Materi 6c VOLKSRAAD
PERJUANGAN BANGSA INDONESIA DI PARLEMEN (VOLKSRAAD)
1.
Latar Belakang Lahirnya
Volksraad
faktor politik etis, menjadi awal dalam memandang
masalah munculnya volksraad tidak bisa dilepaskan dari masalah depresi ekonomi
dunia dan Perang Dunia I. Akibat begitu melimpahnya produksi tanaman dari
Hindia Belanda, hal ini memicu menurunnya harga-harga komoditas ekspor yang
diambil dari wilayah Asia Tenggara. Hal ini berdampak pada lesunya perdagangan
karena begitu murahnya harga yang disertai penimbunan-penimbunan yang dilakukan
oleh pedagang Arab dan Cina di Nusantara.
Gagasan indie werbaar ini pada dasarnya adalah ide
untuk membentuk milisi paruh-waktu yang terdiri atas orang-orang Indonesia ,
dengan adanya ‘jasa’ dari para milisi rakyat Indonesia ini diharapkan mereka
mampu mengambil peranan penting dalam parlemen Kerajaan Belanda sehingga mampu
mewujudkan sebuah otonomi khusus bagi Indonesia. Tetapi sayang, Ratu Wilhelmina
menolak gagasan mengenai indie werbaar tersebut, tetapi gagasan mengenai
pembentukan volksraad disetujui. Hanya saja posisi volksraad bukanlah lembaga
legislatif, tetapi penasihat bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Kembali pada
politik etis yang memicu lahirnya volksraad, maka alasan lain pendirian
volksraad adalah dimulainya era desentralisasi pemerintahan Kerajaan Belanda.
Proses ini dimulai pada tahun 1903 yang memunculkan Undang-Undang
Desentralisasi , walaupun belum maksimal dalam pelaksanaannya. Tetapi perubahan
adiministratif ini mencapai puncaknya dengan pembentukan Dewan Rakyat
(volksraad) pada 1916.
2.
Perjuangan lewat Volksraad
Volksraad disetujui pembentukannya pada 16 Desember
1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) , tetapi pembentukan tersebut baru
terlaksana pada 18 Mei 1918 oleh Gubernur Jenderal Graaf von Limburgstirum. Volksraad
sengaja didirikan sebagai penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, bukan
sebagai parlemen perwakilan rakyat Indonesia. Tetapi oleh beberapa aktivis pergerakan nasional, volksraad digunakan
sebagai wadah perjuangan mereka agar Indonesia dapat memerdekakan diri, atau
setidaknya menjadi sebuah wilayah otonomi tersendiri.
Dalam proses pembentukan volksraad, proses ini
diawali dengan pembentukan “Dewan Kabupaten” (Haminte Kota), di mana setiap 500
orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih
inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap
provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh
Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota
Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda inilah yang diangkat oleh
Gubenur Jenderal sebagai anggota volksraad. Proses berbelit dan tidak tampaknya
keberpihakan kepada rakyat Indonesia inilah yang memicu banyak munculnya
sentimen negatif terhadap volksraad, terutama dari kalangan gerakan kiri
Indonesia.
Setelah volksraad terbentuk, maka kini partai-partai
yang ada di Nusantara pun bersiap-siap. Sikap pragmatisme politik pun muncul di
kalangan aktivis pergerakan nasional. Boedi Oetomo salah satunya, dimana sempat
muncul upaya untuk meraih massa di luar Jawa dengan menggunakan Islam sebagai
daya tarik. Hal ini akhirnya mampu digagalkan oleh Radjiman dan kawan-kawannya
yang anti-islam, sehingga Boedi Oetomo masih berprinsip Jawa-sentris. Begitu juga
dengan Sarekat Islam yang memperoleh tantangan dari sebagian besar anggotanya,
terutama yang berada di Semarang. Sarekat Islam Semarang dibawah pimpinan
Semaoen menyatakan penolakan terhadap keikutsertaan Central Sarekat Islam dalam
mengkampanyekan indie werbaar dan menentang gagasan untuk duduk di dalam
volksraad. Pertikaian internal dalam tubuh Sarekat Islam inilah yang kelak pada
akhirnya memecah Sarekat Islam menjadi beberapa kelompok.
Ketidakjelasan fungsi volksraad sebagai penyambung
lidah rakyat inilah yang memicu kemarahan-kemarahan publik dan tidak
terkontrolnya situasi politik di dalam negeri Hindia Belanda. Hal ini
diperparah dengan krisis ekonomi global yang melanda dunia pada tahun 1927.
Situasi menjadi panas dan pemberontakan mulai muncul dimana-mana.
Kecaman-kecaman terhadap volksraad dan pemerintah Hindia Belanda mulai
bermunculan dan mengarah pada pemberontakan (disintegrasi).
Perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda juga mulai
bermunculan, dimulai dari Pemberontakan PKI pada 1927 hingga perisitiwa kapal
Zeven Provincien pada 1933. Hal ini memicu kekhawatiran tersendiri bagi
pemerintah Hindia Belanda .
Pemerintah Hindia Belanda pun menjadi represif dalam
menghadapi pergerakan nasional dan partai-partai politik yang ada di Nusantara.
Sekolah-sekolah digeledah dan beberapa diantaranya ditutup, buku-buku politik
disita, banyak guru yang dilarang mengajar, dan pemimpin-pemimpin partai
politik ditangkap. Dalam keadaan seperti itu, seorang anggota volksraad yang
berasal dari Jawa mengeluarkan sebuah petisi. Ia adalah Soetardjo
Kartohadikoesoemo. Pada bulan Juli 1936 ia mengeluarkan sebuah petisi kepada volksraad untuk
diselenggerakannya suatu konferensi untuk mengatur otonomi Indonesia dalam
sebuah Uni Indonesia-Belanda selama kurun waktu sepuluh tahun.
PETISI
SUTARDJO:
1.
volksraad sebagai parlemen
sesungguhnya,
2.
direktur departeman diberi
tanggungjawab,
3.
dibentuk Dewan Kerajaan
sebagai badan tertinggi antara negari Belanda dan Indonesia yang anggotanya
merupakan wakil kedua belah pihak,
4.
penduduk Indonesia adalah
orang-orang yang karena kelahirannya, asal-usulnya, dan cita-citanya memihak
Indonesia.
Banyak kelompok yang mendukung petisi Soetardjo ini,
oleh karenanya petisi inipun disetujui oleh volksraad karena banyak yang
menginginkan kewenangan lebih luas. Tetapi memperoleh dukungan dari volksraad
belum tentu akan menyelesaikan masalah di dalam negeri, karena petisi Soetardjo
ini malah menimbulkan perpecahan kembali diantara partai-partai yang sudah ada
akibat pro dan kontra.
Petisi itu tanpa melalui perdebatan ditolak oleh
pemerintah Belanda pada 16 November 1938. Alasan penolakan petisi adalah
Indonesia belum siap untuk memikul tanggungjawab memerintah diri sendiri.
Bangsa Indonesia juga dinilai belum mampu untuk berdiri apalagi menjadi negara
yang merdeka. Cara penolakan yang tanpa perdebatan di parlemen mengecewakan
pihak pergerakan nasional, meskipun pihak yang ditolak sesungguhnya telah menduga
sebelumnya. Realitas itu menunjukkan bahwa tuntutan rakyat Indonesia tidak
dibicarakan secara terbuka di parlemen.
Mosi perjuangan identitas untuk menyebut
“Indonesier” daripada “Inlander” yang diupayakan oleh Thamrin, Soetardjo, dan
Wiwoho juga menemui jalan buntu .
3.
Fraksi Nasional
Walaupun volksraad tidak mempunyai kekuasaan
legislatif dan wewenangnya hanya terbatas memberi advis, sehingga tidak pernah
memuaskan harapan rakyat Indonesia, namun volksraad merupakan satu-satunya
tempat yang aman untuk mencurahkan kecaman terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Untuk itu organisasi pergerakan kooperatif telah
membentuk suatu kesatuan aksi di volksraad yang disebut Fraksi Nasional. Fraksi
ini didirikan pada tanggal 27 Januari 1930 di Jakarta, berdasarkan ide Muhammad
Husni Thamrin, ketua Perkumpulan kaum Betawi. Berdirinya Fraksi Nasional
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yakni:
A.
Sikap pemerintah Belanda terhadap gerakan politik diluar Volksraad
khususnya terhadap partai Nasional Indonesia. Tindakan keras Pemerintah
Kolonial Belanda lebih menonjol setelah terjadi pemberontakan PKI pada tahun
1926. Para Pergerakan Nasional Indonesia hampir tidak mampu untuk bernapas.
Pemberontakan yang sia-sia itu ternyata dijadikan dalih oleh Pemerintah Belanda
dalam rangka menciptakan ketertiban umum yang merupakan alasan klise dari
penerapan pasal-pasal karet dari KUHP pada saat itu. Di samping itu juga
terdapat tindakan-tindakan lain yang dilakukan oleh Pemerintah kolonial
khususnya Gubernur Jendral dengan dalih memegang hak istimewa yang tercermin
dalam Exarbitante Rechten.
B.
Anggapan dan perlakuan yang sama oleh Pemerintah belanda terhadap semua
gerakan baik yang non maupun kooperasi. Kejadian ini sangat menghalangi penggalangan
kekuatan pada organisasi yang moderat. Pada saat terjadi penangkapan terhadap
tokoh PNI, ternyata anggota-anggota perkumpulan yang moderatpun juga ikut
diinterogasi. Dengan demikian tindakan pengawasan politik tidak pandanng bulu.
Ini tidak lain suatu pencerminan ketakutan yang amat sangat dari Pemerintah
Kolonial Belanda terhadap gerakan-gerakan yang terjadi di Indonesia.
C.
Berdirinya Vaderlandsche Club (VC) pada tahun 1929 sebagai protes
terhadap pelekasanaan "etsch belied", Gubernur Jendral de Graef.
Tindakan Zentgraaff dengan VC merupakan usaha kearah pengingkaran terhadap
Etthishe Koers dari desakan Fraksi Sosial Demokrat (Troelstra dan kawan-kawan)
dalam Tweede Kamer Parlemen Belanda. Kelompok VC menjadi pressure groep dalam
upaya menekankan tuntutan kaum Pergerakan Nasional, dan itu berarti semakin
jauhnya pelaksanaan perubahan Ketatanegaraan yang dikehendaki oleh kaum humanis
di negeri Belanda. Tujuan yang ingin dicapai oleh Fraksi Nasional itu adalah
menjamin adanya kemerdekaan Nasional dalam waktu singkat dengan jalan
mengusahakan perubahan ketatanegaraan yang merupakan salah satu pelaksanaan
Trilogi Van Deventer, berusaha menghilangkan jurang perbedaan warna kulit
(Stelsel Kolonial). Tujuan tersebut diusahakan dengan semangat kebangsaan tanpa
harus melanggar Hukum Nasional. Perjuangan yang dilaksanakan oleh Fraksi
Nasional seperti pembelaan terhadap para pemimpin Partai Nasional Indonesia
yang ditangkap kemudian diadili pada tahun 1930. Di samping itu usaha
pemborosan dana yang dilakukan oleh Pemerintah kolonial Belanda juga ditentang
terutama dalam rangka menigkatkan anggaran pertahanan. Hal ini karena
peningkatan anggaran pertahanan merupakan lonceng kematian dari usaha-usaha
radikal kaum pergerakan dalam upaya mencapai Indonesia Merdeka.
Fraksi
Nasional bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia secepat-cepatnya, dan
untuk mencapai tujuan tersebut dilakukanlah usaha-usaha sebagai berikut :
A.
Berusaha mencapai perubahan
ketatanegaraan,
B.
Berusaha melenyapkan semua
perbedaan-perbedaan politik, ekonomi, dan tingkat pendidikan yang diakibatkan
oleh antithesis colonial,
C.
Menggunakan semua jalan yang
sah untuk mencapai tujuan tersebut.
Anggota Fraksi Nasional berjumlah 10 orang, mereka
terdiri dari berbagai perkumpulan dan suku. Berikut Susunan kepengurusan Fraksi
Nasional di dewan rakyat.
1.
Ketua :
Muhammad Husni Thamrin
2.
Wakil ketua : Kusumo
Utoyo
3.
Anggota :
Dwidjosewojo
4.
Anggota : Datuk
Kajo
5.
Anggota : Muchtar
Prabu Negara
6.
Anggota : Cut Nyak
Arief
7.
Anggota :
Suangkopon
8.
Anggota : Pangeran
Ali
9.
Anggota : Suradi
10.
Anggota : Suroso.
Kegiatan pertama yang dilakukan oleh fraksi ini
adalah pembelaan terhadap pemimpin-pemimpin PNI yang di tangkap di dalam
sidang-sidang Volkstraad, Moh. Husni berpendapat bahwa tindakan penggeledahan
dan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin PNI oleh pemerintah tidak dapat dipertanggungjawabkan
bahkan banyak di antaranya bukan anggota PNI juga digeledah dan dicurigai.
Dengan peristiwa ini terbukti bahwa pemerintah dalam tindakkannya telah berlaku
tidak bijaksana dan tidak adil terhadap pergerakan rakyat Indonesia.
Setelah pembukaan Volksraad yang baru pada tahun
1939, sudah menjadi kebiasaan bahwa fraksi nasional ditinjau kembali. M. Yamin
yang pada tahun 1939 menjadi anggota volksraad menyusun rencana yang dalam
beberapa hal lebih luas daripada rencana yang dibuat oleh M. H. Thamrin. M.
Yamin mengusulkan agar fraksi nasional menyusun suatu progam yang akan
diumumkan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk mengakhiri kecaman bahwa
fraksi nasional itu tidak bekerja hanya untuk jawa saja tetapi juga untuk daerah-daera
luar jawa.
Usul M. Yamin ini tidak disetujui oleh M.H. Thamrin.
Oleh karena itu pada tanggal 10 juli 1939 atas prakarsa M. Yamin di volksraad
berdiri golongan nasional Indonesia (GNI) di samping fraksi nasional. Badan ini
tidak mewakili partai-partai di volksraad melainkan mewakili golongan-golongan
rakyat. Dalam arti tertentu GNI ini bersifat provinsialistis. Semua anggotanya
yaitu, M.Yamin, Soangkupon, Abdul Rasyid, dan Tajuddin Noor adalah
utusan-utusan dari luar Jawa. Anggota fraksi nasional dari luar jawa yang tetap
setia pada badan tersebut adalah Mukhtar dan Lapian.
Tanggapan pers terhadap kejadian itu ada yang
menyambut baik yaitu sebagai usaha untuk menigkatkan perjuangan nasional,
sedangkan suara lain mengkhawatirkan tindakan itu sebagai pemecahbelahan dan
akan memperlemah perjuangan. Dalam asas tujuannya, kedua kelompok itu tidak ada
bedanya. Untuk mengurus kepentingan-kepentingan di daerah luar jawa,
orang-orang sumatera juga bisa tetap berada di fraksi nasional. Tahun 1941
Fraksi nasional dan GNI berfusi menjadi
fraksi nasional Indonesia (Frani). Tujuan singkat dan tegas yaitu
memperjuangkan Indonesia merdeka.
4. Partai
Indonesia Raya (Parindra)
Partai Indonesia Raya didirikan di Solo pada
Desember 1935. Partai ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi
yaitu BU dan PBI. Sebagai ketuanya dipilih dr. Sutomo. Tujuan partai adalah
mencapai Indonesia Raya dan mulia yang hakekatnya mencapai Indonesia merdeka. Di
Jawa anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut
dengan kaum kromo. Di daerah lain masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan
Sarikat Selebes. Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang
ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya
I.J.Kasimo.dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat tiong, dan Alatas.
5. Gabungan
Politik Indonesia (GAPI)
Kegagalan
Petisi Sutardjo mendorong gagasan untuk menggabungan organisasi politik dalam
suatu bentuk federasi. Gabungan Politik Indonesia (GAPI) itu diketuai oleh Muh.
Husni Thamrin. Pimpinan lainnya adalah Mr. Amir Syarifuddin, dan Abikusno
Tjokrosuyoso.
Alasan lain dibentuknya GAPI adalah adanya situasi internasional akibat
meningkatnya pengaruh fasisme. Juga sikap pemerintah yang kurang memperhatian
kepentingan bangsa Indonesia. Kemenangan dan kemajuan yang diperoleh negara
fasis yaitu, Jepang, Jerman, Italia tidak menggembirakan Indonesia. Karena itu
pers Indonesia menyerukan untuk menyusun kembali baris dalam suatu wadah persatuan
berupa “konsentrasi nasional”.
Parindra berpendapat pentingnya untuk perjuangan ke
dalam, yaitu menyadarkan dan menggerakan rakyat untuk memperoleh suatu pemerintahan
sendiri, serta menyadarkan pemerintah Belanda akan cita-cita bangsa Indonesia.
Juga mengadakan perubahan pendekatan dengan organisasi-organisasi politik untuk
membicarakan masa depan bangsa Indonesia.
Pada 21 Mei 1939, dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta
berhasil didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai politik
nasional di Jakarta yang diberi nama Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPI).
Anggaran Dasar GAPI menyebutkan, bahwa GAPI
mempunyai hak untuk menentukan diri sendiri; persatuan nasional dari seluruh
bangsa Indonesia dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham politik, ekonomi,
sosial, dan persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Dalam konferensi I
GAPI (4 Juli 1939) dibicarakan aksi GAPI dengan semboyan Indonesia berparlemen.
GAPI tidak menuntut kemerdekaan penuh, tetapi suatu parlemen berdasarkan sendi
demokrasi.
Untuk mencapai tujuannya GAPI menyerukan pada rakyat
Indonesia untuk didukung oleh semua lapisan masyarakat. Seruan itu disambut
hangat oleh Pers Indonesia. Pada 1939, GAPI mengadakan rapat umum. Tidak kurang
dari seratus tempat mengadakan rapat propaganda tujuan GAPI, sehingga suasana
di Indonesia saat itu menyerukan Indonesia berparlemen. Penyadar, PNI Baru, dan
Perkumpulan Kristen Indonesia tidak sependapat dengan GAPI.
Mereka berpendapat tidak ada gunanya bersifat
meminta-minta kepada Belanda. Untuk mencapai tujuannya GAPI membentuk Kongres
Rakyat Indonesia (KRI). Tujuan kongres untuk kesempurnaan Indonesia dan
cita-citanya, yaitu Indonesia Berparlemen penuh. Keputusan penting lainnya
adalah penetapan bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera
dan lagu persatuan Indonesia. Juga pengggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa
rakyat Indonesia. Selanjutnya dibentuk Komite Parlemen Indonesia.