ada Mbok Sum, jadi tidak berduaan. Hanya saja ... Papa dan Note, terjebak di ruangan kerja."

Rifa menghela nafasnya, seberapa banyaknya dia menjelaskan tentang Khulwah. Ihsan tak akan mengerti dengan mudah.

"Oia, Tante mau apa kesini?" tanya Ihsan.

"Tante akan mengajakmu pergi kerumah kak Mina, tadinya."

"Ayok," Ihsan merespon cepat.

"Tapi ... Bagaimana dengan Mbak Mila dan Papamu?"

Ihsan menghampiri Mbok Sum yang sedang di dapur.

"Mbok, ini kunci ruangan Papa. Jika Papa menggedor pintu lagi, langsung Mbok bukain, ya!"

Mbok Sum yang semula akan bicara, langsung mengangguk tanpa membantah, kala melihat mata Ihsan menatapnya lekat.

"Fatah mau ikut kerumah kak Mina, bersama Tante Rifa," 'sekaligus kabur,' "Assalamu'alaikum," lanjut Ihsan sambil mencium tangan Mbok Sum.

"Tante, ayok!" ucap Ihsan.

"Gak izin dulu, sama Papamu?" tanya Rifa.

"Pa, Fatah main kerumah Kak Mina bersama Tante Rifa, ya!" ucap Ihsan sambil berbisik. Rifa hampir tertawa melihat tingkah Ihsan barusan.

"Gus, mana kedengaran itu."

"Yang penting, Fatah sudah izin. Tante saksinya."

"Eh, mana bisa?"

"Bisa, tentu saja. Lagian, Fatah sudah minta izin kok sama si Mbok."

"Ayok, Tante," ucap Ihsan sambil menyeret Rifa keluar rumahnya. 'Kalau tidak cepat keluar, aku pasti akan tertangkap sama Papa,' lanjutnya dalam hati.

Rifa menggelengkan kepalanya, sambil terus mengikuti langkah ponakannya.

........

"Jadi, karena itu, Nona takut pada saya?"

Mila menganggukkan kepalanya, "Oh, i,iya, Gus Fakhri," Mila menjawab setelah sekian detik. Dia lupa. Bahwa Fakhri tidak dapat melihat anggukkannya.

"Saya pribadi, seharusnya yang meminta maaf, karena saya juga melihat, dan sadar, bahwa di sini, bukan anda tersangkanya, malah bisa dikatakan, anda adalah korban dari kenakalan putra saya. Jadi tidak seharusnya anda merasa takut, karena pada kenyataannya, anda tidak bersalah."

Mila menghembuskan nafasnya lega, ternyata benar, apa yang dikatakan Anisa. Lebih baik menghadapi daripada menghindari terus-menerus. Ketakutan yang di rasakannya ternyata sangat berlebihan.

Fakhri ternyata bukan orang seperti dalam bayangannya. Dia adalah seorang Ayah yang bertanggungjawab, tidak menghalalkan segala sesuatu yang dilakukan oleh putranya.

"Soal parfum, itu memang benar adanya. Anda adalah orang pertama yang memakainya, selain saya dan juga Fatah, bahkan Almarhumah istri sayapun tidak pernah mencicipinya."

Mila kembali menegang, bahkan sekarang ditambah dengan degupan jantungnya yang mendadak cepat. Kakinya mendadak lemas. Andai dia sedang berdiri, dia pasti sudah tersungkur ke lantai.

"Saya sudah mengikhlaskan parfum itu. Saya ikhlas memberikannya pada anda, Nona."

Mila menghela nafasnya lega. Ah, ternyata Alhamdulillah ...

"Tapi, dengan satu syarat."

"Ck, katanya ikhlas, tapi kok nuntut," tanpa sadar, Mila bergumam.

"Ekhem. Maaf, Nona! Saya mendengarnya."

Mila langsung menggigit jarinya dan memejamkan matanya rapat. 'Astagfirullah ...'

"Apa kira-kira syaratnya, Gus?"

"Syaratnya ... Nona harus bersedia menjadi ibu---"

"Appa???" Mila refleks menjerit. 'Dag-dig-dug, dag-dig-dug, dag-dig-dug,' jantungnya berdetak sepuluh kali lipat cepatnya.

'Apa tadi katanya? Ibu?'

Back To Top