Blog Kang One

Catatan Sederhana untuk Berbagi

Indahnya Kota Sukabumi

ini adalah tampilan pemandangan kota sukabumi dari atas.....



lebih indah lihat videonya dibawah ini, selamat menonton....


Kisah Lengkap Syekh Siti Jenar

kisah SYEH SITI JENAR

















Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.

Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.

Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.

Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.

Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.

Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.

Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:

1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara
4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.

Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.

Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.

Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.

KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:

1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….

2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.

3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.

4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“

5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”

Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1) Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2) Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3) Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]

Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.

WALI SONGO

Wali Songo


Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Budha - Hindu dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Selain walisongo, sebenarnya banyak tokoh-tokoh yang ikut berperan aktif dalam penyebaran islam di nusantara, namun peranan walisongo sangat begitu besar dibanding tokoh-tokoh yang lain, sehingga membuat para walisongo memiliki nilai plus dan lebih banyak disebut namanya dalam sejarah penyebaran islam di Jawa.

Dalam kisah-kisah walisongo, disebutkan bahwa para sembilan wali tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru- murid. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai ” tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa – yakni nuansa Hindu dan Budha.

untuk mengetahui siapa sebenarnya syeikh siti jenar baca disini

Nama-nama Walisongo

1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim

Syekh Maulana Malik Ibrahim – Dalam sejarah perwalian wali songo, Maulana Malik Ibrahim merupakan wali yang tertua dari Sembilan wali atau wali songo / wali sanga / wali 9.
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.

Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat


 Sunan Ampel adalah Anak Maulana malik Ibrahim.yang tertua. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri,tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.


3. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin

Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.

Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat.

Raja Majapahit-konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan - memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.

Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.

 4. Sunan Bonang  atau Raden Makhdum Ibrahim

Sunan Bonang di perkirakan lahir tahun 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang adalah Anak Sunan Ampel yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Pada masa kecilnya, Sunan Bonang memiliki nama Raden Makdum Ibrahim.

Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.

Ia kemudian menetap di Bonang – desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.

Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.

Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.

Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’(‘isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.

Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.

Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan)

5. Sunan Drajad atau Raden Qasim

Sunan Drajat Nama kecilnya adalah Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang”. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.

Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.

Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.

Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara.
Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar.
Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Ketiga  memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending.
kelima, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan.

Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.

6. Sunan Kalijogo atau Raden Said

Sunan Kalijaga, merupakan “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai ” penghulu suci” kesultanan.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

7. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq

Pada usia anak-anak (masa kecil) Sunan kudus bernama Jaffar Shadiq. Ia adalah putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kali Jogo Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.


8. Sunan Muria atau Raden Umar Said

Sunan Muria, Ia putra Dewi Saroh – adik kandung Sunan Giri. sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijogo. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.

Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

dikisahkan sunan gunung jati, bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, dan bertemu Rosulluloh Muhamad SAW, bertemu Nabi Khidir serta menerima wasiat Nabi Sulaeman yang semuanya itu tidak masuk akal. Namun dari kisah-kisah sunan gunung jati tersebut hanyalah sebagai isyarat kekaguman masyarakat saat itu pada sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.

Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

siapa sebenarnya syeikh siti jenar, mengapa tidak masuk walisongo silahkan baca disini

Lirik Lagu Indonesia Raya 3 Stanza

lirik lagu indonesia raya 3 stanza


Kemendikbud telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tentang lagu 'Indonesia Raya' 3 stanza. Lagu tersebut wajib dinyanyikan saat upacara di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.

Selama ini, lagu 'Indonesia Raya' yang dinyanyikan hanya satu stanza atau bagian pertama. Kini, anak sekolah harus diajarkan dan menyanyikan lagu Indonesia Raya 3 stanza.

baca selengkapnya disini

Lagu karya Wage Rudolf Supratman ini memang terdiri dari tiga stanza. Lagu yang biasa dinyanyikan hanya bagian pembuka lagu.

"Kenapa tiga stanza? Karena itu keutuhan 'Indonesia Raya'. Karena yang biasa dinyanyikan itu bagian awal. Itu pendahuluan. Intinya di bagian tengah dan penutup di akhir," ucap Muhadjir.

Lagu kebangsaan 'Indonesia Raya' sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958. Aturan ini diterbitkan pada masa pemerintahan Presiden Sukarno pada 26 Juni 1958. Berikut ini lirik lagu Indonesia Raya 3 stanza berdasarkan PP Nomor 44/1958:

Indonesia Raya

Stanza 1
Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru Indonesia bersatu
Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya, merdeka merdeka
Tanahku, negeriku yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Stanza 2
Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya
Di sanalah aku berdiri, untuk selama-lamanya
Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semuanya
Marilah kita mendoa Indonesia bahagia
Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya
Bangsanya, rakyatnya, semuanya
Sadarlah hatinya, sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya, merdeka merdeka
tanahku, negeriku yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Stanza 3
Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti
Di sanalah aku berdiri, menjaga ibu sejati
Indonesia tanah berseri, tanah yang aku sayangi
Marilah kita berjanji, Indonesia abadi
Slamatkan rakyatnya, slamatkan puteranya
Pulaunya, lautnya, semuanya
Majulah negerinya, majulah pandunya untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya, merdeka merdeka
Tanahku, negeriku, yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

sumber : klik disini
Back To Top