Posted by
One_Esc on
Tuesday, November 14, 2017
MATERI
8 PENDUDUKAN JEPANG
8c. Perang melawan Jepang
1.
Latarbelakang Perang
Di
balik senyum manis dan propaganda yang menjanjikan, ternyata Jepang bertindak
kejam. Jepang telah mengerahkan semua potensi dan kekuatan yang ada untuk
menopang perang yang sedang mereka hadapi untuk melawan Sekutu. Jepang juga
menguras aset kekayaan yang dimiliki Indonesia untuk memenangkan perang dan
melanjutkan industri di negerinya.
a.
Ekonomi Perang
Pada
saat berkobarnya PD II, Indonesia benar-benar menjadi sasaran perluasan
pengaruh kekuasaan Jepang. Bahkan, Indonesia kemudian menjadi salah satu
benteng pertahanan Jepang untuk membendung gerak laju kekuatan tentara Serikat
dan melawan kekuatan Belanda.
Setelah
berhasil menguasai Indonesia, Jepang mengambil kebijakan dalam bidang ekonomi yang sering disebut self
help atau Ekonomi Perang, yaitu hasil perekonomian di Indonesia dijadikan
modal untuk mencukupi kebutuhan pemerintahan dan perang Jepang.
Kebijakan Ekonomi Perang yaitu :
1). Padi berada langsung di bawah
pengawasan pemerintah Jepang
Hanya pemerintah Jepang yang berhak
mengatur untuk produksi, pungutan dan penyaluran padi serta menentukan
harganya. Dalam kaitan ini Jepang telah membentuk badan yang diberi nama
Shokuryo Konri Zimusyo (Kantor Pengelolaan
Pangan).
2). Penggiling dan pedagang padi tidak
boleh beroperasi sendiri, harus diatur oleh Kantor Pengelolaan Pangan.
3). Para petani harus menjual hasil
produksi padinya kepada pemerintah sesuai dengan kuota yang telah ditentukan
dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah Jepang.
b. Pengendalian di Bidang Pendidikan
dan Kebudayaan
Pemerintah
Jepang mulai membatasi kegiatan pendidikan. Jumlah sekolah juga dikurangi
secara drastis. Jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500 buah.
Sekolah lanjutan menurun dari 850 menjadi 20 buah. Kegiatan perguruan tinggi
boleh dikatakan macet. Jumlah murid sekolah dasar menurun 30% dan jumlah siswa
sekolah lanjutan merosot sampai 90%. Begitu juga tenaga pengajarnya mengalami
penurunan secara signifikan. Muatan kurikulum yang diajarkan juga dibatasi.
Mata pelajaran bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran utama, sekaligus
sebagai bahasa pengantar. Kemudian, bahasa Jepang menjadi mata pelajaran wajib
di sekolah.
Para
pelajar harus menghormati budaya dan adat istiadat Jepang. Mereka juga harus
melakukan kegiatan kerja bakti (kinrohosyi). Kegiatan kerja bakti itu meliputi,
pengumpulan bahan-bahan untuk perang, penanaman bahan makanan, penanaman pohon
jarak, perbaikan jalan, dan pembersihan asrama.
Para
pelajar juga harus mengikuti kegiatan latihan jasmani dan kemiliteran. Mereka
harus benar-benar menjalankan semangat Jepang (Nippon Seishin). Para pelajar
juga harus menyanyikan lagu Kimigayo, menghormati bendera Hinomaru dan
melakukan gerak badan (taiso) serta seikerei.
Akibat
keputusan pemerintah Jepang tersebut, membuat angka buta huruf menjadi
meningkat. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang
mengalami kemunduran. Kemunduran pendidikan itu juga berkaitan dengan kebijakan
pemerintah Jepang yang lebih berorientasi pada kemiliteran untuk kepentingan
pertahanan Indonesia dibandingkan pendidikan.
Banyak
anak usia sekolah yang harus masuk organisasi semimiliter sehingga banyak anak
yang meninggalkan bangku sekolah.Bagi Jepang, pelaksanaan pendidikan bagi
rakyat Indonesia bukan untuk membuat pandai, tetapi dalam rangka untuk
pembentukan kader-kader yang memelopori program Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya. Oleh karena itu, sekolah selalu menjadi tempat indoktrinasi kejepangan.
c.
Pengerahan Romusa
Perlu
diketahui bahwa untuk menopang Perang Asia Timur Raya, Jepang mengerahkan semua
tenaga kerja dari Indonesia. Tenaga kerja inilah yang kemudian kita kenal
dengan romusa. Mereka dipekerjakan di lingkungan terbuka, misalnya di
lingkungan pembangunan kubu-kubu pertahanan, jalan raya, lapangan udara. Pada
awalnya, tenaga kerja dikerahkan di Pulau Jawa yang padat penduduknya, kemudian
di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Desa-desa diwajibkan
untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan tersebut disebut
Romukyokai, yang ada di setiap daerah.
Rakyat
Indonesia yang menjadi romusa itu diperlakukan dengan tidak senonoh, tanpa
mengenal peri kemanusiaan. Mereka dipaksa bekerja sejak pagi hari sampai
petang, tanpa makan dan pelayanan yang cukup, padahal mereka melakukan
pekerjaan kasar yang sangat memerlukan banyak asupan makanan dan istirahat.
Mereka hanya dapat beristirahat pada malam hari. Kesehatan mereka tidak
terurus. Tidak jarang di antara mereka jatuh sakit bahkan mati kelaparan.
Untuk
menutupi kekejamannya dan agar rakyat merasa tidak dirugikan, sejak tahun 1943,
Jepang melancarkan kampanye dan propaganda untuk menarik rakyat agar mau
berangkat bekerja sebagai romusa. Untuk mengambil
hati rakyat, Jepang memberi julukan mereka yang menjadi romusa itu sebagai
“Prajurit Ekonomi” atau “Pahlawan Pekerja”. Para romusa itu diibaratkan
sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas sucinya untuk memenangkan
perang dalam Perang Asia Timur Raya. Pada periode itu sudah sekitar 300.000
tenaga romusa dikirim ke luar Jawa, bahkan sampai ke luar negeri seperti ke
Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya. Sebagian besar dari mereka ada
yang kembali ke daerah asal, ada yang tetap tinggal di tempat kerja, tetapi
kebanyakan mereka mati di tempat kerja.
2.
Perang Melawan Tirani Jepang
Jepang
yang mula-mula disambut dengan senang hati, kemudian berubah menjadi kebencian.
Rakyat bahkan lebih benci pada pemerintah Jepang daripada pemerintah Kolonial
Belanda. Jepang seringkali bertindak sewenangwenang. Rakyat tidak bersalah
ditangkap, ditahan, dan disiksa. Kekejaman itu dilakukan oleh kempetai (polisi
militer Jepang). Pada masa pendudukan Jepang banyak gadis dan perempuan
Indonesia yang ditipu oleh Jepang dengan dalih untuk bekerja sebagai perawat
atau disekolahkan, ternyata hanya dipaksa untuk melayani para kempetai. Para
gadis dan perempuan itu disekap dalam kamp-kamp yang tertutup sebagai wanita
penghibur. Kamp-kamp itu dapat kita temukan di Solo, Semarang, Jakarta, dan
Sumatra Barat. Kondisi itu menambah deretan penderitaan rakyat di bawah kendali
penjajah Jepang. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian timbul berbagai
perlawanan.
a.
Aceh Angkat Senjata
Salah
satu perlawanan terhadap Jepang di Aceh adalah perlawananan rakyat yang terjadi
di Cot Plieng yang dipimpin oleh Abdul Jalil. Abdul Jalil adalah seorang ulama muda, guru mengaji di daerah Cot
Plieng, Provinsi Aceh. Karena melihat kekejaman dan kesewenangan pemerintah
pendudukan Jepang, terutama terhadap romusa, maka rakyat Cot Plieng melancarkan
perlawanan. Abdul Jalil memimpin rakyat Cot Plieng untuk melawan tindak
penindasan dan kekejaman yang dilakukan pendudukan Jepang.
Di
Lhokseumawe, Abdul Jalil berhasil menggerakkan rakyat dan para santri di
sekitar Cot Plieng. Gerakan Abdul Jalil ini di mata Jepang dianggap sebagai
tindakan yang sangat membahayakan. Oleh karena itu, Jepang berusaha membujuk
Abdul Jalil untuk berdamai. Namun, Abdul Jalil bergeming dengan ajakan damai
itu. Karena Abdul Jalil menolak jalan damai, pada tanggal 10 November 1942,
Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerang Cot Plieng.
Kemudian,
pertempuran berlanjut hingga pada tanggal 24 November 1942, saat rakyat sedang
menjalankan ibadah salat subuh. Karena diserang, maka rakyat- pun dengan sekuat
tenaga melawan. Rakyat dengan bersenjatakan pedang dan kelewang, bertahan
bahkan dapat memukul mundur tentara Jepang. Serangan tentara Jepang diulang
untuk yang kedua kalinya, tetapi dapat digagalkan oleh rakyat. Kekuatan Jepang semakin
ditingkatkan.
Kemudian,
Jepang melancarkan serangan untuk yang ketiga kalinya dan berhasil
menghancurkan pertahanan rakyat Cot Plieng, setelah Jepang membakar masjid.
Banyak rakyat pengikut Abdul Jalil yang terbunuh. Dalam keadaan terdesak, Abdul
Jalil dan beberapa pengikutnya berhasil meloloskan diri ke Buloh Blang Ara.
Beberapa hari kemudian, saat Abdul Jalil dan pengikutnya sedang menjalankan
sholat, mereka ditembaki oleh tentara Jepang sehingga Abdul Jalil gugur sebagai
pahlawan bangsa. Dalam pertempuran ini, rakyat yang gugur sebanyak 120 orang
dan 150 orang luka-luka, sedangkan Jepang kehilangan 90 orang prajuritnya.
b. Perlawanan di Singaparna
Singaparna
merupakan salah satu daerah di wilayah Jawa Barat, yang rakyatnya dikenal
sangat religius dan memiliki jiwa patriotik. Rakyat Singaparna sangat anti
terhadap dominasi asing. Oleh karena itu, rakyat Singaparna sangat benci
terhadap pendudukan Jepang, apalagi ketika mengetahui perilaku pemerintahan
Jepang yang sangat kejam. Kebijakan-kebijakan Jepang yang diterapkan dalam
kehidupan masyarakat, banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam—ajaran yang
banyak dianut oleh masyarakat Singaparna. Atas dasar pandangan dan ajaran
Islam, rakyat Singaparna melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang.
Perlawanan
itu juga dilatarbelakangi oleh kehidupan rakyat yang semakin menderita.
Pengerahan tenaga romusa dengan paksa dan di bawah ancaman ternyata sangat
mengganggu ketenteraman rakyat. Para romusa dari Singaparna dikirim ke berbagai
daerah di luar Jawa. Mereka umumnya tidak kembali karena menjadi korban
keganasan alam maupun akibat tindakan Jepang yang tidak mengenal
perikemanusiaan. Mereka banyak yang meninggal tanpa diketahui di mana kuburnya.
Selain itu, rakyat juga diwajibkaan menyerahkan padi dan beras dengan aturan
yang sangat menjerat dan menindas rakyat, sehingga penderitaan terjadi dimana-mana.
c. Perlawanan di Indramayu
Perlawanan
terhadap kekejaman Jepang juga terjadi di daerah Indramayu. Latar belakang dan
sebab-sebab perlawanan adalah Para petani dan rakyat Indramayu pada umumnya
hidup sangat sengsara. Jepang telah bertindak semena-mena terhadap para petani
Indramayu. Mereka harus menyerahkan sebagian besar hasil padinya kepada Jepang.
kebijakan untuk mengerahkan tenaga romusa juga terjadi di Indramayu, sehingga
semakin membuat rakyat menderita.
Perlawanan
rakyat Indramayu antara lain terjadi di Desa Kaplongan, Distrik Karangampel
pada bulan April 1944. Kemudian pada bulan Juli, muncul pula perlawanan rakyat
di Desa Cidempet, Kecamatan Lohbener.
d. Rakyat Kalimantan Angkat Senjata
Perlawanan
rakyat terhadap kekejaman Jepang terjadi di banyak tempat. Begitu juga di
Kalimantan, di sana terjadi peristiwa yang hampir sama dengan apa yang terjadi
di Jawa dan Sumatra. Rakyat melawan Jepang karena himpitan penindasan yang
dirasakan sangat berat. Salah satu
perlawanan di Kalimantan adalah perlawanan yang dipimpin oleh Pang Suma,
seorang pemimpin Suku Dayak. Pemimpin Suku Dayak ini memiliki pengaruh yang
luas di kalangan orang-orang atau suku-suku dari daerah Tayan, Meliau, dan
sekitarnya.
Pang
Suma dan pengikutnya melancarkan perlawanan terhadap Jepang dengan taktik
perang gerilya. Mereka hanya berjumlah sedikit, tetapi dengan bantuan rakyat
yang militan dan dengan memanfaatkan keuntungan alam rimba belantara, sungai,
rawa, dan daerah yang sulit ditempuh perlawanan berkobar dengan sengitnya.
Namun, harus dipahami bahwa di kalangan penduduk juga berkeliaran para
mata-mata Jepang yang berasal dari orang-orang Indonesia sendiri. Lebih
menyedihkan lagi, para mata-mata itu juga tidak segan-segan menangkap rakyat,
melakukan penganiayaan, dan pembunuhan, baik terhadap orang-orang yang
dicurigai atau bahkan terhadap saudaranya sendiri. Adanya mata-mata inilah yang
sering membuat perlawanan para pejuang Indonesia dapat dikalahkan oleh
penjajah.
Demikian
juga perlawanan rakyat yang dipimpin Pang Suma di Kalimantan ini akhirnya
mengalami kegagalan juga.
e. Perlawanan Rakyat Irian
Pada
masa pendudukan Jepang, penderitaan juga dialami oleh rakyat di Papua. Mereka mendapat
pukulan dan penganiayaan yang sering di luar batas kemanusiaan. Oleh karena
itu, wajar jika kemudian mereka melancarkan perlawanan terhadap Jepang.
Gerakan perlawanan yang terkenal di
Papua adalah “Gerakan Koreri” yang berpusat di Biak dengan pemimpinnya bernama
L. Rumkorem. Rakyat Irian
memiliki semangat juang pantang menyerah, sekalipun Jepang sangat kuat,
sedangkan rakyat hanya menggunakan senjata seadanya untuk melawan. Rakyat Irian
terus memberikan perlawanan di berbagai tempat.
Mereka
juga tidak memiliki rasa takut. Padahal kalau ada rakyat yang tertangkap,
Jepang tidak segan-segan memberi hukuman pancung di depan umum. Namun, rakyat
Irian tidak gentar menghadapi semua itu. Mereka melakukan taktik perang
gerilya. Tampaknya, Jepang cukup kewalahan menghadapi keberanian dan taktik
gerilya orang-orang Irian. Akhirnya, Jepang tidak mampu bertahan menghadapi
para pejuang Irian tersebut. Jepang akhirnya meninggalkan Biak. Oleh karena
itu, dapat dikatakan Pulau Biak ini merupakan daerah bebas dan merdeka yang
pertama di Indonesia.
f. Peta di Blitar Angkat Senjata
Penderiatan
rakyat sangat berat. Tidak ada sedikit pun dari pemerintah pendudukan Jepang
yang memikirkan bagaimana hidup rakyat yang diperintahnya.Yang ada pada benak
Jepang adalah memenangkan perang dan bagaimana mempertahankan Indonesia dari
serangan Sekutu. Namun, justru rakyat yang dikorbankan. Penderitaan demi
penderitaan rakyat ini mulai terlintas di benak Supriyadi seorang Shodanco Peta
yang akhirnya tumbuh kesadaran nasionalnya untuk melawan Jepang.
Perang Peta melawan Jepang dipimpin
oleh Supriyadi seorang Shodanco/Komandan Peta.
Penyebab
Peta berperang melawan Jepang adalah penderitaan rakyat akibat penindasan yang
dilakukan Jepang, seperti pengumpulan hasil padi, pengerahan romusa, semua
dilakukan secara paksa dengan tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan.
Labels:
perang melawan jepang,
sejarah
Thanks for reading Materi 8c Perang Melawan Jepang. Please share...!