SEJARAH RINGKAS PERKEMBANGAN ISLAM DI SUKABUMI
Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 Masehi (Tahun 652 M=30 H). Diperkirakan masih seputaran abad itu pula Islam masuk ke banyak daerah di Indonesia termasuk ke Tatar Sunda melalui aktivitas para Da’i yang menyamar sebagai niagawan. Islam menjadi sebuah kekuatan politik di wilayah Tatar Sunda pada abad 14/15 Masehi. Dua kerajaan utama sebagai pusat kekuasaan Islam adalah Cirebon dan Banten. Melalui kedua tempat inilah agama Islam menyebar ke wilayah pedalaman di Jawa Barat.
Prof. Hageman (1866 M) menyebutkan bahwa penganut islam yang pertama di Tatar Sunda adalah Haji Baharuddin putra Sri Maharaja Sang Bunisora Suradipati, Raja Galuh Pakuan (1337 M) setelah ibadah haji bersama istrinya yang bernama Farhanah binti Muhammad ia kembali ke tanah leluhurnya kerajaan Galuh untuk da’wah.
Pada masa itu terjadi proses Islamisasi secara damai oleh para ulama dan juru da’wah di antaranya adalah Syekh Quro sebagaimana disebutkan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari di sebutkan bahwa Dukuh Pasambangan di datangi guru-guru agama Islam dari Campa, Gujarat, Persia, Madinah dan Damaskus. Syekh Hasanuddin (Syekh Quro) putra Syekh Yusuf Sidiq dari Campa mendirikan Pondok Pesantren Quro di Karawang (1551 M).
Pada waktu Juru Labuan Ki Gedeng Tapa (Ki Jumajan Jati) menyuruh putrinya yang bernama Nyai Subang Larang untuk berguru agama Islam di pondok Quro. Dalam perkembangan selanjutnya Nyai Subang Larang di nikahi oleh Raja Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi (wafat 1521 M). Perkawinan tersebut dilaksanakan secara agama Islam, dan dinikahkan oleh Syekh Quro. Dari hasil pernikahannya melahirkan tiga orang putra yaitu Syekh Abdullah Iman, Nyai Syarifah Mada’im dan Syekh Haji Mansur (Kean Santang). Prabu Siliwangi telah memeluk agama Islam ketika menikah dengan Nyai Subang Larang. Dengan kata lain telah terjadi Islamisasi pada kalangam istana kerajaan Pakuan Pajajaran melalui pernikahan.
Syekh Haji Mansur atau Kean Santang atau Raja Sangara, sekembalinya dari ibadah haji, ia mendapat amanat dari kakaknya (Syekh Abdullah Iman) untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda bagian selatan, ketika sampai di Sukabumi Selatan ia bertemu jodoh dan menikah dengan Nyi Lenggang Kencana. Lama tinggal disini sambil menyiarkan agama Islam pada penduduk sekitarnya.
Waktu terus berjalan, dalam masa-masa menjelang akhir hidupnya Syekh Haji Mansur (Kean Santang) menegakan syiar Islam di daerah Garut dan wafat pada tahun 1580 M di makamkan di kampung Gadog desa Suci (5 km dari kota Garut).
Penyebaran agama Islam semakin berkembang setelah kerajaan Pajajaran bubar (1526 M). Kemudian berdiri negri Cianjur atas inisiatif Raden Haji Abdul Syukur, Syekh Haji Mulia, Syekh Haji Soleh, Syekh Aulia Mantili dan Syekh Dalem Haki Sepuh (Prabu Jampang Manggung) mengadakan musyawarah di kampung Pasamoan daerah Gunung Rompang Pelabuhan Ratu dengan palsafah Sapulidi maka di perlukan seorang pemimpin sebagai pemegang tangkainya yang disebut Raja Gagang. Pada waktu itu hari Kamis 12 Rabiul Awal 1076 H bertepatan dengan tanggal 24 September 1665 M resmilah berdiri Negri Cianjur meliputi Sukabumi dengan Kanjeng Kyai Aria Wira Tanu bin Syekh Gofarana sebagai Raja Gagang (Bupati) yang dilantik setelah Sholat Jum’at tanggal 13 Rabiul Awal 1076 H.
Sejak saat itu perkembangan da’wah Islam semakin pesat. Di tahun 1776 M, Bupati Cianjur ke enam Raden Haji Nuh Wiratanudatar VI membentuk sebuah kepatihan bernama kepatihan Tjikole (sekarang bagian Kota Sukabumi).
Tanggal 13 Januari 1815 M, kepatihan Tjikole berganti nama menjadi kepatihan Sukabumi. Nama Sukabumi di resmikan oleh Patih Sukabumi bernama Raden Haji Tumenggung Aria Suryadiningrat, atas saran dr. Andries seorang dokter ahli bedah yang mempunyai usaha perkebunan kopi dan teh di daerah Sukabumi. Asal nama “Soekaboemi” dari kata “Soeka” berarti kesenangan, kebahagiaan, kesukaan dan “Bhoemi” yang berarti bumi, tanah. Jadi “Soekaboemi” memiliki arti “tanah yang di sukai”.
Sukabumi mempunyai banyak Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang banyak melahirkan para ulama dan memberi bentuk kehidupan, kebudayaan, peradaban mayoritas penduduk daerah ini serta memahami ajaran Islam yang universal sifatnya.
Pada periode abad 15-16 M banyak para ulama penyebar agama Islam di Sukabumi antara lain :
1. Syekh Haji Mulia Soleh Aulia Mantili (wafat 1668 M).
2. Raden. H.Wiratanu (Panji Nata Kusumah) (wafat 1692 M).
3. Syekh Yusuf Tajul Khalwati al-Makassari (wafat 1699 M).
4. Syekh Somasullah (wafat 1529 M).
5. Syekh Auliya Mansur (wafat 1628 M.
6. Syekh H.Abdullah Muhyi (wafat 1730 M)
7. Syekh H.Ja’far Shodiq (wafat 1712 M)
8. Dan lain-lain.
Atas usaha para ulama sebagai pemimpin non formal bisa tegak syariat Islam di Sukabumi dalam bidang hukum perkawinan, hukum waris, hukum zakat, bidang ekonomi, jarimah (pidana/kriminal), semuanya berdasarkan syariat Islam. Bahkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda pun umat Islam tetap menggunakan hukum Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang di perselisihkan baik hukum perdata maupun hukum pidana. Bahkan keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) No.19 tanggal 24 Januari 1882 yang kemudian di umumkan dalam Staatsblad tahun 1882 No.152 tentang pembentukan Pristerraad (Pengadilan Agama) di dasarkan atas teori Van Den Berg yang menganut paham receptio in complexu, yang berarti bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama yang di peluknya. Hal ini karena kenyataan bahwa warga pribumi yang muslim sangat taat menjalankan syariat agamanya. Walaupun di tentang oleh Snouck Hurgronje dkk. Sampai sekarang masyarakat kaum muslimin tetap menggunakan hukum islam dalam perkawinan, waris, kebijakan viskal, kebijakan moneter, sampai masalah-masalah kecil misalnya,
• Hukum mengembalakan kambing di kebun orang lain (lihat kitab Hasyiyah al-Bujairimi ‘alal Manhaj II/174).
• Hukum menamam pohon bambu yang melebar atau merambat ke kebun orang lain (lihat kitab al-Muwafaqat II/243).
• Hukum menanam pohon tapi batang pohon di atasnya rindang ke lahan orang lain (lihat kitab Mawahibul Jalil IV/253).
• Hukum pencemaran lingkungan (lihat kitab Hasyiyah al-Jamal V/196).
• Hukum tanah milik yang akan di jadikan tempat kepentingan umum (lihat kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah hal.162).
Kerena dalam Syariat Islam hak milik individu dilindungi oleh hukum.
Pada awal abad ke 19 M telah terjadi religious revival (bangkitnya semangat keagamaan) yang berlaku hampir di seluruh wilayah nusantara, terlihat dalam peningkatan jumlah pembangunan masjid, madrasah, pesantren, majlis ta’lim, kelompok pengajian dan lain-lain.
Di Sukabumi di bangun sebuah masjid yang letaknya di tengah-tengah kota, di sebut masjid Kaum yang pembangunannya di sponsori oleh Patih Sukabumi Raden Haji Tumenggung Suryadiningrat, masjid tersebut wakaf dari H.Muhammad Said seluas 4000 m2 pada tahun 1838 dengan nama Masjid Jami Sukabumi, akan tetapi pada tahun 1912 berganti nama menjadi Masjid Kaum Sukabumi menyesuaikan dengan tempatnya berada di kampung Kaum kelurahan Gunung Parang kecamatan Cikole kota Sukabumi, jalan Jend.Ahmad Yani no.55. Pada tahun 1945 setelah proklamasi kemerdekaan, pengibaran bendera merah putih di lakukan di masjid ini.
Demikian pula di desa dan di kampung-kampung di dirikan masjid, langgar dan mushola bahkan para petani desa melakukan sholat cukup di bawah rindangnya pepohonan dan di atas batu besar di pinggir kali terutama ketika mereka melakukan aktifitasnya di sawah atau ladang.
Memasuki abad ke 20 M di dirikan lagi pondok-pondok pesantren antara lain :
• Pondok Pesantren Parakan Salak oleh KH.Muhammad Juwaeni.
• Pondok Pesantren Selajambe oleh KH.Muhammad Anwar.
• Pondok Pesantren Sukamantri oleh KH.Muhammas Sidiq.
• Pondok Pesantren Cicurug oleh KH.Abdullah dan Syekh Hasan Basri.
• Pondok Pesantren Sukaraja oleh KH.Zaenul Arifin.
• Pondok Pesantren Cantayan oleh KH.Ahmad Sanusi.
• Pondok Pesantren Almasthuriyah oleh KH.Muhammad Masthuro (1920).
Selain itu berdiri pula cabang NU di Sukabumi (1928) di pimpin oleh KH.Zaenul Arifin sebagai konsulat NU Jawa Barat dan KH.Muhammad Sidiq. Di dirikan pula perkumpulaan yang bernama al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII) tahun 1931 bertujuan antara lain untuk menghimpun persatuan para Ajengan agar terjalin hubungan yang harmonis antara sesama mereka, organisasi ini di dirikan oleh KH.Ahmad Sanusi, beliau sebagai tokoh pejuang, politik dan ulama yang menyuarakan Islam di BPUPKI tahun 1945 dan menjadi anggota KNIP tahun 1945-1949.
Melihat jasa-jasanya yang begitu besar maka pemerintah Indonesia telah menganugerahkan Bintang Mahaputra kepada KH.Ahmad Sanusi bertepatan dengan hari pahlawan nasional RI tahun 1992 dan sekarang sudah di angkat sebagai Pahlawan Nasional.
Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Sukabumi telah melakukan pembangunan di segala bidang, pembinaan di lakukan oleh semua pihak dengan di dukung oleh ulama dan umaro telah menyatakan kebulatan tekad dengan mendeklarasikan kembali Syariat Islam pada hari Ahad tanggal 10 Muharam 1423 H = 24 Maret 2002 M yang merupakan keinginan bersama. Tujuannya :
1. Menyegarkan semangat pengamalan ajaran Islam
2. Meningkatkan pemahaman syariat Islam
3. Mewujudkan masyarakat yang berakhlakul karimah
Dalam mewujudkan kegiatan deklarasi tersebut telah dilaksanakan RAKER I BPPSI (Badan Pengkajian dan Pengembangan Syariat Islam) pada tanggal 10 Muharam 1424 H/13 Maret 2003 merekomendasikan visi dan misi penerapan syariat Islam di Kabupaten Sukabumi oleh Bupati Sukabumi Drs.H.Maman Sulaeman.
Pendeklarasian penegakan Syariat Islam telah mendapat sambutan yang sangat antusias dari masyarakat Kabupaten Sukabumi dalam menata peradaban baru masyarakat yang religius dan dukungan pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi sehingga terjalin kesinergian antara Umat, Ulama dan Umaro.
“Historia vitae magistra (sejarah adalah guru kehidupan)”
Salam,
H.Imam Syamsudin.
(PC NU Sukabumi)