MATERI 14. SISTEM DAN STRUKTUR
POLITIK-EKONOMI INDONESIA MASA ORDE BARU (1966-1998)
KERJAKAN SOAL UTS ada linknya di paling Bawah
D. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
ORDE BARU
Pemerintahan
Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang
terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu:
1.
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
2.
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3.
stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Konsekuensi
dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akibat pelaksanaan pembangunan tidak
akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Oleh
karena itu, sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984)
maka pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
1.
pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan
perumahan;
2.
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
3.
pemerataan pembagian pendapatan;
4.
pemerataan kesempatan kerja;
5.
pemerataan kesempatan berusaha;
6.
pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi
muda dan kaum wanita;
7.
pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan
8.
pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
a.
Pertanian
Sepanjang
1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur
Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasembada pangan merupakan fokus tersendiri
dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh Soeharto. Pada Pelita I yang
dicanangkan landasan awal pembangunan Pemerintahan Orde Baru, dititikberatkan
pada pembangunan di sektor pertanian yang bertujuan mengejar keterbelakangan
ekonomi melalui proses pembaharuan sektor pertanian. Tujuan Pelita I, meningkatkan
taraf hidup rakyat melalui sektor pertanian yang ditopang oleh kekuatan
koperasi dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pembangunan dalam tahapan
berikutnya.
Soeharto
membangun dan mengembangkan organisasi atau institusi yang akan menjalankan program-program
tersebut. Pembangunan ditekankan pada penciptaan institusi pedesaan sebagai
wahana pembangunan dengan membentuk Bimbingan Massal (Bimas) yang diperuntukkan
meningkatkan produksi beras dan koperasi sebagai organisasi ekonomi masyarakat
pedesaan. Sekaligus menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menyalurkan
sarana pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Di sisi lain pemerintah juga
menciptakan Badan Urusan Logistik (BULOG).
Kemudian
pemerintah melibatkan para petani melalui koperasi yang bertujuan memperbaiki
produksi pangan nasional. Untuk itu kemudian pemerintah mengembangkan ekonomi
pedesaan dengan menunjuk Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada dengan
membentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Maka lahirlah Koperasi Unit Desa (KUD)
sebagai bagian dari pembangunan nasional. Badan Usaha Unit Desa (BUUD)/KUD
melakukan kegiatan pengadaan pangan untuk persediaan nasional yang diperluas
dengan tugas menyalurkan sarana produksi pertanian (pupuk, benih dan
obat-obatan).
Soeharto
juga mengembangkan institusi-institusi yang mendukung pertanian lainnya seperti
institusi penelitian seperti BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) yang
berkembang untuk menghasilkan inovasi untuk pengembangan pertanian yang pada
masa Soeharto salah satu produknya yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul
Tahan Wereng (VUTW).
Pemerintah
Orde Baru membangun pabrik-pabrik pupuk untuk penyediaan pupuk bagi petani.
Para petani diberi kemudahan memperoleh kredit bank untuk membeli pupuk.
Pemasaran hasil panen mereka dijamin dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan
pangan. Diperkenalkan juga manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani,
Bimas, Operasi
Khusus,
dan Intensif Khusus yang sudah terbukti mampu meningkatkan produksi pangan,
terutama beras. Saat itu, budi daya padi di Indonesia
adalah
yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul,
pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk yang
dibangun antara lain adalah Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di
Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.
Jaringan
irigasi teknis dibangun di berbagai daerah dan program pembibitan ditingkatkan.
Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri
dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam rincian penjelasan dijelaskan
bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras.
Koperasi
di pedesaan terus dipacu untuk meningkatkan produktivitasnya. Kebijakan terus
mengalir guna menopang kegiatan di daerah pedesaan. BUUD yang semula hanya
dilibatkan dalam program Bimbingan Massal (Bimas sektor pertanian pangan),
kemudian ditingkatkan menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) dengan tugas serta
peranan yang terus dikembangkan. Instruksi Presiden (Inpres) No.4, Tahun 1973,
Tentang Unit Desa dikeluarkan 5 Mei 1973, menjadi tonggak yuridis keberadaan
KUD. Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan Instruksi Presiden No. 4, Tahun
1973, yang membentuk Wilayah Unit Desa (Wilud), pada akhirnya menjadi Koperasi
Unit Desa (KUD). Dari sinilah lahir Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), yang
berada di bawah Departemen Pertanian.
Para
PPL memperkenalkan dan menyebarluaskan teknologi pertanian kepada para petani
melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah menempatkan para penyuluh pertanian di
tingkat desa dan kelompok petani. Selain program penyuluhan, kelompencapir
(kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu program
pembangunan pertanian Orde Baru yang khas. Kelompecapir merupakan wadah temu
wicara langsung antara petani, nelayan, dan peternak dengan sesama petani,
penyuluh, menteri atau bahkan dengan Presiden Soeharto. Kelompencapir juga
menyelenggarakan kompetisi cerdas cermat pertanian yang diikuti oleh para
petani berprestasi dari berbagai daerah sampai tingkat pusat. Kelompencapir
merupakan program Orde Baru di bidang pertanian yang dijalankan oleh Departemen
Penerangan. Kelompencapir diresmikan pada 18 Juni 1984, dengan keputusan
Menteri Penerangan Republik Indonesia No.110/Kep/Menpen/1984.
b.
Pendidikan
Pada
masa kepemimpinan Soeharto pembangunan pendidikan mengalami kemajuan yang
sangat penting. Ada tiga hal yang patut dicatat dalam bidang pendidikan masa
Orde Baru adalah pembangunan Sekolah Dasar Inpres (SD Inpres), program wajib
belajar dan pembentukan kelompok belajar atau kejar. Semuanya itu bertujuan
untuk memperluas kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah
perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah.
Pada
1973, Soeharto mengeluarkan Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan
Pembangunan Gedung SD. Pelaksanaan tahap pertama program SD Inpres adalah
pembangunan 6.000 gedung SD yang masing-masing memiliki tiga ruang kelas. Dana
pembangunan SD Inpres tersebut berasal dari hasil penjualan minyak bumi yang
harganya naik sekitar 300 persen dari sebelumnya.
Pada
tahun-tahun awal pelaksanaan program pembangunan SD Inpres, hampir setiap
tahun, ribuan gedung sekolah dibangun. Sebelum program Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) dilaksanakan, jumlah gedung SD yang tercatat pada tahun 1968
sebanyak 60.023 unit dan gedung SMP 5.897 unit. Pada awal Pelita VI, jumlah itu
telah meningkat menjadi sekitar 150.000 gedung SD dan 20.000 gedung SMP.
Pembangunan paling besar terjadi pada periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD
baru dibuat. Hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD Inpres
telah dibangun.
Peningkatan
jumlah sekolah dasar diikuti pula oleh peningkatan jumlah guru. Jumlah guru SD
yang sebelumnya berjumlah sekitar ratusan ribu, pada awal tahun 1994 menjadi
lebih dari satu juta guru. Satu juta lebih guru ditempatkan di sekolah-sekolah
inpres tersebut. Lonjakan jumlah guru dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu
juga terjadi pada guru SMP. Total dana yang dikeluarkan untuk program ini
hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I mencapai hampir Rp 6,5 triliun.
Program
wajib belajar pada era Soeharto mulai dilaksanakan pada 2 Mei 1984, di akhir
Pelita (Pembangunan Lima Tahun) III. Dalam sambutannya peresmian wajib belajar
saat itu, Soeharto menyatakan bahwa kebijakannya bertujuan untuk memberikan
kesempatan yang sama dan adil kepadamseluruh anak Indonesia berusia 7-12 tahun
dalam menikmati pendidikan dasar. Program wajib belajar itu mewajibkan setiap
anak usia 7-12 tahun untuk mendapatkan pendidikan dasar 6 tahun (SD).
Program
ini tidak murni seperti kebijakan wajib belajar yang memiliki unsur paksaan dan
sanksi bagi yang tidak melaksankannya. Pemerintah hanya mengimbau orangtua agar
memasukkan anaknya yang berusia 7-12 tahun ke sekolah. Negara bertanggung jawab
terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan, seperti
gedung sekolah, peralatan sekolah, di samping tenaga pengajarnya. Meski program
wajib belajar tidak diikuti oleh kebijakan pembebasan biaya pendidikan bagi
anak-anak dari keluarga kurang mampu, pemerintah waktu itu beruapya
mengatasinya melalui program beasiswa. Untuk itu, kemudian muncul program
Gerakan Nasional-Orang Tua Asuh (GN-OTA).
Dalam
upaya memperkuat pelaksanaan GN-OTA, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama
Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan
Menteri Agama Nomor 34/HUK/1996, Nomor 88 Tahun 1996, Nomor 0129/U/1996, Nomor
195 Tahun 1996 tentang Bantuan terhadap Anak Kurang Mampu, Anak Cacat, dan Anak
yang Bertempat Tinggal di Daerah Terpencil dalam rangka Pelaksanaan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar.
Keberhasilan
program wajib belajar 6 tahun ditandai dengan kenaikan angka partisipasi
sekolah dasar (SD) sebesar 1,4 persen. Angka partisipasi SD menjadi 89,91
persen di akhir Pelita IV. Kenaikan angka partisipasi itu menambah kuat niat
pemerintah untuk memperluas kelompok usia anak yang ikut program wajib belajar
selanjutnya, menjadi 7-15 tahun, atau menyelesaikan tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP).
Sepuluh
tahun kemudian, program wajar berhasil ditingkatkan menjadi 9 tahun, yang
berarti anak Indonesia harus mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP. Upaya
pelaksanaan wajib belajar 9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun mulai
diresmikan pada Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei
1994. Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1994.
Program
wajib belajar telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia saat
itu. Fokus utama ketika itu adalah peningkatan angka-angka indikator kualitas
pendidikan dasar. Fokus pembangunan pendidikan saat itu, yaitu peningkatan
secara kuantitatif, baru kemudian memerhatikan kualitas atau mutu pendidikan.
Setelah
perluasan kesempatan belajar untuk anak-anak usia sekolah, sasaran perbaikan
bidang pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Hal itu
disebabkan oleh kenyataan bahwa masih banyak penduduk yang buta huruf. Dalam
upaya meningkatkan angka melek huruf, pemerintahan Orde Baru mencanangkan
penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978. Cara yang ditempuh adalah dengan pembentukan
kelompok belajar atau ”kejar”.
Kejar
merupakan program pengenalan huruf dan angka bagi kelompok masyarakat buta
huruf yang berusia 10-45 tahun. Tutor atau pembimbing setiap kelompok adalah
masyarakat yang telah dapat membaca, menulis dan berhitung dengan pendidikan
minimal sekolah dasar. Jumlah peserta dan waktu pelaksanaan dalam setiap kejar
disesuaikan dengan kondisi setiap tempat.
Keberhasilan
program kejar salah satunya terlihat dari angka statistik penduduk buta huruf
yang menurun. Pada sensus tahun 1971, dari total jumlah penduduk 80 juta jiwa,
Indonesia masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang
berstatus buta huruf. Sepuluh tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980,
persentase itu menurun menjadi hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya
tahun 1990, angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.
c.
Keluarga Berencana (KB)
Pada
masa Orde Baru dilaksanakan program untuk pengendalian pertumbuhan penduduk
yang dikenal dengan Keluarga Berencana (KB). Pada tahun 1967 pertumbuhan
penduduk Indonesia mencapai 2,6% dan pada tahun 1996 telah menurun drastis
menjadi 1,6%.
Pengendalian
penduduk dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas rakyat Indonesia dan
peningkatan kesejahteraannya. Keberhasilan ini dicapai melalui program KB yang
dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Hampir
setiap hari di TVRI. Selain di media massa, di papan iklan di pinggir-pinggir
jalan pun banyak dipasang mengenai pesan pentingnya KB. Demikian pula dalam
mata uang koin seratus rupiah dicantumkan mengenai KB. Hal itu menandakan bahwa
Orde Baru sangat serius dalam melaksanakan program KB. Slogan yang muncul dalam
kampanye-kampanye KB adalah “dua anak cukup, laki perempuan sama saja”.
Program
KB di Indonesia, diawali dengan ditandatanganinya Deklarasi Kependudukan PBB
pada tahun 1967 sehingga secara resmi Indonesia mengakui hak-hak untuk
menentukan jumlah dan jarak kelahiran sebagai hak dasar manusia dan juga
pentingnya pembatasan jumlah penduduk sebagai unsur perencanaan ekonomi dan
sosial.
Keberhasilan
Indonesia dalam pengendalian jumlah penduduk dipuji oleh UNICEF, karena dinilai
berhasil menekan tingkat kematian bayi dan telah melakukan berbagai upaya
lainnya dalam rangka mensejahterakan kehidupan anak-anak di tanah air. UNICEF
bahkan mengemukakan bahwa tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia
itu hendaknya dijadikan contoh bagi negara-negara lain yang tingkat kematian
bayinya masih tinggi.
Program
KB di Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses di dunia, sehingga
menarik perhatian dunia untuk mengikuti kesuksesan Indonesia. Pemerintah pun
mengalokasikan sumber daya dan dana yang besar untuk program ini.
d.
Kesehatan Masyarakat, Posyandu
Perkembangan
puskesmas bermula dari konsep Bandung Plan diperkenalkan oleh dr. Y. Leimena
dan dr. Patah pada tahun 1951, Bandung Plan merupakan suatu konsep pelayanan
yang menggabungkan antara pelayanan kuratif dan preventif. Tahun 1956
didirikanlah proyek Bekasi oleh dr. Y. Sulianti di Lemah Abang, yaitu model
pelayanan kesehatan pedesaan dan pusat pelatihan tenaga.
Kemudian
didirikan Health Centre (HC) di 8 lokasi, yaitu di Indrapura (Sumut), Bojong
Loa (Jabar), Salaman (Jateng), Mojosari (Jatim), Kesiman (Bali), Metro
(Lampung), DIY dan Kalimantan Selatan. Pada 12 November 1962 Presiden Soekarno
mencanangkan program pemberantasan malaria dan pada tanggal tersebut menjadi
Hari Kesehatan Nasional (HKN).
Konsep
Bandung Plan terus dikembangkan, tahun 1967 diadakan seminar konsep Puskesmas.
Pada tahun 1968 konsep Puskesmas ditetapkan dalam Rapat Kerja Kesehatan
Nasional dengan disepakatinya bentuk Puskesmas yaitu Tipe A, B & C.
Kegiatan Puskesmas saat itu dikenal dengan istilah ’Basic’. Ada Basic 7, Basic
13 Health Service yaitu : KIA, KB, Gizi Mas, Kesling, P3M, PKM, BP, PHN, UKS,
UHG, UKJ, Lab, Pencatatan dan Pelaporan. Pada tahun 1969, Tipe Puskesmas
menjadi A & B. Pada tahun 1977 Indonesia ikut menandatangi kesepakatan Visi
: ”Health For All By The Year 2000”, di Alma Ata, negara bekas
Federasi
Uni Soviet, pengembangan dari konsep ”Primary Health Care”. Tahun 1979
Puskesmas tidak ada pen’tipe’an, dan dikembangkan piranti manajerial
perencanaan dan penilaian Puskesmas yaitu ’ Micro
Planning’danStratifikasiPuskesmas.
Pada
tahun 1984 dikembangkan Posyandu, yaitu pengembangan dari pos penimbangan dan
kurang gizi. Posyandu dengan 5 programnya yaitu, KIA, KB, Gizi, Penanggulangan
Diare dan Imunisasi. Posyandu bukan saja untuk pelayanan balita tetapi juga
untuk pelayanan ibu hamil. Bahkan pada waktu-waktu tertentu untuk promosi dan
distribusi Vit.A, Fe, Garam Yodium, dan suplemen gizi lainnya. Bahkan Posyandu
saat ini juga menjadi andalah kegiatan penggerakan masyarakat (mobilisasi
sosial) seperti PIN, Campak, dan Vit A.
Perkembangan
puskesmas menampakan hasilnya pada era Orde Baru, salah satu indikatornya
adalah semakin baiknya tingkat kesehatan. Pada sensus 1971 hanya ada satu
dokter untuk melayani 20,9 ribu penduduk. Sensus 1980, menunjukkan bahwa satu
tenaga dokter untuk 11,4 ribu penduduk.
UNTUK MENGERJAKAN QUIZZ, SILAHKAN KLIK DISINI