Blog Kang One

Catatan Sederhana untuk Berbagi

Materi 6c VOLKSRAAD

PERJUANGAN BANGSA INDONESIA DI PARLEMEN (VOLKSRAAD)



1.         Latar Belakang Lahirnya Volksraad

faktor politik etis, menjadi awal dalam memandang masalah munculnya volksraad tidak bisa dilepaskan dari masalah depresi ekonomi dunia dan Perang Dunia I. Akibat begitu melimpahnya produksi tanaman dari Hindia Belanda, hal ini memicu menurunnya harga-harga komoditas ekspor yang diambil dari wilayah Asia Tenggara. Hal ini berdampak pada lesunya perdagangan karena begitu murahnya harga yang disertai penimbunan-penimbunan yang dilakukan oleh pedagang Arab dan Cina di Nusantara.

Gagasan indie werbaar ini pada dasarnya adalah ide untuk membentuk milisi paruh-waktu yang terdiri atas orang-orang Indonesia , dengan adanya ‘jasa’ dari para milisi rakyat Indonesia ini diharapkan mereka mampu mengambil peranan penting dalam parlemen Kerajaan Belanda sehingga mampu mewujudkan sebuah otonomi khusus bagi Indonesia. Tetapi sayang, Ratu Wilhelmina menolak gagasan mengenai indie werbaar tersebut, tetapi gagasan mengenai pembentukan volksraad disetujui. Hanya saja posisi volksraad bukanlah lembaga legislatif, tetapi penasihat bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Kembali pada politik etis yang memicu lahirnya volksraad, maka alasan lain pendirian volksraad adalah dimulainya era desentralisasi pemerintahan Kerajaan Belanda. Proses ini dimulai pada tahun 1903 yang memunculkan Undang-Undang Desentralisasi , walaupun belum maksimal dalam pelaksanaannya. Tetapi perubahan adiministratif ini mencapai puncaknya dengan pembentukan Dewan Rakyat (volksraad) pada 1916.

2.       Perjuangan lewat Volksraad

Volksraad disetujui pembentukannya pada 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) , tetapi pembentukan tersebut baru terlaksana pada 18 Mei 1918 oleh Gubernur Jenderal Graaf von Limburgstirum. Volksraad sengaja didirikan sebagai penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, bukan sebagai parlemen perwakilan rakyat Indonesia. Tetapi oleh beberapa aktivis pergerakan nasional, volksraad digunakan sebagai wadah perjuangan mereka agar Indonesia dapat memerdekakan diri, atau setidaknya menjadi sebuah wilayah otonomi tersendiri.

Dalam proses pembentukan volksraad, proses ini diawali dengan pembentukan “Dewan Kabupaten” (Haminte Kota), di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda inilah yang diangkat oleh Gubenur Jenderal sebagai anggota volksraad. Proses berbelit dan tidak tampaknya keberpihakan kepada rakyat Indonesia inilah yang memicu banyak munculnya sentimen negatif terhadap volksraad, terutama dari kalangan gerakan kiri Indonesia.

Setelah volksraad terbentuk, maka kini partai-partai yang ada di Nusantara pun bersiap-siap. Sikap pragmatisme politik pun muncul di kalangan aktivis pergerakan nasional. Boedi Oetomo salah satunya, dimana sempat muncul upaya untuk meraih massa di luar Jawa dengan menggunakan Islam sebagai daya tarik. Hal ini akhirnya mampu digagalkan oleh Radjiman dan kawan-kawannya yang anti-islam, sehingga Boedi Oetomo masih berprinsip Jawa-sentris. Begitu juga dengan Sarekat Islam yang memperoleh tantangan dari sebagian besar anggotanya, terutama yang berada di Semarang. Sarekat Islam Semarang dibawah pimpinan Semaoen menyatakan penolakan terhadap keikutsertaan Central Sarekat Islam dalam mengkampanyekan indie werbaar dan menentang gagasan untuk duduk di dalam volksraad. Pertikaian internal dalam tubuh Sarekat Islam inilah yang kelak pada akhirnya memecah Sarekat Islam menjadi beberapa kelompok.

Ketidakjelasan fungsi volksraad sebagai penyambung lidah rakyat inilah yang memicu kemarahan-kemarahan publik dan tidak terkontrolnya situasi politik di dalam negeri Hindia Belanda. Hal ini diperparah dengan krisis ekonomi global yang melanda dunia pada tahun 1927. Situasi menjadi panas dan pemberontakan mulai muncul dimana-mana. Kecaman-kecaman terhadap volksraad dan pemerintah Hindia Belanda mulai bermunculan dan mengarah pada pemberontakan (disintegrasi). Perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda juga mulai bermunculan, dimulai dari Pemberontakan PKI pada 1927 hingga perisitiwa kapal Zeven Provincien pada 1933. Hal ini memicu kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah Hindia Belanda .

Pemerintah Hindia Belanda pun menjadi represif dalam menghadapi pergerakan nasional dan partai-partai politik yang ada di Nusantara. Sekolah-sekolah digeledah dan beberapa diantaranya ditutup, buku-buku politik disita, banyak guru yang dilarang mengajar, dan pemimpin-pemimpin partai politik ditangkap. Dalam keadaan seperti itu, seorang anggota volksraad yang berasal dari Jawa mengeluarkan sebuah petisi. Ia adalah Soetardjo Kartohadikoesoemo. Pada bulan Juli 1936 ia mengeluarkan sebuah petisi kepada volksraad untuk diselenggerakannya suatu konferensi untuk mengatur otonomi Indonesia dalam sebuah Uni Indonesia-Belanda selama kurun waktu sepuluh tahun.

PETISI SUTARDJO:
1.       volksraad sebagai parlemen sesungguhnya,
2.       direktur departeman diberi tanggungjawab,
3.       dibentuk Dewan Kerajaan sebagai badan tertinggi antara negari Belanda dan Indonesia yang anggotanya merupakan wakil kedua belah pihak,
4.       penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahirannya, asal-usulnya, dan cita-citanya memihak Indonesia.

Banyak kelompok yang mendukung petisi Soetardjo ini, oleh karenanya petisi inipun disetujui oleh volksraad karena banyak yang menginginkan kewenangan lebih luas. Tetapi memperoleh dukungan dari volksraad belum tentu akan menyelesaikan masalah di dalam negeri, karena petisi Soetardjo ini malah menimbulkan perpecahan kembali diantara partai-partai yang sudah ada akibat pro dan kontra.

Petisi itu tanpa melalui perdebatan ditolak oleh pemerintah Belanda pada 16 November 1938. Alasan penolakan petisi adalah Indonesia belum siap untuk memikul tanggungjawab memerintah diri sendiri. Bangsa Indonesia juga dinilai belum mampu untuk berdiri apalagi menjadi negara yang merdeka. Cara penolakan yang tanpa perdebatan di parlemen mengecewakan pihak pergerakan nasional, meskipun pihak yang ditolak sesungguhnya telah menduga sebelumnya. Realitas itu menunjukkan bahwa tuntutan rakyat Indonesia tidak dibicarakan secara terbuka di parlemen.

Mosi perjuangan identitas untuk menyebut “Indonesier” daripada “Inlander” yang diupayakan oleh Thamrin, Soetardjo, dan Wiwoho juga menemui jalan buntu .


3.       Fraksi Nasional

Walaupun volksraad tidak mempunyai kekuasaan legislatif dan wewenangnya hanya terbatas memberi advis, sehingga tidak pernah memuaskan harapan rakyat Indonesia, namun volksraad merupakan satu-satunya tempat yang aman untuk mencurahkan kecaman terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Untuk itu organisasi pergerakan kooperatif telah membentuk suatu kesatuan aksi di volksraad yang disebut Fraksi Nasional. Fraksi ini didirikan pada tanggal 27 Januari 1930 di Jakarta, berdasarkan ide Muhammad Husni Thamrin, ketua Perkumpulan kaum Betawi. Berdirinya Fraksi Nasional dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yakni:
A.   Sikap pemerintah Belanda terhadap gerakan politik diluar Volksraad khususnya terhadap partai Nasional Indonesia. Tindakan keras Pemerintah Kolonial Belanda lebih menonjol setelah terjadi pemberontakan PKI pada tahun 1926. Para Pergerakan Nasional Indonesia hampir tidak mampu untuk bernapas. Pemberontakan yang sia-sia itu ternyata dijadikan dalih oleh Pemerintah Belanda dalam rangka menciptakan ketertiban umum yang merupakan alasan klise dari penerapan pasal-pasal karet dari KUHP pada saat itu. Di samping itu juga terdapat tindakan-tindakan lain yang dilakukan oleh Pemerintah kolonial khususnya Gubernur Jendral dengan dalih memegang hak istimewa yang tercermin dalam Exarbitante Rechten.
B.    Anggapan dan perlakuan yang sama oleh Pemerintah belanda terhadap semua gerakan baik yang non maupun kooperasi. Kejadian ini sangat menghalangi penggalangan kekuatan pada organisasi yang moderat. Pada saat terjadi penangkapan terhadap tokoh PNI, ternyata anggota-anggota perkumpulan yang moderatpun juga ikut diinterogasi. Dengan demikian tindakan pengawasan politik tidak pandanng bulu. Ini tidak lain suatu pencerminan ketakutan yang amat sangat dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap gerakan-gerakan yang terjadi di Indonesia.
C.    Berdirinya Vaderlandsche Club (VC) pada tahun 1929 sebagai protes terhadap pelekasanaan "etsch belied", Gubernur Jendral de Graef. Tindakan Zentgraaff dengan VC merupakan usaha kearah pengingkaran terhadap Etthishe Koers dari desakan Fraksi Sosial Demokrat (Troelstra dan kawan-kawan) dalam Tweede Kamer Parlemen Belanda. Kelompok VC menjadi pressure groep dalam upaya menekankan tuntutan kaum Pergerakan Nasional, dan itu berarti semakin jauhnya pelaksanaan perubahan Ketatanegaraan yang dikehendaki oleh kaum humanis di negeri Belanda. Tujuan yang ingin dicapai oleh Fraksi Nasional itu adalah menjamin adanya kemerdekaan Nasional dalam waktu singkat dengan jalan mengusahakan perubahan ketatanegaraan yang merupakan salah satu pelaksanaan Trilogi Van Deventer, berusaha menghilangkan jurang perbedaan warna kulit (Stelsel Kolonial). Tujuan tersebut diusahakan dengan semangat kebangsaan tanpa harus melanggar Hukum Nasional. Perjuangan yang dilaksanakan oleh Fraksi Nasional seperti pembelaan terhadap para pemimpin Partai Nasional Indonesia yang ditangkap kemudian diadili pada tahun 1930. Di samping itu usaha pemborosan dana yang dilakukan oleh Pemerintah kolonial Belanda juga ditentang terutama dalam rangka menigkatkan anggaran pertahanan. Hal ini karena peningkatan anggaran pertahanan merupakan lonceng kematian dari usaha-usaha radikal kaum pergerakan dalam upaya mencapai Indonesia Merdeka.

Fraksi Nasional bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia secepat-cepatnya, dan untuk mencapai tujuan tersebut dilakukanlah usaha-usaha sebagai berikut :

A.   Berusaha mencapai perubahan ketatanegaraan,
B.    Berusaha melenyapkan semua perbedaan-perbedaan politik, ekonomi, dan tingkat pendidikan yang diakibatkan oleh antithesis colonial,
C.    Menggunakan semua jalan yang sah untuk mencapai tujuan tersebut.

Anggota Fraksi Nasional berjumlah 10 orang, mereka terdiri dari berbagai perkumpulan dan suku. Berikut Susunan kepengurusan Fraksi Nasional di dewan rakyat.
1.         Ketua                   : Muhammad Husni Thamrin
2.         Wakil ketua         : Kusumo Utoyo
3.         Anggota               : Dwidjosewojo
4.         Anggota               : Datuk Kajo
5.         Anggota               : Muchtar Prabu Negara
6.         Anggota               : Cut Nyak Arief
7.         Anggota               : Suangkopon
8.         Anggota               : Pangeran Ali
9.         Anggota               : Suradi
10.     Anggota               : Suroso.

Kegiatan pertama yang dilakukan oleh fraksi ini adalah pembelaan terhadap pemimpin-pemimpin PNI yang di tangkap di dalam sidang-sidang Volkstraad, Moh. Husni berpendapat bahwa tindakan penggeledahan dan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin PNI oleh  pemerintah tidak dapat dipertanggungjawabkan bahkan banyak di antaranya bukan anggota PNI juga digeledah dan dicurigai. Dengan peristiwa ini terbukti bahwa pemerintah dalam tindakkannya telah berlaku tidak bijaksana dan tidak adil terhadap pergerakan rakyat Indonesia.

Setelah pembukaan Volksraad yang baru pada tahun 1939, sudah menjadi kebiasaan bahwa fraksi nasional ditinjau kembali. M. Yamin yang pada tahun 1939 menjadi anggota volksraad menyusun rencana yang dalam beberapa hal lebih luas daripada rencana yang dibuat oleh M. H. Thamrin. M. Yamin mengusulkan agar fraksi nasional menyusun suatu progam yang akan diumumkan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk mengakhiri kecaman bahwa fraksi nasional itu tidak bekerja hanya untuk jawa saja tetapi juga untuk daerah-daera luar jawa.

Usul M. Yamin ini tidak disetujui oleh M.H. Thamrin. Oleh karena itu pada tanggal 10 juli 1939 atas prakarsa M. Yamin di volksraad berdiri golongan nasional Indonesia (GNI) di samping fraksi nasional. Badan ini tidak mewakili partai-partai di volksraad melainkan mewakili golongan-golongan rakyat. Dalam arti tertentu GNI ini bersifat provinsialistis. Semua anggotanya yaitu, M.Yamin, Soangkupon, Abdul Rasyid, dan Tajuddin Noor adalah utusan-utusan dari luar Jawa. Anggota fraksi nasional dari luar jawa yang tetap setia pada badan tersebut adalah Mukhtar dan Lapian.

Tanggapan pers terhadap kejadian itu ada yang menyambut baik yaitu sebagai usaha untuk menigkatkan perjuangan nasional, sedangkan suara lain mengkhawatirkan tindakan itu sebagai pemecahbelahan dan akan memperlemah perjuangan. Dalam asas tujuannya, kedua kelompok itu tidak ada bedanya. Untuk mengurus kepentingan-kepentingan di daerah luar jawa, orang-orang sumatera juga bisa tetap berada di fraksi nasional. Tahun 1941 Fraksi nasional dan GNI  berfusi menjadi fraksi nasional Indonesia (Frani). Tujuan singkat dan tegas yaitu memperjuangkan Indonesia merdeka.

4. Partai Indonesia Raya (Parindra)
Partai Indonesia Raya didirikan di Solo pada Desember 1935. Partai ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi yaitu BU dan PBI. Sebagai ketuanya dipilih dr. Sutomo. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia Raya dan mulia yang hakekatnya mencapai Indonesia merdeka. Di Jawa anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut dengan kaum kromo. Di daerah lain masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan Sarikat Selebes. Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya I.J.Kasimo.dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat tiong, dan Alatas.

5. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Kegagalan Petisi Sutardjo mendorong gagasan untuk menggabungan organisasi politik dalam suatu bentuk federasi. Gabungan Politik Indonesia (GAPI) itu diketuai oleh Muh. Husni Thamrin. Pimpinan lainnya adalah Mr. Amir Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosuyoso. Alasan lain dibentuknya GAPI adalah adanya situasi internasional akibat meningkatnya pengaruh fasisme. Juga sikap pemerintah yang kurang memperhatian kepentingan bangsa Indonesia. Kemenangan dan kemajuan yang diperoleh negara fasis yaitu, Jepang, Jerman, Italia tidak menggembirakan Indonesia. Karena itu pers Indonesia menyerukan untuk menyusun kembali baris dalam suatu wadah persatuan berupa “konsentrasi nasional”.

Parindra berpendapat pentingnya untuk perjuangan ke dalam, yaitu menyadarkan dan menggerakan rakyat untuk memperoleh suatu pemerintahan sendiri, serta menyadarkan pemerintah Belanda akan cita-cita bangsa Indonesia. Juga mengadakan perubahan pendekatan dengan organisasi-organisasi politik untuk membicarakan masa depan bangsa Indonesia. Pada 21 Mei 1939, dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta berhasil didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai politik nasional di Jakarta yang diberi nama Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPI).

Anggaran Dasar GAPI menyebutkan, bahwa GAPI mempunyai hak untuk menentukan diri sendiri; persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, sosial, dan persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Dalam konferensi I GAPI (4 Juli 1939) dibicarakan aksi GAPI dengan semboyan Indonesia berparlemen. GAPI tidak menuntut kemerdekaan penuh, tetapi suatu parlemen berdasarkan sendi demokrasi.

Untuk mencapai tujuannya GAPI menyerukan pada rakyat Indonesia untuk didukung oleh semua lapisan masyarakat. Seruan itu disambut hangat oleh Pers Indonesia. Pada 1939, GAPI mengadakan rapat umum. Tidak kurang dari seratus tempat mengadakan rapat propaganda tujuan GAPI, sehingga suasana di Indonesia saat itu menyerukan Indonesia berparlemen. Penyadar, PNI Baru, dan Perkumpulan Kristen Indonesia tidak sependapat dengan GAPI.

Mereka berpendapat tidak ada gunanya bersifat meminta-minta kepada Belanda. Untuk mencapai tujuannya GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Tujuan kongres untuk kesempurnaan Indonesia dan cita-citanya, yaitu Indonesia Berparlemen penuh. Keputusan penting lainnya adalah penetapan bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia. Juga pengggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa rakyat Indonesia. Selanjutnya dibentuk Komite Parlemen Indonesia.


Materi 5d Dampak Pendudukan Jepang


Dampak Pendudukan Jepang dalam Berbagai Aspek Kehidupan Bangsa Indonesia



Jepang sebagai Negara Asia yang mampu mengusir Belanda dari Indonesia tentu memberikan pengaruh terhadap perkembangan bangsa Indonesia.  Saat Jepang menjajah Indonesia, mereka melakukan berbagai tindakan yang mampu memberikan dampak bagi bangsa Indonesia. Dampak tersebut ada sisi negatifnya ada juga sisi positifnya. Kebijakan Jepang saat menduduki Indonesia tidak sepenuhnya merugikan, ada beberapa kebijakan yang memberi kesan positif bagi perkembangan bangsa Indonesia.

A. Dampak Positif Pendudukan Jepang
1. Bidang Politik
ü  Melarang penggunaan Bahasa Belanda dan memperbolehkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
ü  Dibentuknya badan persiapan kemerdekaan Indonesia, yaitu BPUPKI dan PPKI. Dengan kemunculan badan persiapan ini, muncullah ide Pancasila.
ü  Mendukung semangat Anti-Belanda, sehingga secara tidak langsung Jepang ikut mendukung semangat jiwa nasionalisme Indonesia.
ü  Memberi kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk ikut serta dalam pemerintahan politik.

2. Bidang Ekonomi
ü  Didirikannya koperasi yang bertujuan untuk kepentingan bersama.
ü  Diperkenalkannya sistem baru bagi pertanian yaitu line system. Sistem ini akan memberikan pengaturan bercocok tanam yang efisien sehingga akan meningkatkan produksi pangan.

3. Bidang Sosial
ü  Mulai berkembangnya tradisi kerja bakti massal melalui kinrohosi.
ü  Munculnya sikap persatuan dan kesatuan dalam mengusir penjajah di Indonesia.
ü  Bangsa Indonesia mengalami berbagai pembaharuan akibat didikkan Jepang yang menumbuhkan kesadaran dan keyakinan yang tinggi akan harga dirinya.
ü  Pembentukan strata masyarakat hingga tingkat paling bawah yaitu Tonarigami atau Rukun Tetangga (RT).

4. Bidang Budaya
ü  Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan) tanggal 1 April 1943 di Jakarta. Fungsi lembaga ini mewadahi aktivitas kebudayaan Indonesia.
ü  Pembentukan Persatuan Aktris Film Indonesia (PERSAFI) yang bertujuan mendorong aktris-aktris profesional dan amatir Indonesia untuk bereksperimen dengan mengubah lakon terjemahan bahasa asing ke Bahasa Indonesia.

5. Bidang Pendidikan
ü  Dalam pendidikan diperkenalkannya sistem Nippon Sentris dan diperkenalkannya kegiatan upacara dalam sekolah.
ü  Mendirikan sekolah seperti SD 6 tahun, SLTP/SMP 9 tahun dan SLTA/SMA.

6. Bidang Birokrasi dan Militer
ü  Jepang memberikan pelatihan militer-semimiliter kepada pemuda Indonesia dan mempersenjatai pemuda demi keperluan perang Jepang. Seperti mengikutsertakan pemuda ke organisasi keibodan, heiho, suisintai dan sebagainya.
ü  Peninggalan peralatan militer dan infrastruktur perang milik Jepang yang dapat digunakan sebagai modal untuk mempertahankan kemerdekaan. Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, bangak peralatan militer Jepang yang kemudian dikuasai oleh pemuda Indonesia.

B. Dampak Negatif Pendudukan Jepang

1. Bidang Politik
ü  Dilarangnya kegiatan politik dan dibubarkannya organisasi politik yang ada.
ü  Dilarangnya segala jenis rapat dan kegiatan politik.

2. Bidang Ekonomi
ü  Jepang mengeksploitasi SDA dan SDM untuk kepentingan perang.
ü  Jepang mengmbil secara paksa makanan, pakaian dan pembekalan lainnya dari rakyat Indonesia tanpa kompensasi.
ü  Terjadinya inflasi dan krisis ekonomi yang sangat menyengsarakan rakyat.
ü  Terputusnya hubungan antar daerah akibat dari self sufficiency.
ü  Kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang sehingga seluruh potensi SDA dan bahan mentah lainnya digunakan untuk mendukung industri perang.
ü  Penerapan sanksi yang berat oleh Jepang dengan menerapkan sistem ekonomi secara ketat.
ü  Menerapkan sistem ekonomi perang dan sistem autarki (memenuhi kebutuhan daerah sendiri dan menunjang kegiatan perang).

3. Bidang Sosial
ü  Adanya praktik perbudakan wanita (yugun ianfu). Banyak wanita muda Indonesia yang digunakan sebagai wanita penghibur bagi perang Jepang.
ü  Kegiatan romusha yang menyengsarakan dan memiskinkan rakyat.
ü  Pembatasan pers sehingga tidak ada pers yang independent dan pengawasan berada di bawah pengawasan Jepang.
ü  Terjadinya kondisi yang parah dan maraknya tindak kriminal seperti perampokan, pemerkosaan dan lain-lain.

4. Bidang Pendidikan
ü  Banyak guru-guru yang dipekerjakan sebagai pejabat pada masa itu yang menyebabkan kemunduran standar pendidikan secara tajam.

5. Bidang Birokrasi dan Militer
ü  Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara Jepang karena menghukum keras orang-orang yang menyimpang/menentang dari Jepang.

Materi 5c Perang Melawan Jepang




Latarbelakang Perang, Di balik senyum manis dan propaganda yang menjanjikan, ternyata Jepang bertindak kejam. Jepang telah mengerahkan semua potensi dan kekuatan yang ada untuk menopang perang yang sedang mereka hadapi untuk melawan Sekutu. Jepang juga menguras aset kekayaan yang dimiliki Indonesia untuk memenangkan perang dan melanjutkan industri di negerinya.

a.         Ekonomi Perang
Setelah berhasil menguasai Indonesia, Jepang mengambil kebijakan dalam bidang ekonomi yang sering disebut self help atau Ekonomi Perang, yaitu hasil perekonomian di Indonesia dijadikan modal untuk mencukupi kebutuhan pemerintahan dan perang Jepang.

Kebijakan Ekonomi Perang yaitu :
1). Padi berada langsung di bawah pengawasan pemerintah Jepang
2). Penggiling dan pedagang padi tidak boleh beroperasi sendiri, harus diatur oleh Kantor Pengelolaan Pangan.
3). Para petani harus menjual hasil produksi padinya kepada pemerintah sesuai dengan kuota yang telah ditentukan dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah Jepang.

b. Pengendalian di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Pemerintah Jepang mulai membatasi kegiatan pendidikan. Jumlah sekolah juga dikurangi secara drastis. Jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500 buah. Sekolah lanjutan menurun dari 850 menjadi 20 buah. Kegiatan perguruan tinggi boleh dikatakan macet. Jumlah murid sekolah dasar menurun 30% dan jumlah siswa sekolah lanjutan merosot sampai 90%. Begitu juga tenaga pengajarnya mengalami penurunan secara signifikan. Muatan kurikulum yang diajarkan juga dibatasi. Mata pelajaran bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran utama, sekaligus sebagai bahasa pengantar. Kemudian, bahasa Jepang menjadi mata pelajaran wajib di sekolah.

Para pelajar harus menghormati budaya dan adat istiadat Jepang. Mereka juga harus melakukan kegiatan kerja bakti (kinrohosyi). Kegiatan kerja bakti itu meliputi, pengumpulan bahan-bahan untuk perang, penanaman bahan makanan, penanaman pohon jarak, perbaikan jalan, dan pembersihan asrama.

Para pelajar juga harus mengikuti kegiatan latihan jasmani dan kemiliteran. Mereka harus benar-benar menjalankan semangat Jepang (Nippon Seishin). Para pelajar juga harus menyanyikan lagu Kimigayo, menghormati bendera Hinomaru dan melakukan gerak badan (taiso) serta seikerei.

Akibat keputusan pemerintah Jepang tersebut, membuat angka buta huruf menjadi meningkat. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang mengalami kemunduran. Kemunduran pendidikan itu juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah Jepang yang lebih berorientasi pada kemiliteran untuk kepentingan pertahanan Indonesia dibandingkan pendidikan.

Banyak anak usia sekolah yang harus masuk organisasi semimiliter sehingga banyak anak yang meninggalkan bangku sekolah.Bagi Jepang, pelaksanaan pendidikan bagi rakyat Indonesia bukan untuk membuat pandai, tetapi dalam rangka untuk pembentukan kader-kader yang memelopori program Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Oleh karena itu, sekolah selalu menjadi tempat indoktrinasi kejepangan.

c.     Pengerahan Romusa
Perlu diketahui bahwa untuk menopang Perang Asia Timur Raya, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia. Tenaga kerja inilah yang kemudian kita kenal dengan romusa. Mereka dipekerjakan di lingkungan terbuka, misalnya di lingkungan pembangunan kubu-kubu pertahanan, jalan raya, lapangan udara. Pada awalnya, tenaga kerja dikerahkan di Pulau Jawa yang padat penduduknya, kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan tersebut disebut Romukyokai, yang ada di setiap daerah.

Rakyat Indonesia yang menjadi romusa itu diperlakukan dengan tidak senonoh, tanpa mengenal peri kemanusiaan. Mereka dipaksa bekerja sejak pagi hari sampai petang, tanpa makan dan pelayanan yang cukup, padahal mereka melakukan pekerjaan kasar yang sangat memerlukan banyak asupan makanan dan istirahat. Mereka hanya dapat beristirahat pada malam hari. Kesehatan mereka tidak terurus. Tidak jarang di antara mereka jatuh sakit bahkan mati kelaparan.

Untuk menutupi kekejamannya dan agar rakyat merasa tidak dirugikan, sejak tahun 1943, Jepang melancarkan kampanye dan propaganda untuk menarik rakyat agar mau berangkat bekerja sebagai romusa. Untuk mengambil hati rakyat, Jepang memberi julukan mereka yang menjadi romusa itu sebagai “Prajurit Ekonomi” atau “Pahlawan Pekerja”. Para romusa itu diibaratkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas sucinya untuk memenangkan perang dalam Perang Asia Timur Raya. Pada periode itu sudah sekitar 300.000 tenaga romusa dikirim ke luar Jawa, bahkan sampai ke luar negeri seperti ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya. Sebagian besar dari mereka ada yang kembali ke daerah asal, ada yang tetap tinggal di tempat kerja, tetapi kebanyakan mereka mati di tempat kerja.

Perang Melawan Tirani Jepang Di Daerah

a. Aceh Angkat Senjata
Salah satu perlawanan terhadap Jepang di Aceh adalah perlawananan rakyat yang terjadi di Cot Plieng yang dipimpin oleh Abdul Jalil. Abdul Jalil adalah seorang ulama muda, guru mengaji di daerah Cot Plieng, Provinsi Aceh. Karena melihat kekejaman dan kesewenangan pemerintah pendudukan Jepang, terutama terhadap romusa, maka rakyat Cot Plieng melancarkan perlawanan. Abdul Jalil memimpin rakyat Cot Plieng untuk melawan tindak penindasan dan kekejaman yang dilakukan pendudukan Jepang.

b. Perlawanan di Singaparna
Singaparna merupakan salah satu daerah di wilayah Jawa Barat, yang rakyatnya dikenal sangat religius dan memiliki jiwa patriotik. Karena kebijakan-kebijakan Jepang yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat, banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam—ajaran yang banyak dianut oleh masyarakat Singaparna. Atas dasar pandangan dan ajaran Islam, rakyat Singaparna melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang.

Perlawanan itu juga dilatarbelakangi oleh kehidupan rakyat yang semakin menderita. Pengerahan tenaga romusa dengan paksa dan di bawah ancaman ternyata sangat mengganggu ketenteraman rakyat. Para romusa dari Singaparna dikirim ke berbagai daerah di luar Jawa. Mereka umumnya tidak kembali karena menjadi korban keganasan alam maupun akibat tindakan Jepang yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka banyak yang meninggal tanpa diketahui di mana kuburnya. Selain itu, rakyat juga diwajibkaan menyerahkan padi dan beras dengan aturan yang sangat menjerat dan menindas rakyat, sehingga penderitaan terjadi dimana-mana.

c. Perlawanan di Indramayu
Perlawanan terhadap kekejaman Jepang juga terjadi di daerah Indramayu. Latar belakang dan sebab-sebab perlawanan adalah Para petani dan rakyat Indramayu pada umumnya hidup sangat sengsara. Jepang telah bertindak semena-mena terhadap para petani Indramayu. Mereka harus menyerahkan sebagian besar hasil padinya kepada Jepang. kebijakan untuk mengerahkan tenaga romusa juga terjadi di Indramayu, sehingga semakin membuat rakyat menderita.

d. Rakyat Kalimantan Angkat Senjata
Perlawanan rakyat terhadap kekejaman Jepang terjadi di banyak tempat. Begitu juga di Kalimantan, di sana terjadi peristiwa yang hampir sama dengan apa yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Rakyat melawan Jepang karena himpitan penindasan yang dirasakan sangat berat. Salah satu perlawanan di Kalimantan adalah perlawanan yang dipimpin oleh Pang Suma, seorang pemimpin Suku Dayak. Pemimpin Suku Dayak ini memiliki pengaruh yang luas di kalangan orang-orang atau suku-suku dari daerah Tayan, Meliau, dan sekitarnya.

e. Perlawanan Rakyat Irian
Gerakan perlawanan yang terkenal di Papua adalah “Gerakan Koreri” yang berpusat di Biak dengan pemimpinnya bernama L. Rumkorem. Rakyat Irian memiliki semangat juang pantang menyerah, sekalipun Jepang sangat kuat, sedangkan rakyat hanya menggunakan senjata seadanya untuk melawan. Rakyat Irian terus memberikan perlawanan di berbagai tempat.

f. Peta di Blitar Angkat Senjata
Penderiatan rakyat sangat berat. Tidak ada sedikit pun dari pemerintah pendudukan Jepang yang memikirkan bagaimana hidup rakyat yang diperintahnya.Yang ada pada benak Jepang adalah memenangkan perang dan bagaimana mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu. Namun, justru rakyat yang dikorbankan. Penderitaan demi penderitaan rakyat ini mulai terlintas di benak Supriyadi seorang Shodanco Peta yang akhirnya tumbuh kesadaran nasionalnya untuk melawan Jepang.

Perang Peta melawan Jepang dipimpin oleh Supriyadi seorang Shodanco/Komandan  Peta.
Penyebab Peta berperang melawan Jepang adalah penderitaan rakyat akibat penindasan yang dilakukan Jepang, seperti pengumpulan hasil padi, pengerahan romusa, semua dilakukan secara paksa dengan tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan.

Materi 5b Strategi Perjuangan Bangsa Indonesia Sebelum dan Sesudah Abad Ke-20

Strategi Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Kolonialisme Barat Sebelum Dan Sesudah Abad Ke-20


A.    Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan kerajaan terdahulu yang berkuasa, namun kejayaan itu semua hilang ketika para penjajah datang. Penjajah datang semula datang dengan berniat baik, dan diterima masyarakat, namun lama kelamaan kedatangan mereka yang semula hanya untuk berdagang, berubah seiring perkembangannya, mereka tidak hanya melakukan perdagangan dengan masyarakat local tetapi juga memonopoli perdagangan serta lambat laun juga mereka mengambil ahli pemerintahan, mulai dari masa voc sampai tanam paksa.

Penetrasi kekuasaan kolonial Belanda yang tidak hanya dibidang ekonomi, tetapi juga kebidang sosial-budaya, sampai kebidang politik bahkan bidang agama. Karena berbagai penetrasi yang mendalam yang dilakukan kolonial belanda ini lah membuat reaksi dari rakyat, dan melakukan pergerakan bahkan menggunakan senjata, timbul para pemuka-pemuka dari tokoh daerah untuk melakukan pergerakan terhadap kolonial Belanda. pergerakan yang dilakukan oleh rakyat berlangsung sangat lama, dan dengan pola dan bentuk yang berkembang disetiap zamannya, untuk itulah pembahasan ini dibuat untuk mengetahui bagaimana pergerakan yang dilakukan melawan kolonial. dan bagaimana pergerakan rakyat sebelum abad 20 yang masih bersifat kedaerahan dan bagaimana perkembangan pergerakan setelah abad 20 yang sudah ada kesadaran dari pergerakan rakyat yang mengenal organisasi.

B. Perlawanan bangsa Indonesia  sebelum abad 20
Perlawanan sebelum abad 20 merupakan rangkaian yang panjang perlawanan rakyat dengan berbagai bentuk, semua perlawanan memberikan bukti akan kegigihan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia sebelum abad 20 yaitu masih bersifat tradisionaliltis, kedaerahan, belum adanya integrasi,  serta perlawanan digerakan oleh seorang pemimpin.

Penjajahan yang dilakukan oleh kolonial belanda yang tidak hanya membuat rakyat tertekan secara ekonomi tetapi juga secara politik juga mengakibatkan rakyat melakukan perlawanan melalui perang walau alat yang digunakan hanya alat tradisional. Perlawanan yang dilakukan pun masih kedaerahan dimana perlawanan dilakukan secara daerah-daerah tanpa adanya penyatuan dari setiap daerah dengan daerah yang lain. Perlawanan secara kedaerahan ini mengakibatkan tidaknya adanya  integrasi bangsa, perlawanan yang dilakukan secara daerah ini mengakibatkan tidak efektif karena tidak adanya kesadaran integrasi ini kekuatan terpecah-pecah.

Perlawanan yang dilakukan secara kedaerahan ini membuat penjajah dengan mudah meredam semua bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap penjajah sudah dimulai sejak abad 16 yang dilakukan melawan penjajah seperti perlawanan Sultan Baabullah di ternate, Dipati Unus di malaka, panglima Fatahillah di jawa barat, Sultan Iskandar Muda di Aceh, Sultan Agung di Batavia, yang melawan portugis kemudian Indonesia pada tahun 1602 perlawanan ditunjukan untuk melawan VOC, yang dilakukan oleh Sultan Agung di Batavia, Sultan Ageng Tirtayasa di banten, Sultan Hasanudin di Makassar. Meski terus mengalami kegagalan dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan perlawanan tetap dilakukan pada abad ke-19 dimana perlawanan ditujuhkan untuk Kolonial Belanda seperti perlawanan rakyat Maluku, perang padri, perang Diponegoro.perang Aceh.

            Aksi-aksi perlawanan dilakukan para pejuang untuk mengusir penjajah, terus dilakukan meski mengalami kegagalan hingga akhirnya muncul pergerakan yang bersifat Nasional, perlawanan yang bersifat nasional inilah yang kemudian membangkitkan semangat perjuangan secara menyeluruh untuk mengusir penjajah.

C. Perlawanan bangsa Indonesia setelah abad 20
Perjuangan bangsa Indonesia melawan tidak berhenti, perjuangan dilakukan juga dilakukan setelah abad 20, perlawanan ditandai dengan dibentuk organisasi Boedi Oetomo pada 1908. Meski sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial, ekonomi dan budaya namun organisasi ini telah membangun bangsa Indonesia dan membuat pergerakan perlawanan terhadap para penjajah mengalami perubahan dari perlawanan sebelum-sebelumnya.

Perlawanan bangsa Indonesia memasuki abad 20 yakni :
ü   Munculnya kesadaran nasional untuk melawan penjajah, jika sebelum abad 20 perlawanan bersifat kedaerahan memasuki abad 20 sudah ada integrasi bangsa.
ü   Perjuangan dilakukan secara organisasi, dengan dibentuknya berbagai organisasi
ü   Perjuangan tidaknya tergantung pada seorang pemimpin yang memilki kharismatik tetapi sudah secara kaderisasi.
ü   Perjuangan dilakukan secara politik dimana telah muncul para kaum terpelajar yang melawan secara diplomatic.
ü   Perlawanan sudah modern yang dilakukan tidaknya secara nonkooperatif tetapi sudah secara kooperatif

D. Perbedaan Perjuangan Rakyat Indonesia Sebelum dan Sesudah Abad ke-20
1.         Sebelum abad ke-20 perlawanan masih bersifat kedaerahan. Masing-masing pemimpin mempertahankan wilayah kekuasaannya. Sesudah abad ke-20 sudah bersifat nasional, yaitu perjuangan tidak lagi bersifat nasionalisme sempit, namun perjuangan ditujukan untuk mencapai Indonesia Merdeka. Munculnya kata “Indonesia” sebagai identitas bangsa menyatukan berbagai suku, agama, dan budaya yang ada di Nusantara untuk bersatu padu mengusir penjajah.
2.         Sebelum abad ke-20 perlawanan dipimpin oleh raja atau bangsawan. Pangeran Diponegoro (bangsawan), Teuku Umar (bangsawan), Sultan Hasanuddin (raja), Si Singamagaraja IX (raja). Karena perlawanan bertumpu pada kharisma pemimpin, maka tatkala pemimpin tewas atau tertangkap, perlawanan akan berhenti. Sesudah abad ke-20 perjuangan dipimpin oleh golongan terpelajar (cendekiawan). Pemberian kesempatan bagi pribumi untuk mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda pada awal abad ke-20 dimaksudkan untuk memperoleh tenaga kerja murah, namun justru melahirkan golongan cendekiawan yang kemudian memimpin perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Mereka adalah Sutomo, Suardi Suryaningrat, Soekarno, Moh. Hatta, Sahrir, dan lain-lain. Karena perjuangan melalui organisasi modern menerapkan sistem kaderisasi, maka meski pemimpin tertangkap dan dipenjara, perlawanan tetap berlanjut.
3.         Sebelum abad ke-20 perjuangan berbentuk perlawanan fisik, melalui peperangan. Pertempuran secara frontal menimbulkan banyak korban jiwa bagi kedua pihak. Sesudah abad ke-20 perjuangan melalui organisasi pergerakan nasional. Upaya mencapai kemerdekaan dilakukan dengan cara-cara modern, misalnya lewat media massa, demo, pemogokan buruh/pegawai, atau mengirimkan wakil-wakil di dewan rakyat (volksraad), serta menggalang dukungan politik dari dunia luar.
4.         Sebelum abad ke-20 perlawanan berpusat di desa-desa atau di pedalaman karena kota-kota yang merupakan pusat perniagaan dikuasai Belanda dan didirikan benteng. Sesudah abad ke-20 pusat perjuangan di kota-kota. Organisasi pergerakan yang berkedudukan di kota-kota besar melakukan kritik, agitasi massa, dan menentang berbagai kebijakan pemerintah kolonial Belanda.
Back To Top