Posted by
One_Esc on
Tuesday, October 23, 2018
Latarbelakang Perang, Di balik senyum manis dan propaganda yang
menjanjikan, ternyata Jepang bertindak kejam. Jepang telah mengerahkan semua
potensi dan kekuatan yang ada untuk menopang perang yang sedang mereka hadapi
untuk melawan Sekutu. Jepang juga menguras aset kekayaan yang dimiliki
Indonesia untuk memenangkan perang dan melanjutkan industri di negerinya.
a.
Ekonomi Perang
Setelah berhasil menguasai Indonesia, Jepang
mengambil kebijakan dalam bidang ekonomi
yang sering disebut self help atau Ekonomi Perang, yaitu hasil perekonomian
di Indonesia dijadikan modal untuk mencukupi kebutuhan pemerintahan dan perang
Jepang.
Kebijakan Ekonomi Perang yaitu :
1). Padi berada langsung di bawah
pengawasan pemerintah Jepang
2). Penggiling dan pedagang padi tidak
boleh beroperasi sendiri, harus diatur oleh Kantor Pengelolaan Pangan.
3). Para petani harus menjual hasil
produksi padinya kepada pemerintah sesuai dengan kuota yang telah ditentukan
dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah Jepang.
b. Pengendalian di Bidang Pendidikan
dan Kebudayaan
Pemerintah Jepang mulai membatasi kegiatan
pendidikan. Jumlah sekolah juga dikurangi secara drastis. Jumlah sekolah dasar
menurun dari 21.500 menjadi 13.500 buah. Sekolah lanjutan menurun dari 850
menjadi 20 buah. Kegiatan perguruan tinggi boleh dikatakan macet. Jumlah murid
sekolah dasar menurun 30% dan jumlah siswa sekolah lanjutan merosot sampai 90%.
Begitu juga tenaga pengajarnya mengalami penurunan secara signifikan. Muatan
kurikulum yang diajarkan juga dibatasi. Mata pelajaran bahasa Indonesia
dijadikan mata pelajaran utama, sekaligus sebagai bahasa pengantar. Kemudian,
bahasa Jepang menjadi mata pelajaran wajib di sekolah.
Para pelajar harus menghormati budaya dan adat
istiadat Jepang. Mereka juga harus melakukan kegiatan kerja bakti (kinrohosyi).
Kegiatan kerja bakti itu meliputi, pengumpulan bahan-bahan untuk perang,
penanaman bahan makanan, penanaman pohon jarak, perbaikan jalan, dan
pembersihan asrama.
Para pelajar juga harus mengikuti kegiatan
latihan jasmani dan kemiliteran. Mereka harus benar-benar menjalankan semangat
Jepang (Nippon Seishin). Para pelajar juga harus menyanyikan lagu Kimigayo,
menghormati bendera Hinomaru dan melakukan gerak badan (taiso) serta seikerei.
Akibat keputusan pemerintah Jepang tersebut,
membuat angka buta huruf menjadi meningkat. Berdasarkan kenyataan tersebut,
dapat dikatakan bahwa kondisi pendidikan
di Indonesia pada masa pendudukan Jepang mengalami kemunduran. Kemunduran
pendidikan itu juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah Jepang yang lebih
berorientasi pada kemiliteran untuk kepentingan pertahanan Indonesia
dibandingkan pendidikan.
Banyak anak usia sekolah yang harus masuk
organisasi semimiliter sehingga banyak anak yang meninggalkan bangku
sekolah.Bagi Jepang, pelaksanaan pendidikan bagi rakyat Indonesia bukan untuk
membuat pandai, tetapi dalam rangka untuk pembentukan kader-kader yang
memelopori program Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Oleh karena itu, sekolah
selalu menjadi tempat indoktrinasi kejepangan.
c.
Pengerahan Romusa
Perlu diketahui bahwa untuk menopang Perang
Asia Timur Raya, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia. Tenaga
kerja inilah yang kemudian kita kenal dengan romusa. Mereka dipekerjakan di
lingkungan terbuka, misalnya di lingkungan pembangunan kubu-kubu pertahanan,
jalan raya, lapangan udara. Pada awalnya, tenaga kerja dikerahkan di Pulau Jawa
yang padat penduduknya, kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai
sarana propaganda. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga
romusa. Panitia pengerahan tersebut disebut Romukyokai, yang ada di setiap
daerah.
Rakyat Indonesia yang menjadi romusa itu
diperlakukan dengan tidak senonoh, tanpa mengenal peri kemanusiaan. Mereka
dipaksa bekerja sejak pagi hari sampai petang, tanpa makan dan pelayanan yang
cukup, padahal mereka melakukan pekerjaan kasar yang sangat memerlukan banyak
asupan makanan dan istirahat. Mereka hanya dapat beristirahat pada malam hari.
Kesehatan mereka tidak terurus. Tidak jarang di antara mereka jatuh sakit
bahkan mati kelaparan.
Untuk menutupi kekejamannya dan agar rakyat
merasa tidak dirugikan, sejak tahun 1943, Jepang melancarkan kampanye dan
propaganda untuk menarik rakyat agar mau berangkat bekerja sebagai romusa. Untuk mengambil hati rakyat, Jepang memberi
julukan mereka yang menjadi romusa itu sebagai “Prajurit Ekonomi” atau
“Pahlawan Pekerja”. Para romusa itu diibaratkan sebagai orang-orang yang
sedang menunaikan tugas sucinya untuk memenangkan perang dalam Perang Asia
Timur Raya. Pada periode itu sudah sekitar 300.000 tenaga romusa dikirim ke
luar Jawa, bahkan sampai ke luar negeri seperti ke Birma, Muangthai, Vietnam,
Serawak, dan Malaya. Sebagian besar dari mereka ada yang kembali ke daerah
asal, ada yang tetap tinggal di tempat kerja, tetapi kebanyakan mereka mati di
tempat kerja.
Perang Melawan Tirani Jepang Di Daerah
a. Aceh Angkat Senjata
Salah satu perlawanan terhadap Jepang
di Aceh adalah perlawananan rakyat yang terjadi di Cot Plieng yang dipimpin oleh
Abdul Jalil. Abdul Jalil adalah seorang ulama muda, guru mengaji di daerah Cot
Plieng, Provinsi Aceh. Karena melihat kekejaman dan kesewenangan pemerintah
pendudukan Jepang, terutama terhadap romusa, maka rakyat Cot Plieng melancarkan
perlawanan. Abdul Jalil memimpin rakyat Cot Plieng untuk melawan tindak
penindasan dan kekejaman yang dilakukan pendudukan Jepang.
b. Perlawanan di Singaparna
Singaparna merupakan salah satu daerah di
wilayah Jawa Barat, yang rakyatnya dikenal sangat religius dan memiliki jiwa
patriotik. Karena kebijakan-kebijakan Jepang yang
diterapkan dalam kehidupan masyarakat, banyak yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam—ajaran yang banyak dianut oleh masyarakat Singaparna. Atas dasar
pandangan dan ajaran Islam, rakyat Singaparna melakukan perlawanan terhadap
pemerintahan Jepang.
Perlawanan itu juga dilatarbelakangi oleh
kehidupan rakyat yang semakin menderita. Pengerahan tenaga romusa dengan paksa
dan di bawah ancaman ternyata sangat mengganggu ketenteraman rakyat. Para
romusa dari Singaparna dikirim ke berbagai daerah di luar Jawa. Mereka umumnya
tidak kembali karena menjadi korban keganasan alam maupun akibat tindakan
Jepang yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka banyak yang meninggal tanpa
diketahui di mana kuburnya. Selain itu, rakyat juga diwajibkaan menyerahkan
padi dan beras dengan aturan yang sangat menjerat dan menindas rakyat, sehingga
penderitaan terjadi dimana-mana.
c. Perlawanan di Indramayu
Perlawanan terhadap kekejaman Jepang
juga terjadi di daerah Indramayu. Latar belakang dan sebab-sebab perlawanan adalah
Para petani dan rakyat Indramayu pada umumnya hidup sangat sengsara. Jepang
telah bertindak semena-mena terhadap para petani Indramayu. Mereka harus
menyerahkan sebagian besar hasil padinya kepada Jepang. kebijakan untuk
mengerahkan tenaga romusa juga terjadi di Indramayu, sehingga semakin membuat
rakyat menderita.
d. Rakyat Kalimantan Angkat Senjata
Perlawanan rakyat terhadap kekejaman Jepang
terjadi di banyak tempat. Begitu juga di Kalimantan, di sana terjadi peristiwa
yang hampir sama dengan apa yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Rakyat melawan
Jepang karena himpitan penindasan yang dirasakan sangat berat. Salah satu perlawanan di Kalimantan adalah
perlawanan yang dipimpin oleh Pang Suma, seorang pemimpin Suku Dayak. Pemimpin
Suku Dayak ini memiliki pengaruh yang luas di kalangan orang-orang atau
suku-suku dari daerah Tayan, Meliau, dan sekitarnya.
e. Perlawanan Rakyat Irian
Gerakan perlawanan yang terkenal di
Papua adalah “Gerakan Koreri” yang berpusat di Biak dengan pemimpinnya bernama
L. Rumkorem. Rakyat
Irian memiliki semangat juang pantang menyerah, sekalipun Jepang sangat kuat,
sedangkan rakyat hanya menggunakan senjata seadanya untuk melawan. Rakyat Irian
terus memberikan perlawanan di berbagai tempat.
f. Peta di Blitar Angkat Senjata
Penderiatan rakyat sangat berat. Tidak ada
sedikit pun dari pemerintah pendudukan Jepang yang memikirkan bagaimana hidup
rakyat yang diperintahnya.Yang ada pada benak Jepang adalah memenangkan perang
dan bagaimana mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu. Namun, justru
rakyat yang dikorbankan. Penderitaan demi penderitaan rakyat ini mulai
terlintas di benak Supriyadi seorang Shodanco Peta yang akhirnya tumbuh
kesadaran nasionalnya untuk melawan Jepang.
Perang Peta melawan Jepang dipimpin
oleh Supriyadi seorang Shodanco/Komandan Peta.
Penyebab Peta berperang melawan Jepang
adalah penderitaan rakyat akibat penindasan yang dilakukan Jepang, seperti pengumpulan
hasil padi, pengerahan romusa, semua dilakukan secara paksa dengan tanpa
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan.