Posted by
One_Esc on
Sunday, April 22, 2007
Julia Maria, antropolog kesehatan.
Sunatan perempuan atau lebih dikenal Female Genital Mutilation,
akhir-akhir ini menjadi perdebatan seru yang menyangkut berbagai kalangan,
baik kelompok ahli kesehatan masyarakat, antropolog kesehatan, dunia
pendidikan kedokteran/kesehatan/keperawatan/kebidanan, keluarga
berencana, penegak hak azazi manusia, woman lib, berbagai non
goverment institusi, bahkan badan kesehatan dunia (WHO), Unesco dan
Unicef, para ulama, dan para pelaku kebudayaan. Masalahnya bukan
hanya menyangkut masalah kepercayaan, religi, budaya, kesehatan,
hak-hak wanita, masalah gender, masalah patrilinial dan kelompok rumpun,
tetapi juga masalah perbedaan sistem nilai antara belahan dunia yang
masih melakukan praktek FGM dan yang tidak melakukannya. Tak ayal
pula Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi sasaran masalah
FGM ini, karena prevalensi FGM sekalipun datanya belum ada secara
akurat, namun diperkirakan sangat tinggi.
Kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang menangani ini
adalah melakukan pendidikan kepada para practioner (dukun, dukun
bayi, bidan desa dlsb) agar melakukan FGM secara hygienis, steril,
serta tidak mencelakakan si gadis kecil. Kegiatannya dilakukan secara
meluas di berbagai negara terutama negara-negara Afrika, Timur
Tengah, dan Asia, yang mempunyai prevalensi tinggi.
Praktek FGM dilihat dari keparahan pengangkatan bagian-bagian dari
clitoris dibagi-bagi menjadi 4 tipe, dimulai dari hanya mengangkat
sebagian dari clitoris: mengangkat sebagian atau semua bagian
clitoris diikuti dengan pengangkatan labia minora: fibulasi atau
mengangkat sebagian atau semua bagian clitoris yang diikuti dengan
pengangkatan labia minora, labia mayora, dan pengecilan lubang
vagina; dan tipe terakhir adalah bila ditambah dengan berbagai hal
lainnya seperti menarik, merekatkan, dan membakar clitoris, memotong
vagina, memasukkan rempah ke dalam lubang vagina dengan berbagai
maksud seperti memperkecil lubang vagina, penyembuhan pendarahan
dlsb.
Laporan riset yang dilakukan di Indonesia dan dibiayai oleh WHO
melaporkan bahwa tipe terbanyak di Indonesia adalah FGM tipe satu,
yaitu mengangkat sebagian dari clitoris anak-anak perempuan dan
dilakukan di bawah usia 5 tahun, dilakukan oleh bidan, dukun kampung,
dukun bayi, dan para tetua.
Data riset antropologi tentang sejarah dan asal praktek FGM ini belum
diketahui secara pasti karena praktek ini telah dilakukan lebih dari
1000 tahun lalu, bagaimana penyebarannya, apakah berasal dari satu
tempat kemudian menyebar ke daerah lain, ataukah di beberapa daerah
mempunyai budaya dan sistem nilai yang sama tentang arti seksualitas,
reproduksi, dan organ seks. Karena bentuk praktek FGM berbeda-beda di
berbagai daerah Mesir, Arab dan Afrika. Namun diperkirakan berasal
dari daerah Mesir ataupun jazirah Arab. Beberapa catatan dalam
sejarah kedokteran di daerah Mesir juga ditemukan telah ada pada
jaman Pharao. Praktek FGM ini biasanya eksis disertai juga adanya
sunat atau circumsisi pada laki-laki. Para arkeolog juga mengklaim
tentang temuannya di daerah Mesir dimana beberapa mumi ditemukan
Djibouti, Etipia, Sudan, Kenya, teluk Parsia, Yemen, Oman, Bahrain,
Iran, Afganistan, Pakistan, Malaysia, dan Indonesia .
Praktek ini dilakukan bukan hanya oleh muslim saja tetapi juga
Kristen, Animis, Ateis dan Jehova. Penyebarannya terutama pada
daerah-daerah yang mempunyai sistem patrilinial, sedang penyebarannya ke
Indonesia dibawa oleh kebudayaan Islam. Bentuk FGM yang menyebar di
Indonesia merupakan FGM tipe pertama, yaitu mengangkat sebagian dari
organ clitoris.
Secara antropologis makna yang berada di belakang perilaku FGM ini
dapat diasosiasikan kepada a) religi; b) cultural belief & body image, dan c) tradisi.
Dapat dikatakan bahwa praktek religi ini dilakukan oleh ketiga religi
monotheistik (Judaism, Kristen, dan Islam), dan dipercaya bahwa
praktek ini memang membutuhkan mandat sistem nilai agama. Agama yang
terbanyak melakukan praktek ini adalah agama Islam, tetapi bukan
berarti bahwa praktek ini merupakan ritual Islam, namun lebih
merupakan tradisi dalam masyarakat Islam. Praktek FGM yang didukung oleh sistem nilai religi ini lebih banyak
dimaksudkan sebagai kontrol dorongan seksual pada wanita, menghindari
masturbasi yang dapat merusak virginitas (kegiatan masturbasi pada
wanita merupakan larangan dalam agama-agama tersebut). Dalam sejarah
budaya jaman Pharao percaya adanya sifat biseksualitas dari tuhan.
Karena itu dipercaya juga bahwa tubuh manusia mempunyai dua jiwa
seksualitas. Masyarakat percaya bahwa jiwa laki-laki berada di penis,
dan jiwa perempuan berada di clitoris. Karena itu saat menjelang
pubertas dilakukan suatu ritus lintas berupa upacara simbolik melepas
salah satu sisi jiwa seksualitas tersebut dengan membuang sebagian dari organ seks.
kepada semua negara untuk membuat kebijaksanaan nasional menghapus
praktek FGM, dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap hak azazi
manusia serta merupakan tindak kriminal. WHO menyerukan agar
melakukan pendidikan kepada masyarakat tentang masalah kerugian
wanita baik dalam fungsi biologis, seksual, dan reproduksi.
Meski begitu dalam prakteknya terjadi benturan-benturan antara
tekanan-tekanan untuk melawan praktek FGM dengan tradisi
mempertahankannya. Hal ini bisa dimengerti karena tekanan ini
datangnya dari pemikiran-pemikiran masyarakat di negara Barat yang
mempunyai budaya dan sistem nilai yang berbeda.
Setiap budaya akan mengikuti norma moralnya sendiri-sendiri, dan
mempunyai pandangan tersendiri terhadap perilaku kolektif
kelompoknya. Banyak masalah hak azazi manusia tidak bisa
diterjemahkan melalui pemikiran barat. Praktek FGM sendiri pada
kelompok wanita yang mempunyai kepercayaan kuat terhadap praktek ini,
mereka tidak berfikir ke arah mutilasi-nya itu sendiri, tetapi
sebaliknya, agar dapat diterima oleh lingkungan budayanya. Memandang
masalah FGM juga harus melihat logika yang dikembangkan oleh
masyarakat.
Januari 1994
Sunatan perempuan atau lebih dikenal Female Genital Mutilation,
akhir-akhir ini menjadi perdebatan seru yang menyangkut berbagai kalangan,
baik kelompok ahli kesehatan masyarakat, antropolog kesehatan, dunia
pendidikan kedokteran/kesehatan/keperawatan/kebidanan, keluarga
berencana, penegak hak azazi manusia, woman lib, berbagai non
goverment institusi, bahkan badan kesehatan dunia (WHO), Unesco dan
Unicef, para ulama, dan para pelaku kebudayaan. Masalahnya bukan
hanya menyangkut masalah kepercayaan, religi, budaya, kesehatan,
hak-hak wanita, masalah gender, masalah patrilinial dan kelompok rumpun,
tetapi juga masalah perbedaan sistem nilai antara belahan dunia yang
masih melakukan praktek FGM dan yang tidak melakukannya. Tak ayal
pula Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi sasaran masalah
FGM ini, karena prevalensi FGM sekalipun datanya belum ada secara
akurat, namun diperkirakan sangat tinggi.
Kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang menangani ini
adalah melakukan pendidikan kepada para practioner (dukun, dukun
bayi, bidan desa dlsb) agar melakukan FGM secara hygienis, steril,
serta tidak mencelakakan si gadis kecil. Kegiatannya dilakukan secara
meluas di berbagai negara terutama negara-negara Afrika, Timur
Tengah, dan Asia, yang mempunyai prevalensi tinggi.
Praktek FGM dilihat dari keparahan pengangkatan bagian-bagian dari
clitoris dibagi-bagi menjadi 4 tipe, dimulai dari hanya mengangkat
sebagian dari clitoris: mengangkat sebagian atau semua bagian
clitoris diikuti dengan pengangkatan labia minora: fibulasi atau
mengangkat sebagian atau semua bagian clitoris yang diikuti dengan
pengangkatan labia minora, labia mayora, dan pengecilan lubang
vagina; dan tipe terakhir adalah bila ditambah dengan berbagai hal
lainnya seperti menarik, merekatkan, dan membakar clitoris, memotong
vagina, memasukkan rempah ke dalam lubang vagina dengan berbagai
maksud seperti memperkecil lubang vagina, penyembuhan pendarahan
dlsb.
Laporan riset yang dilakukan di Indonesia dan dibiayai oleh WHO
melaporkan bahwa tipe terbanyak di Indonesia adalah FGM tipe satu,
yaitu mengangkat sebagian dari clitoris anak-anak perempuan dan
dilakukan di bawah usia 5 tahun, dilakukan oleh bidan, dukun kampung,
dukun bayi, dan para tetua.
Data riset antropologi tentang sejarah dan asal praktek FGM ini belum
diketahui secara pasti karena praktek ini telah dilakukan lebih dari
1000 tahun lalu, bagaimana penyebarannya, apakah berasal dari satu
tempat kemudian menyebar ke daerah lain, ataukah di beberapa daerah
mempunyai budaya dan sistem nilai yang sama tentang arti seksualitas,
reproduksi, dan organ seks. Karena bentuk praktek FGM berbeda-beda di
berbagai daerah Mesir, Arab dan Afrika. Namun diperkirakan berasal
dari daerah Mesir ataupun jazirah Arab. Beberapa catatan dalam
sejarah kedokteran di daerah Mesir juga ditemukan telah ada pada
jaman Pharao. Praktek FGM ini biasanya eksis disertai juga adanya
sunat atau circumsisi pada laki-laki. Para arkeolog juga mengklaim
tentang temuannya di daerah Mesir dimana beberapa mumi ditemukan
terdapat adanya aktifitas clitoridektomi (pengangkatan clitoris). Di Daerah Arab ini clitoridekstomi dan fibulasi dilakukan baik oleh
bangsa Yahudi dan Arab, kemudian menyebar ke daerah Afrika Utara,Djibouti, Etipia, Sudan, Kenya, teluk Parsia, Yemen, Oman, Bahrain,
Iran, Afganistan, Pakistan, Malaysia, dan Indonesia .
Praktek ini dilakukan bukan hanya oleh muslim saja tetapi juga
Kristen, Animis, Ateis dan Jehova. Penyebarannya terutama pada
daerah-daerah yang mempunyai sistem patrilinial, sedang penyebarannya ke
Indonesia dibawa oleh kebudayaan Islam. Bentuk FGM yang menyebar di
Indonesia merupakan FGM tipe pertama, yaitu mengangkat sebagian dari
organ clitoris.
Secara antropologis makna yang berada di belakang perilaku FGM ini
dapat diasosiasikan kepada a) religi; b) cultural belief & body image, dan c) tradisi.
Dapat dikatakan bahwa praktek religi ini dilakukan oleh ketiga religi
monotheistik (Judaism, Kristen, dan Islam), dan dipercaya bahwa
praktek ini memang membutuhkan mandat sistem nilai agama. Agama yang
terbanyak melakukan praktek ini adalah agama Islam, tetapi bukan
berarti bahwa praktek ini merupakan ritual Islam, namun lebih
merupakan tradisi dalam masyarakat Islam. Praktek FGM yang didukung oleh sistem nilai religi ini lebih banyak
dimaksudkan sebagai kontrol dorongan seksual pada wanita, menghindari
masturbasi yang dapat merusak virginitas (kegiatan masturbasi pada
wanita merupakan larangan dalam agama-agama tersebut). Dalam sejarah
budaya jaman Pharao percaya adanya sifat biseksualitas dari tuhan.
Karena itu dipercaya juga bahwa tubuh manusia mempunyai dua jiwa
seksualitas. Masyarakat percaya bahwa jiwa laki-laki berada di penis,
dan jiwa perempuan berada di clitoris. Karena itu saat menjelang
pubertas dilakukan suatu ritus lintas berupa upacara simbolik melepas
salah satu sisi jiwa seksualitas tersebut dengan membuang sebagian dari organ seks.
diambil dari berbagai sumber