Posted by
One_Esc on
Friday, October 11, 2019
Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
E. Islam Masuk Istana Raja
Salah satu
pusat pemerintahan keraton yang bersifat Islam yang sampai sekarang masih
berfungsi. Di Indonesia, keratin semacam ini pada perkembangannya memiliki
peranan dan posisi yang sangat penting. Selain berfungsi sebagai simbol
perkembangan pemerintahan Islam keraton juga menjadi lambang perjuangan
kemerdekaan. Di sana para raja atau tokoh-tokohnya mengibarkan panji-panji
perlawanan terhadap penjajahan. Islam yang masuk ke istana memang telah
menyemai bibit-bibit kemerdekaan dan persamaan.
Pada bagian
ini kamu akan mempelajari secara garis besar awal pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Uraian ini terutama dipusatkan pada
beberapa pusat kekuasaan Islam yang berada di berbagai daerah, seperti di
Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan bahkan di Indonesia bagian timur,
seperti Maluku dan Papua. Sedangkan kerajaan-kerajaan yang tidak diuraikan pada
bab ini, kamu dapat mencari informasi melalui berbagai buku yang ada.
a. Kerajaan Islam di Sumatra
Kerajaan Islam di Sumatera Sejak
awal kedatangannya, pulau Sumatera termasuk daerah pertama dan terpenting dalam
pengembangan agama Islam di Indonesia. Dikatakan demikian mengingat letak
Sumatra yang strategis dan berhadapan langsung dengan jalur perdangan dunia,
yakni Selat Malaka. Berdasarkan catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental
(1512-1515) dikatakan bahwa di Sumatra, terutama di sepanjang pesisir Selat
Malaka dan pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam, baik yang
besar maupun yang kecil. Diantara kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Aceh,
Biar dan Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal,
Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan
Barus. Menurut Tomé Pires, kerajaan-kerajaan tersebut ada yang sedang mengalami
pertumbuhan, ada pula yang sedang mengalami perkembangan, dan ada pula yang
sedang mengalami keruntuhannya.
1. Samudera Pasai
Samudera Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan
1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di
sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya
bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Dalam kitab
Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan Malik
as-Shaleh sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudera bernama Marah Silu. Setelah
menganut agama Islam kemudian berganti nama dengan Malik as-Shaleh. Berikut ini
merupakan urutan para raja-raja yang memerintah di Kesultanan Samudera Pasai:
Sultan Malik
as-Shaleh (696 H/1297 M);
Sultan
Muhammad Malik Zahir (1297-1326);
Sultan Mahmud
Malik Zahir (± 1346-1383);
Sultan
Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405);
Sultanah
Nahrisyah (1405-1412);
Abu Zain
Malik Zahir (1412);
Mahmud Malik
Zahir (1513-1524).
2. Kesultanan Aceh
Darussalam
Pada 1520 Aceh berhasil
memasukkan Kerajaan Daya ke dalam kekuasaan Aceh Darussalam. Tahun 1524, Pedir
dan Samudera Pasai ditaklukkan. Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali
Mughayat Syah menyerang kapal Portugis di bawah komandan Simao de Souza Galvao
di Bandar Aceh.
Pada 1529 Kesultanan Aceh
mengadakan persiapan untuk menyerang orang Portugis di Malaka, tetapi tidak
jadi karena Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 1530, yang kemudian dimakamkan
di Kandang XII Banda Aceh. Di antara penggantinya yang terkenal adalah Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538- 1571). Usaha-usahanya adalah
mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan mengadakan hubungan
internasional dengan kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abessinia
(Ethiopia), dan Mesir. Pada 1563 ia mengirimkan utusannya ke Constantinopel
untuk meminta bantuan dalam usaha melawan kekuasaan Portugis. Dua tahun
kemudian datang bantuan dari Turki berupa teknisi-teknisi, dan dengan kekuatan
tentaranya Sultan Alauddin Riayat Syah at-Qahhar menyerang dan menaklukkan
banyak kerajaan, seperti Batak, Aru, dan Barus. Untuk menjaga keutuhan
Kesultanan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar menempatkan suami
saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus, dua orang putra sultan
diangkat menjadi Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan gelar resminya Sultan
Ghari dan Sultan Mughal, dan di daerahdaerah pengaruh Kesultanan Aceh
ditempatkan wakil-wakil dari Aceh.
Kemajuan Kesultanan Aceh
Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mengundang perhatian
para ahli sejarah. Di bidang politik Sultan Iskandar Muda telah menundukkan
daerah-daerah di sepanjang pesisir timur dan barat. Demikian pula Johor di
Semenanjung Malaya telah diserang, dan kemudian rnengakui kekuasaan Kesultanan
Aceh Darussalam. Kedudukan Portugis di Malaka terus-menerus mengalami ancaman
dan serangan, meskipun keruntuhan Malaka sebagai pusat perdagangan di Asia
Tenggara baru terjadi sekitar tahun 1641 oleh VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie) Belanda. Perluasan kekuasaan politik VOC sampai Belanda pada dekade
abad ke-20 tetap menjadi ancaman Kesultanan Aceh
b. Kerajaan Islam di Jawa
1.
Kerajaan Demak
Para ahli memperkirakan Demak
berdiri tahun 1500. Sementara Majapahit hancur beberapa waktu sebelumnya.
Menurut sumber sejarah lokal di Jawa, keruntuhan Majapahit terjadi sekitar
tahun 1478. Hal ini ditandai dengan candrasengkala, Sirna Hilang Kertaning
Bhumi yang berarti memiliki angka tahun 1400 Saka. Raja pertama kerajaan Demak
adalah Raden Fatah, yang bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah. Raden Fatah
memerintah Demak dari tahun 1500- 1518 M. Menurut cerita rakyat Jawa Timur,
Raden Fatah merupakan keturunan raja terakhir dari Kerajaan Majapahit, yaitu Raja Brawijaya V. Di bawah pemerintahan
Raden Fatah, kerajaan Demak berkembang dengan pesat karena memiliki daerah
pertanian yang luas sebagai penghasil bahan makanan, terutama beras. Selain
itu, Demak juga tumbuh menjadi sebuah kerajaan maritim karena letaknya di jalur
perdagangan antara Malaka dan Maluku. Oleh karena itu Kerajaan Demak disebut
juga sebagai sebuah kerajaan yang agraris-maritim.
Barang dagangan yang diekspor
Kerajaan Demak antara lain beras, lilin dan madu. Barang-barang itu diekspor ke
Malaka, Maluku dan Samudra Pasai. Pada masa pemerintahan Raden Fatah, wilayah
kekuasaan Kerajaan Demak cukup luas, meliputi Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang,
Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan. Daerah-daerah pesisir di Jawa bagian
Tengah dan Timur kemudian ikut mengakui kedaulatan Demak dan mengibarkan
panji-panjinya. Kemajuan yang dialami Demak ini dipengaruhi oleh jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis. Karena Malaka sudah dikuasai oleh Portugis, maka
para pedagang yang tidak simpatik dengan kehadiran Portugis di Malaka beralih
haluan menuju pelabuhan-pelabuhan Demak seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan
dan Gresik. Pelabuhanpelabuhan tersebut kemudian berkembang menjadi pelabuhan
transit.
Selain tumbuh sebagai pusat
perdagangan, Demak juga tumbuh menjadi pusat penyebaran agama Islam. Para wali
yang merupakan tokoh penting pada perkembangan Kerajaan Demak ini, memanfaatkan
posisinya untuk lebih menyebarkan Islam kepada penduduk Jawa. Para wali juga
berusaha menyebarkan Islam di luar Pulau Jawa. Penyebaran agama Islam di Maluku
dilakukan oleh Sunan Giri sedangkan di daerah Kalimantan Timur dilakukan oleh
seorang penghulu dari Kerajaan Demak yang bernama Tunggang Parangan. Setelah
Kerajaan Demak lemah maka muncul Kerajaan Pajang.
2. Kerajaan Mataram
Setelah Kerajaan Demak berakhir,
berkembanglah Kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Di bawah
kekuasaannya, Pajang berkembang baik. Bahkan berhasil mengalahkan Arya
Penangsang yang berusaha merebut kekuasaannya. Tokoh yang membantunya
mengalahkan Arya Penangsang di antaranya Ki Ageng Pemanahan (Ki Gede
Pemanahan). la diangkat sebagai bupati (adipati) di Mataram. Kemudian
puteranya, Raden Bagus (Danang) Sutawijaya diangkat anak oleh Sultan Hadiwijaya
dan dibesarkan di istana. Sutawijaya dipersaudarakan dengan putra mahkota,
bernama Pangeran Benowo.
Pada tahun 1582, Sultan
Hadiwijaya meninggal dunia. Penggantinya, Pangeran Benowo merupakan raja yang
lemah. Sementara Sutawijaya yang menggantikan Ki Gede Pemanahan justru semakin
menguatkan kekuasaannya sehingga akhirnya Istana Pajang pun jatuh ke tangannya.
Sutawijaya segera memindahkan pusaka Kerajaan Pajang ke Mataram. Sutawijaya
sebagai raja pertama dengan gelar: Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin
Panatagama. Pusat kerajaan ada di Kota Gede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta
sekarang. Panembahan Senapati digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Jolang
(1601-1613). Mas Jolang kemudian digantikan oleh puteranya bernama Mas Rangsang
atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung (1613-1645). Pada masa pemerintahan
Sultan Agung inilah Mataram mencapai zaman keemasan. Dalam bidang politik
pemerintahan, Sultan Agung berhasil memperluas wilayah Mataram ke berbagai
daerah yaitu, Surabaya (1615), Lasem, Pasuruhan (1617), dan Tuban (1620). Di
samping berusaha menguasai dan mempersatukan berbagai daerah di Jawa, Sultan
Agung juga ingin mengusir VOC dari Kepulauan Indonesia. Kemudian diadakan dua
kali serangan tentara Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Mataram
mengembangkan birokrasi dan struktur pemerintahan yang teratur. Seluruh wilayah
kekuasaan Mataram diatur dan dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut.
Ø
Kutagara. Kutagara atau kutanegara, yaitu daerah
keraton dan sekitarnya.
Ø
Negara agung. Negara agung atau negari agung,
yaitu daerah-daerah yang ada di sekitar kutagara. Misalnya, daerah Kedu,
Magelang, Pajang, dan Sukawati.
Ø
Mancanegara. Mancanegara yaitu daerah di luar
negara agung. Daerah ini meliputi mancanegara wetan (timur), misalnya daerah
Ponorogo dan sekitarnya, serta mancanegara won (barat), misalnya daerah
Banyumas dan sekitarnya.
Ø
Pesisiran. Pesisiran yaitu daerah yang ada di
pesisir. Daerah ini juga terdapat daerah pesisir kulon (barat), yakni Demak
terus ke barat, dan pesisir wetan (timur), yakni Jepara terus ke timur.
Mataram berkembang menjadi
kerajaan agraris. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah-daerah
persawahan yang luas. Seperti yang dilaporkan oleh Dr. de Han, Jan Vos dan
Pieter Franssen bahwa Jawa bagian tengah adalah daerah pertanian yang subur
dengan hasil utamanya adalah beras. Pada abad ke-17, Jawa benar-benar menjadi
lumbung padi. Hasil-hasil yang lain adalah kayu, gula, kelapa, kapas, dan hasil
palawija.
Di Mataram dikenal beberapa
kelompok dalam masyarakat. Ada golongan raja dan keturunannya, para bangsawan
dan rakyat sebagai kawula kerajaan. Kehidupan masyarakat bersifat feodal karena
raja adalah pemilik tanah beserta seluruh isinya. Sultan dikenal sebagai
panatagama, yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, Sultan
memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Rakyat sangat hormat dan patuh, serta
hidup mengabdi pada sultan.
Bidang kebudayaan juga maju
pesat. Seni bangunan, ukir, lukis, dan patung mengalami perkembangan.
Kreasikreasi para seniman, misalnya terlihat pada pembuatan gapura-gapura,
serta ukir-ukiran di istana dan tempat ibadah. Seni tari yang terkenal adalah
Tari Bedoyo Ketawang. Dalam prakteknya, Sultan Agung memadukan unsur-unsur
budaya Islam dengan budaya Hindu-Jawa. Sebagai contoh, di Mataram
diselenggarakan perayaan sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad saw, dengan membunyikan gamelan Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu.
Kemudian juga diadakan upacara grebeg. Grebeg diadakan tiga kali dalam satu
tahun, yaitu setiap tanggal 10 Dzulliijah (Idul Adha), 1 Syawal (Idul Fitri),
dan tanggal 12 Rabiulawal (Maulid Nabi). Bentuk dan kegiatan upacara grebeg
adalah mengarak gunungan dari keraton ke depan masjid agung. Gunungan biasanya
dibuat dari berbagai makanan, kue, dan hasil bumi yang dibentuk menyerupai
gunung. Upacara grebeg merupakan sedekah sebagai rasa syukur dari raja kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan juga sebagai pembuktian kesetiaan para bupati dan
punggawa kerajaan kepada rajanya. Sultan Agung wafat pada 1645. Ia dimakamkan
di Bukit Imogiri. Ia digantikan oleh puteranya yang bergelar Amangkurat I. Akan
tetapi, pribadi raja ini sangat berbeda dengan pribadi Sultan Agung. Amangkurat
I adalah seorang raja yang lemah, berpandangan sempit, dan sering bertindak
kejam. Mataram mengalami kemunduran apalagi adanya pengaruh VOC yang semakin
kuat. Dalam perkembangannya Kerajaan Mataram akhirnya dibagi dua berdasarkan
Perjanjian Giyanti (1755). Sebelah barat menjadi Kesultanan Yogyakarta dan
sebelah timur menjadi Kasunanan Surakarta.
3. Kesultanan Banten
Kerajaan Banten berawal sekitar
tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir
barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian
menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan. Maulana
Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut.
Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin atau lebih sohor dengan sebutan
Fatahillah, mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang
kemudian hari menjadi pusat pemerintahan, yakni Kesultanan Banten.
Pada awalnya kawasan Banten
dikenal dengan nama Banten Girang yang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda.
Kedatangan pasukan Kerajaan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan
tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam.
Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugis dalam bidang ekonomi dan
politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas
kekalahan mereka mengusir Portugis dari Malaka tahun 1513. Atas perintah Sultan
Trenggono, Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Sunda
Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari
Kerajaan Sunda. Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Fatahillah
juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia
berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah
melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan
Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak
terutama setelah meninggalnya Sultan Trenggono, maka Banten melepaskan diri dan
menjadi kerajaan yang mandiri. Pada 1570 Fatahillah wafat. Ia meninggalkan dua
orang putra laki-laki, yakni Pangeran Yusuf dan Pangeran Arya (Pangeran Jepara).
Dinamakan Pangeran Jepara, karena sejak kecil ia sudah diikutkan kepada bibinya
(Ratu Kalinyamat) di Jepara. Ia kemudian berkuasa di Jepara menggantikan Ratu
Kalinyamat, sedangkan Pangeran Yusuf menggantikan Fatahillah di Banten.
Pangeran Yusuf melanjutkan usaha-usaha perluasan daerah yang sudah dilakukan
ayahandanya. Tahun 1579, daerah-daerah yang masih setia pada Pajajaran
ditaklukkan. Untuk kepentingan ini Pangeran Yusuf memerintahkan membangun
kubu-kubu pertahanan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf meninggal dan digantikan oleh
puteranya, yang bernama Maulana Muhammad. Pada 1596, Maulana Muhammad
melancarkan serangan ke Palembang. Pada waktu itu Palembang diperintah oleh Ki
Gede ing Suro (1572 - 1627). Ki Gede ing Suro adalah seorang penyiar agama Islam
dari Surabaya dan perintis perkembangan pemerintahan kerajaan Islam di
Palembang. Kala itu Kerajaan Palembang lebih setia kepada Mataram dan sekaligus
merupakan saingan Kerajaan Banten. Itulah sebabnya, Maulana Muhammad
melancarkan serangan ke Palembang. Kerajaan Palembang dapat dikepung dan hampir
saja dapat ditaklukkan. Akan tetapi, Sultan Maulana Muhammad tiba-tiba terkena
tembakan musuh dan meninggal. Oleh karena itu, ia dikenal dengan sebutan Prabu
Seda ing Palembang. Serangan tentara Banten terpaksa dihentikan, bahkan
akhirnya ditarik mundur kembali ke Banten.
Gugurnya Maulana Muhammad
menimbulkan berbagai perselisihan di istana. Putra Maulana Muhammad yang
bernama Abumufakir Mahmud Abdul Kadir, masih kanak-kanak. Pemerintahan dipegang
oleh sang Mangkubumi. Akan tetapi, Mangkubumi berhasil disingkirkan oleh
Pangeran Manggala. Pangeran Manggala berhasil mengendalikan kekuasaan di
Banten. Baru setelah Abumufakir dewasa dan Pangeran Manggala meninggal tahun
1624, maka Banten secara penuh diperintah oleh Sultan Abumufakir Mahmud Abdul
Kadir.
Pada tahun 1596 orang-orang
Belanda datang di pelabuhan Banten untuk yang pertama kali. Terjadilah
perkenalan dan pembicaraan dagang yang pertama antara orang-orang Belanda
dengan para pedagang Banten. Tetapi dalam perkembangannya, orang-orang Belanda
bersikap angkuh dan sombong, bahkan mulai menimbulkan kekacauan di Banten. Oleh
karena itu, orang-orang Banten menolak dan mengusir orang-orang Belanda.
Akhirnya, orang-orang Belanda kembali ke negerinya. Dua tahun kemudian,
orang-orang Belanda datang lagi. Mereka menunjukkan sikap yang baik, sehingga
dapat berdagang di Banten dan di Jayakarta. Menginjak abad ke-17 Banten
mencapai zaman keemasan. Daerahnya cukup luas. Setelah Sultan Abumufakir
meninggal, ia digantikan oleh puteranya bernama Abumaali Achmad. Setelah
Abumaali Achmad, tampillah sultan yang terkenal, yakni Sultan Abdulfattah atau
yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah pada tahun
1651 - 1682.
Pada masa pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa, Banten terus mengalami kemajuan. Letak Banten yang strategis
mempercepat perkembangan dan kemajuan ekonomi Banten. Kehidupan sosial budaya
juga mengalami kemajuan. Masyarakat umum hidup dengan rambu-rambu budaya Islam.
Secara politik pemerintahan Banten juga semakin kuat. Perluasan wilayah
kekuasaan terus dilakukan bahkan sampai ke daerah yang pernah dikuasai Kerajaan
Pajajaran. Namun ada sebagian masyarakat yang menyingkir di pedalaman Banten
Selatan karena tidak mau memeluk agama Islam. Mereka tetap mempertahankan agama
dan adat istiadat nenek moyang. Mereka dikenal dengan masyarakat Badui. Mereka
hidup mengisolir diri di tanah yang disebut tanah Kenekes. Mereka menyebut
dirinya orang-orang Kejeroan. Dalam bidang kebudayaan, seni bangunan mengalami
perkembangan. Beberapa jenis bangunan yang masih tersisa, antara lain, Masjid
Agung Banten, bangunan keraton dan gapura-gapura.
Pada masa akhir pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik di dalam istana. Sultan Ageng Tirtayasa
yang berusaha menentang VOC, kurang disetujui oleh Sultan Haji sebagai raja
muda. Keretakan di dalam istana ini dimanfaatkan VOC dengan politik devide et
impera. VOC membantu Sultan Haji untuk mengakhiri kekuasaan Sultan Ageng
Tirtayasa. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa membuat semakin kuatnya
kekuasaan VOC di Banten. Raja-raja yang berkuasa berikutnya, bukanlah raja-raja
yang kuat. Hal ini membawa kemunduran Kerajaan Banten.
c. Kerajaan-Kerajaan Islam di Kalimantan
Disamping Sumatra dan Jawa,
ternyata di Kalimantan juga terdapat beberapa kerajaan-kerajaan yang bercorak
Islam. Apakah kamu sudah mengetahui nama kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh di
Kalimantan? Di antara kerajaan Islam itu adalahKesultanan Pasir (1516),
Kesultanan Banjar (1526-1905), Kesultanan Kotawaringin, Kerajaan Pagatan
(1750), Kesultanan Sambas (1671), Kesultanan Kutai Kartanegara, Kesultanan
Berau (1400), Kesultanan Sambaliung (1810), Kesultanan Gunung Tabur (1820),
Kesultanan Pontianak (1771), Kesultanan Tidung, dan Kesultanan Bulungan.
1. Kerajaan Pontianak
Kerajaan-kerajaan yang terletak
di daerah Kalimantan Barat antara lain Tanjungpura dan Lawe. Kedua kerajaan
tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551). Tanjungpura dan Lawe
menurut berita musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dalam perdagangan baik
dengan Malaka dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah oleh Pate atau mungkin
adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Pati Unus.
Tanjungpura dan Lawe (daerah Sukadana) menghasilkan komoditi seperti emas,
berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang dagangan dari Malaka
yang dimasukkan ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian dari Bengal dan
Keling yang berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal dan yang murah.
Pada abad ke-17 kedua kerajaan itu telah berada di bawah pengaruh kekuasaan
Kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik dalam menghadapi
ekspansi politik VOC.
Demikian pula Kotawaringin yang
kini sudah termasuk wilayah Kalimantan Barat pada masa Kerajaan Banjar juga
sudah masuk dalam pengaruh Mataram, sekurang-kurangnya sejak abad ke-16.
Meskipun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon
ada pemberitaan bahwa sekitar abad ke-18 atau 1720 ada rombongan pendakwah dari
Tarim (Hadramaut) yang di antaranya dating ke daerah Kalimantan Barat untuk
mengajarkan membaca al- Qur’an, ilmu fikih, dan ilmu hadis. Mereka di antaranya
Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi kemudian menelusuri
sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampailah ke suatu tempat yang
menjadi cikal bakal kota Pontianak. Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pimpinan
utama masyarakat di tempat itu dengan gelar Syarif Idrus ibn Abdurrahman
al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan pembuatan benteng atau kubu
dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus ibn Abdurrahman
al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu. Daerah itu mengalami kemajuan di bidang
perdagangan dan keagamaan, sehingga banyak para pedagang yang berdatangan dari
berbagai negeri.
Pemerintahan Syarif Idrus
(lengkapnya: Syarif Idrus al-Aydrus ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Hassan ibn Alwi
ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Husin ibn Abdullah al-Aydrus) memerintah pada
1199-1209 H atau 1779-1789 M. Cerita lainnya mengatakan bahwa pendakwah dari
Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan Islam dan datang ke Kalimantan bagian barat
terutama ke Sukadana ialah Habib Husin al-Gadri. Ia semula singgah di Aceh dan
kemudian ke Jawa sampai di Semarang dan di tempat itulah ia bertemu dengan
pedagang Arab namanya Syaikh, karena itulah maka Habib al-Gadri berlayar ke
Sukadana. Dengan kesaktian Habib Husin al-Gadri menyebabkan ia mendapat banyak
simpati dari raja, Sultan Matan dan rakyatnya. Kemudian Habib Husin al- Gadri
pindah dari Matan ke Mempawah untuk meneruskan syiar Islam. Setelah wafat ia
diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul
Alam. Ia pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat yang kemudian dinamakan
Pontianak dan di tempat inilah ia mendirikan keraton dan masjid agung.
Pemerintahan Syarif Abdurrahman Nur Alam ibn Habib Husin al-Gadri pada 1773-
1808, digantikan oleh Syarif Kasim ibn Abdurrahman al-Gadri pada 1808-1828 dan
selanjutnya Kesultanan Pontianak di bawah pemerintahan sultan-sultan keluarga
Habib Husin al-Gadri
d. Kerajaan-Kerajaan Islam di Sulawesi
Kerajaan-Kerajaan Islam di Sulawesi - Di
daerah Sulawesi juga tumbuh kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Munculnya
kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang
berlangsung ketika itu. Berikut ini adalah beberapa kerajaan Islam di Sulawesi
di antaranya Gowa Tallo, Bone, Wajo dan Sopeng, dan Kesultanan Buton. Dari
sekian banyak kerajaan-kerajaan itu yang terkenal antara lain Kerajaan Gowa
Tallo.
1.
Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan Gowa Tallo sebelum menjadi
kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan,
seperti dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu yang bersekutu
dengan Wajo ditaklukan oleh Kerajaan Gowa Tallo. Kemudian Kerajaan Wajo menjadi
daerah taklukan Gowa menurut Hikayat Wajo. Dalam serangan terhadap Kerajaan
Gowa Tallo Karaeng Gowa meninggal dan seorang lagi terbunuh sekitar pada 1565.
Ketiga kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng mengadakan persatuan untuk
mempertahankan kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellumpocco, sekitar
1582. Sejak Kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak Islam pada 1605, maka
Gowa meluaskan pengaruh politiknya, agar kerajaan-kerajaan lainnya juga memeluk
Islam dan tunduk kepada Kerajaan Gowa Tallo. Kerajaan-kerajaan yang tunduk
kepada kerajaan Gowa Tallo antara lain Wajo pada 10 Mei 1610, dan Bone pada 23
Nopember 1611. Di daerah Sulawesi Selatan proses Islamisasi makin mantap dengan
adanya para mubalig yang disebut Datto Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri
Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana
atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu),
ketiganya bersaudara dan berasal dari Kolo Tengah, Minangkabau. Para mubalig
itulah yang mengislamkan Raja Luwu yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung
dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari 1605 M).
Kemudian disusul oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo
yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat
pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar
Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’rangi Daeng Manrabbia
mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M.
Perkembangan agama Islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat
sebaikbaiknya bahkan ajaran sufisme Khalwatiyah dari Syaikh Yusuf al-Makassari
juga tersebar di Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad
ke-17. Karena banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa maka ia meninggalkan
Sulawesi Selatan dan pergi ke Banten. Di Banten ia terima oleh Sultan Ageng
Tirtayasa bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti di Kesultanan
Banten.
patung sultan hasanudin
Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu
dicatat tentang sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin dalam mempertahankan
kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik dan ekonomi kompeni (VOC) Belanda.
Semula VOC tidak menaruh perhatian terhadap Kerajaan Gowa Tallo yang telah
mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan. Setelah kapal Portugis yang
dirampas oleh VOC pada masa Gubernur Jendral J. P. Coen di dekat perairan
Malaka ternyata di kapal tersebut ada orang Makassar. Dari orang Makassar
itulah ia mendapat berita tentang pentingnya pelabuhan Sombaopu sebagai
pelabuhan transit terutama untuk mendatangkan rempah-rempah dari Maluku. Pada
1634 VOC memblokir Kerajaan Gowa tetapi tidak berhasil. Peristiwa peperangan
dari waktu ke waktu berjalan terus dan baru berhenti antara 1637-1638. Tetapi
perjanjian damai itu tidak kekal karena pada 1638 terjadi perampokan kapal
orang Bugis yang bermuatan kayu cendana, dan muatannya tersebut telah dijual
kepada orang Portugis. Perang di Sulawesi Selatan ini berhenti setelah terjadi
perjanjian Bongaya pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa Tallo.
e.
Kerajaan-Kerajaan
Islam di Maluku
Kepulauan Maluku menduduki posisi penting dalam perdagangan
dunia di kawasan timur Nusantara. Mengingat keberadaan daerah Maluku ini maka
tidak mengherankan jika sejak abad ke-15 hingga abad ke-19 kawasan ini menjadi
wilayah perebutan antara bangsa Spanyol, Portugis dan Belanda. Sejak awal
diketahui bahwa di daerah ini terdapat dua kerajaan besar bercorak Islam, yakni
Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat pulau
Halmahera di Maluku Utara. Kedua kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau
Ternate dan Tidore, tetapi wilayah kekuasaannya mencakup sejumlah pulau di
Kepulauan Maluku dan Papua.
Kerajaan Ternate dikenal sebagai pemimpin Uli Lima, yaitu persekutuan lima
bersaudara dengan wilayahnya meliputi Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon.
Sementara Kerajaan Tidore dikenal sebagai pemimpin Uli Siwa, yakni Persekutuan
Sembilan (persekutuan Sembilan Saudara) dengan wilayahnya meliputi pulau pulau
Makyan, Jailolo, atau Halmahera, dan pulau-pulau di daerah tersebut sampai
dengan wilayah Papua.
Dalam bidang kebudayaan, di Maluku berkembang seni pahat,
seni bangunan, dan seni patung. Seni bangunan berupa istana raja, bangunan
masjid, dan lain-lain, tetap dikembangkan. Agama Islam dan bahasa Melayu juga
semakin berkembang di Maluku.
f.
Kerajaan-Kerajaan
Islam di Papua
Sumber-sumber sejarah menunjukkan
bahwa penyebaran Islam di Papua sudah berlangsung sejak lama. Bahkan,
berdasarkan bukti sejarah terdapat sejumlah kerajaan-kerajaan Islam di Papua,
yakni: (1) Kerajaan Waigeo (2) Kerajaan Misool (3) Kerajaan Salawati (4)
Kerajaan Sailolof (5) Kerajaan Fatagar (6) Kerajaan Rumbati (terdiri dari
Kerajaan Atiati, Sekar, Patipi, Arguni, dan Wertuar) (7) Kerajaan Kowiai
(Namatota) (8). Kerajaan Aiduma (9) Kerajaan Kaimana.
Berdasarkan sumber tradisi lisan
dari keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana dan Teluk
Bintuni-Manokwari, Islam sudah lebih awal datang ke daerah ini. Ada beberapa
pendapat mengenai kedatangan Islam di Papua.
Pertama, Islam dating di Papua
tahun 1360 yang disebarkan oleh mubaligh asal Aceh, Abdul Ghafar. Pendapat ini
juga berasal dari sumber lisan yang disampaikan oleh putra bungsu Raja Rumbati
ke-16 (Muhamad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati ke-17 (H. Ismail Samali Bauw).
Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374) di Rumbati dan sekitarnya.
Ia kemudian wafat dan dimakamkan di belakang masjid kampung Rumbati tahun 1374.
Kedua, pendapat yang menjelaskan
bahwa agama Islam pertama kali mulai diperkenalkan di tanah Papua di jazirah
Onin (Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al-Qathan dengan
gelar Syekh Jubah Biru dari negeri Arab. Pengislaman ini diperkirakan terjadi
pada abad pertengahan abad ke-16, dengan bukti adanya Masjid Tunasgain yang
berumur sekitar 400 tahun atau di bangun sekitar tahun 1587.
Ketiga, pendapat yang mengatakan
bahwa Islamisasi di Papua, khususnya di Fakfak dikembangkan oleh pedagang-pedagang
Bugis melalui Banda dan Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama
Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon. Proses pengislamannya
dilakukan dengan cara khitanan. Di bawah ancaman penduduk setempat jika orang
yang disunat mati, kedua mubaligh akan dibunuh, namun akhirnya mereka berhasil
dalam khitanan tersebut kemudian penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama
Islam.
Keempat, pendapat yang mengatakan
Islam di Papua berasal dari Bacan. Pada masa pemerintahan Sultan Mohammad al-Bakir,
Kesultanan Bacan mencanangkan syiar Islam ke seluruh penjuru negeri, seperti
Sulawesi, Fiilipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa dan Papua. Menurut Thomas
Arnold, Raja Bacan yang pertama kali masuk Islam adalah Zainal Abidin yang
memerintah tahun 1521.
Pada masa ini Bacan telah
menguasai suku-suku di Papua serta pulaupulau di sebelah barat lautnya, seperti
Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati. Sultan Bacan kemudian meluaskan
kekuasaannya hingga ke semenanjung Onin Fakfak, di barat laut Papua tahun 1606.
Melalui pengaruhnya dan para pedagang muslim, para pemuka masyarakat di
pulau-pulau kecil itu lalu memeluk agama Islam. Meskipun pesisir menganut agama
Islam, sebagian besar penduduk asli di pedalaman masih tetap menganut animisme.
Kelima, pendapat yang mengatakan
bahwa Islam di Papua berasal dari Maluku Utara (Ternate-Tidore). Sumber sejarah
Kesultanan Tidore menyebutkan bahwa pada tahun 1443 Sultan Ibnu Mansur (Sultan
Tidore X atau Sultan Papua I ) memimpin ekspedisi ke daratan tanah besar
(Papua). Setelah tiba di wilayah Pulau Misool dan Raja Ampat, kemudian Sultan
Ibnu Mansur mengangkat Kaicil Patrawarputera Sultan Bacan dengan gelar Komalo
Gurabesi (Kapita Gurabesi ). Kapita Gurabesi kemudian dikawinkan dengan putri
Sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan di
Kepulauan Raja Ampat tersebut, yakni Kerajaan Salawati, Kerajaan Misool atau
Kerajaan Sailolof, Kerajaan Batanta, dan Kerajaan Waigeo.
Berdasarkan penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa proses Islamisasi tanah Papua, terutama di daerah
pesisir barat pada pertengahan abad ke-15, dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan
Islam di Maluku (Bacan, Ternate dan Tidore). Hal ini didukung karena faktor
letaknya yang strategis, yang merupakan jalur perdagangan rempah-rempah (silk
road) di dunia
g.
Kerajaan-kerajaan
Islam di Nusa Tenggara
Kehadiran Islam ke daerah Nusa
Tenggara antara lain ke Lombok diperkirakan terjadi sejak abad ke-16 yang
diperkenalkan Sunan Perapen, putra Sunan Giri. Islam masuk ke Sumbawa
kemungkinan datang lewat Sulawesi, melalui dakwah para mubalig dari Makassar
antara 1540-1550. Kemudian berkembang pula kerajaan Islam salah satunya adalah
Kerajaan Selaparang di Lombok.
1. Kerajaan Lombok dan Sumbawa
Selaparang merupakan pusat
kerajaan Islam di Lombok di bawah pemerintahan Prabu Rangkesari. Pada masa
itulah Selaparang mengalami zaman keemasan dan memegang hegemoni di seluruh
Lombok. Dari Lombok, Islam disebarkan ke Pejanggik, Parwa, Sokong, Bayan, dan
tempat-tempat lainnya. Konon Sunan Perapen meneruskan dakwahnya dari Lombok
menuju Sumbawa. Hubungan dengan beberapa negeri dikembangkan terutama dengan
Demak.
Kerajaan-kerajaan di Sumbawa
Barat dapat dimasukkan kepada kekuasaan Kerajaan Gowa pada 1618. Bima
ditaklukkan pada 1633 dan kemudian Selaparang pada 1640. Pada abad ke-17
seluruh Kerajaan Islam Lombok berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa.
Hubungan antara Kerajaan Gowa dan Lombok dipererat dengan cara perkawinan
seperti Pemban Selaparang, Pemban Pejanggik, dan Pemban Parwa.
Kerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara mengalami tekanan dari VOC setelah
terjadinya perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Oleh karena itu pusat
Kerajaan Lombok dipindahkan ke Sumbawa pada 1673 dengan tujuan untuk dapat
mempertahankan kedaulatan kerajaan-kerajaan Islam di pulau tersebut dengan
dukungan pengaruh kekuasaan Gowa. Sumbawa dipandang lebih strategis daripada
pusat pemerintahan di Selaparang mengingat ancaman dan serangan dari VOC
terus-menerus terjadi.
2. Kerajaan Bima
Bima merupakan pusat pemerintahan
atau kerajaan Islam yang menonjol di Nusa Tenggara dengan nama rajanya yang
pertama masuk Islam ialah Ruma Ta Ma Bata Wada yang bergelar Sultan Bima I atau
Sultan Abdul Kahir. Sejak itu pula terjalin hubungan erat antara Kerajaan Bima
dengan Kerajaan Gowa, lebih-lebih sejak perjuangan Sultan Hasanuddin kandas
akibat perjanjian Bongaya. Setelah Kerajaan Bima terus menerus melakukan
perlawanan terhadap masuknya politik dan monopoli perdagangan VOC akhirnya juga
tunduk di bawah kekuasaannya. Ketika VOC mau memperbaharui perjanjiannya dengan
Bima pada 1668 ditolak oleh Raja Bima, Tureli Nggampo; ketika Tambora merampas
kapal VOC pada 1675 maka Raja Tambora, Kalongkong dan para pembesarnya
diharuskan menyerahkan keris-keris pusakanya kepada Holsteijn. Pada 1691,
ketika permaisuri Kerajaan Dompu terbunuh, Raja Kerajaan Bima ditangkap dan
diasingkan ke Makassar sampai meninggal dunia di dalam penjara. Di antara
kerajaan-kerajaan di Lombok, Sumbawa, Bima, dan kerajaan-kerajaan lainnya
sepanjang abad ke-18 masih menunjukkan pemberontakan dan peperangan, karena
pihak VOC senantiasa memaksakan kehendaknya dan mencampuri pemerintahan
kerajaan-kerajaan, bahkan menangkapi dan mengasingkan raja-raja yang melawan.
Sebenarnya jika kita membicarakan
sejarah Kerajaan Bima abad ke-19 dapat diperkaya oleh gambaran rinci dalam
Syair Kerajaan Bima yang menurut telaah filologi Cambert Loir diperkirakan
sangat mungkin syair tersebut dikarang sebelum 1833 M, sebelum Raja Bicara
Abdul Nabi meletakkan jabatannya dan diganti oleh putranya. Pendek kata syair
itu dikarang oleh Khatib Lukman barangkali pada 1830 M. Syair itu ditulis dalam
huruf Jawi dengan bahasa Melayu. Dalam syair itu diceritakan empat peristiwa
yang terjadi di Bima pada pertengahan abad ke-19, yaitu, letusan Gunung
Tambora, wafat dan pemakaman Sultan Abdul Hamid pada Mei 1819, serangan bajak
laut, penobatan Sultan Ismail pada 26 November 1819, Sultan Abdul Hamid dan
Wazir Abdul Nabi, pelayaran Sultan Abdul Hamid ke Makassar pada 1792, kontrak
Bima pada 26 Mei 1792, pelantikan Raja Bicara Abdul Nabi, serta kedatangan
Sultan Ismail, Reinwardt, dan H. Zollinger yang mengunjungi Sumbawa dan menemui
Sultan.
selanjutnya ke materi 4c...
Labels:
islam,
kerajaan islam,
sejarah
Thanks for reading Materi 4b : KERAJAAN - KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA. Please share...!