Posted by
One_Esc on
Monday, September 4, 2017
Tri
Tuntutan Rakyat ( TRITURA ) 10 Januari
1966
Pasca pemberontakan G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tanggal 30
September 1965 telah menimbulkan krisis kepemimpinan nasional yang berdampak
buruk terhadap segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Kondisi ini menjadi
pemicu munculnya gelombang ketidakpercayaan masyarakat, terutama
gerakan-gerakan mahasiswa terhadap kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan Presiden
Ir. Sukarno dalam menangani persoalan-persoalan politik, keamanan dan ekonomi
pasca pemberontakan G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia).
Menjelang akhir tahun 1965 pemerintah membuat kebijakan mendevaluasikan
rupiah dan menaikkan harga minyak bumi. Kebijakan tersebut menyulut demontrasi
besar-besaran dikalangan mahasiswa. Pada tanggal 10 Januari 1966 Mahasiswa
melancarkan tuntutan yang dikenal dengan nama Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)
meliputi:
1.Pembubaran
Partai Komunis Indonesia (PKI);
2.Retooling
Kabinet/ Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI/ Bubarkan kabinet 100 Menter;
3.Penurunan
Harga/Perbaikan Ekonomi.
Tuntutan mahasiswa mendapat sambutan positif dari Team Pelaksana
Musyawarah Exponen Angkatan ’45. Berita Antara 14 Januari 1966 memberitakan
bahwa Team tersebut telah mengemukakan pandangannya, bahwa tuntutan para
mahasiswa akhir-akhir ini melalui demonstrasi-demonstrasi perlu mendapat
sambutan baik atas dasar factor-faktor obyektif serta situasi kongrit dewasa
ini. Tuntutan mahasiswa yang tercermin dalam demonstrasi terus-menerus setiap
hari dan dipimpin oleh Kesatuan Aksi Mahsiswa Indonesia (KAMI) berpokok pada
soal pembubaran PKI dan ormas-ormasnya, retooling Kabinet Dwikora dan penurunan
kenaikan tarif-harga.
Mengenai tuntutan melakukan retooling cabinet yang sekarang ini,
Musyawarah Exponen Angkatan ’45 dalam pernyataan tersebut yang telah diedarkan
menyatakan dukungannya. Musyawarah Exponen Angkatan ’45 juga menandaskan hendak
membantu Wakil Perdana Menteri III, Chaerul Saleh, salah seorang tokoh angkatan
’45, untuk mengadakan konsultasi atas dasar musjawarah dan mufakat dengan
segenap pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlu diingatkan pentingnya
mempertahankan gotong royong dan persatuan progresif revolusioner guna
mengatasi situasi tanah air dari ancaman G-30-S/PKI, terutama di bidang
ekonomi.
Dalam menunjukkan keinginan membantu Wakil Perdana Menteri III untuk
mengadakan konsultasi dengan segenap pihak yang bersangkutan, Musyawarah
Exponen Angkatan ’45 menyarankan agar kebijakan ekonomi menekankan pada
pendekatan produksi dalam rangka memberantas inflasi. Gaji pegawai, buruh dan
prajurit setiap bulan minimal harus berada di atas kebutuhan fisik minimum
keluarga mereka. Dikemukakan selanjutnya bahwa sementara menunggu perkembangan
produksi sebagai alat satu-satunya mencegah inflasi, maka kebutuhan barang-barang
pokok harus dicukupi jumlahnya dengan cara apa pun. Segenap alat distribusi
harus diawasi secara ketat hingga seluruhnya dikuasai oleh pemerintah sambil
melaksanakan Keputusan MPRS tentang pelaksanaan alat-alat distribusi yang
dipegang oleh koperasi rakyat. Pernyataan dari Musyawarah Exponen Angkatan ’45
ditandatangani oleh Mayor Jenderal Djamin Gintings, Brigadir Jenderal
Djuhartono, Brigadir Jenderal Pol. Sujono, SH, Letnan Kolonel Chandra Hasan,
Letnan Kolonel Dominggus Nanlohy, Drosek Zakaria Raib, Alizar Thaib, Ishak
Djanggawirana, Armansyah, Herman Wanggamihardja, Ismael Agung Witono dan
Soekandja.
Masih terkait dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), di Bandung hari kamis
tanggal 13 Januari 1966 terjadi demonstrasi yang diikuti kurang lebih 2.000
mahasiswa dan pelajar untuk menuntut penurunan harga dan pembubaran PKI.
Awalnya demonstrasi tersebut nyaris tidak terkendali, akhirnya pihak keamanan
dapat membubarkan demonstrasi mahasiswa dan pelajar itu. Dalam demonstrasi
tersebut mahasiswa dan pelajar meneriakan yel-yel “turunkan harga”, “kita tidak
perlu monumen-monumen lagi”, “kita perlu industri”, “hancurkan gestapu”,
“bubarkan PKI”.
Dalam kesempatan itu, Walikota Priatnakusumah tidak bisa menyampaikan
pendiriannya sewaktu menghadapi demonstrasi tersebut, karena setiap ia akan
berbicara, teriakan “kita bosan dengan pidato” menyebabkan pidato Walikota
Priatnakusumah tidak terdengar sampai jauh, karena kabel pengeras suara yang
digunakan Walikota berbicara, diputuskan orang.
Kurang lebih tiga jam mahasiswa-mahasiswa dan pelajar-pelajar Bandung
berdemonstrasi di halaman kotapraja. Mereka dikoordinasi oleh KAMI, dan dalam
kesempatan itu seorang pimpinannya membacakan petisi dan resolusi yang akan
mereka sampaikan pula kepada Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Dijelaskan dalam petisi dan resolusi tersebut bahwa tuntutan para mahasiswa dan
pelajar Bandung ini adalah mengingat penderitaan rakyat dewasa ini. Disebutkan
pula bahwa mahasiswa dan pelajar Bandung solider dengan aksi yang telah
dilaksanakan mahasiswa-mahasiswa Ibukota baru-baru ini di Jakarta dalam membela
kepentingan rakyat.
Menindaklanjuti demonstrasi mahasiswa yang semakin gencar di berbagai
daerah Presidium Pusat KAMI telah menginstruksikan mahasiswa Indonesia
khususnya yang berada di Jakarta dan yang bernaung di bawah panji KAMI untuk
mempertinggi kewaspadaan dan jangan bertindak sendiri-sendiri. Instruksi itu
diberikan berhubung dengan terjadinya insiden antara unsur-unsur Front
Marhaenis (Ali-Surachman) dengan mahasiswa-mahasiswa dari kalangan KAMI ketika
mereka sedang mendengar amanat Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno di
Istana Merdeka. Insiden Istana Merdeka ini telah membawa korban, beberapa orang
mahasiswi terpaksa diangkut ke rumah sakit karena terluka.
Kepada pimpinan organisasi-organisasi mahasiswa seperti PMII, PMKRI,
GMKI, GMNI, IMADA, HMI, SEMMI, GERMAHII, MAPANTJAS, PELMASI, GMD, IMABA, CSB,
GMS, GMRI, KAMI Universitas-Universitas, KAMI Akademi-Akademi, Dewan-Dewan
Mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia diserukan oleh Presidium Pusat KAMI agar
tetap siaga menghadapi kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan kasar seperti
yang terjadi pada demonstrasi mahasiswa sebelumnya. Diserukan agar mahasiswa
itu merapatkan barisan dan menyelamatkan revolusi Indonesia di bawah komando
Presiden Sukarno dari rongrongan “nekolim” dan antek-antek “gestapu”/PKI.
Ketua Umum Presidium Pusat KAMI, Cosmas Batubara, dalam penjelasannya
mengenai insiden di Istana Merdeka menerangkan antara lain bahwa beberapa
rombongan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI ketika sedang khidmatnya
mendengarkan amanat Presiden Sukarno “telah dicegat dan dan diprovokasi dan
akhirnya dikeroyok oleh segerombolan orang-orang yang bertindak liar dan mata
gelap”. Terjadinya insiden tertsebut yang menurut Cosmas Batubara telah
ditimbulkan oleh golongan Front Marhaenis yang menurut keyakinannya disusupi
oleh anasir-anasir CGMI, telah dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Menurut
pendapat anggota pimpinan KAMI tersebut, tindakan liar yang mengakibatkan
terjadinya insiden tersebut telah menodai barisan Sukarno yang dikomandokan
oleh Pemimpin Besar Revolusi untuk mempersatukan segenap kekuatan rakyat yang
progresif revolusioner dalam menghancurkan nekolim dan “Gestapu”/PKI.
Dalam hubungan ini, pada tanggal 21 Januari 1966 ketua KAMI Pusat
tersebut menginstruksikan kepada segenap mahasiswa yang tergabung dalam KAMI
Pusat di seluruh kota-kota Universitas dan perguruan tinggi di Indonesia harus
bersikap sebagai berikut:
- Tetap merapatkan barisan perjuangan mahasiswa, tetap berdiri di belakang Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;
- Menggalang kekompakan kesatuan segenap potensi mahasiswa dengan semangat rela berkorban, berdisiplin, serta ikhlas mengabdi menjadi satu front yang bisa diuji kemampuannya oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;
- Terus meningkatkan penghayatan tritunggal Bung Karno-Rakyat-ABRI dalam satu front demi kepentingan rakyat, nusa dan bangsa menghadapi rongrongan nekolim dan unsur-unsur Gestapu/PKI;
- Mendaftarkan dengan segera pada barisan pendukung Bung Karno pada Gabungan V KOTI untuk tingkat pusat dan Pepelrada setempat untuk tingkat daerah;
- Tetap waspada akan usaha pecah belah, intrik, adu-domba serta pancingan-pancingan dari pihak nekolim ataupun antek-antek Gestapu/PKI.
Pada tanggal 21 Februari 1966 Presiden Sukarno mengumumkan reshuffle
cabinet. Dalam kabinet itu duduk para simpatisan PKI. Kenyataan ini menyulut
kembali mahasiswa meningkatkan aksi demonstrasinya. Tanggal 24 Februari 1966
mahasiswa memboikot pelantikan menteri-menteri baru. Dalam insiden yang terjadi
dengan Resimen Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden Sukarno, seorang
mahasiswa Arief Rahman Hakim Gugur. Pada tanggal 25 Februari 1966 KAMI
dibubarkan, namun hal itu tidak mengurangi gerakan-gerakan mahasiswa untuk
melanjutkan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Akhirnya, Tujuan dari Tri Tuntutan Rakyat dapat terwujud dengan keluarnya
Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang memerintahkan kepada Mayor
Jenderal Suharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormasnya.
Selain itu, Supersemar juga mengamanatkan agar meningkatkan perekonomian
Indonesia sehingga dapat terwujud kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Sumber dari
ANRI