Posted by
One_Esc on
Friday, October 11, 2019
Islamisasi dan Silang Budaya di Nusantara
A. KEDATANGAN ISLAM KE NUSANTARA
Secara umum terdapat 4 teori besar tentang asal-usul
penyebaran Islam di Indonesia, yaitu teori Gujarat, teori Mekkah, teori Persia
dan teori China.
1. Teori Gujarat (menurut Snouck Hurgronje)
Teori berpendapat bahwa mengatakan
bahwa Islam yang masuk ke Kepulauan Indonesia berasal dari Gujarat sekitar abad
ke-13 M atau abad ke-7 H. Pendapat ini mengasumsikan bahwa Gujarat terletak di
India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab. Letaknya sangat strategis,
berada di jalur perdagangan antara timur dan barat. Pedagang Arab yang
bermahzab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal tahun
Hijriyah (abad ke-7 M).
Argumentasinya didasarkan pada
batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada 17 Dzulhijjah 831 H atau 1297
M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulana Malik
Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama
dengan batu nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta kemudian
berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya
dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi
khas Gujarat.
2. Teori Persia (menurut Hoesein
Djajadiningrat)
Teori ini berpendapat bahwa Islam
masuk ke Indonesia abad 13 M di Sumatra dan pembawanya berasal dari Persia
(Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat
Islam Indonesia seperti:
tradisi merayakan 10 Muharram
atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, seperti
yang berkembang dalam tradisi tabot di Pariaman di Sumatra Barat dan Bengkulu.
3.
Teori
Arab (Mekkah) (menurut Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah))
Buya Hamka mengatakan bahwa Islam
berasal dari tanah kelahirannya, yaitu Arab atau Mesir. Proses ini berlangsung
pada abad-abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Senada dengan pendapat Hamka,
teori yang mengatakan bahwa Islam berasal dari Mekkah dikemukakan Anthony H.
Johns. Menurutnya, proses Islamisasi dilakukan oleh para musafir (kaum
pengembara) yang datang ke Kepulauan Indonesia. Kaum ini biasanya mengembara
dari satu tempat ke tempat lainnya dengan motivasi hanya pengembangan agama
Islam.
Dasar teori ini adalah:
·
Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera
sudah terdapat perkampungan Islam (Arab), dengan pertimbangan bahwa pedagang
Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga
sesuai dengan berita Cina.
·
Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab
Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir
dan Mekkah. Sedangkan Gujarat atau India adalah penganut mazhab Hanafi.
·
Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al
malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
4. Teori China
Teori ini menyatakan bahwa Islam
datang ke Nusantara bukan dari Timur Tengah/Arab maupun Gujarat/India, tetapi
dari Cina. Pada abad ke-9 M banyak orang muslim Cina di Kanton dan wilayah Cina
selatan lain yang mengungsi ke Jawa, sebagian ke Kedah dan Sumatra. Hal ini
terjadi karena pada masa Huan Chou terjadi penumpasan terhadap penduduk Kanton
dan wilayah Cina selatan lainnya yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Mereka berusaha mengadakan revolusi politik terhadap keraton Cina pada abad
ke-9 M.
Pada abad-abad berikutnya peranan orang Cina semakin tampak
dengan adanya bukti-bukti artefak, yakni adanya unsur-unsur Cina dalam
arsitektur masjid-masjid Jawa Kuno, seperti tampak pada atap masjid Banten,
mustaka, yang berbentuk bola dunia yang menyerupai stupa dengan dikelilingi empat
ular hampir selalu ada di masjid-masjid kuno di Jawa sebelum arsitektur Timur
Tengah memasuki wilayah ini, motif hiasan di Masjid Sendang Duwur Paciran
Lamongan dan Iain-lain.
Di samping adanya pengungsi Cina
ke jawa pada abad ke-9 M pada abad ke-8 11 M sudah ada pemukiman Arab muslim di
Cina dan di Campa. Memang sudah terjadi hubungan perdagangan yang cukup lama
antara orang-orang Cina dengan orang-orang Jawa.
Suatu hal yang wajar jika pada
abad ke-11 M telah terdapat komunitas muslim di Jawa, seperti adanya makam
Islam dan keramik Cina di situs Leran. Temuan tersebut dapat dijadikan bukti
bahwa sejak abad ke-11 M daerah Leran dan sekitarnya merupakan pusat
perdagangan penting di Jawa Timur.
B.
Waktu
Masuknya Islam ke Indonesia
Ada beberapa dugaan mengenai kapan
Islam masuk Indonesia, seperti berikut :
1. Abad ke-7 yang diberitakan oleh Dinasti Tang
bahwa di Sriwijaya sudah ada perkampungan muslim yang mengadakan hubungan
dagang dengan Cina.
2. Abad ke-11 dibuktikan adanya Makam Fatimah binti
Maimun yang berangka tahun 1028 di Leran, Gresik, Jawa Timur.
3. Abad ke-13, tepatnya tahun 1292 Marcopolo saat
mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai dan cerita dari Ibnu Batutah yang
mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-14. Di samping itu, Nisan Malik
al Saieh yang meninggal tahun 1297 juga memperkuat bukti-bukti yang ada.
C.
Cara
Penyebaran Islam di Indonesia
1.
Perdagangan; agama Islam datang ke Indonesia
dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India. Di sela-sela waktu menunggu arah
angin pelayaran, para pedagang muslim itu berdakwah agama Islam kepada
masyarakat pesisir Indonesia.
2.
Pernikahan; wanita pribumi yang akan menikah
dengan para pedagang muslim harus memeluk Islam dahulu.
3.
Dakwah; agama Islam masuk ke Indonesia selain
dibawa oleh para pedagang muslim, ternyata ada juga yang memang sengaja
disebarkan oleh para ulama atau mubalig. Wali Sanga adalah contoh ulama yang
sengaja menjadi penyebar agama Islam terutama di Pulau Jawa.
4.
Pesantren; pesantren merupakan lembaga yang
penting dalam penyebaran agama Islam karena merupakan tempat pembinaan calon
guru-guru agama, kiai-kiai, atau ulama-ulama.
5.
Ajaran tasawuf; ajaran ketuhanan yang bercampur
dengan mistik atau unsur-unsur magis. Ajaran tasawuf masuk ke Indonesia pada
abad ke-13. Ajaran tasawuf ini banyak yang dibawa oleh para pedagang dari
Gujarat, India pada saat itu.
6.
Kesenian; banyak ulama yang menyebarkan ajaran
Islam melalui kesenian yang berkembang di masyarakat, termasuk di antaranya
Wali Songo.
7.
Politik; penyebaran Islam tidak terlepas dari
dukungan yang kuat dari para raja/sultan. Di Jawa, Kasultanan Demak, merupakan
pusat dakwah dan pelindung perkembangan Islam.
Sejarah lengkap perjuangan wali songo selengkapnya klik disini
Sejarah lengkap perjuangan wali songo selengkapnya klik disini
D.
Islam dan
Jaringan Perdagangan Antarpulau
Berdasarkan data arkeologis seperti
prasasti-prasasti maupun data historis berupa berita-berita asing, kegiatan perdagangan
di Kepulauan Indonesia sudah dimulai sejak abad pertama Masehi. Jalurjalur
pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan negeri-negeri di
Asia Tenggara, India, dan Cina terutama berdasarkan berita-berita Cina telah
dikaji, antara lain oleh W. Wolters (1967)
Demikian pula dari catatan-catatan
sejarah Indonesia dan Malaya yang dihimpun dari sumber-sumber Cina oleh W.P
Groeneveldt, telah menunjukkan adanya jaringan–jaringan perdagangan antara
kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan berbagai negeri terutama dengan
Cina. Kontak dagang ini sudah berlangsung sejak abad-abad pertama Masehi sampai
dengan abad ke-16. Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga sudah mulai berlayar
ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7. Dari literatur Arab banyak
sumber berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara.
Adanya jalur pelayaran tersebut
menyebabkan munculnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan serta perkembangan
kota-kota pusat kesultanan dengan kota-kota bandarnya pada abad ke-13 sampai
abad ke-18 misalnya, Samudera Pasai, Malaka, Banda Aceh, Jambi, Palembang, Siak
Indrapura, Minangkabau, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo,
Kutai, Banjar, dan kota-kota lainnya.
Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho
mencatat terdapat kerajaan yang bercorak Islam atau kesultanan, antara lain,
Samudera Pasai dan Malaka yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke-13 sampai
abad ke-15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan adanya komunitas- komunitas
Muslim di pesisir utara Jawa Timur. Berita Tome Pires dalam Suma Oriental
(1512-1515) memberikan gambaran mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan
perdagangan, baik regional maupun internasional. Ia menceritakan tentang lalu
lintas dan kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal,
Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu Tome
Pires juga mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden,
Abysinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat,
Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan,
Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina,
Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima,
Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra,
Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva.
Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang
dari berbagai negeri dan bangsa di Samudera Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di
pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome
Pires, kita dapat mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran dan
jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik
yang bersifat regional maupun internasional.
Hubungan pelayaran dan perdagangan
antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi hubungan langsung dan dalam
intensitas tinggi. Dengan demikian aktivitas perdagangan dan pelayaran di
Samudera Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan erat
dengan makin majunya perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah
(750-1258).
Dengan ditetapkannya Baghdad menjadi
pusat pemerintahan menggantikan Damaskus (Syam), aktivitas pelayaran dan
perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini
hanya berlayar sampai India, sejak abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia
dalam rangka perjalanan ke Cina. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan Arab
dengan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia menjadi langsung. Hubungan ini
menjadi semakin ramai manakala pedagang Arab dilarang masuk ke Cina dan koloni
mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi
pada 879 H. Orang–orang Islam melarikan diri dari pelabuhan Kanton dan meminta
perlindungan Raja Kedah dan Palembang. Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada
1511, dan usaha Portugis selanjutnya untuk menguasai lalu lintas di selat
tersebut, mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif, dengan
melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda.
Pada abad ke-15, Sulawesi Selatan telah
didatangi pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra. Dalam perjalanan
sejarahnya, masyarakat Muslim di Gowa terutama Raja Gowa Muhammad Said
(1639-1653) dan putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin
hubungan dagang dengan Portugis. Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng
Pattingaloang turut memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr.
Vieira, meskipun mereka beragama Katolik. Kerjasama ini didorong oleh adanya
usaha monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda
di Maluku.
Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa
sangat erat sekali. Ini ditandai dengan adanya seorang raja yang dianggap
benar-benar telah memeluk Islam ialah Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah
belajar di Madrasah Giri. Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa, artinya raja
cengkih, karena membawa cengkeh dari Maluku sebagai persembahan. Cengkih, pala,
dan bunga pala (fuli) hanya terdapat di Kepulauan Indonesia bagian timur,
sehingga banyak barang yang sampai ke Eropa harus melewati jalur perdagangan
yang panjang dari Maluku sampai ke Laut Tengah. Cengkih yang diperdagangkan
adalah putik bunga tumbuhan hijau (szygium aromaticum atau caryophullus
aromaticus) yang dikeringkan. Satu pohon ini ada yang menghasilkan cengkih
sampai 34 kg. Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil
Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru
berhasil ditanam di pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram.
Meskipun banyak kota bandar, namun yang
berfungsi untuk melakukan ekspor dan impor komoditi pada umumnya adalah
kota-kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir, seperti
Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara - Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo,
Banjarmasin, Malaka, Samudera Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi.
Dalam proses perdagangan telah terjalin
hubungan antar etnis yang sangat erat. Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan
tersebut kemudian berkumpul dan membentuk komunitas. Oleh karena itu, muncul nama-nama kampung berdasarkan asal
daerah. Misalnya,di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pakojan, dan
kampungkampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari
kota-kota yang dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung
Ambon, dan Kampung Bali.
Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan
Islam, system jual beli barang masih dilakukan dengan cara barter. Sistem
barter dilakukan antara pedagang-pedagang dari daerah pesisir dengan daerah
pedalaman, bahkan kadang-kadang langsung kepada petani. Transaksi itu dilakukan
di pasar, baik di kota maupun desa. Tradisi jual-beli dengan sistem barter
hingga kini masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sederhana yang berada jauh
di daerah terpencil. Di beberapa kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan
Islam telah menggunakan mata uang sebagai nilai tukar barang. Mata uang yang
dipergunakan tidak mengikat pada mata uang tertentu, kecuali ada ketentuan yang
diatur pemerintah daerah setempat.
Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang
berada di daerah tepi pantai disebabkan karena kemenangan militer dan ekonomi
dari Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yang tidak
menaruh perhatian pada perdagangan.
lanjut ke materi 4b.
Labels:
islamisasi indonesia,
sejarah
Thanks for reading Materi 4a : ISLAMISASI DAN SILANG BUDAYA DI NUSANTARA. Please share...!