Posted by
One_Esc on
Wednesday, January 30, 2019
Materi 12
B. SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK DAN EKONOMI MASA DEMOKRASI PARLEMENTER (1950-1959)
B. SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK DAN EKONOMI MASA DEMOKRASI PARLEMENTER (1950-1959)
1.
Perkembangan politik
Setelah
dibubarkannya RIS pada Tahun 1950, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUDS
1950 adalah Parlementer, Ciri demokrasi Liberal ini adalah sering
berganti-ganti kabinet. Indonesia melaksanakan demokrasi parlementer yang
liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat.
Demokrasi Parlementer adalah Sistem Demokrasi dimana
Parlemen (dewan perwakilan rakyat)
memiliki peran penting dalam pemerintahan.
Sistem Demokrasi Palementer periode ini
memperlihatkan semangat belajar berdemokrasi.
Pemerintahan RI
dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang
perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).
Sistem politik pada masa demokrasi liberal telah
mendorong untuk lahirnya partai – partai politik, karena dalam sistem
kepartaian menganut sistem multi partai.
Konsekuensi logis dari pelaksanaan sistem politik
demokrasi liberal parlementer gaya barat dengan sistem multi partai yang
dianut, maka partai –partai inilah yang menjalankan pemerintahan melalui
perimbangan kekuasaan dalam parlemen dalam tahun 1950 – 1959.
Periode 1950 -1959 merupakan masa berkiprahnya partai-partai politik pada
pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat
mengambil alih kekuasaan. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI dan Masyumi)
silih berganti memimpin kabinet. Hampir setiap tahun terjadi pergantian
kabinet. Masa pemerintahan kabinet tidak ada yang berumur panjang, sehingga
masing-masing kabinet yang berkuasa tidak dapat melaksanakan seluruh
programnya.
2. Sistem Pemerintahan
Indonesia sampai tahun 1950 telah menggunakan dua sistem pemerintahan yaitu
sistem presidensial dan sistem parlementer. Belum genap satu tahun kemerdekaan sistem presidensial digantikan dengan
sistem parlementer yang didirikan pertama pada november 1945 dengan Syahrir
sebagai menteri. Pada masa demokrasi liberal, pelaksanaan sistem parlementer
dilandasi oleh UUD Sementara 1950 (konstitusi liberal). Dan begitu pula
indonesia ketika telah menjadi negara kesatuan.
Kabinet demokrasi liberal disusun
menurut pertimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen yang sewaktu waktu
dapat dijatuhkan. Sementara presiden sebagai lambang kesatuan. Kabinet ini
berbeda dengan sistem RIS yang dikenal Zaken Kabinet. Adanya perbedaan
kepentingan antar partai menyebabkan banyak mengalami pergantian kabinet.
Berikut kabinet
yang pernah berkuasa setelah penyerahan kedaulatan :
1) Kabinet Natsir (6 September
1950-21 Maret 1951)
2) Kabinet Sukiman (27 April
1951-3 April 1952)
3) Kabinet Wilopo (3 April
1952 – 3 Juni 1953)
4) Kabinet Ali Sastroamidjojo
I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
5) Kabinet Burhanudin Harahap
(1955-1956)
6) Kabinet Ali Sastroamidjojo
II (1956-1957)
7) Kabinet Karya (Djuanda/Zaken)
(9 April 1957 – 10 Juli 1959)
Program kabinet Djuanda/ Panca karya :
a)
Membentuk Dewan,
b)
Normalisasi keadaan Republik,
c)
Melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB,
d)
Perjuangan Irian,
e)
Mempergiat pembangunan.
Kabinet Djuanda juga mendeklarasikan hukum teritorial
kelautan Indonesia yang disebut juga Deklarasi Djuanda. Dimaksudkan agar dapat
menyatuakan wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari laut dapat
dimanfaatkan dengan maksimal.
Dalam deklarasi tersebut mengubah batas kontinen laut
dari 3 mil batas air terendah menjadi 12 mil dari batas pulau terluar.
Deklarasi baru bisa diterima dunia internasional setelah ditetapkan dalam
konvensi hukum laut PBB ke-3. Kemudian Pemerintah meratifikasinya dalam UU. No.
17/1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
3. Sistem Kepartaian
Sistem
kepartaian adalah “pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang
selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara.”
Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu
negara. Masa Demokrasi Parlementer merupakan masa yang diwarnai dengan
berdirinya banyak partai, dengan dasar ideologi yang beragam.
Partai-partai yang tokohnya pernah menjadi perdana menteri, pada masa Demokrasi
parlementer adalah :
Partai Masyumi : Mohammad Natsir.
Partai PNI dan Masyumi : Sidik Djojosukatro dan
Soekiman Wijosandjojo
Partai PNI : Wilopo
Partai PNI dan NU : Ali Sastroamidjojo
Partai PNI, Masyumi, dan NU : Ali Sastroamidjojo
Partai PNI : Djuanda Kartawidjaja
Perbedaan antara Sistem Kepartaian pada masa
Demokrasi
Parlementer dengan Sistem Kepartaian pada masa
Sekarang Sistem kepartaian di Indonesia menggunakan sistem kepartaian
multipartai. Pada Pemilu era reformasi tahun 1999 diikuti oleh 48Partai.
Sedangkan pada pemilu selanjutnya yaitu tahun 24, jumlah partai politik menurun
dari 48 Partai menjadi 24 Partai. Hal ini disebabkan diberlakukannya ambang
batas sesuai dengan UU Pemilu dimana partai Politik yang berhak mengikuti
pemilihan adalah partai yang memiliki sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi
DPR, sedangkan pada masa demokrasi parlementer jumlah partai yang dapat
mengikuti pemilu jumlahnya tidak terikat ambang batas atau peraturan UU
4. Pemilihan Umum 1955
Pelaksanaan
tujuan umum 1955 bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk
dakam parlemen dan dewan konstituante. Pemilihan umum untuk
anggota DPR dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955. Hasilnya diumumkan pada 1 Maret 1956. Urutan perolehan suara terbanyak
adalah PNI, Masyumi, Nahdatul Ulama dan PKI.
Adapula sistem Pemilu yang digunakan dalam Pemilu
1955 merupakan sistem perwakilan proporsional. Dengan menggunakan sistem ini,
wilayah negara Republik Indonesia dibagi ke dalam sebanyak 16 daerah pemilihan
(yang mana Irian Barat dimasukkan sebagai daerah pemilihan yang ke-16, padahal,
Irian Barat tersebut masih dikuasai oleh Belanda, sehingga Pemilu sama sekali
tak bisa dilangsungkan di wilayah tersebut). Dalam sistem perwakilan proporsional,
untuk setiap daerah pemilihan tersebut memperoleh sejumlah kursi, berdasar dari
jumlah penduduk, dengan ketentuan untuk setiap daerah memiliki hak untuk
memperoleh jatah minimal sebanyak 6 kursi di Konstituante dan sebanyak 3 kursi
untuk Parlemen.
Kelebihan dan
Kekurangan Pemilu 1955
Kelebihan :
Tingkat
partisipasi rakyat sangat besar, ada sekitar 90% dari semua warga yang punya
hak pilih ikut berpartisipasi. Lebih dari 39
juta orang memberikan hak suaranya dan mewakili 91,5% dari para pemilih terdaftar
Prosentase suara sah yang besar, ada 80% dari suara yang masuk. Padahal 70%+
penduduk Indonesia masih buta huruf Pemilu
berjalan aman, tertib dan disiplin serta jauh dari unsur kekerasan dan
kecurangan.
Kekurangan :
Adanya krisis Ketatanegaraan. Hal tersebut memicu
lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, kenapa? Karena akibat dari
kegagalan Dewan Konstituante dalam menghasilkan konstitusi baru.
Tidak ada
parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak. Tidak adanya pemenang mayoritas
pada saat itu mengakibatkan sistem pemerintahan tak stabil karena kekuasaan
terbagi bagi ke dalam berbagai aliran politik. Kekecewaan di Partai
Politik. Jumlah partai lebih bertambah banyak dari pada berkurang, dengan dua
puluh delapan partai mendapat kursi, padahal sebelumnya hanya dua puluh partai
yang mendapat kursi. Beberapa pemimpin Masyumi merasa bahwa kemajuan
Islam menuju kekuasaan nasional kini terhalang dan bahwa perhatian mereka
seharusnya dialihkan untuk mengintensifkan Islam ditingkat rakyat jelata.
Dekrit
Presiden
Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima
tahun berikutnya, 1960. Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan
Dekret Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD
945. Kemudian pada 4 Juni 1960, Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya
dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno
secara sepihak melalui Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara
(MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
UNTUK MENGERJAKAN QUIZZ, SILAHKAN KLIK DISINI