Gaza; Benteng Terakhir dalam Perang Mengakui Israel
Muhammad Saiful ad-Daulah
Perang kami dengan
Israel dalam mengakui Negara zionis ini berlangsung sejak 1948; pengakuan terhadap tindakan pencaplokan terhadap bumi Arab. Di awal-awal, bangsa Arab bersatu menghadapi keputusan PBB nomor: 181 tahun 1948 soal pembagian wilayah Arab, terutama di Palestina. Di tahun 1948 itu kami terlibat perang membela Palestina, meski akhirnya kami kalah karena sebagian wilayah kami dijajah oleh kolonialis. Namun di awal-awal kami tetap berpegang teguh dengan sikap menolak
Israel.
Kami tetap tegar meski tekanan dunia internasional dan kejahatan terhadap kami tahun 1956 dan 1967. Celah barisan kami mulai terbela ketika kami menerima keputusan PBB nomor 242 setelah perang 1967. Keputusan itu menegaskan bahwa Israel memiliki hak untuk eksis dengan konpensasi Negara zionis menarik diri dari wilayah yang sudah dijajah tahun 1967. Tapi kami tidak banyak bergantung karena keputusan KTT Arab di Khortum yang mengibarkan tiga “laa” “three no” “tidak untuk tiga hal; tidak untuk berdamai, tidak untuk berunding dan tidak untuk mengakui Israel. Sebab pada saat itu kami sibuk menyiapkan perang.
Pukulan telak pertama bagi bangsa Arab terjadi setelah perang 1973 ketika Anwar Sadat mengakui Israel dengan intimidasi dan maintaines Amerika sesuai dengan kesepakatan Cam David.
Menyusul setelah itu pasukan Palestina dikeluarkan dari Libanon tahun 1982 dengan kejahatan perang Israel. Hingga akhirnya perlawanan Palestina berakhir dan dimulai serangkaian kompromi dilakukan dengan diakhiri kesepakatan Oslo tahun 1993 dimana PLO mengakui hak Israel untuk eksis dan mengalah dari dari wilayah Palestina jajahan tahunn 1948, kemudian kesepakatan Israel – Jordania, lembah Arabah tahun 1994.
Akhirnya, perlawanan resmi secara politik oleh Negara-negara Arab dalam hal pengakuan terhadap Israel hancur. Hal itu terjadi ketika Liga Arab tidak berdaya menahan tekanan Amerika Serikat setelah peristiwa 11 September 2001 dengan diterbitkannya draft “Prakarsa Perdamaian Arab tahun 2002 yang menegaskan pengakuan Arab terhadap hak eksistensi Israel dan menerima untuk melakukan normalisasi hubungan dengan mereka jika Israel menarik diri dari wilayah Palestina jajahan 1967.
Dengan demikian maka sudah tidak ada lagi dari pihak Arab yang menolak dan melawan keputusan PBB soal pembagian wilayah tahun 1948 kecuali rakyat Arab (bukan pemerintah) yang terhalang dari Palestina dan kecuali satu kekuatan di bumi terjajah yang masih membawa senjata dan melawan yakni; Gaza.
Gaza inilah yang menjadi benteng terakhir dalam perang terhadap pengakuan terhadap Israel. Jika Gaza hancur – semoga Allah tidak mentakdirkannya – maka kita akan membutuhkan decade panjang sebelum mampu mendidik dan mentarbiyah generasi baru di bumi terjajah (Palestina dan Arab) yang menolak legalitas Israel dan mengembalikan kekuatan yang dipertimbangkan dalam perang perang menuju kemerdekaan dan perlawanan.
Makna mengakui Israel
Mengakui legalitas dan konstitusi Israel berarti mengakui legalitas dan konstitusi penacaplokan dan penjajahan Israel di Palestina. Yang berarti mengaui kebenaran dogma Israel soal bangsa Yahudi dan hak histories mereka di tanah yang dijanjikan (Palestina).
Mengakui Israel berarti menyerah terhadap akidah Israel dalam konflik. Bagi Israel ini adalah kekalahan besar Arab yang mereka impikan sejak lama. Mengakui Israel berarti mengakui gerakan Yahudi internasional. Jika keyakinan Yahudi itu benar – dan tentu tidak – maka Tepi Barat dan Jalur Gaza adalah tanah Yahudi yang harus dibebaskan segera dari jajahan bangsa Arab.
Pengakuan terhadap Israel pada hakikatnya adalah bunuh diri massal. Karena keberadaan Arab di wilayah mereka diyakini sebagai eksistensi yang tidak sah selama 14 abad. Pengakuan terhadap Israel juga memberikan legalitas hak kepada Israel untuk membela diri dan mempertahankan keamanan kebangsaannya. Sehingga semu pihak yang tidak mengakui Israel dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan mereka. Pihak yang tidak mengakui Israel ini berarti harus ditangkap, diusir, dibunuh, diblokade. Dan tentu perlawanan Palestina adalah terorisme, menurut pandangan mereka yang mengakui Israel. Sebaliknya terorisme Israel dianggap menjadi proyek membela diri.
Dengan pemahaman seperti ini maka pengakuan terhadap Israel adalah kejahatan sejarah dan tindakan bunuh diri yang gila. Selain ia merupakan tindakan menyerah kepada musuh.
Kompromi dari sebuah hak berbangsa bukanlah wewenang satu pihak. Meski mereka adalah bangsa itu sendiri. Tanah air adalah milik bersama bagi semua generasi sekarang dan yang akan datang, bukan sekedar generasi sekarang. Hak kita hanya memanfaatkan bangsa. Kita tidak berhak melepaskan dan kompromi di dalamnya.
Ada 50 generasi sebelum kita yang berjuang dan berperang serta terbunuh secara syahid agar bumi ini menjadi milik kita, generasi sekarang. Bukan kita yang memperoleh bangsa ini sehingga kita berhak melepaskannya. Dari sini maka tugas kita sebagai bangsa Arab adalah menjaga ‘benteng terakhir bersenjata di tanah Palestina yang terjajah’ yakni Gaza agar tidak hancur. Langkah pertama dalam hal ini adalah membebaskannya dari blockade yang dipaksakan kepadanya agar menyerah dan mengakui Israel.
Ini adalah tugas pertama bangsa Arab. Sebab pemerintah Arab resmi yang sudah mengakui Israel sebagai penjajah. Bahkan mereka turut berpartisipasi dalam memaksa Gaza untuk bertekuk lutut. Jalan perjuangan lain adalah memukul legalitas Israel dengan berbagai cara dan sarana. Dan ini pembicaraan lain. (bn-bsyr)
dari http://www.infopalestina.com