Home » Arsip untuk June 2021
iwan setiawan
June 12, 2021
Admin
Indonesia
iwan setiawan June 12, 2021 Admin Indonesia
Sejarah Singkat Syekh Abdul Qodir Jaelani
A. Perjalanan Hidup
Memasuki tahun 488 H, Baghdad sebagai kota peradaban Islam dan menjadi destinasi para santri masih dibanjiri para pengembara ilmu. Begitu pula yang dilakukan oleh seorang pemuda delapan belas
tahun dari daerah Jilan. Di awal tahun tersebut dia datang untuk menimba ilmu dari sumur-sumur Baghdad yang tak pernah kering.
Meski suasana politik abbasiyah sedang tidak stabil, akan tetapi menuntut ilmu tetap menjadi aktifitas yang tak pernah sepi. Kondisi seperti itu tak membuat pemuda Jilan tadi patah semangat.
Semangatnya justru kian membara. Ia memulai pengembaraan ilmiahnya dari guru ke guru. Dia memulai terlebih dahulu dengan berguru Al Qur’an.
1. Lahir
Delapan belas tahun sebelumnya, pemuda tadi adalah bayi lucu yang baru saja dilahirkan dari seorang ibu bernama Fathimah putri dari seorang tokoh agama terkemuka di Jilan. Sedangkan ayahnya bernama Abdullah Abu Shalih yang kalau ditarik garis nasabnya ke atas, maka beliau adalah keturunan Hasan ibn ‘Ali, sebagaimana dituliskan oleh Ibnu Hajar, Ibnul ‘Imad, dan As Sya’rani.
2. Menuntut ilmu
Di Baghdad pemuda bernama Abdul Qadir ini berguru dengan beragam masyayikh. Setelah belajar Al Qur’an, ia belajar fiqih hanbali dengan para guru besarnya. Kemudian beliau mendengarkan hadits.
Mempelajari sastra. Dan setelah semua itu dirasa matang, beliau menyepi, berkhalwat, berthariqah dibawah bimbingan seorang ulama besar bernama Hammad ibn Muslim Ad Dabbas.
3. Guru-guru
Beliau berguru dengan banyak masyayikh Baghdad. Dalam ilmu fiqih hambali, beliau belajar kepada Abu Said Al Mubarak ibn ‘Ali Al Mukhrami. Madrasah Abu Said inilah yang nantinya akan diwariskan kepada Syaikh Abdul Qadir. Dan kemudian populer dengan nama Madrasah Qadiriyah.
Beliau juga berguru fiqih hanbali kepada Abul Khattab Al Kalwadzani, salah satu murid Al Qadhi Abu Ya’la. Beliau juga berguru kepada seorang ulama besar Baghdad bernama Abul Wafa Ibnu ‘Aqil, penulis Al Funun yang cukup dalam mengetahui pemikiran muktazilah. Bahkan konon pernah sampai tersesat dalam belantara pemikiran muktazilah dan susah keluar. Walaupun akhirnya berhasil menyelamatkan diri.
Sedangkan dalam hadits, beliau mendengar hadist dari Abu Ghalib Al Baqilani, Ja’far As Siraj Al Baghdadi, Ahmad at Tammar, Muhammad ibn Maimun An Nursi, Abul Qasim Ar Razaz, Abu Thalib Al Yusufi dan
sepupunya, Abul Barakat As Siqthi, Ahmad Al Banna, dan lain sebagainya.
Sedangkan terkait sastra beliau belajar dari Abu Zakariya At Tibrizi, seorang linguis dan juga penyair murid Abul ‘Ala Al Ma’arri. Al Khatib al Baghdadi dikabarkan pernah juga meriwayatkan darinya.
4. Karya dan Murid
Meskipun belajar beragam disiplin ilmu, namun kalau kita amati karya-karya beliau, hampir mayoritas tulisannya berkaitan dengan tasawwuf. Hal ini menunjukkan, pengaruh dari Hammad ibn Muslim
Ad Dabbas memang cukup besar.
Apalagi dalam beberapa sumber disebutkan bahwa beliau juga pernah satu majlis bersama Ibnul ‘Arabi, Ibnu Aqil dan Abul Khattab kedua gurunya untuk menyimak kajian Hujjatul Islam Imam Ghazali.
Salah satu karya beliau yang cukup populer yaitu Al Ghunyah, bahkan dianggap terpengaruh oleh pemikiran Imam Ghazali dalam penyusunan Ihya ‘Ulumiddin.
a. Karya Tulis
1. Al Ghunyah li thalibi thariq al haq
2. Jala al Kahthir min kalam ‘Abdil Qadir
3. Fathul Ghaib
4. Risalah fil Asma al ‘Adzimah fi tahriq ilallah
5. Sirrul Asrar
6. Surah Al Waqi’ah wa du’auha
7. Syarh Futuh al Ghaib
8. Hikam al Mawaidh
9. Majmu’ah rasail shufiyah
10. Qashidah al Asma Al Husna
Dan lain sebagainya yang kalau dijumlahkan bisa
mencapai lebih dari empat puluhan.
b. Murid
1. ‘Abdurrazaq ibn Abdul Qadir Al Jailani
2. Musa ibn ‘Abdul Qadir Al Jailani
3. ‘Abdul Wahhab ibn ‘Abdul Qadir Al Jailani
4. Abu As’ad As Sam’ani
5. Abdul Ghani Al Maqdisi
6. Ibnu Qudamah (Al Muwaffaq) Al Maqdisi
Dalam studi fiqih hanbali, nama Ibnu Qudamah tidaklah boleh kita lewati begitu saja. Beliaulah penulis Al Mughni yang oleh Al
‘Izz ibn Abdissalam dianggap sebagai salah satu kitab terbaik dalam Islam.
Al Mughni adalah syarah (penjelasan) atas kitab Mukhtashar Al Khiraqi yang beliau talaqqi langsung pembacaannya secara hafalan kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Ibnu Qudamah memang tidak terlalu lama tinggal di madrasahnya Syaikh Abdul Qadir.
Akan tetapi masa yang singkat di akhir hayat Syaikh Abdul Qadir itu benar-benar menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Ibnu Qudamah selalu terkenang dengan Yahya putra Syaikh Abdul Qadir yang sering diperintah untuk menyalakan lampu minyak di
awal malam. Begitu juga Ibnu Qudamah selalu ingat saat Yahya membawakan makanan ke madrasah atas perintah Syaikh Abdul Qadir.
Bahkan Ibnu Qudamah tidak akan pernah lupa saat Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memimpin shalat berjamaah sebagai Imam.
Dan tentu saja yang paling berkah terkait ilmu fiqihnya adalah saat di setiap pagi Ibnu Qudamah membacakan dari hafalannya kitab
mukhtashar Al Khiraqi di hadapan Syaikh Abdul Qadir. Sementara sepupunya Abdul Ghani Al Maqdisi membaca kitab Al Hidayah.
Dan kenangan manis yang sangat mengesankan itu semua terjadi dalam waktu singkat. Hanya sekitar sebulan sembilan belas hari. Karena setelah itu, sang guru besar madrasah Qadiriah wafat.
7. Ali Al Ya’qubi
8. Ibnu Al Wasthani
9. Akmal ibn Mas’ud Al Hasyimi
10. Nashr ibn Fityan Al Hanbali
Dan masih banyak lagi .
5. Wafat
Al Imam Abdul Qadir Al Jailani wafat pada malam sabtu 10 Rabi’ at Tsani 561 H. Dishalati oleh putranya Abdul Wahhab dan yang lain beserta jamaah. Dimakamkan di pusara Madrasah Qadiriyah. Semoga
Allah subhanahu wa ta’ala merahmatinya, meridhainya, dan memberkahi ilmunya untuk kita semua.
B. Penguasaan Cabang Ilmu
Ensiklopedis. Itu barangkali diksi yang bisa mewakili dan mendeskripsikan keluasan ilmu yang dimiliki oleh para ulama terdahulu. Mereka rata-rata multidisipliner. Menguasai beberapa cabang keilmuan dan mendalam.
Kesan ensiklopedis memang kurang melekat pada diri Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Tapi bukan berarti beliau hanya menguasai cabang ilmu tasawuf saja.
Ada beberapa disiplin ilmu yang beliau pelajari secara mendalam. Hanya saja memang tasawuf adalah semacam passionnya. Beberapa disiplin ilmu itu antara lain :
1. Fiqih
Kalau kita membaca tulisan para pakar biografi seperti Imam Ad Dzahabi misalnya, maka kita akan tergambar bagaimana penguasaan Syaikh Abdul Qadir dalam ilmu fiqih. Imam Ad Dzahabi mengatakan bahwa Al Jailani adalah seorang faqih, guru besar hanabilah di zamannya yang belajar fiqih kepada Al Mukhrami.
Bahkan ibnu Hajar menuturkan bahwa Syaikh Abdul Qadir dikenal sangat cepat dalam menyampaikan fatwa. Bahkan kecepatannya memunculkan rasa kekaguman dari para ulama. Tak ada satu pun kertas fatwa yang sampai menginap di rumahnya. Setiap penanya langsung mendapatkan jawabannya.
Yang lebih unik lagi adalah beliau meskipun seorang pakar fiqih madzhab hanbali, tetapi juga bisa berfatwa dengan pandangan-pandangan syafi’iyyah. Barangkali karena kemampuan inilah masyarakat kaum muslimin yang bermadzhab syafi’i juga merasa memiliki kedekatan emosional dengan beliau. Selain juga karena faktor thariqahnya yang memang banyak dianut oleh mereka yang bermadzhab syafi’i.
2. Hadits
Meskipun tidak kita temukan karya khusus dari beliau tentang hadits, tapi kalau kita lihat kesaksian pakar hadits sekaliber Al Hafidz Ad Dzahabi, beliau memasukkan biografi beliau ke dalam Thabaqat Al Muhadditsin.
Beliau juga mendengar dan meriwayatkan hadits dari para ahlil hadits. Demikian juga tidak sedikit ulama yang meriwayatkan hadits dari beliau. Bahkan sampai memberikan ijazah periwayatan.
Dalam kitab beliau berjudul Al Ghunyah, ada lebih dari sekitar seribuan hadits beliau tuliskan tanpa disandarkan kepada sanad. Dan ada sekitar 110 hadits yang bersanad dari dua jalur gurunya yaitu Ibnul Mubarak As Siqthi dan Ibnul Hasan Al Banna.
Ulama ahlul hadits selevel Ad Dzahabi dan Ibnu Rajab juga menuliskan hadits dengan sanad Syaikh Abdul Qadir. Dan terakhir, walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak, beliau juga memiliki penilaian atau ijtihad dalam menghukumi status suatu hadits baik tashih (menilai sahih) dan tadh’if (menilai dhaif).
3. Sastra
Kesaksian tentang ini diberikan oleh Ibnul ‘Imad. Kata beliau, Syaikh Abdul Qadir memiliki banyak koleksi syair indah bernilai.
Beliau juga menadzamkan (mengiramakan) dengan pola sajak beberapa wirid, do’a-do’a, kasidah Al Asmaul Khusna, kasidah nasihat dan kasidah
tasawuf.
4. Tasawwuf
Termonilogi tasawuf bagi sebagian kalangan agak terkesan negatif. Tasawuf oleh mereka dikesankan sebagai pemahaman sesat terhadap Islam. Tasawuf hanya diidentikkan dengan tarian dan nyanyian.
Tasawuf hanya diidentikkan dengan adanya Al Hallaj. Bahkan ada juga yang secara serampangan menyamakan praktik tasawuf dengan praktik ritual syiah.
Tak kenal maka tak sayang. Barangkali peribahasa tersebut cocok bagi mereka yang masih antipati dengan tasawuf. Kebodohan adalah pangkal segala kebencian. Manusia cenderung memusuhi apa yang
asing dan tidak ia kenal. Dan bagaimana kira-kira perilaku mereka yang tidak mengenal tasawuf terhadap tasawuf ? Dan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai ulama ahlussunnah yang sangat ketat memelihara ajaran Al Qur’an dan Sunnah, secara tegas dan harfiah
menyebutkan pembahasan dengan judul tasawuf dalam bagian kelima dari buku Al Ghunyahnya.
Dan hampir semua buku karya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah tentang tasawuf. Tentang akhlak dan etika. Dari karya-karya erkait etika itulah beliau diikuti. Jalan yang diikuti itu adalah thariqah. Dan thariqah beliau dikenal sebagai thariqah Qadiriah.
C. Thariqah Qadiriyah Ada banyak sekali dalam tubuh kaum muslimin
bermunculan thariqah. Ada naqsyabandiah, ada qadiriah, ada tijaniah dan lain sebagainya. Dan thariqah yang dirumuskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dikenal dengan nama thariqah
Qadiriah.
Dari kitab-kitab karya Syaikh Abdul Qadir itulah diambil rumusan dan kaidah-kaidahnya. Ada kitab wirid. Ada kitab akhlak. Ada kitab yang tergabung di dalamnya ilmu fiqih juga. Kaidah-kaidah itu antara lain terkait dengan kewajiban berkesuaian dengan Al Qur’an dan Sunnah. Bekerja keras mengerahkan segala daya dan upaya untuk berjalan menuju ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Saling berkumpul dengan orang-orang shalih, saling mendengarkan nasihat.
Begitu juga terkait dengan menyikapi guru. Harus menghormati dengan sepenuh hormat. Namun tidak melebihkannya di luar batas sebagai manusia. Guru tidak maksum sebagaimana nabi. Bisa salah dan bisa juga benar. Mencintai guru dengan mengedepankan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya terlebih dahulu.
Banyak berdzikir. Membaca shalawat dan mencintai kaluarga Nabi atau ahlul bait. Mencintai para wali dan orang orang shalih. Dan tentu saja berdakwah kepada Allah dengan cara yang diridhai
Alah Subhanahu wa ta’ala.
Dalam perkembangannya thariqah qadiriah mengalami pencabangan. Dan masing-masing cabang di wilayah yang berbeda-beda itu, juga
memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Bahkan ada juga yang memadukan antara thariqah qadiriah dengan thariqah yang lain.
Karenanya agar pencabangan itu tetap berjalan diatas kaidah yang telah dirumuskan, dan tidak terjadi pengurangan atau penambahan tertentu, maka seorang mursyid thariqah harus memenuhi syarat. Syaikh Abdul Qadir Al Jailani telah menadzamkan syarat-syarat tersebut dalam salah satu bukunya. Seorang mursyid haruslah paham akan hukum hukum Syariah. Harus paham juga dengan ilmu
hakikat dan thariqah. Harus dermawan, tawadhu, dan yang terakhir berhasil mendidik para muridnya.
D. Fiqih Syaikh Abdul Qadir Al Jailani
Shalawat dan salam senantiasa tercurah atas Kanjeng Nabi Muhammad, keluarganya, shahabatnya, dan para pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman.
1. Madzhab Fiqih
a. Guru-guru bermadzhab hanbali
Seperti yang sdah disebutkan dalam kisah perjalanan hidup beliau, hampir mayoritas guru-guru beliau bermadzhab hanbali. Di antara mereka yang bermadzhab hanbali adalah Abu Said Al Mukhrami, Abul Khattab Al Kalwadzani dan Ibnu Aqil.
Walaupun bukan merupakan kelaziman seorang murid akan mengikuti madzhab gurunya, akan tetapi dengan jumlah yang tidak sedikit dan hampir semuanya adalah tokoh besar madzhab hanbali, maka besar kemungkinan Syaikh Abdul Qadir bermadzhab hanbali.
b. Kesaksian para ulama
Hal ini bisa kita baca dalam buku-buku biografi para ulama. Dan hampir semua buku-buku tersebut menyebut Syaikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai Syaikhul Hanabilah, Faqihun Hanbali, dan lain-lain.
c. Pengakuan Sendiri
Dalam kitab beliau Al Ghunyah, dengan tegas beliau menyebutkan Imamuna untuk Imam Ahmad ibn Hanbal. Begitu juga redaksi ‘indana yang mengisyaratkan kehanbaian beliau.
2. Pentingnya Ilmu Fiqih
Sebagai tokoh tasawuf beliau mengingatkan bagi mereka yang hendak menyepi untuk belajar fiqih terlebih dahulu. “Jika ingin menyendiri, janganlah menyendiri kecuali setelah belajar fiqih”
Dalam redaksi yang lain, “Belajarlah dulu fiqih, baru kemudian beruzlah untuk beribadah. Karena seorang yang menyembah Allah tanpa ilmu, justru lebih merusak dirinya daripada memperbaikinya.
Bawalah bersamamu pelita syariat”
Ini hampir mirip dengan syair imam Syafi’i dalam
diwannya. Kata Imam Syafi’i, “lebih besar lagi bahayanya, saat ada orang bodoh tak tahu syariat tapi beribadah ritual begitu semangat”
3. Toleransi dalam Perbedaan Fiqih
Perbedaan dalam studi ilmiah apapun adalah satu hal yang niscaya. Tidak terkecuali dengan ilmu fiqih. Bahkan dalam ilmu fiqih sudah lahir ilmu tersendiri untuk menyikapi itu yang dikenal dengan fiqhul khilaf atau fiqhul ikhtilaf.
Dan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai salah satu ulama fiqih yang banyak ditanya dan dimintai fatwa, sangat memahami perbedaan ini. Oleh karena itu beliau sangat bijak dalam menyikapinya. Dalam Al Ghunyah beliau mengingatkan saat bicara tentang amar makruf nahi mungkar, bahwa jika yang terjadi adalah sesuatu yang memang masih diperdebatkan para ulama terkait status hukumnya, maka mereka yang berbeda tidak selayaknya untuk mengingkari dan beraku keras.
Syaikh Abdul Qadir juga mengutip kalimat Imam Ahmad yang menyatakan bahwa tidak seyogyanya bagi seorang mufti untuk memaksakan pandangannya kepada orang lain. Sikap Imam Al Jailani ini kurang lebih juga sama dengan guru dari guru beliau. Al Qadhi Abu Ya’la di zamannya pernah didatangi seseorang untuk beajar
madzhabnya. Setelah dijawab oleh pendatang tersebut tentang
asal muasalnya, maka Al Qadhi Abu Ya’la menolak permintaannya untuk belajar. Karena dalam pandangan Al Qadhi Abu Ya’la si pendatang ini berasal dari daerah yang disana sudah ada ulama
besar yang berbeda madzhab. Dan sebaiknya si pendatang tersebut belajar kepada ulama itu. Karena justru beliau berada di wilayahnya.
E. Madzhab Hanbali dalam Al Ghunyah
Sayangnya tidak ada satu kitab pun yang ditulis oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jailani yang khusus membahas ilmu fiqih. Sehingga fakta ini benar-benar akan menyulitkan untuk mengukur seperti apa
kehanbalian Al Jailani.
Minimal ada satu karya yaitu Al Ghunyah. Karya ini meskipun bukan khusus karya fiqih, akan tetapi dari lima bagian yang ada, dua diantaranya bisa dikatakan adalah pembahasan fiqih.
Bahkan pada bagian pertama secara tegas Imam Al Jailani ini memberi judul dengan nama ilmu fiqih. Maka dengan data seadanya yaitu hanya kitab Al Ghunyah saja, semoga kita bisa menemukan bukti bahwa beliau benar-benar bermadzhab hanbali.
1. Kitab Al Ghunyah
Kitab ini bernama lengkap Al Ghunyah li Thalibi thariq al Haq ‘Azza wa Jalla. Sebagian ulama mengatakan bahwa kitab ini ditulis oleh Syaikh Abdul Qadir karena terinspirasi oleh karya Imam Ghazali yang berjudul Ihya Ulumiddin.
Kitab ini terdiri dari dua juz dan lima bagian. Bagian
pertama membahas tentang fiqih. Bagian kedua tentang aqidah. Bagian ketiga tentang almajalis (seputar faidah (tafsir) ayat-ayat, fadhilah bulan danhari). Bagian keempat seputar fadhail al a’mal. Danbagian kelima tentang tasawuf. Pada bagian pertama dan keempat itulah kita bisa mendapatkan informasi tentang ilmu fiqih SyaikhAbdul Qadir Al Jailani.
Sejarah Singkat Syekh Abdul Qodir Jaelani
Sejarah Singkat Syekh Abdul Qodir Jaelani
A. Perjalanan Hidup
Memasuki tahun 488 H, Baghdad sebagai kota peradaban Islam dan menjadi destinasi para santri masih dibanjiri para pengembara ilmu. Begitu pula yang dilakukan oleh seorang pemuda delapan belas
tahun dari daerah Jilan. Di awal tahun tersebut dia datang untuk menimba ilmu dari sumur-sumur Baghdad yang tak pernah kering.
Meski suasana politik abbasiyah sedang tidak stabil, akan tetapi menuntut ilmu tetap menjadi aktifitas yang tak pernah sepi. Kondisi seperti itu tak membuat pemuda Jilan tadi patah semangat.
Semangatnya justru kian membara. Ia memulai pengembaraan ilmiahnya dari guru ke guru. Dia memulai terlebih dahulu dengan berguru Al Qur’an.
1. Lahir
Delapan belas tahun sebelumnya, pemuda tadi adalah bayi lucu yang baru saja dilahirkan dari seorang ibu bernama Fathimah putri dari seorang tokoh agama terkemuka di Jilan. Sedangkan ayahnya bernama Abdullah Abu Shalih yang kalau ditarik garis nasabnya ke atas, maka beliau adalah keturunan Hasan ibn ‘Ali, sebagaimana dituliskan oleh Ibnu Hajar, Ibnul ‘Imad, dan As Sya’rani.
2. Menuntut ilmu
Di Baghdad pemuda bernama Abdul Qadir ini berguru dengan beragam masyayikh. Setelah belajar Al Qur’an, ia belajar fiqih hanbali dengan para guru besarnya. Kemudian beliau mendengarkan hadits.
Mempelajari sastra. Dan setelah semua itu dirasa matang, beliau menyepi, berkhalwat, berthariqah dibawah bimbingan seorang ulama besar bernama Hammad ibn Muslim Ad Dabbas.
3. Guru-guru
Beliau berguru dengan banyak masyayikh Baghdad. Dalam ilmu fiqih hambali, beliau belajar kepada Abu Said Al Mubarak ibn ‘Ali Al Mukhrami. Madrasah Abu Said inilah yang nantinya akan diwariskan kepada Syaikh Abdul Qadir. Dan kemudian populer dengan nama Madrasah Qadiriyah.
Beliau juga berguru fiqih hanbali kepada Abul Khattab Al Kalwadzani, salah satu murid Al Qadhi Abu Ya’la. Beliau juga berguru kepada seorang ulama besar Baghdad bernama Abul Wafa Ibnu ‘Aqil, penulis Al Funun yang cukup dalam mengetahui pemikiran muktazilah. Bahkan konon pernah sampai tersesat dalam belantara pemikiran muktazilah dan susah keluar. Walaupun akhirnya berhasil menyelamatkan diri.
Sedangkan dalam hadits, beliau mendengar hadist dari Abu Ghalib Al Baqilani, Ja’far As Siraj Al Baghdadi, Ahmad at Tammar, Muhammad ibn Maimun An Nursi, Abul Qasim Ar Razaz, Abu Thalib Al Yusufi dan
sepupunya, Abul Barakat As Siqthi, Ahmad Al Banna, dan lain sebagainya.
Sedangkan terkait sastra beliau belajar dari Abu Zakariya At Tibrizi, seorang linguis dan juga penyair murid Abul ‘Ala Al Ma’arri. Al Khatib al Baghdadi dikabarkan pernah juga meriwayatkan darinya.
4. Karya dan Murid
Meskipun belajar beragam disiplin ilmu, namun kalau kita amati karya-karya beliau, hampir mayoritas tulisannya berkaitan dengan tasawwuf. Hal ini menunjukkan, pengaruh dari Hammad ibn Muslim
Ad Dabbas memang cukup besar.
Apalagi dalam beberapa sumber disebutkan bahwa beliau juga pernah satu majlis bersama Ibnul ‘Arabi, Ibnu Aqil dan Abul Khattab kedua gurunya untuk menyimak kajian Hujjatul Islam Imam Ghazali.
Salah satu karya beliau yang cukup populer yaitu Al Ghunyah, bahkan dianggap terpengaruh oleh pemikiran Imam Ghazali dalam penyusunan Ihya ‘Ulumiddin.
a. Karya Tulis
1. Al Ghunyah li thalibi thariq al haq
2. Jala al Kahthir min kalam ‘Abdil Qadir
3. Fathul Ghaib
4. Risalah fil Asma al ‘Adzimah fi tahriq ilallah
5. Sirrul Asrar
6. Surah Al Waqi’ah wa du’auha
7. Syarh Futuh al Ghaib
8. Hikam al Mawaidh
9. Majmu’ah rasail shufiyah
10. Qashidah al Asma Al Husna
Dan lain sebagainya yang kalau dijumlahkan bisa
mencapai lebih dari empat puluhan.
b. Murid
1. ‘Abdurrazaq ibn Abdul Qadir Al Jailani
2. Musa ibn ‘Abdul Qadir Al Jailani
3. ‘Abdul Wahhab ibn ‘Abdul Qadir Al Jailani
4. Abu As’ad As Sam’ani
5. Abdul Ghani Al Maqdisi
6. Ibnu Qudamah (Al Muwaffaq) Al Maqdisi
Dalam studi fiqih hanbali, nama Ibnu Qudamah tidaklah boleh kita lewati begitu saja. Beliaulah penulis Al Mughni yang oleh Al
‘Izz ibn Abdissalam dianggap sebagai salah satu kitab terbaik dalam Islam.
Al Mughni adalah syarah (penjelasan) atas kitab Mukhtashar Al Khiraqi yang beliau talaqqi langsung pembacaannya secara hafalan kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Ibnu Qudamah memang tidak terlalu lama tinggal di madrasahnya Syaikh Abdul Qadir.
Akan tetapi masa yang singkat di akhir hayat Syaikh Abdul Qadir itu benar-benar menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Ibnu Qudamah selalu terkenang dengan Yahya putra Syaikh Abdul Qadir yang sering diperintah untuk menyalakan lampu minyak di
awal malam. Begitu juga Ibnu Qudamah selalu ingat saat Yahya membawakan makanan ke madrasah atas perintah Syaikh Abdul Qadir.
Bahkan Ibnu Qudamah tidak akan pernah lupa saat Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memimpin shalat berjamaah sebagai Imam.
Dan tentu saja yang paling berkah terkait ilmu fiqihnya adalah saat di setiap pagi Ibnu Qudamah membacakan dari hafalannya kitab
mukhtashar Al Khiraqi di hadapan Syaikh Abdul Qadir. Sementara sepupunya Abdul Ghani Al Maqdisi membaca kitab Al Hidayah.
Dan kenangan manis yang sangat mengesankan itu semua terjadi dalam waktu singkat. Hanya sekitar sebulan sembilan belas hari. Karena setelah itu, sang guru besar madrasah Qadiriah wafat.
7. Ali Al Ya’qubi
8. Ibnu Al Wasthani
9. Akmal ibn Mas’ud Al Hasyimi
10. Nashr ibn Fityan Al Hanbali
Dan masih banyak lagi .
5. Wafat
Al Imam Abdul Qadir Al Jailani wafat pada malam sabtu 10 Rabi’ at Tsani 561 H. Dishalati oleh putranya Abdul Wahhab dan yang lain beserta jamaah. Dimakamkan di pusara Madrasah Qadiriyah. Semoga
Allah subhanahu wa ta’ala merahmatinya, meridhainya, dan memberkahi ilmunya untuk kita semua.
B. Penguasaan Cabang Ilmu
Ensiklopedis. Itu barangkali diksi yang bisa mewakili dan mendeskripsikan keluasan ilmu yang dimiliki oleh para ulama terdahulu. Mereka rata-rata multidisipliner. Menguasai beberapa cabang keilmuan dan mendalam.
Kesan ensiklopedis memang kurang melekat pada diri Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Tapi bukan berarti beliau hanya menguasai cabang ilmu tasawuf saja.
Ada beberapa disiplin ilmu yang beliau pelajari secara mendalam. Hanya saja memang tasawuf adalah semacam passionnya. Beberapa disiplin ilmu itu antara lain :
1. Fiqih
Kalau kita membaca tulisan para pakar biografi seperti Imam Ad Dzahabi misalnya, maka kita akan tergambar bagaimana penguasaan Syaikh Abdul Qadir dalam ilmu fiqih. Imam Ad Dzahabi mengatakan bahwa Al Jailani adalah seorang faqih, guru besar hanabilah di zamannya yang belajar fiqih kepada Al Mukhrami.
Bahkan ibnu Hajar menuturkan bahwa Syaikh Abdul Qadir dikenal sangat cepat dalam menyampaikan fatwa. Bahkan kecepatannya memunculkan rasa kekaguman dari para ulama. Tak ada satu pun kertas fatwa yang sampai menginap di rumahnya. Setiap penanya langsung mendapatkan jawabannya.
Yang lebih unik lagi adalah beliau meskipun seorang pakar fiqih madzhab hanbali, tetapi juga bisa berfatwa dengan pandangan-pandangan syafi’iyyah. Barangkali karena kemampuan inilah masyarakat kaum muslimin yang bermadzhab syafi’i juga merasa memiliki kedekatan emosional dengan beliau. Selain juga karena faktor thariqahnya yang memang banyak dianut oleh mereka yang bermadzhab syafi’i.
2. Hadits
Meskipun tidak kita temukan karya khusus dari beliau tentang hadits, tapi kalau kita lihat kesaksian pakar hadits sekaliber Al Hafidz Ad Dzahabi, beliau memasukkan biografi beliau ke dalam Thabaqat Al Muhadditsin.
Beliau juga mendengar dan meriwayatkan hadits dari para ahlil hadits. Demikian juga tidak sedikit ulama yang meriwayatkan hadits dari beliau. Bahkan sampai memberikan ijazah periwayatan.
Dalam kitab beliau berjudul Al Ghunyah, ada lebih dari sekitar seribuan hadits beliau tuliskan tanpa disandarkan kepada sanad. Dan ada sekitar 110 hadits yang bersanad dari dua jalur gurunya yaitu Ibnul Mubarak As Siqthi dan Ibnul Hasan Al Banna.
Ulama ahlul hadits selevel Ad Dzahabi dan Ibnu Rajab juga menuliskan hadits dengan sanad Syaikh Abdul Qadir. Dan terakhir, walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak, beliau juga memiliki penilaian atau ijtihad dalam menghukumi status suatu hadits baik tashih (menilai sahih) dan tadh’if (menilai dhaif).
3. Sastra
Kesaksian tentang ini diberikan oleh Ibnul ‘Imad. Kata beliau, Syaikh Abdul Qadir memiliki banyak koleksi syair indah bernilai.
Beliau juga menadzamkan (mengiramakan) dengan pola sajak beberapa wirid, do’a-do’a, kasidah Al Asmaul Khusna, kasidah nasihat dan kasidah
tasawuf.
4. Tasawwuf
Termonilogi tasawuf bagi sebagian kalangan agak terkesan negatif. Tasawuf oleh mereka dikesankan sebagai pemahaman sesat terhadap Islam. Tasawuf hanya diidentikkan dengan tarian dan nyanyian.
Tasawuf hanya diidentikkan dengan adanya Al Hallaj. Bahkan ada juga yang secara serampangan menyamakan praktik tasawuf dengan praktik ritual syiah.
Tak kenal maka tak sayang. Barangkali peribahasa tersebut cocok bagi mereka yang masih antipati dengan tasawuf. Kebodohan adalah pangkal segala kebencian. Manusia cenderung memusuhi apa yang
asing dan tidak ia kenal. Dan bagaimana kira-kira perilaku mereka yang tidak mengenal tasawuf terhadap tasawuf ? Dan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai ulama ahlussunnah yang sangat ketat memelihara ajaran Al Qur’an dan Sunnah, secara tegas dan harfiah
menyebutkan pembahasan dengan judul tasawuf dalam bagian kelima dari buku Al Ghunyahnya.
Dan hampir semua buku karya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah tentang tasawuf. Tentang akhlak dan etika. Dari karya-karya erkait etika itulah beliau diikuti. Jalan yang diikuti itu adalah thariqah. Dan thariqah beliau dikenal sebagai thariqah Qadiriah.
C. Thariqah Qadiriyah Ada banyak sekali dalam tubuh kaum muslimin
bermunculan thariqah. Ada naqsyabandiah, ada qadiriah, ada tijaniah dan lain sebagainya. Dan thariqah yang dirumuskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dikenal dengan nama thariqah
Qadiriah.
Dari kitab-kitab karya Syaikh Abdul Qadir itulah diambil rumusan dan kaidah-kaidahnya. Ada kitab wirid. Ada kitab akhlak. Ada kitab yang tergabung di dalamnya ilmu fiqih juga. Kaidah-kaidah itu antara lain terkait dengan kewajiban berkesuaian dengan Al Qur’an dan Sunnah. Bekerja keras mengerahkan segala daya dan upaya untuk berjalan menuju ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Saling berkumpul dengan orang-orang shalih, saling mendengarkan nasihat.
Begitu juga terkait dengan menyikapi guru. Harus menghormati dengan sepenuh hormat. Namun tidak melebihkannya di luar batas sebagai manusia. Guru tidak maksum sebagaimana nabi. Bisa salah dan bisa juga benar. Mencintai guru dengan mengedepankan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya terlebih dahulu.
Banyak berdzikir. Membaca shalawat dan mencintai kaluarga Nabi atau ahlul bait. Mencintai para wali dan orang orang shalih. Dan tentu saja berdakwah kepada Allah dengan cara yang diridhai
Alah Subhanahu wa ta’ala.
Dalam perkembangannya thariqah qadiriah mengalami pencabangan. Dan masing-masing cabang di wilayah yang berbeda-beda itu, juga
memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Bahkan ada juga yang memadukan antara thariqah qadiriah dengan thariqah yang lain.
Karenanya agar pencabangan itu tetap berjalan diatas kaidah yang telah dirumuskan, dan tidak terjadi pengurangan atau penambahan tertentu, maka seorang mursyid thariqah harus memenuhi syarat. Syaikh Abdul Qadir Al Jailani telah menadzamkan syarat-syarat tersebut dalam salah satu bukunya. Seorang mursyid haruslah paham akan hukum hukum Syariah. Harus paham juga dengan ilmu
hakikat dan thariqah. Harus dermawan, tawadhu, dan yang terakhir berhasil mendidik para muridnya.
D. Fiqih Syaikh Abdul Qadir Al Jailani
Shalawat dan salam senantiasa tercurah atas Kanjeng Nabi Muhammad, keluarganya, shahabatnya, dan para pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman.
1. Madzhab Fiqih
a. Guru-guru bermadzhab hanbali
Seperti yang sdah disebutkan dalam kisah perjalanan hidup beliau, hampir mayoritas guru-guru beliau bermadzhab hanbali. Di antara mereka yang bermadzhab hanbali adalah Abu Said Al Mukhrami, Abul Khattab Al Kalwadzani dan Ibnu Aqil.
Walaupun bukan merupakan kelaziman seorang murid akan mengikuti madzhab gurunya, akan tetapi dengan jumlah yang tidak sedikit dan hampir semuanya adalah tokoh besar madzhab hanbali, maka besar kemungkinan Syaikh Abdul Qadir bermadzhab hanbali.
b. Kesaksian para ulama
Hal ini bisa kita baca dalam buku-buku biografi para ulama. Dan hampir semua buku-buku tersebut menyebut Syaikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai Syaikhul Hanabilah, Faqihun Hanbali, dan lain-lain.
c. Pengakuan Sendiri
Dalam kitab beliau Al Ghunyah, dengan tegas beliau menyebutkan Imamuna untuk Imam Ahmad ibn Hanbal. Begitu juga redaksi ‘indana yang mengisyaratkan kehanbaian beliau.
2. Pentingnya Ilmu Fiqih
Sebagai tokoh tasawuf beliau mengingatkan bagi mereka yang hendak menyepi untuk belajar fiqih terlebih dahulu. “Jika ingin menyendiri, janganlah menyendiri kecuali setelah belajar fiqih”
Dalam redaksi yang lain, “Belajarlah dulu fiqih, baru kemudian beruzlah untuk beribadah. Karena seorang yang menyembah Allah tanpa ilmu, justru lebih merusak dirinya daripada memperbaikinya.
Bawalah bersamamu pelita syariat”
Ini hampir mirip dengan syair imam Syafi’i dalam
diwannya. Kata Imam Syafi’i, “lebih besar lagi bahayanya, saat ada orang bodoh tak tahu syariat tapi beribadah ritual begitu semangat”
3. Toleransi dalam Perbedaan Fiqih
Perbedaan dalam studi ilmiah apapun adalah satu hal yang niscaya. Tidak terkecuali dengan ilmu fiqih. Bahkan dalam ilmu fiqih sudah lahir ilmu tersendiri untuk menyikapi itu yang dikenal dengan fiqhul khilaf atau fiqhul ikhtilaf.
Dan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai salah satu ulama fiqih yang banyak ditanya dan dimintai fatwa, sangat memahami perbedaan ini. Oleh karena itu beliau sangat bijak dalam menyikapinya. Dalam Al Ghunyah beliau mengingatkan saat bicara tentang amar makruf nahi mungkar, bahwa jika yang terjadi adalah sesuatu yang memang masih diperdebatkan para ulama terkait status hukumnya, maka mereka yang berbeda tidak selayaknya untuk mengingkari dan beraku keras.
Syaikh Abdul Qadir juga mengutip kalimat Imam Ahmad yang menyatakan bahwa tidak seyogyanya bagi seorang mufti untuk memaksakan pandangannya kepada orang lain. Sikap Imam Al Jailani ini kurang lebih juga sama dengan guru dari guru beliau. Al Qadhi Abu Ya’la di zamannya pernah didatangi seseorang untuk beajar
madzhabnya. Setelah dijawab oleh pendatang tersebut tentang
asal muasalnya, maka Al Qadhi Abu Ya’la menolak permintaannya untuk belajar. Karena dalam pandangan Al Qadhi Abu Ya’la si pendatang ini berasal dari daerah yang disana sudah ada ulama
besar yang berbeda madzhab. Dan sebaiknya si pendatang tersebut belajar kepada ulama itu. Karena justru beliau berada di wilayahnya.
E. Madzhab Hanbali dalam Al Ghunyah
Sayangnya tidak ada satu kitab pun yang ditulis oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jailani yang khusus membahas ilmu fiqih. Sehingga fakta ini benar-benar akan menyulitkan untuk mengukur seperti apa
kehanbalian Al Jailani.
Minimal ada satu karya yaitu Al Ghunyah. Karya ini meskipun bukan khusus karya fiqih, akan tetapi dari lima bagian yang ada, dua diantaranya bisa dikatakan adalah pembahasan fiqih.
Bahkan pada bagian pertama secara tegas Imam Al Jailani ini memberi judul dengan nama ilmu fiqih. Maka dengan data seadanya yaitu hanya kitab Al Ghunyah saja, semoga kita bisa menemukan bukti bahwa beliau benar-benar bermadzhab hanbali.
1. Kitab Al Ghunyah
Kitab ini bernama lengkap Al Ghunyah li Thalibi thariq al Haq ‘Azza wa Jalla. Sebagian ulama mengatakan bahwa kitab ini ditulis oleh Syaikh Abdul Qadir karena terinspirasi oleh karya Imam Ghazali yang berjudul Ihya Ulumiddin.
Kitab ini terdiri dari dua juz dan lima bagian. Bagian
pertama membahas tentang fiqih. Bagian kedua tentang aqidah. Bagian ketiga tentang almajalis (seputar faidah (tafsir) ayat-ayat, fadhilah bulan danhari). Bagian keempat seputar fadhail al a’mal. Danbagian kelima tentang tasawuf. Pada bagian pertama dan keempat itulah kita bisa mendapatkan informasi tentang ilmu fiqih SyaikhAbdul Qadir Al Jailani.