Blog Kang One

Catatan Sederhana untuk Berbagi

Khawarij dan Sifat-sifatnya

Surat-surat yang pertama turun adalah yang berkaitan dengan masalah aqidah. Oleh karena itu untuk memahami bagaimana Rasulullah saw. memahami aqidah, kita harus benar-benar memahami ayat-ayat atau surat-surat Makiyah tersebut. Manhaj aqidah secara umum dibagi dua: manhaj yang benar lagi menyeluruh.
Disebutkan dalam atsar yang diriwayatkan Abdullah bin Umar oleh Al‑Hakim bahwa generasi umat dibagi jadi dua: (1)‑ umat yang diberi keimanan terlebih dahulu, kemudian baru diberi Al Qur’an (2)‑ umat yang mengambil pelajaran Al‑Qur’an lebih dahulu sebelum didapatkan keimanan. Kemudian Atsar itu menyebutkan perilaku dari kedua kelompok generasi itu, dimana kelompok yang pertama terdiri dari para Salafushshaleh dan pembesar‑pembesar sahabat yang mengetahui yang diwajibkan dari yang dilarang dan alasannya; sementara kelompok yang kedua cuma pandai membaca Al‑Qur’an dengan lancar dan mengkhatamkannya dengan cepat tanpa tahu mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang serta batasan‑batasannya. Pada akhirnya kedua kelompok ini melahirkan manhaj yang berbeda, dan dari kelompok yang kedualah munculnya Al‑Firaq Al‑Bathilah (aliran‑aliran yang sesat), di antaranya Al‑Khawarij.
Tujuan pembahasan Firaq Bathilah ini agar pada kita tidak terjadi Firaq ini, sebagaimana yang pernah ditanyakan oleh Hudzaifah bin Al‑Yaman dalam sebuah haditsnya yang panjang.
“Orang-orang biasanya bertanya kepada Rasulullah perihal kebaikan, tapi saya bertanya kepadanya perihal keburukan karena takut hal itu menimpa diriku.”
Di samping itu pengetahuan tentang Firaq ini menjadi kebutuhan kita untuk memberi hujjah kepada orang-orang yang mungkin memiliki sikap‑sikap yang juz’i dan menyimpang dari Islam.
AL-KHAWARIJ (الخوارج)
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657). Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah (2):207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islarn sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al‑Fatawa,
“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”
Kemudian hadits‑hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits‑hadits yang berkaitan dengan Khawarij scdang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana‑mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku‑buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati‑hati terhadap firqah ini.
Fakta munculnya Khawarij bukanlah pada masa Ali r.a. sebagaimana sebagian para ahli sejarah menyebutkan, tapi sudah muncul pada masa Utsman r.a. baik secara ajaran maupun dalam bentuk aksi nyata. Buku sejarah banyak menyebutkan ini seperti buku sejarahnya Imam At‑Thabari dan Ibnu Katsir. Dalam buku tersebut orang yang memberontak kepada Utsman r.a. disebut Khawarij. Hal ini dikuatkan oleh fakta sejarah berikutnya dimana mereka berhasil membunuh Utsman r.a. Kemudian umat Islam membai’at Ali r.a. termasuk sebagian besar orang‑orang yang telah membunuh Utsman r.a. Sementara itu Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Aisyah, dan sahabat yang lain keluar dan menuntut pembelaan terhadap Utsman r.a. Ali r.a. berkata, “Saya setuju dengan pendapat Anda, tapi mereka sangat banyak dan bercampur dalam pasukan kami.” Ali r.a. menghendak masalah Khalifah diselesaikan dahulu baru menyelesaikan orang‑orang yang membunuh Utsman. Kemudian antara pihak Ali r.a. dan Aisyah r.a. sudah terjadi kesepakatan bahwa mereka tidak akan berperang kecuali untuk menuntut pembunuh Utsman, tapi orang‑orang yang membunuh Utsman membuat fitnah lagi dalam Perang Jamal. Mereka memisahkan diri jadi dua, sebagian bersama Ali dan sebagian bersama Aisyah; dan mereka berdua saling melempar lembing, dan satu sama lain mengatakan bahwa Ali telah berkhianat dan Aisyah telah berkhianat, maka terjadilah apa yang terjadi dalam Perang Jamal.
Pada waktu terjadi peperangan antara Ali r.a. dengan Muawiyah r.a., mereka juga bersama Ali dalam suatu peperangan yang terkenal dalam sejarah disebut Perang Shiffin. Dalam buku‑buku tarikh Syi’ah juga ditulis dalam buku‑buku tarikh Sunnah, disebutkan ada pihak ketiga yang netral di antaranya Abdullah bin Umar, Abu Musa Al‑Asyari, Zaid bin Tsabit, dan yang lainnya yang mencoba mengadakan ishlah pada keduanya dan mempertemukan keduanya. Terjadilah suatu dialog antara utusan Ali r.a. dengan Muawiyah bin Abi Sofyan.
“Apakah Anda memerangi Ali karena Anda ingin menjadi khalifah?” Muawiyah berkata, “Saya tahu diri saya. Saya tahu diri saya jauh di bawah Ali, dan tidak ada dalam benak saya keinginan untuk menjadi khalifah. Saya keluar berperang untuk menuntut darah Utsman.” “Apa betul Anda tidak ingin menjadi khalifah?” Berkata Muawiyah, “Andaikata Ali menyerahkan siapa pembunuh Utsman niscaya saya orang yang pertama berbai’at.” Akantetapi suasana dikacaukan oleh orang‑orang tadi yang akhirnya terjadi Perang Shifiin.
Ketika pihak Muawiyah hampir kalah, atas usulan Amru bin Al‑Ash untuk meletakkan mushaf di pucuk pedang sebagai tanda ingin berunding. Ali r.a. tahu bahwa ini tipu daya tetapi orang‑orang Khawarij meminta Ali untuk menerimanya bahkan memaksa dan mengancam:
“Jika engkau menolak, kami akan memperlakukan Anda sebagaimana kami memperlakukan Utsman dan kami akan membunuh Anda sebagaimana kami telah membunuh Utsman.”
Akhirnya Ali r.a. menerima dengan terpaksa, kemudian menyuruh panglima perangnya Asytar An‑Nakha’i untuk menerima tahkim. Tapi Asytar juga keberatan atas perintah itu karena ia tahu benar unsur tipuannya sangat besar. Namun, lagi‑lagi orang‑orang Khawarij memaksa Asytar dan mengatakan apa yang dikatakan kepada Ali r.a., maka Asytar pun menerima tahkim itu.
Ketika Ali r.a. tahu bahwa pihak Muawiyah mengutus Amru bin Al‑Ash, seorang yang diketahui ahli diplomasi, maka Ali r.a. mengutus Abdullah bin Al‑Abbas. Tapi lagi‑lagi orang Khawarij membuat ulah dan berkata, “Kalau Anda mengutus Ibnu Abbas apa bedanya Anda dengan Utsman. Kami memerangi Utsman karena dia selalu mengangkat keluarganya sendiri. Sekarang Anda mengutus Ibnu Abbas, keponakan anda sendiri.” Mereka meminta yang menjadi utusan dari pihak Ali adalah Abu Musa Al‑Asy’ari, tokoh netral. Tapi Ali tahu kalau Abu Musa bukanlah orang yang cocok pada masalah ini, dia terlalu lugu (ikhlash). Mereka bersikeras dan mengancam Ali r.a., sampai dalam hal ini Ali berkata,
“Dulu saya bisa memimpin tapi saya sekarang jadi dipimpin.”
Kemudian setelah acara tahkim usai dengan hasil yang sangat merugikan Ali r.a., permasalahan ternyata belum selesai. Orang Khawarij membuat ulah lagi dengan mengkafrkan Ali r.a. dengan berkata,
“Anda telah kafir karena Anda telah menyerahkan urusan tahkim kepada orang dalam hukum Allah. Tiada yang berhak menghukum melainkan Allah.”
Dan mereka keluar dari pasukan Ali –jumlah mereka sebanyak 12.000 orang–, maka terpaksa Ali menghadapi mereka dan menyuruh Ibnu Abbas untuk berdiskusi dengan mereka.
Fenomena sikap Khawarij banyak terjadi sekarang dan biasa disebut Neokhawarijisme bahkan bisa jadi dekat dengan kita, apalagi hal itu telah diprediksi oleh Rasulullah saw. Ibnu Abbas ketika mengadakan dialog dengan mereka menyebutkan beberapa ciri‑ciri di antaranya: Mereka sangat wara’, pakaiannya sangat sederhana, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidatnya hitam, telapak tangan dan kakinya kapalan, dan meraka disebut qura’ yaitu orang yang bagus bacaannya dan lama bila membaca Al-Qur’an.
Untuk melihat sifat‑sifat mereka lebih jauh, kita lihat hadits‑hadits Rasul saw. yang membicarakan hal ini, diantaranya:
Dari Abi Said Al‑Khudry berkata, Tatkala kami bersama Rasulullah saw. dan beliau sedang membagikan ghanimah, datang Dzul Khuwaishirah salah seorang dari Bani Tamim dan berkata, “Wahai Rasulullah berbuat adillah!” Berkata Rasulullah saw., “Celaka! Siapa yang akan berbuat adil jika saya tidak berbuat adil? Niscaya saya celaka dan binasa jika saya tidak adil.” Berkata Umar bin Khattab, “Wahai Rasulullah! Ijinkan saya memenggal lehernya.” Berkata Rasulullah saw., “Biarkanlah dia. Sesunggulinya dia mempunyai banyak teman, dirnana dianggap remeh shalat di antara kalian dibanding shalat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka, mereka membaca Al‑Qur’an tidak sampai kecuali pada tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Pada hari Hunain Rasulullah saw. mengutamakan sebagian manusia dalam pembagian ghanimah. Beliau memberi Al‑Aqra bin Habis Al‑Handhaly 100 unta, memberi Uyainah bin Badrul Fijary dengan jumlah yang serupa dan memberi para pembesar Arab, beliau mengutamakan mereka dalam pembagian. Maka berkata salah seorang, “Demi Allah, pembagian ini tidak adil dan tidak bertujuan untuk mencari ridha Allah!” (HR. Muslim)
Dalam riwayat yang lain: “Sesungguhnya dari keturunan ini ada kaum yang membaca Al-Qur’an yang tidak sampai kecuali pada kerongkongan, mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala, mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya, jika saya menjumpai mereka pasti akan saya bunuh mereka seperti membunuh kaum Aad.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang usia mereka masih muda, dan bodoh, mereka mengatakan sebaik‑baiknya perkataan manusia, membaca Al‑Qur’an tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka. Mereka keluar dari din (agama Islam) sebagaimana anak panah keluar dan busurnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Suatu kaum dari umatku akan keluar membaca Al‑Qur’an, mereka mengira bacaan Al-Qur’an itu menolong dirinya padahal justru membahayakan dirinya. Shalat mereka tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka.” (HR. Muslim)
“Mereka baik dalam berkata tapi jelek dalam berbuat, mengajak untuk mengamalkan kitab Allah padahal mereka tidak menjalankannya sedikitpun.” (HR. Al-Hakim)
“Mereka akan senantiasa keluar sampai pada yang terakhir bersama Al-Masih Ad-Dajjal. Jika kalian bertemu mereka, maka bunuhlah; merekalah sejelek-jelek penciptaan dan sejelek-jelek makhluk.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim)
“Al-Khawarij adalah anjingnya ahli neraka.”
Dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan sifat-sifat, nilai, fenomena, dan kedudukan mereka.
Sifat‑sifat Khawarij
I. Mencela dan Menyesatkan
Orang‑orang Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan kesalahan kecil yang mereka perbuat.
2. Buruk Sangka (سوء الظن)
Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang‑orang Khawarij adalah kaum yang paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar‑pembesar dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.
3. Berlebih‑lebihan dalam ibadah (المبالغة في العبادة)
Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka ‘kapalan’. Mereka disebut quro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang‑orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa‑apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih‑lebihannya ibadah mereka.
4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya (التشدد على المسلمين والترخص على غيرهم)
Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang Islam, tetapi membiarkan penyembali berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin Habbab bin Al‑Art berjalan dengan isterinya bertemu dengan orang Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk menyampaikan hadits‑hadits yang didengar dari Rasulullah saw., kemudian Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah,
“Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan….”
Mereka bertanya, “Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh dengan mengeluarkan janin dari perutnya.
Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang jatuh kemudian salah seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang lain mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung saja orang itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi tadi mencari orang yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan membayar tebusan.
5. Sedikit pengalamannya (قلة التجربة)
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang‑orang Khawarij umurnya masih muda‑muda yang hanya mempunyai bekal semangat.
6. Sedikit pemahamannya (قلة الفقه)
Disebutkan dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al‑Qur’an dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa Al‑Qur’an akan menolongnya di akhirat, padahal sebaliknya akan membahayakannya.
7. Nilai Khawarij
Orang‑orang Khawarij keluar dari Islam sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw., “Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.”
8. Fenomena Khawarij
Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. “Mereka akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar bersama Al‑Masih Ad‑Dajjal”
9. Kedudukan Khawarij
Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing neraka.
10. Sikap terhadap Khawarij
Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. “Jika engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.”
Ibroh (Pelajaran) yang kita dapat
1. Berhati‑hati supaya tidak terjatuh pada Khawarijisme (التخذير من الوقوع)
Secara sosial politik Khawarij bisa muncul kapan saja. Kemunculan pertama Khawarij dimulai dari ketidakpercayaan (‘adamuts tsiqah) sebagian mereka kepada pemimpin kaum Muslimin, yaitu Utsman bin Affan yang mereka anggap tidak adil, nepotisme, dan mengangkat orang‑orang dekatnya. Ditambah ada sosok lain yang tidak suka dengan Islam, yaitu Abdullah bin Saba, yang sangat besar pengaruhnya dalam memecah belah umat Islam. Melihat sejarah awal munculnya Khawarij, sekarang ini fenomena itu tampaknya ada.
2. Bertaubat jika sudah terjatuh (الإنقاذ إن وَقَعَ)
Sejarah pun telah membuktikan banyak umat Islam yang sudah terjatuh pada fitnah Khawarijisme. Di Mesir pada tahun 60‑an banyak kelompok yang keluar dari jama’ah yang benar dan menuduh pemimpinnya lemah, bahkan menuduh sesama muslim sebagai kafir. Untuk menghadapi orang‑orang yang sudah terjatuh pada Khawarij minimal dibutuhkan tiga cara: (1) memilih orang yang cocok untuk menghadapi mereka, (2) cara yang benar, (3) memeranginya jika diperlukan.
Ali, Ibnu Abbas, dan Umar bin Abdul Aziz dianggap orang yang cocok untuk menghadapi Khawarij disamping mereka bertiga memiliki ilmu yang dalam dan bijaksana serta pandai memilih cara yang tepat untuk menghadapi mereka.
Pada saat Ali r.a. menghadapi mereka, beliau bertanya, “Apa yang Anda rasa berat dari saya?” Mereka menjawab, “Karena Anda menyerahkan hak menghukum kepada manusia, padahal tidak ada yang berhak rnenghukum kecuali Allah.” Jawab Ali, “Apakah jika saya mendatangkan dengan dalil Al‑Qur’an kepada Anda, Anda akan kembali?” Mereka menjawab, “Kenapa tidak?” Maka Ali mengambil dalil dari Al‑Qur’an surat An‑Nisa ayat 35 yang artinya, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki‑laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” “Kalau pada masalah pernikahan saja Allah membolehkan mengambil hakim dari manusia apalagi masalah Khilafah!” Maka sebanyak 4.000 orang dari Khawarij bertaubat.
Begitu juga Ibnu Abbas sebagai sosok yang mampu menghadapi orang‑orang Khawarij. Suatu saat Ali mengutusnya untuk menghadapi Khawarij, maka Ibnu Abbas bertanya pada mereka, “Hal apakah yang membuat Anda dendam kepada Ali?” Mereka menjawab, “Ada tiga, pertama, dalam hal agama Allah, Ali bertahkim pada manusia; kedua, ia berperang tapi tidak menawan pihak musuh dan tidak mengambil harta rarnpasan; ketiga, waktu bertahkim ia rela meninggalkan keamirannya.” Maka jawab lbnu Abbas, “Mengenai bertahkim pada manusia apa salahnya, kemudian beliau membacakan ayat 95 dari surat AI‑Maidah. Tentang ucapan Anda, ia berperang tidak melakukan penawanan, apakah Anda menghendaki agar Aisyah, istri Rasul saw., jadi tawanan? Adapun Ali menanggalkan kekhalifahannya, Ali mencontoh Rasulullah saw. pada saat perjaniian Hudaibiyah.” Demikianlah setelah Ibnu Abbas menyelesaikan dialognya dengan sangat bijaksana, sekitar 20.000 orang Khawarij bertaubat.
Begitu juga Umar bin Abdul Aziz melakukan yang serupa dimana pada masa daulah Bani Umayyah yang paling membahayakan adalah orang‑orang Khawarij. Bahkan daulah punya pasukan khusus untuk menghadapi mereka yang dipimpin oleh Al‑Muhalab bin Abi Shufroh. Suatu saat Umar berdialog dengan salah seorang dari mereka yang bernama Al‑Bistom dan berkata, “Kami siap kembali kepada Anda dengan syarat Anda bertaubat dan melaknati Bani Umayyah.” Umar berkata, “Baiklah, apakah hal ini ada sanad tarikhnya bahwa orang yang bertaubat harus melaknati leluhurnya?” Umar melanjutkan, “Apakah Anda pernah melaknati iblis dan Fir’aun? Mengapa Anda menyuruh saya untuk melaknati orang yang kemungkinan lslamnya masih besar?”
Bukti dari ini semua menunjukkan bahwa Ali, Ibnu Abbas, dan Umar adalah figur yang cocok untuk menghadapi Khawarij berkat ilmunya yang sangat dalam dan kebijaksanaannya. Mereka juga memiliki metodologi yang baik dalam menghadapi mereka. Kebaikan cara dan kebijaksanaan Ali terbukti ketika ditanya, “Apakah Khawarij itu kafir?” Jawab Ali, “Mereka adalah orang yang berusaha lari dari kekafiran.” “Apakah mereka munafik?” Jawab Ali, “Orang munafik tidak menyebut Allah kecuali sedikit, padahal mereka orang yang banyak menyebut nama Allah.”
Kelompok Khawarij ini sangat unik. Hal ini terlihat pada kasus ketika mereka mengadakan kesepakatan untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amru bin Al‑Ash. Salah seorang yang ditugaskan untuk membunuh Ali adalah Abdurrahman bin Muljam. Abdurrahman sebenarnya enggan diberi tugas untuk membunuh Ali, tapi ketika lewat pada perkampungan Khawarij dia mendapatkan orang yang tercantik di kampung itu dan bapak serta kakaknya sudah tewas terbunuh oleh Ali dalam peristiwa Harura. Perempuan itu bernama Qutom dan sangat dendam pada Ali. Ibnu Muljam berkata pada perempuan itu, “Saya ingin mengawini Anda!” “Boleh, tapi mahar apa yang akan engkau berikan pada saya?” jawab Qutom. “Apa saja yang engkau minta niscaya aku kabulkan,” balas Ibnu Muljam. Maka Qutom mengatakan, “Saya minta 30.000 hamba sahaya, budak yang bisa menyanyi, dan membunuh Ali.” “Kalau yang tiga pertama dapat saya kabulkan, tapi yang terakhir engkau jangan berharap.” Qutom kemudian berkata, “Jika Anda bisa melakukannya, saya akan sembuh dari sakit hati, Anda bisa menikahi saya. Tapi kalau tidak, maka akhirat lebih baik bagi Anda dari dunia dan segala isinya.” Maka terjadilah apa yang sudah terjadi. Dari kasus ini menunjukkan ada kasus yang terselubung dan tidak murni dalam pembunuhan Ali oleh Ibnu Muljam.
Bentuk keunikan lain, mereka adalah kelompok yang mudah dibodohi. Maka, untuk menghadapi mereka diperlukan cara khusus. Hal ini pernah terjadi pada Amru bin Ubaid, salah seorang tokoh Mu’tazilah. Suatu saat ia lewat perkampungan Khawarij dengan ternan‑temannya dan dihadang oleh mereka seraya berkata, “Mana kawan‑kawan Anda, tadi kelihatan banyak?” Jawab Arnru dengan menyitir ayat 6 surat At‑Taubah, “Kami orang yang musyrik yang meminta perlindungan agar dapat mendengar firman Allah.” “Boleh, kami melindungi Anda sekalian. Pergilah, Anda mendapat perlindungan.” Tapi Amru merasa belum aman karena perkampungan Khawarij masih panjang, maka dia berkata, “Tidak begitu. Antarkanlah ia ke tempat yang aman.” Maka orang‑orang Khawarij tadi mengantarkannya. Peristiwa ini menunjukkan pemikiran orang-orang Khawarij yang sangat sederhana yang mengakibatkan mudah diperdaya dengan logika yang sangat sederhana. Sehingga untuk menghadapi mereka, dibutuhkan cara yang tepat dan tidak perlu logika yang berat‑berat.
Cara yang ketiga, memeranginya jika dianggap perlu. Hal ini terbukti ampuh dan juga pernah dilakukan Ali r.a. Pada masa Daulah Abbasiyah kekuatan mereka secara politis sudah bisa dilumpuhkan, kalaupun masih ada hanya bekas‑bekas atau pengaruh pemikiran mereka dan dalam bentuk nilai seperti menyesatkan dan menganggap kafir orang muslim.
3. Mensyukuri pemahaman yang benar (الشكر على الفهم الصحيح)
Kalau kita melihat betapa orang yang ibadahnya sangat rajin, pandai bahasa Arab, masih bisa salah dalam memahami Islam bahkan dicap oleh Rasul sebagai anjingnya ahli neraka, ini menunjukkan betapa besarnya nikmat pemahaman yang benar yang diberikan Allah pada kita.
Salah seorang ulama salaf berkata:
“Saya tidak tahu bagaimana saya harus bersyukur dengan nikmat memahami Islam dengan benar atau mampu menjauhi dari bid’ah.”
Tokoh-tokoh Khawarij
  1. Abdullah ibn Wahhab Al-Rasyibi pemimpin sekte Al-Muhakkimat. Beliau adalah tokoh utama dari 12.000 orang yang keluar dari barisan Ali r.a. dan menjadikan Haruriah sebagai basis pergerakan. Di desa itu, Abdullah bersama kroninya mendirikan “khilafah baru” dengan pemimpinnya Abdulllah sendiri.
  2. Nafi’ ibn al-Azraq merupakan salah seorang pengikut sekte Muhakkimah yang tersisa dalam peprangan di Nahrawan. Bersama kroni-kroninya, ia kembali menyebarkan paham khawarij dengan berganti baju Al-Azariqah
  3. Najdah ibn Amir al-Hanafi, pemimpin sekte al-Najd, merupakan koalisi dari beberapa tokoh Khawarij –seperti Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil, Atiah Al-Hanafi, dan Najdah sendiri– akibat kekecewaan terhadap kepemimpinan Nafi’ Al-Azraq.
Ide-ide Pemikiran aliran Khawarij
  1. Menganggap kafir orang-orang yang berseberangan dengan mereka, terutama yang terlibat dalam Perang Shiffin. Karenanya, tidak ada istilah damai untuk penentang Khawarij, mengingat yang dimaksud ishlah dalam QS. Al-Hujurat: 9 adalah sesama orang Islam, tidak dengan orang kafir.
  2. Orang Islam yang berbuat dosa besar, seperti berzina dan pembunuh adalah kafir dan selamanya masuk neraka.
  3. Hak khilafah tidak harus dari kerabat nabi atau suku Quraisy khususnya, dan orang Arab umumnya. Seorang khalifah harus dipilih oleh kaum Muslimin melalui pemilihan yang bebas. Khalifah yang taat kepada Tuhan wajib ditaati. Sebaliknya, khalifah yang mengingkari Tuhan dan umat yang durhaka kepada khilafah yang wajib ditaati, boleh diperangi dan dibunuh.
  4. Orang musyrik adalah yang melakukan dosa besar, tidak sepaham dengan mereka, atau orang yang sepaham tetapi tidak ikut hijrah dan berperang bersama mereka. Orang musyrik itu halal darahnya. Nasib mereka bersama anak-anaknya akan kekal di neraka.
  5. Mereka menganggap bahwa hanya daerahnya yang disebut dar al-Islam, dan daerah orang yang melawan mereka adalah dar al-harb. Karenanya, orang yang tinggal dalam wilayah dar al-harb, baik anak-anak maupun wanita, boleh dibunuh.
  6. Ajaran agama yang harus diketahui hanya ada dua, yakni mengetahui Allah dan rasul-Nya. Selain dua hal itu tidak wajib diketahui.
  7. Melakukan taqiyyah (menyembungikan keyakinan demi keselamatan diri), baik secara lisan maupun perbuatan adalah dibolehkan bila keselamatan diri mereka terancam.
  8. Dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus akan berubah menjadi dosa besar dan pelakunya menjadi musyrik.
  9. Imam dan khilafah bukanlah suatu keniscayaan. Tanpa imam dan khilafah, kaum muslimin bisa hidup dalam kebenaran dengan cara saling menasihati dalam hal kebenaran.
Kemunculan gerakan Khawarij sangat kental dengan nuansa politiknya. Persoalan teologi hanya dijadikan komoditi politik untuk melegitimasi gerakan mereka. Allahu a’lam.

sumber : dakwatuna.com
Labels: islam, khawarij dan sifatnya

Thanks for reading Khawarij dan Sifat-sifatnya. Please share...!

Back To Top