Blog Kang One

Catatan Sederhana untuk Berbagi

Materi Sejarah 11c : Peranan Mahasiswa dan Pemuda dalam perubahan politik dan ketatanegaraan Indonesia


MATERI 11c SEJARAH INDONESIA
PERAN PELAJAR, MAHASISWA, DAN PEMUDA
DALAM PERUBAHAN POLITIK DAN KETATANEGARAAN INDONESIA




A.      Pengertian Pemuda dan Pemerintahan Orde Baru

A.1   Pengertian Pemuda
Pemuda merupakan kumpulan orang-orang yang masih muda yang mempunyai jiwa, semangat, ide dan pemikiran-pemikiran yang segar dan visioner yang bisa dipergunakan untuk memajukan bangsa. Jadi, generasi muda sangatlah penting dalam suatu bangsa, bahkan generasi muda ini bisa dikatakan sebagai tonggak utama suatu bangsa yang berpegaruh besar dalam suatu negara dengan aksi-aksi dan pemikiran kritisnya. Yang dimaksud dengan kumpulan orang muda dalam pengertian ini bukan muda menurut usia saja, yang dimaksud dengan kumpulan orang-orang muda adalah seseorang yang masih produktif dan masih aktif dalam bidangnya masing-masing. Biasanya orang-orang yang dianggap muda adalah mereka yang berumur kurang dari 40 tahun.

Sedangkan menurut Taufik Abdullah dalam bukunya Pemuda dan Perubahan Sosial, bahwa pemuda atau generasi muda merupakan konsep-konsep yang selalu dikaitkan dengan masalah nilai. Hal ini merupakan pengertian idiologis dan kultural daripada pengertian ini. Di dalam masyarakat pemuda merupakan satu identitas yang potensial sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsanya karma pemuda sebagai harapan bangsa dapat diartikan bahwa siapa yang menguasai pemuda akan menguasai masa depan. Ada beberapa kedudukan pemuda dalam pertanggungjawabannya atas tatanan masyarakat, antara lain:
a.  Kemurnian idealismenya
b. Keberanian dan Keterbukaanya dalam menyerap nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang baru
c.  Semangat pengabdiannya
d.  Sepontanitas dan dinamikanya
e.  Inovasi dan kreativitasnya
f.   Keinginan untuk segera mewujudkan gagasan-gagasan baru
g.  Keteguhan janjinya dan keinginan untuk menampilkan sikap dan keperibadiannya yang mandiri
h.  Masih langkanya pengalaman-pengalaman yang dapat merelevansikan pendapat, sikap dan tindakanya dengan kenyataan yang ada.

A.2   Pengertian Pemerintahan Orde Baru
Orde baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang mengarah pada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru dieknal dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama oleh Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998.

Moh. Mahfud M.D. , seorang Guru Besar Hukum Konstitusi di Harian Seputar Indonesia mendeskripsikan bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru dulu banyak identifikasi yang dilekatkan pada kepolitikan Indonesia sebagai negara nondemokratis seperti statis organis, state corporatism, technocratic military regime, patrimonialisme Jawa, beambtenstaat, post colonial state, bureaucratic authoritarian regime (BAR) dsb. Semua identifikasi itu menunjuk pada substansi yang sama bahwa pemerintahan Orde Baru adalah otoriter dan korup. Bureaucratic authoritarian regime (BAR), misalnya, adalah identifikasi yang menjelaskan bahwa pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan yang otoriter dan korup yang selain sentralistis juga ditandai birokrasi yang lamban, bertele-tele, dan biaya mahal.

B.       Beberapa Pelanggaran Orde Baru
Kekuasaan Orde Baru berlangsung selama 1966 hingga 1998. Jika dilihat lebih jauh, sebenarnya pada 13 tahun pertama Orde Baru,  situasi negara tak lebih baik daripada 13 tahun pertama era Reformasi saat ini.

Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat namun di saat bersamaan praktik korupsi merajalela. Kesenjangan antara rakyat yang kaya dan yang miskin juga semakin melebar.

Pada 13 tahun pertama, sejak 1968 hingga 1981, Presiden Soeharto menerapkan kebijakan-kebijakan khusus guna memperkuat fondasi Orde Baru. Berikut ini gambaran kebijakan Orde Baru pada 13 tahun pertama.
1.     MPR secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, dan 1983 melantik Soeharto sebagai Presiden RI.
2.     Soeharto mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi pada 19 September 1966.
3.  Pengucilan politik dan pemberian hukuman sanksi kriminal terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia  (PKI). Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat dibuang ke Pulau Buru.
4.    Pemberlakuan Penelitian Khusus (Litsus) diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
5.  Orde Baru membangun ekonomi melalui bisnis militer dan menciptakan struktur administratif yang didominasi militer dengan penasihat dari ahli ekonomi didikan Barat.
6.  DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
7.    Pembagian PAD tidak adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
8.  Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan tapi tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI.
9.   Eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara besar-besaran. Pengeksploitasian SDA menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.
10  Warga keturunan Tionghoa dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga Tionghoa dianggap sebagai warga negara asing dan kedudukannya berada di bawah pribumi. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang. Agama tradisional Tionghoa dilarang, Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.

 Selain kesepuluh poin di atas, hal yang paling menonjol adalah tidak adanya kebebasan pers untuk mengungkapkan pendapat atau menerbitkan berita, jika hal tersebut kiranya memberi coretan buruk maupun tidak mnguntungkan pemerintahan Orde Baru. Padahal dalam kehidupan negara Indonesia, seseorang yang mengemukakan pendapatnya atau mengeluarkan pikirannya dijamin secara konstitusional. Hal itu dinyatakan dalam UUD 1945, Pasal 28, bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Pengertian lebih lanjut tentang kemerdekaan mengemukakan pendapat dinyatakan dalam Pasal 1 (1) UU No. 9 Tahun 1998, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang yang mengatur kemerdekaan mengemukakan pendapat antara lain diatur dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pengertian di muka umum adalah di hadapan orang banyak atau orang lain, termasuk tempat yang dapat didatangi dan/atau dilihat setiap orang. Mengemukakan pendapat di muka umum berarti menyampaikan pendapat di hadapan orang banyak atau orang lain, termasuk tempat yang dapat didatangi dan/atau dilihat setiap orang.

Jika dilihat dari hal-hal diatas, bangsa Indonesia tengah mengalami situasi sulit dimana kebabasan menjadi barang langka dan kekuasaan otoriter menjadi “ciri khas” pemerintahan Indonesia selama sekitar 32 tahun. Penyimpangan – penyimpangan yang terjadi ini pun harus dirasakan  masyarakat dalam hati, maupun dalam keluhan yang tidak menyelesaikan masalah karena tidak adanya pengungkapan secara terbuka.

C.      Situasi Politik Menjelang Berakhirnya Orde Baru

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, demokrasi pada masa Orde Baru tidak mencapai substanstinya. Ini terbukti dengan mutu pemilu yang dianggap tidak fair dan jauh dari kualitas demokrasi yang sebenarnya. Golkar di bawah kepemimpinan Harmoko, mantan Menteri Penerangan (1987-1996) memenangkan lebih dari 70% suara pada pemilu 1997 .

Hal ini mengundang aksi - aksi protes terbuka yang mengiringi tahapan-tahapan pemilu. Mulai dari pantarlih sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara di berbagai daerah. Munculnya kehendak untuk perubahan dalam perpolitikan sudah terasa kian membesar, bahkan sebelum krisis ekonomi terjadi. Aksi aksi protes pada pemilu 1997 juga merupakan pertanda semakin meningkatnya keberanian masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap manipulasi politik yang sebelumnya tidak atau jarang terjadi. Kerusuhan sosial yang semakin marak karena kekerasan politik baik sebelum maupun pasca Pemilu 1997. Misalnya, peristiwa penyerangan kantor DPP-PDI di Menteng, Jakarta pada bulan Juli 1996, konflik anatar etnik (1996) Madura dan Dayak di Sanggau Ledo dan antar Madura dan Melayu di Sambas (1998) (Kalimantan Barat), huru-hara di Rengasdengklok (Karawang) dan beberapa kerusuhan dalam skala kecil, terjadi di desa-desa . Dibalik kerusuhan sosial itu adalah resistensi masyarakat mengadapi poltik kontrol dan pengendalian pemerintah, karena semakin kuatnya keterkaitan antara kecenderungan politik nasional dengan politik lokal (Syamsuddin, 1998) yang keras menjelang dan sesudah pemilu. Kekecewaan itu terfokus atas penataan politik yang hegemonik, pengelolaan ekonomi yang berlumur KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sehingga mendorong praktek dan pertumbuhan ekonomi makin tidak sehat,serta penegakan hukum yang lemah.

Kemenangan Golkar pada pemilu 1997 tersebut, memposisikan Golkar di puncak kejayaannya. Tetapi, walaupun pemerintah Orde Baru memperkokoh kekuasaannya, loyalitas ABRI, dan Golkar yang tak tergoyahkan, demokrasi yang selama Orde Baru kehilangan substansinya meledak untuk menuntut reformasi di segala bidang.             Menurut para reformis, reformasi politik harus dimulai dengan mengubah lima undang-undang politik yaitu UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, UU Anti Monopoli, dan UU Anti Korupsi. Dr. Anwar Haryono, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia melihat bahwa tuntutan akan reformasi sudah tidak dapat dibendung lagi. Ia menemui Soeharto dan menyarankan agar Soeharto memimpin reformasi, kalau tidak Soeharto boleh menyerahkan reformasi ke DPR.

Soeharto dengan cerdik menanggapi usulan Anwar Haryono. Ia mencoba memulai reformasi sesuai dengan apa yang dipikirkannya sendiri. Tanggal 30 April Presiden Soeharto mengundang para pimpinan DPR, orsospol dan ABRI ke kantor resminya, Binagraha. Pertemuan yang disebut silaturahmi itu berlangsung selama 90 menit, membahas situasi politik terakhir, dan kemungkinan merombak lima undang-undang politik dan reformasi. Hasil dari pertemuan itu adalah, menurut Soeharto reformasi GBHN itu harus dengan GBHN yang baru. Kata-kata Soeharto inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai “reformasi tidak ada sampai tahun 2003”.

 Mahasiswa dan para aktivis reformasi sangat kecewa atas pendirian Soeharto itu. Aksi-aksi semakin marak menuntut agar reformasi dilaksanakan saat ini juga, bukan tahun 2003.

Di tengah situasi yang genting, Soeharto berangkat ke Kairo pada tanggal 9 Mei untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi kelompok G15 ke-8, sebuah forum kerjasama antar negara-negara berkembang. Ketika di Kairo, Soeharto menyatakan kesediaannya untuk lengser keprabon. “Silahkan diganti, asal dengan cara yang konstitusional. Saya tidak akan mempertahankan dengan kekuatan senjata,” Soeharto.

Masyarakat tidak percaya lagi terhadap kata-kata Soeharto karena dalam waktu dua minggu saja, ralat pers dan tuduhan salah kutip terhadap pers seperti itu terulang dua kali. Ralat Alwi Dahlan disampaikan dengan hati-hati, mengingat pengalaman dua minggu sebelumnya, ralat akan menimbulkan reaksi keras. Perkiraan itu benar. Kali ini tuntutan masyarakat lebih keras. Mereka menuntut diadakan Sidang Istimewa MPR, meminta pertanggungjawaban Soeharto, dan mengembalikan mandatnya kepada MPR. Soeharto yang terlanjur menyangkal pernyataan mundurnya, menjanjikan tiga langkah. Langkah pertama, Soeharto dengan kewenangan yang ada digunakan untuk menyelamatkan bangsa dan negara, melindungi hak hidup warga negara, mengamankan harta dan hak milik rakyat, mengamankan pembangunan dan aset nasional, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengamankan Pancasila dan UUD 1945. Kedua, reformasi akan terus dijalankan di segala bidang. Dan ketiga, Soeharto akan meresufle Kabinet Pembangunan VII.

Antara tanggal 18 hingga 20 Mei terjadi beberapa perkembangan sangat menentukan terhadap kedudukan Soeharto.

Orang-orang yang dekat dengan Soeharto berbalik arah untuk mendukung tuntutan-tuntutan demonstran. Pada tanggal 18 Mei, gedung MPR/DPR mulai dipadati demonstran. Pimpinan MPR/DPR mengadakan rapat untuk merespon tuntutan mereka. Rapat itu menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam sebuah penyataan pers Harmoko yang mengejutkan semua pihak. Mengejutkan, karena keluar dari DPR yang didominasi Golkar, kelompok yang dekat dengan Soeharto. Dalam pernyataan tersebut pimpinan dewan mengharapkan agar presiden sebaiknya mengundurkan diri.

Pada tanggal 20 Mei, 14 menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita mengadakan rapat di kantor Bappenas.Rapat ini menghasilkan bahwa mereka tidak bersedia duduk di Kabinet Reformasi. Mereka menyampaikan hasil rapat ini dalam bentuk surat kepada Soeharto.                  

Di hari yang sama, Soeharto juga menerima surat dari pimpinan DPR. Isinya menyatakan agar Presiden Soeharto selambat-lambatnya mengundurkan diri pada hari Jum’at 22 Mei. Kalau sampai hari Jum’at itu Soeharto tidak juga mundur, maka pimpinan DPR/MPR akan menyiapkan Sidang Istimewa tanggal 25 Mei. Setelah membaca surat itu, Soeharto memberitahu Sadilah Mursyid tentang ketetapan hatinya untuk berhenti keesokan harinya. Kabar ini pun bocor sampai ke para demonstran yang menduduki gedung MPR/DPR. Kamis pagi, 21 Mei 1998, Soeharto membacakan surat pengunduran dirinya dan BJ. Habibie secara otomatis menjadi presiden .

D.      Peran Pemuda dalam Penurunan Rezim Orde Baru
Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu yang selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa dan Negara.        

Dalam sebuah pidatonya, Sukarno pernah mengorbakan semangat juang Pemuda, “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan ku goncangkan dunia”. Begitu besar peranan pemuda di mata Sukarno, jika ada sembilan pemuda lagi maka Indonesia menjadi negara Super Power.          

Peran pemuda dalam perjalanan bangsa ini sangat sentral. Pemuda selalu menjadi bagian terdepan dalam setiap perubahan sejarah. Dalam catatan sejarah Indonesia, pemuda menjadi aktor utama pada peristiwa-peristiwa bersejarah. Kesadaran nasionalisme Indonesia di awal abad 19 dimulai oleh kaum muda. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah inisiatif kaum muda. Revolusi kemerdekaan juga diperjuangkan orang-orang muda, bahkan sebagian dipimpin oleh kaum muda. Demikian pula runtuhnya pemerintahan orde baru.          

Runtuhnya Orde Baru pada awalnya dikarenakan krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia ada kurun waktu 1997-1998 merupakan langkah pembuka terjadinya perubahan sistem politik besar-besaran di tanah air dengan mahasiswa sebagai agennya. Meskipun pada awalnya terlihat sebagai krisis moneter, tapi krisis ini ternyata mepunyai efek serius dalam berbagai aspek yang luas dampaknya di Indonesia. Saat itu, mahasiswa terus meneriakkan tuntutan mereka yang pertama, yaitu  “Turunkan Harga!”. Tetapi, semakin lama kondisi perekonomian malah semakin buruk. Tuntutan mahasiswa pun berubah menjadi “Turunkan Soeharto!”. Saat itu kaum pemuda memiliki pemikiran, kondisi perekonomian suatu negara takkan membaik apabila kondisi perpolitikannya buruk, atau bahkan sudah hancur. Ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa krisis ekonomi bukanlah krisis yang berdiri sendiri, tapi berhubungan dengan kondisi politik dan sosial suatu negara.        

Saat itu, suara hati rakyat disalurkan oleh Mahasiswa yang berperan sebagai pemuda yang mau peduli pada bangsanya. Ada beberapa lagu yang mereka ciptakan sebagai pengobar semangat perjuangan mereka, seperti Buruh Tani dan Totalitas perjuangan. Mereka mulai turun ke jalan untuk aksi, padahal ini tidak sesuai dengan peraturan NKK dan BKK. Melihat keadaan yang demikian, banyak tokoh pemerintahan yang menuduh mahasiswa melakukan politik praktis. Padahal mahasiswa melakukan aksi aksi itu dilandaskan pada hal yang mereka anggap benar dan tidak dipengaruhi oleh kekuatan kelompok lain. Ini menyebabkan gerakan ini berhak disebut sebagai gerakan moral.        

Momentum yang menambah tegang situasi ini adalah semenjak tragedi Trisakti dimana 4 mahasiswa meninggal ditembak oleh aparat yang berjaga disana. Semenjak itu mahasiswa terus mendesak agar Soeharto diturunkan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998, berkat usaha keras mahasiswa – dan pihak lainnya- , Soeharto pun mundur dari jabatannya.

 E.       Dampak Partisipasi Pemuda terhadap Politik Orde Baru                 
Setelah pemuda berhasil melengserkan Soeharto dari kursi kepemimpinan selama 32 tahun, Indonesia memasuki masa Reformasi dimana saat itu dikatakan memasuki dunia baru yang terlepas dari cengkraman penguasa otoriter. Awal reformasi yang ditandai dengan lengsernya Soeharto sebagai presiden RI pun mulai memberikan kebebasan pers untuk memuat berita dan tidak diperlukan lagi surat izin terbit dan tidak ada lagi pembreidelan. Hal ini diperkuat oleh adanya UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers. Sejak itu bangsa Indonesia memasuki era sistem pers liberal barat. Setelah reformasi, walaupun belum ada peristiwa politik radikal yang memerlukan peran penting mahasiswa, namun mahasiswa belum berhenti melakukan aksi-aksi perubahan dalam situasi politik Indonesia. Peran mahasiswa masih dibutuhkan sebagai media kontrol politik Indonesia, sebagai distributor pikiran-pikiran masyarakat. Sifat mahasiswa yang kritis merupakan faktor pemicu yang kuat dalam pentingnya peranan mahasiswa dalam peristiwa politik tanah air.



Labels: materi sejarah online, peranan pemuda dan mahasiswa, politik pemuda dan mahasiswa

Thanks for reading Materi Sejarah 11c : Peranan Mahasiswa dan Pemuda dalam perubahan politik dan ketatanegaraan Indonesia . Please share...!

Back To Top