Posted by
One_Esc on
Monday, February 17, 2020
MATERI 11c SEJARAH INDONESIA
PERAN PELAJAR, MAHASISWA, DAN PEMUDA
DALAM PERUBAHAN POLITIK DAN KETATANEGARAAN INDONESIA
A.
Pengertian Pemuda dan Pemerintahan Orde Baru
A.1
Pengertian Pemuda
Pemuda merupakan kumpulan orang-orang yang masih muda
yang mempunyai jiwa, semangat, ide dan pemikiran-pemikiran yang segar dan
visioner yang bisa dipergunakan untuk memajukan bangsa. Jadi, generasi muda
sangatlah penting dalam suatu bangsa, bahkan generasi muda ini bisa dikatakan
sebagai tonggak utama suatu bangsa yang berpegaruh besar dalam suatu negara
dengan aksi-aksi dan pemikiran kritisnya. Yang dimaksud dengan kumpulan orang
muda dalam pengertian ini bukan muda menurut usia saja, yang dimaksud dengan
kumpulan orang-orang muda adalah seseorang yang masih produktif dan masih aktif
dalam bidangnya masing-masing. Biasanya orang-orang yang dianggap muda adalah
mereka yang berumur kurang dari 40 tahun.
Sedangkan menurut Taufik Abdullah dalam bukunya
Pemuda dan Perubahan Sosial, bahwa pemuda atau generasi muda merupakan
konsep-konsep yang selalu dikaitkan dengan masalah nilai. Hal ini merupakan
pengertian idiologis dan kultural daripada pengertian ini. Di dalam masyarakat
pemuda merupakan satu identitas yang potensial sebagai penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsanya karma pemuda
sebagai harapan bangsa dapat diartikan bahwa siapa yang menguasai pemuda akan
menguasai masa depan. Ada beberapa kedudukan pemuda dalam pertanggungjawabannya
atas tatanan masyarakat, antara lain:
a. Kemurnian
idealismenya
b. Keberanian dan Keterbukaanya dalam menyerap
nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang baru
c. Semangat
pengabdiannya
d.
Sepontanitas dan dinamikanya
e. Inovasi dan
kreativitasnya
f. Keinginan
untuk segera mewujudkan gagasan-gagasan baru
g. Keteguhan janjinya
dan keinginan untuk menampilkan sikap dan keperibadiannya yang mandiri
h. Masih
langkanya pengalaman-pengalaman yang dapat merelevansikan pendapat, sikap dan
tindakanya dengan kenyataan yang ada.
A.2
Pengertian Pemerintahan Orde Baru
Orde baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan
Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang mengarah
pada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru dieknal dengan semangat "koreksi
total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama oleh Soekarno. Orde Baru
berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998.
Moh. Mahfud M.D. , seorang Guru Besar Hukum
Konstitusi di Harian Seputar Indonesia mendeskripsikan bahwa pada masa
pemerintahan Orde Baru dulu banyak identifikasi yang dilekatkan pada
kepolitikan Indonesia sebagai negara nondemokratis seperti statis organis,
state corporatism, technocratic military regime, patrimonialisme Jawa,
beambtenstaat, post colonial state, bureaucratic authoritarian regime (BAR)
dsb. Semua identifikasi itu menunjuk pada substansi yang sama bahwa
pemerintahan Orde Baru adalah otoriter dan korup. Bureaucratic authoritarian
regime (BAR), misalnya, adalah identifikasi yang menjelaskan bahwa pemerintahan
Orde Baru adalah pemerintahan yang otoriter dan korup yang selain sentralistis
juga ditandai birokrasi yang lamban, bertele-tele, dan biaya mahal.
B.
Beberapa Pelanggaran Orde Baru
Kekuasaan Orde Baru berlangsung selama 1966 hingga
1998. Jika dilihat lebih jauh, sebenarnya pada 13 tahun pertama Orde Baru, situasi negara tak lebih baik daripada 13
tahun pertama era Reformasi saat ini.
Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat namun di saat bersamaan praktik korupsi merajalela.
Kesenjangan antara rakyat yang kaya dan yang miskin juga semakin melebar.
Pada 13 tahun pertama, sejak 1968 hingga 1981,
Presiden Soeharto menerapkan kebijakan-kebijakan khusus guna memperkuat fondasi
Orde Baru. Berikut ini gambaran kebijakan Orde Baru pada 13 tahun pertama.
1. MPR secara berturut-turut pada
tahun 1973, 1978, dan 1983 melantik Soeharto sebagai Presiden RI.
2. Soeharto mendaftarkan Indonesia
menjadi anggota PBB lagi pada 19 September 1966.
3. Pengucilan politik dan
pemberian hukuman sanksi kriminal terhadap orang-orang yang terkait dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI). Pengadilan
digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat dibuang ke Pulau Buru.
4. Pemberlakuan Penelitian Khusus
(Litsus) diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde
Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
5. Orde Baru membangun ekonomi
melalui bisnis militer dan menciptakan struktur administratif yang didominasi
militer dengan penasihat dari ahli ekonomi didikan Barat.
6. DPR dan MPR tidak berfungsi
secara efektif. Anggotanya dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang
dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang
didengar oleh pusat.
7. Pembagian PAD tidak adil karena
70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga
melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
8. Soeharto merestrukturisasi
politik dan ekonomi dengan dwitujuan tapi tercapainya stabilitas politik pada
satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan
Golkar, TNI.
9. Eksploitasi sumber daya alam
(SDA) secara besar-besaran. Pengeksploitasian SDA menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.
10 Warga keturunan Tionghoa
dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga Tionghoa dianggap sebagai warga
negara asing dan kedudukannya berada di bawah pribumi. Kesenian barongsai
secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin
dilarang. Agama tradisional Tionghoa dilarang, Akibatnya agama Konghucu
kehilangan pengakuan pemerintah.
Selain
kesepuluh poin di atas, hal yang paling menonjol adalah tidak adanya kebebasan
pers untuk mengungkapkan pendapat atau menerbitkan berita, jika hal tersebut
kiranya memberi coretan buruk maupun tidak mnguntungkan pemerintahan Orde Baru.
Padahal dalam kehidupan negara Indonesia, seseorang yang mengemukakan
pendapatnya atau mengeluarkan pikirannya dijamin secara konstitusional. Hal itu
dinyatakan dalam UUD 1945, Pasal 28, bahwa kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang.
Pengertian lebih lanjut tentang kemerdekaan
mengemukakan pendapat dinyatakan dalam Pasal 1 (1) UU No. 9 Tahun 1998, bahwa
kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk
menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung
jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang yang mengatur kemerdekaan mengemukakan pendapat antara lain
diatur dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum. Pengertian di muka umum adalah di hadapan orang banyak
atau orang lain, termasuk tempat yang dapat didatangi dan/atau dilihat setiap
orang. Mengemukakan pendapat di muka umum berarti menyampaikan pendapat di
hadapan orang banyak atau orang lain, termasuk tempat yang dapat didatangi
dan/atau dilihat setiap orang.
Jika dilihat dari hal-hal diatas, bangsa Indonesia tengah mengalami
situasi sulit dimana kebabasan menjadi barang langka dan kekuasaan otoriter
menjadi “ciri khas” pemerintahan Indonesia selama sekitar 32 tahun.
Penyimpangan – penyimpangan yang terjadi ini pun harus dirasakan masyarakat dalam hati, maupun dalam keluhan
yang tidak menyelesaikan masalah karena tidak adanya pengungkapan secara
terbuka.
C. Situasi
Politik Menjelang Berakhirnya Orde Baru
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, demokrasi
pada masa Orde Baru tidak mencapai substanstinya. Ini terbukti dengan mutu
pemilu yang dianggap tidak fair dan jauh dari kualitas demokrasi yang
sebenarnya. Golkar di bawah kepemimpinan Harmoko, mantan Menteri Penerangan
(1987-1996) memenangkan lebih dari 70% suara pada pemilu 1997 .
Hal ini mengundang aksi - aksi protes terbuka yang
mengiringi tahapan-tahapan pemilu. Mulai dari pantarlih sampai dengan
pemungutan dan penghitungan suara di berbagai daerah. Munculnya kehendak untuk
perubahan dalam perpolitikan sudah terasa kian membesar, bahkan sebelum krisis
ekonomi terjadi. Aksi aksi protes pada pemilu 1997 juga merupakan pertanda
semakin meningkatnya keberanian masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap
manipulasi politik yang sebelumnya tidak atau jarang terjadi. Kerusuhan sosial
yang semakin marak karena kekerasan politik baik sebelum maupun pasca Pemilu
1997. Misalnya, peristiwa penyerangan kantor DPP-PDI di Menteng, Jakarta pada bulan
Juli 1996, konflik anatar etnik (1996) Madura dan Dayak di Sanggau Ledo dan
antar Madura dan Melayu di Sambas (1998) (Kalimantan Barat), huru-hara di
Rengasdengklok (Karawang) dan beberapa kerusuhan dalam skala kecil, terjadi di
desa-desa . Dibalik kerusuhan sosial itu adalah resistensi masyarakat mengadapi
poltik kontrol dan pengendalian pemerintah, karena semakin kuatnya keterkaitan
antara kecenderungan politik nasional dengan politik lokal (Syamsuddin, 1998)
yang keras menjelang dan sesudah pemilu. Kekecewaan itu terfokus atas penataan
politik yang hegemonik, pengelolaan ekonomi yang berlumur KKN (korupsi, kolusi,
dan nepotisme) sehingga mendorong praktek dan pertumbuhan ekonomi makin tidak
sehat,serta penegakan hukum yang lemah.
Kemenangan Golkar pada pemilu 1997 tersebut,
memposisikan Golkar di puncak kejayaannya. Tetapi, walaupun pemerintah Orde
Baru memperkokoh kekuasaannya, loyalitas ABRI, dan Golkar yang tak tergoyahkan,
demokrasi yang selama Orde Baru kehilangan substansinya meledak untuk menuntut
reformasi di segala bidang.
Menurut para reformis, reformasi politik harus dimulai dengan mengubah
lima undang-undang politik yaitu UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, UU Anti Monopoli, dan UU Anti Korupsi. Dr.
Anwar Haryono, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia melihat bahwa tuntutan
akan reformasi sudah tidak dapat dibendung lagi. Ia menemui Soeharto dan
menyarankan agar Soeharto memimpin reformasi, kalau tidak Soeharto boleh
menyerahkan reformasi ke DPR.
Soeharto dengan cerdik menanggapi usulan Anwar
Haryono. Ia mencoba memulai reformasi sesuai dengan apa yang dipikirkannya
sendiri. Tanggal 30 April Presiden Soeharto mengundang para pimpinan DPR,
orsospol dan ABRI ke kantor resminya, Binagraha. Pertemuan yang disebut
silaturahmi itu berlangsung selama 90 menit, membahas situasi politik terakhir,
dan kemungkinan merombak lima undang-undang politik dan reformasi. Hasil dari
pertemuan itu adalah, menurut Soeharto reformasi GBHN itu harus dengan GBHN
yang baru. Kata-kata Soeharto inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai
“reformasi tidak ada sampai tahun 2003”.
Mahasiswa dan
para aktivis reformasi sangat kecewa atas pendirian Soeharto itu. Aksi-aksi
semakin marak menuntut agar reformasi dilaksanakan saat ini juga, bukan tahun
2003.
Di tengah situasi yang genting, Soeharto berangkat ke
Kairo pada tanggal 9 Mei untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi kelompok
G15 ke-8, sebuah forum kerjasama antar negara-negara berkembang. Ketika di
Kairo, Soeharto menyatakan kesediaannya untuk lengser keprabon. “Silahkan
diganti, asal dengan cara yang konstitusional. Saya tidak akan mempertahankan
dengan kekuatan senjata,” Soeharto.
Masyarakat tidak percaya lagi terhadap kata-kata
Soeharto karena dalam waktu dua minggu saja, ralat pers dan tuduhan salah kutip
terhadap pers seperti itu terulang dua kali. Ralat Alwi Dahlan disampaikan
dengan hati-hati, mengingat pengalaman dua minggu sebelumnya, ralat akan
menimbulkan reaksi keras. Perkiraan itu benar. Kali ini tuntutan masyarakat
lebih keras. Mereka menuntut diadakan Sidang Istimewa MPR, meminta
pertanggungjawaban Soeharto, dan mengembalikan mandatnya kepada MPR. Soeharto
yang terlanjur menyangkal pernyataan mundurnya, menjanjikan tiga langkah.
Langkah pertama, Soeharto dengan kewenangan yang ada digunakan untuk
menyelamatkan bangsa dan negara, melindungi hak hidup warga negara, mengamankan
harta dan hak milik rakyat, mengamankan pembangunan dan aset nasional,
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengamankan Pancasila dan UUD
1945. Kedua, reformasi akan terus dijalankan di segala bidang. Dan ketiga,
Soeharto akan meresufle Kabinet Pembangunan VII.
Antara tanggal 18 hingga 20 Mei terjadi beberapa
perkembangan sangat menentukan terhadap kedudukan Soeharto.
Orang-orang yang dekat dengan Soeharto berbalik arah
untuk mendukung tuntutan-tuntutan demonstran. Pada tanggal 18 Mei, gedung
MPR/DPR mulai dipadati demonstran. Pimpinan MPR/DPR mengadakan rapat untuk
merespon tuntutan mereka. Rapat itu menghasilkan kesepakatan yang dituangkan
dalam sebuah penyataan pers Harmoko yang mengejutkan semua pihak. Mengejutkan,
karena keluar dari DPR yang didominasi Golkar, kelompok yang dekat dengan
Soeharto. Dalam pernyataan tersebut pimpinan dewan mengharapkan agar presiden
sebaiknya mengundurkan diri.
Pada tanggal 20 Mei, 14 menteri di bawah koordinasi
Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita mengadakan rapat di kantor Bappenas.Rapat ini
menghasilkan bahwa mereka tidak bersedia duduk di Kabinet Reformasi. Mereka
menyampaikan hasil rapat ini dalam bentuk surat kepada Soeharto.
Di hari yang sama, Soeharto juga menerima surat dari
pimpinan DPR. Isinya menyatakan agar Presiden Soeharto selambat-lambatnya
mengundurkan diri pada hari Jum’at 22 Mei. Kalau sampai hari Jum’at itu
Soeharto tidak juga mundur, maka pimpinan DPR/MPR akan menyiapkan Sidang
Istimewa tanggal 25 Mei. Setelah membaca surat itu, Soeharto memberitahu
Sadilah Mursyid tentang ketetapan hatinya untuk berhenti keesokan harinya.
Kabar ini pun bocor sampai ke para demonstran yang menduduki gedung MPR/DPR.
Kamis pagi, 21 Mei 1998, Soeharto membacakan surat pengunduran dirinya dan BJ.
Habibie secara otomatis menjadi presiden .
D. Peran
Pemuda dalam Penurunan Rezim Orde Baru
Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak
kenal waktu yang selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga
menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang
berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan
lain-lain dengan penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa dan Negara.
Dalam sebuah pidatonya, Sukarno pernah mengorbakan
semangat juang Pemuda, “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan ku goncangkan
dunia”. Begitu besar peranan pemuda di mata Sukarno, jika ada sembilan pemuda
lagi maka Indonesia menjadi negara Super Power.
Peran pemuda dalam perjalanan bangsa ini sangat
sentral. Pemuda selalu menjadi bagian terdepan dalam setiap perubahan sejarah.
Dalam catatan sejarah Indonesia, pemuda menjadi aktor utama pada
peristiwa-peristiwa bersejarah. Kesadaran nasionalisme Indonesia di awal abad
19 dimulai oleh kaum muda. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah inisiatif
kaum muda. Revolusi kemerdekaan juga diperjuangkan orang-orang muda, bahkan
sebagian dipimpin oleh kaum muda. Demikian pula runtuhnya pemerintahan orde
baru.
Runtuhnya Orde Baru pada awalnya dikarenakan krisis
moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia ada kurun waktu 1997-1998 merupakan langkah pembuka terjadinya
perubahan sistem politik besar-besaran di tanah air dengan mahasiswa sebagai
agennya. Meskipun pada awalnya terlihat sebagai krisis moneter, tapi krisis ini
ternyata mepunyai efek serius dalam berbagai aspek yang luas dampaknya di Indonesia.
Saat itu, mahasiswa terus meneriakkan tuntutan mereka yang pertama, yaitu “Turunkan Harga!”. Tetapi, semakin lama
kondisi perekonomian malah semakin buruk. Tuntutan mahasiswa pun berubah
menjadi “Turunkan Soeharto!”. Saat itu kaum pemuda memiliki pemikiran, kondisi
perekonomian suatu negara takkan membaik apabila kondisi perpolitikannya buruk,
atau bahkan sudah hancur. Ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa krisis
ekonomi bukanlah krisis yang berdiri sendiri, tapi berhubungan dengan kondisi politik
dan sosial suatu negara.
Saat itu, suara hati rakyat disalurkan oleh Mahasiswa
yang berperan sebagai pemuda yang mau peduli pada bangsanya. Ada beberapa lagu
yang mereka ciptakan sebagai pengobar semangat perjuangan mereka, seperti Buruh
Tani dan Totalitas perjuangan. Mereka mulai turun ke jalan untuk aksi, padahal
ini tidak sesuai dengan peraturan NKK dan BKK. Melihat keadaan yang demikian,
banyak tokoh pemerintahan yang menuduh mahasiswa melakukan politik praktis.
Padahal mahasiswa melakukan aksi aksi itu dilandaskan pada hal yang mereka
anggap benar dan tidak dipengaruhi oleh kekuatan kelompok lain. Ini menyebabkan
gerakan ini berhak disebut sebagai gerakan moral.
Momentum yang menambah tegang situasi ini adalah
semenjak tragedi Trisakti dimana 4 mahasiswa meninggal ditembak oleh aparat
yang berjaga disana. Semenjak itu mahasiswa terus mendesak agar Soeharto
diturunkan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998, berkat usaha keras mahasiswa –
dan pihak lainnya- , Soeharto pun mundur dari jabatannya.
E. Dampak Partisipasi Pemuda terhadap
Politik Orde Baru
Setelah pemuda berhasil melengserkan Soeharto dari
kursi kepemimpinan selama 32 tahun, Indonesia memasuki masa Reformasi dimana
saat itu dikatakan memasuki dunia baru yang terlepas dari cengkraman penguasa
otoriter. Awal reformasi yang ditandai dengan lengsernya Soeharto sebagai
presiden RI pun mulai memberikan kebebasan pers untuk memuat berita dan tidak
diperlukan lagi surat izin terbit dan tidak ada lagi pembreidelan. Hal ini
diperkuat oleh adanya UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers. Sejak itu bangsa
Indonesia memasuki era sistem pers liberal barat. Setelah reformasi, walaupun
belum ada peristiwa politik radikal yang memerlukan peran penting mahasiswa,
namun mahasiswa belum berhenti melakukan aksi-aksi perubahan dalam situasi
politik Indonesia. Peran mahasiswa masih dibutuhkan sebagai media kontrol
politik Indonesia, sebagai distributor pikiran-pikiran masyarakat. Sifat
mahasiswa yang kritis merupakan faktor pemicu yang kuat dalam pentingnya
peranan mahasiswa dalam peristiwa politik tanah air.
Labels:
materi sejarah online,
peranan pemuda dan mahasiswa,
politik pemuda dan mahasiswa
Thanks for reading Materi Sejarah 11c : Peranan Mahasiswa dan Pemuda dalam perubahan politik dan ketatanegaraan Indonesia . Please share...!