Posted by
One_Esc on
Friday, October 11, 2019
Akulturasi
dan Perkembangan Budaya Islam
Berkembangnya kebudayaan Islam di
Kepulauan Indonesia telah menambah khasanah budaya nasional Indonesia, serta
ikut memberikan dan menentukan corak kebudayaan bangsa Indonesia. Akan tetapi
karena kebudayaan yang berkembang di Indonesia sudah begitu kuat di lingkungan
masyarakat maka berkembangnya kebudayaan Islam tidak menggantikan atau
memusnahkan kebudayaan yang sudah ada. Dengan demikian terjadi akulturasi
antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada. Akulturasi adalah
suatu proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia kebudayaan
tertentu diharapkan dengan unsur-unsur dari kebudayaan asing dengan sedemikian
rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Islam merupakan salah satu agama
yang masuk dan berkembang di Indonesia. Sebelum Islam masuk dan berkembang,
Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan
Budha. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi
kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi yang
melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Hasil proses
akulturasi antara kebudayaan praIslam dengan ketika Islam masuk tidak hanya
berbentuk fisik kebendaan seperti seni bangunan, seni ukir atau pahat, dan
karya sastra tetapi juga menyangkut pola hidup dan kebudayaan non fisik
lainnya. Beberapa contoh bentuk akulturasi akan ditunjukkan pada paparan
berikut.
1. Seni Bangunan
Seni dan arsitektur bangunan
Islam di Indonesia sangat unik, menarik dan akulturatif. Seni bangunan yang
menonjol di zaman perkembangan Islam ini terutama masjid, menara serta makam.
a.
Masjid dan Menara
Dalam seni bangunan di zaman
perkembangan Islam, nampak ada perpaduan antara unsur Islam dengan kebudayaan
praIslam yang telah ada sebelumnya. Beberapa contoh seni bangunan Islam yang
menonjol adalah masjid yang berfungsi sebagai tempat beribadah bagi orang
Islam.
Bangunan masjid-masjid kuno di
Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
· Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang
bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk
limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah dengan kemuncak
untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan Mustaka.
· Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya
bangunan masjid yang ada di luar Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi
dilengkapi dengan kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan
sholat. Bedug dan kentongan merupakan budaya asli Indonesia.
· Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu
sebelah barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat keramat yaitu di
atas bukit atau dekat dengan makam.
b.
Makam
Makam-makam yang lokasinya di
dataran dekat masjid agung, bekas kota pusat kesultanan antara lain makam
sultan-sultan Demak di samping Masjid Agung Demak, makam raja-raja Mataram-Islam
Kota Gede (D.I. Yogyakarta), makam sultan-sultan Palembang, makam sultan-sultan
di daerah Nanggroe Aceh, yaitu kompleks makam di Samudera Pasai, makam Sultan
Ternate di Ternate, makam sultan-sultan Goa di Tamalate, dan kompleks makam
raja-raja di Jeneponto dan kompleks makam di Watan Lamuru (Sulawesi Selatan),
makam-makam di berbagai daerah lainnya di Sulawesi Selatan, serta kompleks
makam Selaparang di Nusa Tenggara dan masih banyak yang lainnya.
Di beberapa tempat terdapat
makam-makam yang penempatannya berada di daerah dataran tinggi. Seperti makam
Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Derajat (Lamongan), makam Sunan Kalijaga di
Kadilangu (Demak), makam Sunan Kudus di Kudus, makam Maulana Malik Ibrahim dan
makam Leran di Gresik (Jawa Timur), makam Datuk Ri Bkalianng di Takalar
(Sulawesi Selatan), makam Syaikh Burhanuddin (Pariaman), makam Syaikh Kuala
atau Nuruddin ar-Raniri (Aceh) dan masih banyak para dai lainnya di tanah air
yang dimakamkan di dataran.
Ciri-ciri dari wujud akulturasi
pada bangunan makam terlihat dari:
ü
Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau
tempat-tempat yang tinggi.
ü
Makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut
dengan Jirat atau Kijing, nisannya juga terbuat dari batu.
ü
Di atas jirat biasanya didirikan rumah
tersendiri yang disebut dengan cungkup atau kubba.
ü
Dilengkapi dengan tembok atau gapura yang
menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam.
ü
Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka
disebut masjid makam dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau
raja. Contohnya masjid makam Sendang Duwur di Tuban.
Makam-makam yang terletak di
tempat-tempat tinggi menunjukkan kesinambungan tradisi yang merupakan
pengejawantahan pendirian punden-punden berundak pada masa Megalitik. Tradisi
tersebut dilanjutkan pada masa Hindu-Buddha dalam bentuk bangunan-bangunan yang
disebut candi. Antara lain Candi Dieng yang berketinggian 2.000 meter di atas
permukaan laut, Candi Gedongsanga, Candi Borobudur, Percandian Prambanan, dan
lain-lain.
Setelah kebudayaan Indonesia
Hindu-Buddha mengalami keruntuhan unsur seni bangunan keagamaan masih
diteruskan. Beberapa contoh akulturasi bangunan keagamaan antara lain sebagai
berikut.
Makam-makam yang lokasinya di
atas bukit, makam yang paling atas adalah yang dianggap paling dihormati
misalnya Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah di Gunung Sembung, di
bagian teratas kompleks pemakaman Imogiri ialah makam Sultan Agung
Hanyokrokusumo. Kompleks makam yang mengambil tempat datar misalnya di Kota
Gede, orang yang paling dihormati ditempatkan di bagian tengah.
Makam walisongo dan sultan-sultan
pada umumnya ditempatkan dalam bangunan yang disebut cungkup yang masih bergaya
kuno dan juga dalam bangunan yang sudah diperbaharui. Cungkup-cungkup yang
termasuk kuno antara lain cungkup makam Sunan Giri, Sunan Derajat, dan Sunan
Gunung Jati.
Di samping bangunan makam,
terdapat tradisi pemakaman yang sebenarnya bukan berasal dari ajaran Islam.
Misalnya, jenazah dimasukkan ke dalam peti. Pada zaman kuno ada peti batu,
kubur batu dan lainnya. Sering pula di atas kubur diletakkan bunga-bunga. Pada
hari ke-3, ke-7, ke40, ke-100, satu tahun, dua tahun, dan 1000 hari diadakan
selamatan. Saji-sajian dan selamatan adalah unsur pengaruh kebudayaan
pra-Islam, tetapi doa-doanya secara Islam.
2. Seni Ukir
Pada masa perkembangan Islam di
zaman madya, berkembang ajaran bahwa seni ukir, patung, dan melukis makhluk
hidup, apalagi manusia secara nyata, tidak diperbolehkan sehingga perkembangan
seni patung kurang berkembang. Sesudah zaman madya, seni patung berkembang
seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini.
Namun, seni pahat atau seni ukir
terus berkembang dalam bentuk seni hias dan seni ukir dengan motif daun-daunan
dan bunga-bungaan seperti yang telah dikembangkan sebelumnya. Kemudian juga ditambah
seni hias dengan huruf Arab (kaligrafi). Bahkan muncul kreasi baru, yaitu kalau
terpaksa ingin melukiskan makluk hidup, akan disamar dengan berbagai hiasan,
sehingga tidak lagi jelas-jelas berwujud binatang atau manusia.
Banyak sekali bangunan-bangunan
Islam yang dihiasi dengan berbagai motif ukir-ukiran. Misalnya, ukir-ukiran
pada pintu atau tiang pada bangunan keraton ataupun masjid, pada gapura atau
pintu gerbang. Dikembangkan juga seni hias atau seni ukir dengan bentuk tulisan
Arab yang dicampur dengan ragam hias yang lain. Bahkan ada seni kaligrafi yang
membentuk orang, binatang, atau wayang.
3. Aksara dan Seni Sastra
Tersebarnya agama Islam ke
Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan, yaitu
masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab Melayu
atau biasanya dikenal dengan istilah Arab gundul yaitu tulisan Arab yang
dipakai untuk menuliskan bahasa Melayu tetapi tidak menggunakan tanda-tanda a,
i, u seperti lazimnya tulisan Arab.
Seni sastra yang berkembang pada
awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra
pengaruh Hindu-Budha dan sastra Islam. Wujud akulturasi dalam seni sastra
tersebut terlihat dari tulisan/ aksara yang dipergunakan yaitu menggunakan
huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil
sastra yang berkembang pada jaman Hindu. Bentuk seni sastra yang berkembang
antara lain sebagai berikut :
Hikayat yaitu cerita atau dongeng
yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk
gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu
Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat
Sri Rama (Hindu).
Babad adalah kisah rekaan
pujangga keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarah contohnya Babad
Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Cirebon.
Syair berasal dari perkataan Arab
untuk menamakan karya sastra berupa sajak-sajak yang terdiri atas empat baris
setiap baitnya. Contoh syair sangat tua adalah syair yang tertulis pada batu
nisan makam putri Pasai di Minye Tujoh.
suluk
Suluk adalah kitab yang
membentangkan soal-soal tasawwuf contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk
Malang Sumirang dan sebagainya.
4. Kesenian
Di Indonesia, Islam menghasilkan
kesenian bernafas Islam yang bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam. Kesenian
tersebut, misalnya sebagai berikut.
Permainan debus, tarian ini
diawali dengan pembacaan ayat-ayat dalam Al Quran dan salawat nabi. Tarian ini
terdapat di Banten dan Minangkabau.
Seudati berasal dan kata syaidati
yang artinya permainan orang-orang besar. Seudati sering disebut saman artinya
delapan. Para pemain menyanyikan lagu yang isinya antara lain salawat nabi.
Wayang, termasuk wayang kulit.
Pertunjukan wayang sudah berkembang sejak zaman Hindu, akan tetapi, pada zaman
Islam terus dikembangkan. Kemudian berdasarkan cerita Amir Hamzah dikembangkan
pertunjukan wayang golek.
5. Sistem Pemerintahan
Sebelum Islam masuk Indonesia,
sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu Budha, tetapi setelah Islam
masuk, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu/Budha mengalami keruntuhannya
dan digantikan peranannya oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam seperti
Samudra Pasai, Demak, Malaka dan sebagainya. Sistem pemerintahan yang bercorak
Islam, rajanya bergelar Sultan atau Sunan seperti halnya para wali dan apabila
rajanya meninggal tidak lagi dimakamkan dicandi/dicandikan tetapi dimakamkan
secara Islam.
6. Sistem Kalender
Menjelang tahun ketiga
pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau berusaha membenahi kalender
Islam. Perhitungan tahun yang dipakai atas dasar peredaran bulan (komariyah).
Umar menetapkan tahun 1 H bertepatan dengan tanggal 14 September 622 M,
sehingga sekarang kita mengenal tahun Hijriyah.
Sebelum budaya Islam masuk ke
Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal Kalender Saka (kalender Hindu)
yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini ditemukan nama-nama pasaran
hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon.
Setelah berkembangnya Islam
Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan
perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam). Pada
kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti
Muharram diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama
hari tetap menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Dan bahkan hari
pasaran pada kalender saka juga dipergunakan. Kalender Sultan Agung tersebut
dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang
bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.
lanjutkan ke materi 4d
lanjutkan ke materi 4d
Labels:
akulturasi budaya islam,
sejarah
Thanks for reading Materi 4c : Akulturasi dan Perkembangan Budaya Islam. Please share...!