Posted by
One_Esc on
Tuesday, November 6, 2018
7C. Meneladani Nilai-nilai Moral dari Tokoh Perjuangan Bangsa Indonesia
A.
MENELADANI PARA TOKOH
PROKLAMASI
Banyak tokoh penting yang berperan di berbagai
peristiwa di sekitar Proklamasi. Beberapa tokoh penting itu antara lain sebagai
berikut :
1.
Ir. Sukarno
2.
Drs. Moh. Hatta
3.
Ahmad Subarjo
4.
Sukarni Kartodiwiryo
5.
Sayuti Melik
6.
Burhanuddin Mohammad Diah
7.
Jend.
Sudirman
8.
Latif Hendraningrat Sang
Komandan Peta
9.
S. Suhud
10.
Wahid Hasyim
11.
Suwiryo
12.
Hasyim
Asy’ari
13.
Muwardi
14.
Frans Sumarto Mendur
15.
Syahruddin
16.
Yusuf Ronodipuro
17.
Frans Kaisiepo
18.
Ki Bagoes Hadikusumo
B.
MENGAMALKAN NILAI-NILAI
KEJUANGAN MASA REVOLUSI
Jendral Sudirman adalah salah satu tokoh revolusi
kemerdekaan Indonesia. Sosok tentara, pemimpin, guru, dan bapak bangsa yang
berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sosok yang dilahirkan
untuk revolusi kemerdekaan. Sosok yang
selalu taat kepada pemimpin bangsa. Sosok religius dan tidak pernah takut dan
gentar sedikitpun akan kekuatan asing.
Peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi dalam perang
kemerdekaan, banyak mengandung nilai-nilai positif sebagai nilai-nilai
perjuangan yang penting untuk kamu ketahui. Beberapa nilai perjuangan yang
dimaksud antara lain sebagai berikut.
1. Persatuan dan Kesatuan
Persatuan dan kesatuan adalah nilai yang sangat
penting di dalam setiap bentuk perjuangan. Semua organisasi atau kekuatan yang
ada, sekalipun dengan paham/ideologi atau organisasi yang berbeda, namun tetap
bersatu dalam menghadapi kaum penjajah untuk mencapai kemerdekaan. Pada masa
pelucutan senjata terhadap Jepang, perang melawan Sekutu maupun Belanda, semua
anggota TNI, berbagai anggota kelaskaran dan rakyat bersatu padu.
Persatuan dan kesatuan senantiasa menjadi jiwa dan
kekuatan perjuangan. Hal yang cukup menonjol misaInya pada waktu Belanda
menciptakan negara-negara bagian dan daerah otonom dalam negara federal. Hal
tersebut jelas memperlihatkan bahwa Belanda berusaha memecah belah bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, timbul berbagai kesulitan di lingkungan rakyat
Indonesia baik secara politis maupun ekonomis. Hal ini disadari benar oleh
rakyat Indonesia, sehingga banyak yang menuntut untuk kembali ke negara
kesatuan. Akhirnya tercapai pada tanggal 17 Desember 1950. Negara kesatuan dan
nilai persatuan cocok dengan jiwa bangsa Indonesia.
2. Rela Berkorban dan Tanpa
Pamrih
Nilai kejuangan bangsa yang sangat menonjol di masa
perang kemerdekaan adalah rela berkorban. Para pemimpin, rakyat, dan para
pejuang pada umumnya benar-benar rela berkorban tanpa pamrih. Mereka telah
mempertaruhkan jiwa dan raganya, mengorbankan waktu dan harta bendanya, demi
perjuangan kemerdekaan. Kita tidak dapat menghitung berapa para pejuang kita
yang gugur di medan juang, berapa orang yang harus menanggung cacat dan
menderita, akibat perjuangannya. Juga berapa jumlah harta benda yang
dikorbankan demi tegaknya kemerdekaan, semua tidak dapat kita perhitungkan.
3. Cinta pada Tanah Air
Rasa cinta pada tanah air merupakan faktor pendorong
yang sangat kuat bagi para pejuang kita untuk berjuang di medan laga. Timbullah
semangat patriotisme di kalangan para pejuang kita untuk melawan penjajah.
Sebagai perwujudan dari rasa cinta tanah air, cinta pada tumpah darahnya maka
munculah berbagai perlawanan di daerah untuk melawan kekuatan kaum penjajah. Di
Sumatra, di Jawa, Bali, Sulawesi dan tempat-tempat lain, muncul pergolakan dan
perlawanan menentang kekuatan asing, demi kemerdekaan tanah airnya.
4. Saling Pengertian dan Harga
Menghargai
Di dalam perjuangan mencapai dan mempertahankan
kemerdekaan, diperlukan saling pengertian dan sikap saling menghargai di antara
para pejuang. Sebagai contoh perbedaan pandangan antara pemuda (Syahrir dkk.)
dengan Bung Karno-Bung Hatta dari golongan tua, tetapi karena saling pengertian
dan saling menghargai, maka kesepakatan dapat tercapai. Teks proklamasi dapat
diselesaikan dan kemerdekaan dapat diproklamasikan, adalah bukti nyata sebuah
kekompakan dan saling pengertian di antara para tokoh nasional.
Berangkat dari sikap saling pengertian dan saling
menghargai juga dapat memupuk rasa persatuan dan menghindarkan perpecahan.
Timbullah rasa kebersamaan. Sebagai contoh, tokoh-tokoh Islam yang pernah
menjadi Panitia Sembilan dan PPKI, memahami dan menghargai kelompok-kelompok
lain, sehingga tidak keberatan untuk menghilangkan kata-kata dalam Piagam
Jakarta, ” Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” dan
diganti dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kelompok sipil lebih menekankan cara diplomasi atau
perundingan damai, sedangkan kaum militer menekankan strategi perjuangan
bersenjata. Ternyata berkat saling menghargai, baik perjuangan diplomasi maupun
perjuangan bersenjata dapat saling mendukung. Begitu juga ketika terjadi Agresi
Belanda II, para pemimpin sipil ingin bertahan di pusat ibu kota (sehingga
akhirnya ditawan Belanda) sedangkan kaum militer ingin ke luar kota untuk melancarkan
gerilya. Kaum militer tidak memaksakan kehendaknya agar kaum sipil ikut ke luar
kota untuk bergerilya, dan begitu sebalikya. Semua ini ada hikmahnya, bahwa
perjuangan diplomasi maupun perjuangan bersenjata saling mengisi dan sama-sama
pentingnya.
Nilai-nilai perjuangan seperti persatuan dan
kesatuan, rela berkorban dan tanpa pamrih, cinta tanah air, saling pengertian
atau tenggang rasa dan harga menghargai, merupakan nilai-nilai yang penting
untuk dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu tidak hanya
penting di masa perjuangan menentang penjajahan, tetapi juga dalam kegiatan
pembangunan sekarang. Apabila kita memahami dan kemudian mengamalkan
nilai-nilai tersebut, menunjukkan adanya kesadaran sejarah yang tinggi. Setiap
orang yang memiliki kesadaran sejarah semacam itu tentunya tidak akan korupsi,
tidak akan memperkaya diri dengan mengorbankan orang lain, tidak akan
sewenang-wenang dan tidak akan menyebarkan isu-isu perpecahan yang hanya untuk
kepentingan golongan sendiri. Dengan ini, maka pembangunan demi kemaslahatan
umum akan dapat tercapai.
C. DARI KONFLIK MENUJU KONSENSUS SUATU
PEMBELAJARAN
1.
Kesadaran Terhadap Pentingnya Integrasi Bangsa
Pentingnya kesadaran terhadap integrasi bangsa dapat
dihubungkan dengan masih terdapatnya potensi konflik di beberapa wilayah
Indonesia pada masa kini. Kementerian sosial saja mengetakan bahwa pada tahun
2014 Indonesia masih memiliki 184 daerah dengan potensi rawan konflik sosial.
Enam di antaranya diprediksi memiliki tingkat kerawanan yang tinggi, yaitu
Papua, Jawa Barat,Jakarta, Sumatra Utara, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah.
2. Teladan
Para Tokoh
1). Pahlawan Nasonal dari Papua:
Frans Kaisiepo, Silas Papare dan Marthen
Indey
Frans Kaisiepo
(1921-1979) adalah salah seorang tokoh yang mempopulerkan lagu Indonesia Raya
di Papua saat menjelang Kemerdekaan. Ia juga turut berperan dalam pendirian
Partai Indonesia Merdeka (PIM) pada tanggal 10 Mei 1946. Pada tahun yang sama,
Kaisiepo menjadi anggota delegasi Papua dalam Konferensi Malino di Sulawesi
Selatan, dimana dia sempat menyebut Papua dengan nama Irian yang konon diambil
dari bahasa Biak yang berarti Panas.
Silas Parpare
(1918-1978) membentuk Komite Indonesia Merdeka (KIM) hanya sekitar sebulan
setelah kemerdekaan Indonesia. Tujuan KIM yang dibetuk pada September 1945 ini
adalah untuk menghimpu kekuatan dan mengatur gerak langkah perjuangan dalam
membela dan mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Marthen Indey (
1912-1989) sebelum Jepang masuk ke Indonesia adalah seorang anggota polisi
Hindia Belanda. Namun, jabatan ini bukan berarti melunturkan sikap
nasionalismenya.Keindonesiaan yang ia miliki justru semakin tumbuh tatkala ia
kerap berinteraksi dengan tahanan politik Indonesia yang dibuang Belanda ke
Papua. Ia bahkan pernah berencana bersama anak buahnya untuk berontak terhadap
Belanda di Papua , namun gagal.
2). Para Raja yang berkorban Untuk Bangsa
Sultan
Hamengkubuwono IX dan Sultan Syarif Kasim II
Sultan Hamengkubuwono IX (1912-1988) ketika Sultan Hamengkubuwono
IX dinobatkan sebagai raja Yogyajarta, ia dengan tegas menunjukan sikap
nasionalismenya. Pada tanggal 5 September
1945, Sultan Hamengkubuwono IX memberikan amanat bahwa:
1. Ngayogyakarta Hadiningrat
yang bersifat kerajaan adalah daerah Istimewa dari Republik Indonesia.
2. Segala kekuasaan dalam
negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan urusan pemerintahan berada di tangan
Hamengkubuwono IX.
3. Hubungan antara
Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah RI bersifat langsung dan Sultan
Hamengkubuwono IX bertanggungjawab kepada Presiden RI.
Sultan Syarif Kasim (1893-1968). Sultan Syarief Kasim II dinobatkan menjadi raja Siak Indrapura pada
tahun 1915 ketika berusia 21 tahun. Ia memiliki sikap bahwa kerajaan Siak
berkedudukan sejajar dengan Belanda. Berbagai kebijakan yang ia lakukan pun
kerap bertentangan dengan keinginan Belanda.
3. Mewujudkan Integrasi Melalui Seni dan
Sastra
Ismail Marzuki
Ismail Marzuki (1914-1958). Dilahirkan di Jakata,
Ismail Marzuki memang berasal dari keluarga Seniman. Di usia 17 tahun ia
berhasil mengarang lagu pertamanaya, berjudul “O Sarinah”. Tahun 1936, Ismail Marzuki masuk perkumpulan
musik lief java dan berkesempatan mengisi siaran musik di radio. Pada saat
itulah ia mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu barat untuk kemudian menciptakan
lagu-lagu sendiri.