Home » Arsip untuk January 2020
iwan setiawan
January 31, 2020
Admin
Indonesia
JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (22)
Judul kejutan. A
"Sudah Fakhri katakan, itu hanya keinginan Salma saja.
Bukan permintaannya." Fakhri menghela nafasnya. Berharap dia memiliki
banyak kesabaran, ketika orangtuanya kembali mengungkit keinginan mendiang
istrinya itu.
Bukan berarti Fakhri tidak suka dengan adiknya Arfan. Fakhri
sangat mencintai dan menyayanginya. Tapi, rasa cinta dan sayang yang dia
rasakan, adalah sebagai seorang kakak pada adiknya.
"Tapi, Gus. Bukankah keinginan itu tandanya agar
dituruti?" tanya Bu Nyai hati-hati. Bu Nyai sudah melihat gelagat Fakhri
yang sudah mulai kehilangan kesabaran.
"Beda, Umi. Fakhri juga sudah katakan, setelah Salma
mengungkapkan keinginannya itu, Fakhri langsung menolaknya. Tolonglah, Umi!
Jangan membebankan hisaban Salma dengan masalah ini!"
Bu Nyai terhenyak, menyadari bahwa apa yang dikatakan
putranya itu, memang benar. Dia terus mendesak putranya, sehingga menjadikan
putranya terus berdebat dengannya.
Tapi, di satu sisi Bu Nyai ingin putranya kembali mempunyai
istri. Bagaimanapun juga, Ihsan butuh sosok seorang ibu.
"Fakhri harap, ini yang terakhir kalinya kita bahas
masalah itu. Fakhri pamit dulu, hari sudah semakin siang. Fakhri masih harus
bekerja. Sekali lagi, percayalah, Umi! Dia akan mendapatkan jodoh yang lebih
baik dari Fakhri," ucap Fakhri sambil mencium tangan ibunya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh."
Fakhri segera berbalik, dan melangkah keluar.
Bu Nyai menghela nafasnya berat. Sungguh! Beliau sangat
bimbang. Disatu sisi, dia memang tidak ingin memaksa putranya. Tapi, disisi
lain, beliau begitu tahu bagaimana tatapan pilu putri angkatnya itu, ketika
Fakhri menolak perjodohan mereka secara mentah-mentah.
Bu Nyai tidak akan tenang, jika salah satu putra dan
putrinya mendapatkan kebahagiaan secara tidak adil.
'YaAlloh, bagaimana ini? Apa yang harus hamba lakukan? Hamba
sangat mencintai dan menyayangi keduanya. Semoga secepatnya mendapatkan
penyelesaian yang baik,' Bu Nyai merapalkan do'anya.
Di balik tembok tempat Fakhri dan Bu Nyai berbincang, Arfan
menguping. Tangannya mengepal kuat, kala suara Fakhri menyeruakan penolakannya
kembali.
'Aku tahu, kamu sudah memilih Kamila untuk calonmu. Tapi,
maafkan aku! Aku akan mencuri star darimu terlebih dahulu. Maafkan aku, Gus!'
"Gus Arfan."
Arfan menoleh, kala ada suara memanggil. Menyadarkannya dari
lamunan.
"Maaf, Gus. Mbak Mila sudah berada di depan."
Arfan mengangguk, sambil tersenyum, "iya, saya akan
segera kesana. Terimakasih, Mbak Mawar," ucap Arfan pada staff santri
putri.
Arfan menghembuskan nafasnya, berharap, apa yang sedang di
rencanakannya adalah keputusan yang tepat.
Setelah tadi pagi dia menguping pembicaraan Fakhri dan Bu
Nyai. Dia bertekad, bahwa dia tidak akan membiarkan orang lain mencuri
kesempatannya.
Arfan beranjak dan melangkah ketempat dimana Mila berada.
'Toktoktok' "Assalamu'alaikum."
Mila yang memang sedang melamun, terlonjak kaget, karena ada
yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Mila mengangguk, lalu menunduk, " Wa'alaikumussalaam,
Gus Arfan. "
Arfan tersenyum, lalu duduk di belakang Mila, sambil
membelakangi Mila. Jadi, posisi mereka sekarang adalah, saling membelakangi.
"Apakah aku mengganggumu, Mbak Mila?" tanya Arfan.
Mila sebenarnya merasakan perasaan tak nyaman, ketika Arfan
mengganti panggilannya dari formal menjadi sapaan akrab. -Aku, kamu.-
"Ah, ti,tidak, Gus. Kalau boleh saya tahu, ada apa,
ya?" ucap Mila.
Arfan diam beberapa saat. Ingin sekali dirinya menatap Mila
saat ini. Dia tersenyum kikuk, "bagaimana memulainya, ya?" ucap Arfan
sambil mengusap tengkuknya.
"Mungkin, ada yang bisa saya bantu, Gus."
Arfan menghirup udara dalam, "Mbak Kamila, sebenarnya
... Dari awal kita bertemu, aku sudah tertarik padamu," ucap Arfan to the
point.
Arfan menunggu respon Mila dengan perasaan was-was. Walaupun
dia tak melihat ekspresi Mila. Tapi, dia bisa memastikan, kalau Mila sangat
terkejut. Karena nafas Mila yang tiba-tiba terhenti, serta ada suara henyakan
samar dari bibir perempuan yang berada di belakangnya ini.
Ada sedikit rasa menyesal, mungkin dia terlalu cepat
mengungkapkan maksudnya. Tapi, bukankah, lebih cepat lebih baik? Siapa cepat,
dia dapat, bukan?
Mila yang hatinya sudah entah kemana, semenjak mendengar
kabar tentang calon ibu baru Ihsan tersebut. Semakin tak karuan, kala mendengar
ucapan Arfan yang sangat ambigu juga tiba-tiba untuknya.
Apa maksudnya? Tertarik? Tertarik pada apanya?
"Ma,maksud G,gus Arfan g,gimana?" Mila sangat
gugup, kala hatinya menerka maksud ucapan Arfan.
"Maksudku, mungkin ... Ini, terlalu mendadak bagimu,
Mbak Mila. Tapi, aku tidak bisa memendam sesuatu yang bahkan aku sendiripun tak
bisa mengatasinya. Jadi ... Aku pikir, mungkin akan lebih baik, jika aku
langsung mengungkapkannya. Lebih cepat, mungkin akan lebih baik," jawab
Arfan.
Hening.
"Maaf! Jika terkesan mendadak bagimu," Arfan
melanjutkan ucapannya, ketika dia tidak mendapatkan respon dari Mila,
"tapi, dengan niat yang tulus ... Mbak Mila, maukah kamu menerima
pinanganku?" tanyanya mantap. Dia sangat berharap, jika Mila mengatakan
'Ya'.
Mila seakan mati kutu, pikirannya serasa beku seketika.
Pengakuan Arfan sungguh di luar dugaannya. Apa yang harus dia jawab? YaAlloh,
apa yang harus dia lakukan?
"Mbak Mila," Arfan memanggil Mila, karena dia tak mendapatkan
respon apapun. Ingin sekali dia berbalik, dan melihat bagaimana wajah perempuan
yang sudah dia lamar ini.
"Mbak Mil--"
"A,ah, m,maaf, G,gus A,arfan! S,s,saya, s,s,saya,
..." Mila tak bisa menjawab, dia bingung. Sangat bingung, harus menjawab apa.
Terlebih, hatinya saat ini sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Arfan menghela nafasnya, memejamkan matanya. Dia sudah
menduganya. Tapi, dia tak menduga akan se-kecewa ini.
"Tak perlu di jawab sekarang! Aku tahu, kamu pasti
sangat terkejut. Tapi, satu yang harus kamu yakini! Bahwa aku tulus dengan
niatku ini. Maka dari itu, bisakah kamu mempertimbangkan lamaranku ini?"
Arfan akan mencoba peruntungan kembali. Dia bertekad, dia akan meyakinkan Mila.
Bahwa dia adalah sosok yang patut dipercaya dan dipertimbangkan.
"T,terimakasih a,atas pengertiannya, G,gus."
"Aku mengerti, aku juga gak mau memaksamu. Tapi, terus
terang, aku sangat berharap kamu mengatakan 'iya'. Aku akan bersabar sampai
kamu bisa menjawab niatku ini," jawab Arfan kembali sambil menekan kata
'iya'.
Mila menunduk, hatinya sangat bersyukur dan merasa bersalah
pada Arfan. Dia berterimakasih, karena Arfan mau mengerti. Tapi, juga merasa
bersalah, karena dia tahu, Arfan pasti kecewa dengan tindakannya saat ini.
Mila tak mau mengambil langkah salah lagi. Dia tak mau
berpura-pura menerima, sedangkan hatinya menolaknya. Dia sudah merasakannya,
dan itu sangat mengecewakan.
"K,kalau b,begitu, b,bolehkah s,s,saya u,undur d,diri?
Mo,mohon m,maaf a,atas se,semuanya, G,gus!" saat ini, Mila hanya ingin
menyendiri. Tak mau di ganggu siapapun.
"Ya, silahkan! Aku juga minta maaf, telah membuatmu
terbebani dengan pengakuanku. Dan juga mengganggu waktumu."
"Ti,tidak ap,aoa-apa. K,kalau b,begitu, s,saya undur
diri, As,Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh."
Mila perlahan berdiri, dan melangkah menuju pintu keluar.
"Mbak Mila, tunggu!" Arfan kembali memanggil Mila,
ketika dia sudah menyentuh gagang pintu.
Mila berbalik dengan kepala yang menunduk.
"Satu lagi. Maafkan aku! Aku telah berbohong
kepadamu."
Mila mendongak, menatap Arfan, dan menunggu Arfan
melanjutkan kalimatnya.
"Sebenarnya, aku sangat mengenal Zahra, sahabatmu
itu."
Mila melotot, dan menganga. Untuk apa Arfan berbohong
padanya?
Arfan terkekeh, "sudah kuduga kamu akan merasa kaget
seperti itu. Awalnya, aku hanya ingin tahu, apakah kamu benar-benar kenal
adikku itu, atau hanya kamuflase semata. Tapi, ternyata memang benar, adikku
adalah sahabatmu. Dia juga sudah memarahiku, karena telah mengerjai sahabat
baiknya."
'JESSSSSSS' Seakan tersiram air es dari planet pluto. Tubuh
Mila membeku, begitupun dengan otaknya. Dia tak mendengar ucapan Arfan, telinganya
menolak cerocosan Arfan, pendengarannya terus mendengung, kala satu buah fakta
menusuk kesadarannya.
"A,adik? J,jadi ... Z,zahra itu, a,a,adiknya G,g,gus
A,Arfan?" Mila bertanya dengan nada semakin terbata.
Arfan tersenyum, lalu mengangguk, "benar."
"J,jadi ... Z,zahra a,adalah ... Ca,ca,calon
istrinya--"
"Calon istri?" 'deg' Arfan memotong ucapan Mila.
Jantungnya berdegup kencang, dia tak menyangka, kalau Mila sudah tahu soal itu.
Dia fikir, dia akan mendapatkan Mila sebelum Mila tahu, bahwa Zahra adalah
calon istrinya Fakhri.
"C,calon i,istri, ya? Waaah darimana kamu tahu?
Sepertinya, gosip memang cepat sekali menyebar, ya?" ucap Arfan.
Mila tidak menjawab, pandangannya kosong.
"Benar, Zahra sudah di jodohkan dengan Gus Fakhri empat
tahun yang lalu. Namun, karena Zahra harus menuntut ilmu di Jakarta, membuat
perjodohan ini harus ditunda dulu. Dan ... Pernikahannya akan di laksanakan
ketika dia sudah pulang akhir bulan ini."
Mila meremas pakaiannya kuat. Hari ini dia sudah mendapatkan
tiga kejutan sekaligus.
Dia benar-benar tidak menyangka, kalau sahabatnya-lah yang
akan menjadi istri Fakhri.
'Heh, memangnya kenapa kalau itu Zahra, Kamila? Semua tidak
ada yang salah disini. Kamunya aja yang berlebihan. Memangnya, apa hubungannya
denganmu tentang perjodohan mereka? Siapa kau yang harus merasa tersakiti?'
logika Mila menyeruak.
Mila tersenyum, benar! Apalah dirinya ini? Kenapa harus ikut
campur? Apalagi mencampur biarkan di ngan urusan hatinya ini. Seharusnya dia
bahagia bukan, kalau sahabatnya akan segera menikah?
Mila menghirup nafasnya yang entah kenapa sangat susah
sekali dihirupnya, dia menelan ludah yang entah kenapa seperti sangat keras
sekali, sehingga tidak bisa dia telan dengan mudahnya.
Dia sadar, dia bukanlah siapa-siapanya Fakhri dan Ihsan. Dia
hanya seorang santri yang beruntung bisa berinteraksi akrab dengan ayah dan
anak tersebut. Tapi, mengapa hatinya merasakan sakit? Malah, rasa sakit karena
kegagalan pernikahannya tidak ada apa-apanya, dibandingkan rasa sakit yang kini
sedang dia rasakan.
Tanpa bicara sepatah katapun, Mila tersenyum kearah Arfan,
lalu berbalik dan melanjutkan niatnya untuk segera pergi dari sana.
Mila mengerjapkan matanya berulang kali, menghirup udara
sebanyak mungkin, berharap rasa sesak di dadanya berkurang, meski sedikit saja.
"Mbak Mila. Mbak tidak apa-apa?"
Mika menoleh, dan tersenyum kepada Mawar yang menyapanya.
Tercetak sangat jelas sekali, Mawar sangat penasaran dengan dirinya.
"Aku tidak apa-apa, Mbak Mawar. Kalau begitu, aku
permisi dulu, Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," Mawar
menjawab salam Mila. Meski dia sangat tak puas dengan jawaban yang Mila
berikan. 'Pasti ada sesuatu.'
Arfan berdiri di dekat kaca, memperhatikan punggung Mila
yang kian menjauh. Di dasar hatinya, dia merasakan kesakitan. Melihat mimik
muka Mila yang sangat tidak baik-baik saja. 'Maafkan aku, Mila! Aku tahu, kamu
sudah menaruh hati pada Fakhri. Aku berjanji, aku akan menghilangkan rasa
cintamu itu padanya. Dan aku berjanji, akan aku ganti dengan jutaan kasih
sayang yang akan berikan padamu. Tapi, aku mohon, Bantulah aku! Mewujudkan
kebahagiaan adikku yang sederhana ini.'
........
"Mbak Mila." Mila terlonjak kaget, ketika ada yang
memanggilnya.
Anisa menghampirinya, dan memeluknya. Tak perlu berbicara,
Anisa tahu, saat ini, sahabatnya ini sedang dalam hati yang kacau. Tak ada kata
atau pembicaraan, Anisa terus memeluk tubuh Mila, sambil mengusap punggung
sahabat yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri.
Mila yang mendapat perlakuan seperti itu, langsung membalas
pelukan Anisa dengan sangat erat. Dia tahu, tanpa dia menceritakan pun,
sahabatnya yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri ini, sudah mengerti
keadaannya.
"Weleh, weleh, kenapa kalian berpelukan tanpa mengajak
kami."
Mila buru-buru menghapus airmatanya, yang entah sejak kapan
keluar mengalir begitu saja tanpa ia sadari.
Mila dan Anisa mengurai pelukannya. Mereka saling melempar
senyuman, meski suara segukan terdengar samar dari bibir Mila.
"Mbak Mila kenapa? Kok menangis?" Rohmi bertanya
heran.
"Mbak Mila katanya sudah rindu rumahnya," Bukan
Mila yang menjawab, tapi Anisa.
"O, begituuu."
"Sudahlah! Mbak Mila, bukankah hari ini Mbak harus
kerumah Gus Fakhri, untuk mengajari Gus Ihsan?" tanya Anisa.
Mila menegang, sanggupkah dia? Menoleh kearah Anisa yang
sudah menatapnya, sambil tersenyum dan mengangguk, seolah mengatakan ... Semua
akan baik-baik saja.
"Haaah, aku yakin. Selama Mbak Mila di dalam kandungan
ibunya. Ibu Mbak Mila sering sekali melakukan amal Shodaqoh deh." suara
itu menyeletuk dari bibir Tia.
"Memangnya kenapa?" tanya Rohmi penasaran.
"Lihatlah! Nasib baik, selalu mengelilingi Mbak Mila.
Dari mulai, berparas cantik, berotak cerdas, berperilaku baik, disukai dan
disayangi banyak orang, dan yang paling menguntungkan adalah bisa keluar masuk
rumahnya Gus Fakhri tanpa rintangan apapun, dan ... Tentu sangat memungkinkan,
Mbak Mila sering bertemu dengan Gus Duda ganteng itu, lalu lambat laun ...
Karena terbiasa, cintapun bersemi tanpa diduga di antara keduanya. Lalu, mereka
menikah, dan hidup bahagia selamanya," Tia menjawab panjang lebar, sambil
menerawang, seolah dia sedang menonton televisi kartun cinderella.
'Deg' tubuh Mila menegang. -karena terbiasa, cintapun
bersemi tanpa diduga- 'Astagfirullah! Jadi, rasa sakit yang sedang dia rasakan
ini, karena dia sudah ...? Astagfirullah, YaAlloh ...'
"Hihihi, Mbak Tia keren juga. Kamu membuat aku terlena.
Aku sangat setuju dengan pendapatmu, jika saja aku tidak mengingat atau
mengetahui, bahwa Gus Fakhri sudah memiliki calon istri sendiri."
'Jlebb' seolah tak pernah puas, sesak itu menyerangnya
kembali. Apalagi dia sudah mengetahui, siapa calon istrinya.
Mila menghirup udara sebanyak mungkin. 'YaAlloh ...'
lirihnya penuh kesedihan.
sumber : WAG iwan setiawan January 30, 2020 Admin Indonesia
Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Kejutan
JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (22)
Judul kejutan. A
"Sudah Fakhri katakan, itu hanya keinginan Salma saja.
Bukan permintaannya." Fakhri menghela nafasnya. Berharap dia memiliki
banyak kesabaran, ketika orangtuanya kembali mengungkit keinginan mendiang
istrinya itu.
Bukan berarti Fakhri tidak suka dengan adiknya Arfan. Fakhri
sangat mencintai dan menyayanginya. Tapi, rasa cinta dan sayang yang dia
rasakan, adalah sebagai seorang kakak pada adiknya.
"Tapi, Gus. Bukankah keinginan itu tandanya agar
dituruti?" tanya Bu Nyai hati-hati. Bu Nyai sudah melihat gelagat Fakhri
yang sudah mulai kehilangan kesabaran.
"Beda, Umi. Fakhri juga sudah katakan, setelah Salma
mengungkapkan keinginannya itu, Fakhri langsung menolaknya. Tolonglah, Umi!
Jangan membebankan hisaban Salma dengan masalah ini!"
Bu Nyai terhenyak, menyadari bahwa apa yang dikatakan
putranya itu, memang benar. Dia terus mendesak putranya, sehingga menjadikan
putranya terus berdebat dengannya.
Tapi, di satu sisi Bu Nyai ingin putranya kembali mempunyai
istri. Bagaimanapun juga, Ihsan butuh sosok seorang ibu.
"Fakhri harap, ini yang terakhir kalinya kita bahas
masalah itu. Fakhri pamit dulu, hari sudah semakin siang. Fakhri masih harus
bekerja. Sekali lagi, percayalah, Umi! Dia akan mendapatkan jodoh yang lebih
baik dari Fakhri," ucap Fakhri sambil mencium tangan ibunya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh."
Fakhri segera berbalik, dan melangkah keluar.
Bu Nyai menghela nafasnya berat. Sungguh! Beliau sangat
bimbang. Disatu sisi, dia memang tidak ingin memaksa putranya. Tapi, disisi
lain, beliau begitu tahu bagaimana tatapan pilu putri angkatnya itu, ketika
Fakhri menolak perjodohan mereka secara mentah-mentah.
Bu Nyai tidak akan tenang, jika salah satu putra dan
putrinya mendapatkan kebahagiaan secara tidak adil.
'YaAlloh, bagaimana ini? Apa yang harus hamba lakukan? Hamba
sangat mencintai dan menyayangi keduanya. Semoga secepatnya mendapatkan
penyelesaian yang baik,' Bu Nyai merapalkan do'anya.
Di balik tembok tempat Fakhri dan Bu Nyai berbincang, Arfan
menguping. Tangannya mengepal kuat, kala suara Fakhri menyeruakan penolakannya
kembali.
'Aku tahu, kamu sudah memilih Kamila untuk calonmu. Tapi,
maafkan aku! Aku akan mencuri star darimu terlebih dahulu. Maafkan aku, Gus!'
"Gus Arfan."
Arfan menoleh, kala ada suara memanggil. Menyadarkannya dari
lamunan.
"Maaf, Gus. Mbak Mila sudah berada di depan."
Arfan mengangguk, sambil tersenyum, "iya, saya akan
segera kesana. Terimakasih, Mbak Mawar," ucap Arfan pada staff santri
putri.
Arfan menghembuskan nafasnya, berharap, apa yang sedang di
rencanakannya adalah keputusan yang tepat.
Setelah tadi pagi dia menguping pembicaraan Fakhri dan Bu
Nyai. Dia bertekad, bahwa dia tidak akan membiarkan orang lain mencuri
kesempatannya.
Arfan beranjak dan melangkah ketempat dimana Mila berada.
'Toktoktok' "Assalamu'alaikum."
Mila yang memang sedang melamun, terlonjak kaget, karena ada
yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Mila mengangguk, lalu menunduk, " Wa'alaikumussalaam,
Gus Arfan. "
Arfan tersenyum, lalu duduk di belakang Mila, sambil
membelakangi Mila. Jadi, posisi mereka sekarang adalah, saling membelakangi.
"Apakah aku mengganggumu, Mbak Mila?" tanya Arfan.
Mila sebenarnya merasakan perasaan tak nyaman, ketika Arfan
mengganti panggilannya dari formal menjadi sapaan akrab. -Aku, kamu.-
"Ah, ti,tidak, Gus. Kalau boleh saya tahu, ada apa,
ya?" ucap Mila.
Arfan diam beberapa saat. Ingin sekali dirinya menatap Mila
saat ini. Dia tersenyum kikuk, "bagaimana memulainya, ya?" ucap Arfan
sambil mengusap tengkuknya.
"Mungkin, ada yang bisa saya bantu, Gus."
Arfan menghirup udara dalam, "Mbak Kamila, sebenarnya
... Dari awal kita bertemu, aku sudah tertarik padamu," ucap Arfan to the
point.
Arfan menunggu respon Mila dengan perasaan was-was. Walaupun
dia tak melihat ekspresi Mila. Tapi, dia bisa memastikan, kalau Mila sangat
terkejut. Karena nafas Mila yang tiba-tiba terhenti, serta ada suara henyakan
samar dari bibir perempuan yang berada di belakangnya ini.
Ada sedikit rasa menyesal, mungkin dia terlalu cepat
mengungkapkan maksudnya. Tapi, bukankah, lebih cepat lebih baik? Siapa cepat,
dia dapat, bukan?
Mila yang hatinya sudah entah kemana, semenjak mendengar
kabar tentang calon ibu baru Ihsan tersebut. Semakin tak karuan, kala mendengar
ucapan Arfan yang sangat ambigu juga tiba-tiba untuknya.
Apa maksudnya? Tertarik? Tertarik pada apanya?
"Ma,maksud G,gus Arfan g,gimana?" Mila sangat
gugup, kala hatinya menerka maksud ucapan Arfan.
"Maksudku, mungkin ... Ini, terlalu mendadak bagimu,
Mbak Mila. Tapi, aku tidak bisa memendam sesuatu yang bahkan aku sendiripun tak
bisa mengatasinya. Jadi ... Aku pikir, mungkin akan lebih baik, jika aku
langsung mengungkapkannya. Lebih cepat, mungkin akan lebih baik," jawab
Arfan.
Hening.
"Maaf! Jika terkesan mendadak bagimu," Arfan
melanjutkan ucapannya, ketika dia tidak mendapatkan respon dari Mila,
"tapi, dengan niat yang tulus ... Mbak Mila, maukah kamu menerima
pinanganku?" tanyanya mantap. Dia sangat berharap, jika Mila mengatakan
'Ya'.
Mila seakan mati kutu, pikirannya serasa beku seketika.
Pengakuan Arfan sungguh di luar dugaannya. Apa yang harus dia jawab? YaAlloh,
apa yang harus dia lakukan?
"Mbak Mila," Arfan memanggil Mila, karena dia tak mendapatkan
respon apapun. Ingin sekali dia berbalik, dan melihat bagaimana wajah perempuan
yang sudah dia lamar ini.
"Mbak Mil--"
"A,ah, m,maaf, G,gus A,arfan! S,s,saya, s,s,saya,
..." Mila tak bisa menjawab, dia bingung. Sangat bingung, harus menjawab apa.
Terlebih, hatinya saat ini sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Arfan menghela nafasnya, memejamkan matanya. Dia sudah
menduganya. Tapi, dia tak menduga akan se-kecewa ini.
"Tak perlu di jawab sekarang! Aku tahu, kamu pasti
sangat terkejut. Tapi, satu yang harus kamu yakini! Bahwa aku tulus dengan
niatku ini. Maka dari itu, bisakah kamu mempertimbangkan lamaranku ini?"
Arfan akan mencoba peruntungan kembali. Dia bertekad, dia akan meyakinkan Mila.
Bahwa dia adalah sosok yang patut dipercaya dan dipertimbangkan.
"T,terimakasih a,atas pengertiannya, G,gus."
"Aku mengerti, aku juga gak mau memaksamu. Tapi, terus
terang, aku sangat berharap kamu mengatakan 'iya'. Aku akan bersabar sampai
kamu bisa menjawab niatku ini," jawab Arfan kembali sambil menekan kata
'iya'.
Mila menunduk, hatinya sangat bersyukur dan merasa bersalah
pada Arfan. Dia berterimakasih, karena Arfan mau mengerti. Tapi, juga merasa
bersalah, karena dia tahu, Arfan pasti kecewa dengan tindakannya saat ini.
Mila tak mau mengambil langkah salah lagi. Dia tak mau
berpura-pura menerima, sedangkan hatinya menolaknya. Dia sudah merasakannya,
dan itu sangat mengecewakan.
"K,kalau b,begitu, b,bolehkah s,s,saya u,undur d,diri?
Mo,mohon m,maaf a,atas se,semuanya, G,gus!" saat ini, Mila hanya ingin
menyendiri. Tak mau di ganggu siapapun.
"Ya, silahkan! Aku juga minta maaf, telah membuatmu
terbebani dengan pengakuanku. Dan juga mengganggu waktumu."
"Ti,tidak ap,aoa-apa. K,kalau b,begitu, s,saya undur
diri, As,Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh."
Mila perlahan berdiri, dan melangkah menuju pintu keluar.
"Mbak Mila, tunggu!" Arfan kembali memanggil Mila,
ketika dia sudah menyentuh gagang pintu.
Mila berbalik dengan kepala yang menunduk.
"Satu lagi. Maafkan aku! Aku telah berbohong
kepadamu."
Mila mendongak, menatap Arfan, dan menunggu Arfan
melanjutkan kalimatnya.
"Sebenarnya, aku sangat mengenal Zahra, sahabatmu
itu."
Mila melotot, dan menganga. Untuk apa Arfan berbohong
padanya?
Arfan terkekeh, "sudah kuduga kamu akan merasa kaget
seperti itu. Awalnya, aku hanya ingin tahu, apakah kamu benar-benar kenal
adikku itu, atau hanya kamuflase semata. Tapi, ternyata memang benar, adikku
adalah sahabatmu. Dia juga sudah memarahiku, karena telah mengerjai sahabat
baiknya."
'JESSSSSSS' Seakan tersiram air es dari planet pluto. Tubuh
Mila membeku, begitupun dengan otaknya. Dia tak mendengar ucapan Arfan, telinganya
menolak cerocosan Arfan, pendengarannya terus mendengung, kala satu buah fakta
menusuk kesadarannya.
"A,adik? J,jadi ... Z,zahra itu, a,a,adiknya G,g,gus
A,Arfan?" Mila bertanya dengan nada semakin terbata.
Arfan tersenyum, lalu mengangguk, "benar."
"J,jadi ... Z,zahra a,adalah ... Ca,ca,calon
istrinya--"
"Calon istri?" 'deg' Arfan memotong ucapan Mila.
Jantungnya berdegup kencang, dia tak menyangka, kalau Mila sudah tahu soal itu.
Dia fikir, dia akan mendapatkan Mila sebelum Mila tahu, bahwa Zahra adalah
calon istrinya Fakhri.
"C,calon i,istri, ya? Waaah darimana kamu tahu?
Sepertinya, gosip memang cepat sekali menyebar, ya?" ucap Arfan.
Mila tidak menjawab, pandangannya kosong.
"Benar, Zahra sudah di jodohkan dengan Gus Fakhri empat
tahun yang lalu. Namun, karena Zahra harus menuntut ilmu di Jakarta, membuat
perjodohan ini harus ditunda dulu. Dan ... Pernikahannya akan di laksanakan
ketika dia sudah pulang akhir bulan ini."
Mila meremas pakaiannya kuat. Hari ini dia sudah mendapatkan
tiga kejutan sekaligus.
Dia benar-benar tidak menyangka, kalau sahabatnya-lah yang
akan menjadi istri Fakhri.
'Heh, memangnya kenapa kalau itu Zahra, Kamila? Semua tidak
ada yang salah disini. Kamunya aja yang berlebihan. Memangnya, apa hubungannya
denganmu tentang perjodohan mereka? Siapa kau yang harus merasa tersakiti?'
logika Mila menyeruak.
Mila tersenyum, benar! Apalah dirinya ini? Kenapa harus ikut
campur? Apalagi mencampur biarkan di ngan urusan hatinya ini. Seharusnya dia
bahagia bukan, kalau sahabatnya akan segera menikah?
Mila menghirup nafasnya yang entah kenapa sangat susah
sekali dihirupnya, dia menelan ludah yang entah kenapa seperti sangat keras
sekali, sehingga tidak bisa dia telan dengan mudahnya.
Dia sadar, dia bukanlah siapa-siapanya Fakhri dan Ihsan. Dia
hanya seorang santri yang beruntung bisa berinteraksi akrab dengan ayah dan
anak tersebut. Tapi, mengapa hatinya merasakan sakit? Malah, rasa sakit karena
kegagalan pernikahannya tidak ada apa-apanya, dibandingkan rasa sakit yang kini
sedang dia rasakan.
Tanpa bicara sepatah katapun, Mila tersenyum kearah Arfan,
lalu berbalik dan melanjutkan niatnya untuk segera pergi dari sana.
Mila mengerjapkan matanya berulang kali, menghirup udara
sebanyak mungkin, berharap rasa sesak di dadanya berkurang, meski sedikit saja.
"Mbak Mila. Mbak tidak apa-apa?"
Mika menoleh, dan tersenyum kepada Mawar yang menyapanya.
Tercetak sangat jelas sekali, Mawar sangat penasaran dengan dirinya.
"Aku tidak apa-apa, Mbak Mawar. Kalau begitu, aku
permisi dulu, Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," Mawar
menjawab salam Mila. Meski dia sangat tak puas dengan jawaban yang Mila
berikan. 'Pasti ada sesuatu.'
Arfan berdiri di dekat kaca, memperhatikan punggung Mila
yang kian menjauh. Di dasar hatinya, dia merasakan kesakitan. Melihat mimik
muka Mila yang sangat tidak baik-baik saja. 'Maafkan aku, Mila! Aku tahu, kamu
sudah menaruh hati pada Fakhri. Aku berjanji, aku akan menghilangkan rasa
cintamu itu padanya. Dan aku berjanji, akan aku ganti dengan jutaan kasih
sayang yang akan berikan padamu. Tapi, aku mohon, Bantulah aku! Mewujudkan
kebahagiaan adikku yang sederhana ini.'
........
"Mbak Mila." Mila terlonjak kaget, ketika ada yang
memanggilnya.
Anisa menghampirinya, dan memeluknya. Tak perlu berbicara,
Anisa tahu, saat ini, sahabatnya ini sedang dalam hati yang kacau. Tak ada kata
atau pembicaraan, Anisa terus memeluk tubuh Mila, sambil mengusap punggung
sahabat yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri.
Mila yang mendapat perlakuan seperti itu, langsung membalas
pelukan Anisa dengan sangat erat. Dia tahu, tanpa dia menceritakan pun,
sahabatnya yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri ini, sudah mengerti
keadaannya.
"Weleh, weleh, kenapa kalian berpelukan tanpa mengajak
kami."
Mila buru-buru menghapus airmatanya, yang entah sejak kapan
keluar mengalir begitu saja tanpa ia sadari.
Mila dan Anisa mengurai pelukannya. Mereka saling melempar
senyuman, meski suara segukan terdengar samar dari bibir Mila.
"Mbak Mila kenapa? Kok menangis?" Rohmi bertanya
heran.
"Mbak Mila katanya sudah rindu rumahnya," Bukan
Mila yang menjawab, tapi Anisa.
"O, begituuu."
"Sudahlah! Mbak Mila, bukankah hari ini Mbak harus
kerumah Gus Fakhri, untuk mengajari Gus Ihsan?" tanya Anisa.
Mila menegang, sanggupkah dia? Menoleh kearah Anisa yang
sudah menatapnya, sambil tersenyum dan mengangguk, seolah mengatakan ... Semua
akan baik-baik saja.
"Haaah, aku yakin. Selama Mbak Mila di dalam kandungan
ibunya. Ibu Mbak Mila sering sekali melakukan amal Shodaqoh deh." suara
itu menyeletuk dari bibir Tia.
"Memangnya kenapa?" tanya Rohmi penasaran.
"Lihatlah! Nasib baik, selalu mengelilingi Mbak Mila.
Dari mulai, berparas cantik, berotak cerdas, berperilaku baik, disukai dan
disayangi banyak orang, dan yang paling menguntungkan adalah bisa keluar masuk
rumahnya Gus Fakhri tanpa rintangan apapun, dan ... Tentu sangat memungkinkan,
Mbak Mila sering bertemu dengan Gus Duda ganteng itu, lalu lambat laun ...
Karena terbiasa, cintapun bersemi tanpa diduga di antara keduanya. Lalu, mereka
menikah, dan hidup bahagia selamanya," Tia menjawab panjang lebar, sambil
menerawang, seolah dia sedang menonton televisi kartun cinderella.
'Deg' tubuh Mila menegang. -karena terbiasa, cintapun
bersemi tanpa diduga- 'Astagfirullah! Jadi, rasa sakit yang sedang dia rasakan
ini, karena dia sudah ...? Astagfirullah, YaAlloh ...'
"Hihihi, Mbak Tia keren juga. Kamu membuat aku terlena.
Aku sangat setuju dengan pendapatmu, jika saja aku tidak mengingat atau
mengetahui, bahwa Gus Fakhri sudah memiliki calon istri sendiri."
'Jlebb' seolah tak pernah puas, sesak itu menyerangnya
kembali. Apalagi dia sudah mengetahui, siapa calon istrinya.
Mila menghirup udara sebanyak mungkin. 'YaAlloh ...'
lirihnya penuh kesedihan.
sumber : WAG
JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (21)
Judul : teka teki
"WAAMMAA INKAANA MINALMUKADZDZIBIINADLDLOOLLIIN,
FANUZULUM-MIN HAMIIMIN-WATASHLIATU JAHIIM, INNA HAADZA LAHUA-LHAQQUL YAQIIN,
FASABBIH BISMI ROBBIKA-L'ADHZIIM, SHODAQOLLOOHU-L'ADHZIIM," seorang santri
mengakhiri hafalannya.
Fakhri segera beranjak dari duduknya, meski masih banyak
santri yang belum menyetorkan hafalan, dia tetap melangkah keluar. Karena dia yakin,
tidak ada lagi yang akan menyetorkan hafalan kepadanya.
Entah mengapa, setiap ada penyetoran hafalan, entah itu dari
hafalan AlQur-an, atau dari hafalan Kitab, Fakhri tak pernah banyak yang akan
menyetorkan kepadanya. Banyak juga desus yang beredar, bahwa santri yang punya
nyali besarlah, yang akan sanggup menyetor hafalan kepadanya.
Mereka selalu merasa takut, jika melakukan kesalahan.
Padahal, semuanya juga belum pernah ada yang menyaksikan tentang kemarahan
Fakhri terhadap santri yang menemukan kesalahan pada hafalannya. Seperti,
membentak, atau memukul.
Berbeda jika ia sedang mengajar mengaji balagan (mengaji
bandung kuping), selalu penuh, entah dari santri putra,maupun santri putri.
Fakhri tak ambil pusing, ketika dirinya dipandang apapun
oleh semua santri. Bahkan semua orang.
Biarlah mereka menilai dirinya, sesuai sugestinya masing-masing.
"Gus."
Fakhri menoleh, kala seseorang memanggilnya, dia tersenyum,
dan melangkah menghampiri ibunya yang sedang berdiri di ambang pintu rumah
orangtuanya.
"Assalamu'alaikum, Umi," sapanya.
"Wa'alaikumussalaam, Gus. Masuklah dulu! Habis dari
Aula putra, ya?" Bu Nyai mengajak Fakhri kedalam.
"Iya, Umi," jawab Fakhri.
"Memang kamu pulang jam berapa dari kantor?" Bu
Nyai bertanya lagi. Dia yakin, kalau dari Aula putra berarti putranya ikut
memantau hafalan para santri putra.
"Sebelum 'Ashar, Umi."
Bu Nyai mengangguk tersenyum.
"Gus, dari Aula putra kamu?"
Fakhri dan Bu Nyai menoleh, Pak Kyai datang dan bergabung di
sana. Fakhri mencium tangan ayahnya, "Assalamu'alaikum, Abi."
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," jawab Pak
Kyai sambil menepuk pundak putranya.
"Benar, Abi. Habis mendengarkan hafalan santri,"
Fakhri menjawab pertanyaan Pak Kyai yang sempat terselang salam.
Pak Kyai tersenyum, merasa senang, putra satu-satunya itu,
mulai aktif kembali ikut mengurus kegiatan pesantren. Beliau juga tahu, kalau
Fakhri sudah mulai punya jadwal sendiri tentang balagan Kitab.
"Abi senang, kamu mulai ikut aktif kembali
berpartisipasi dengan kegiatan para santri. Kerja memang perlu, tapi
menyebarkan dan memberikan ilmu adalah bentuk Shodaqoh yang paling
menguntungkan. Itu sebabnya, kenapa ilmu yang bermanfaat termasuk dengan Shodaqoh
jariyyah? Karena ketika kita mati, akan terus mengalir pahalanya, jika orang
yang pernah kita beri ilmu tersebut mengamalkan ilmunya. Juga, ilmu tak seperti
harta. Ilmu, semakin kita berikan dan amalkan, maka semakin banyak pula ilmu
yang kita dapat. Berbeda dengan harta. Harta akan habis, jika terus-menerus
kita pakai, pasti pada akhirnya harta itu pasti akan berkurang."
Fakhri mengangguk, mengamini apa yang di sampaikan Pak Kyai,
"iya, Abi. Terimakasih atas wejangannya. InsyaAlloh, Fakhri akan selalu
mengingatnya."
"Ngomong-omong, kamu berniat terus tinggal di rumah
komplek Pesantren, kan?"
"Belum tahu, Abi. Fakhri gimana Fatah saja."
Pak Kyai mengangguk, Bu Nyai melirik kearah Pak Kyai,
sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu.
"Abi, Umi, kalau begitu, Fakhri undur diri dulu. Fakhri
belum ketemu sama Fatah setelah pulang dari kantor tadi," ucap Fakhri
berpamitan.
Pak Kyai dan Bu Nyai saling pandang. Membuat Fakhri
mengerutkan dahinya.
"Oh, i,iya, Gus. Silahkan!" jawab Pak Kyai agak
terbata.
"Apa ada sesuatu yang ingin Abi sampaikan pada
Fakhri?" tanya Fakhri.
"O, ti,tidak ada. Pulanglah! Fatah pasti sudah
menunggumu," jawab Pak Kyai.
Fakhri mengangguk, tak memperpanjang percakapan. Dia
menghampiri ayah ibunya, untuk bersalaman.
"Kalau begitu, Fakhri pamit dulu.
Assalamu'alaikum," ucap Fakhri sambil mencium kedua tangan orangtuanya.
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," jawab Pak
Kyai dan Bu Nyai bersamaan.
Fakhri berbalik, dan melangkah keluar.
'Plak' "Astagfirullah, kenapa Ibu memukul Bapak?"
tanya Pak Kyai ketika pukulan halus mendarat di pahanya.
"Bapak ini, gimana sih? Katanya akan membicarakan
tentang keinginan Nok Salma, kok malah membiarkan Attar pulang?" tanya Bu
Nyai, ketika dirasa, Fakhri sudah tak lagi berada di sana.
Pak Kyai menghela nafasnya, "ya ... Mau gimana lagi,
Bu. Bapak agak canggung sama Attar."
"Bapak ini, masa sama putra sendiri canggung sih?"
"Ibu juga kan tahu, Attar berbeda dengan putra kita
yang lainnya. Berbeda dengan Lukman dan Arfan. Attar itu orangnya tak punya
banyak warna muka," jawab Pak Kyai.
Bu Nyai kembali memukul, bukan. Lebih tepatnya menepuk,
"Bapak ini, memangnya wajah Attar itu pelangi, dikatain berwarna
segala."
"Ya, maksud Bapak, tak banyak ekspresi. Datar."
sergah Pak Kyai.
"Iya ya, Pak. Kok Attar punya sifat seperti itu, ya?
Nurun dari siapa coba?" tanya Bu Nyai.
"Siapa lagi. Dari Ibu lah," jawab Pak Kyai tenang.
Bu Nyai menghadap Pak Kyai, "ish, Ibu gak judes, Ibu
itu humble," protes Bu Nyai.
"Oia ya, bibir Ibu-kan ... Sedikit tipis dan mungil,
kata orang banyak bicaranya."
"Bapak!" Bu Nyai kembali protes.
"Hahaha, Maafkan Bapak, Ibu!" ucap Pak Kyai sambil
merangkul pundak Bu Nyai, "Bapak cuma bercanda. Soal keinginan terakhir
Salma, kita bicarakan lagi nanti. Lagian, Bapak lihat, Fakhri akan menjawab
sama seperti yang sudah-sudah."
"Tapi, Pak. Kata Gus Arfan--"
"Iya, kita akan mencobanya kembali." potong Pak
Kyai.
Bu Nyai menghembuskan nafasnya, kemudian mengangguk.
....
"Waah, Mbak Mila, coba lihat? Bunganya mekar dengan
indah, ya?"
Langkah Fakhri terhenti, kala mendengar suara Rifa yang
sangat antusias sekali. Adiknya itu sedang berada di kebun bunganya bersama
Mila.
"Iya, Nok Rifa. Saya sangat juga senang melihatnya,"
Fakhri ikut tersenyum, ketika dia melihat lengkungan bibir
Mila yang sedang tersenyum. 'Ah, manis sekali. Astagfirullah, jaga pandanganmu,
Fakhri!' Fakhri segera menundukan kepalanya, ketika hatinya sadar, dia telah
menatap Mila. -Wanita yang saat ini, masih belum halal untuknya.-
'Sepertinya, dia sudah selesai mengajar Fatah,' ucapnya
dalam hati. Fakhri kembali melangkah menuju pintu rumahnya.
"Itu semua, karena tangan Mbak Mila yang ajaib,"
"Jangan berlebihan, Nok Rifa. Nok yang selalu
menyiaminya setiap hari."
"Tante, Note, lihat! Ini indah sekali."
Fakhri kembali menghentikan langkahnya, ketika telinganya
mendengar teriakan putranya penuh gembira.
Terlihat Ihsan sedang berlarian kearah Mila dan Rifa dengan
penuh antusias.
Serasa ada kupu-kupu dalam perutnya, kala melihat binar
bahagia putranya. Fakhri sangat bahagia. Tersenyum, dan kembali melangkah. Dia
bukannya tidak mau melihat lebih lama keantusiasan Ihsan. Hanya saja, dia
takut, matanya akan kembali belok pada yang lain.
"Lihatlah! Cantik sekali bukan?" terdengar Ihsan
kembali berbicara dengan nada gembiranya.
"KYAAAAAAA, hatcim, hatcim, hatcim,"
Fakhri yang semula sudah masuk, kembali keluar, kala
mendengar teriakan Mila penuh keterkejutan. Dia melihat wajah Mila yang sudah
memerah serta bersin tak tiada hentinya.
Terlihat Rifa dan Ihsan sedang mondar-mandir merasakan
kepanikan. Fakhri masih di teras rumahnya menyaksikan kejadian yang begitu tak
trduga itu.
Otaknya terus berfikir, kenapa bisa begitu? Apa yang membuat
Mila seperti itu?
Seketika Fakhri melangkah kearah dimana ada Mila, Rifa, juga
Ihsan, setelah ujung matanya menangkap sesuatu di depan Mila.
"Oia, parfum Papa. Fatah akan ambilkan parfum Papa
dulu,"
Fakhri mendengar Ihsan berbicara, berarti dugaannya memang
benar.
'Pluk' Fakhri melemparkan sorban yang dia pakai. Yang memang
selalu dia pakai ketika sedang Sholat dan juga mengajar.
Sebenarnya Fakhri gak tahu, apakah tindakannya itu tepat
atau tidak, tapi mengingat bahwa aroma parfumnya dapat mengurangi alergi Mila,
dia refleks melemparkannya. Apalagi ketika Ihsan berseru tentang parfum itu.
Hening. Tidak ada teriakan Ihsan. Tidak ada suara kepanikan
Rifa, bahkan tidak ada lagi terdengar suara bersin dari mulut Mila. Bahkan
tubuh Mila menjadi kaku layaknya menekan.
Tubuh Fakhri menegang, kala telinganya mendengar degupan
jantung milik Mila. Dan sepertinya jantungnya pun ikut terinfeksi. Karena dia
juga merasakan sama. Jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya.
"Fatah, kamu sudah tahukan? Bahwa Nona Kamila ini,
alergi yang berbau ulat?" Fakhri berkata pada putranya. Seolah sedang
menegurnya.
Terlihat Ihsan salah tingkah, sepertinya ini bukan di
sengaja. Ihsan melupakan alergi Mila. Catat! Bukan disengaja.
"Bawa Nona Kamila-nya masuk kedalam, Gus! Berikan dia
minuman hangat."
Ihsan mengangguk antusias, "ayok, Note!" ajak
Ihsan.
Setelah Ihsan berlalu bersama Mila. Fakhri tidak dapat
menyembunyikan senyumannya, dia menunduk, kemudian menggeleng, "seorang
gadis, takut kupu-kupu? Lucu sekali," gumamnya.
Fakhri mendongak, dan matanya bertubrukan dengan mata Rifa
yang masih melongo, terkejut.
"Ekhem, Nok," Fakhri mencoba memanggil adiknya
dengan nada senormal mungkin. Sungguh. Ini kaki pertama dia tercyduk, apalagi
oleh adiknya sendiri.
"YA!" Rifa refleks menjawab dengan keterkejutan
yang nyata, "Ma,maaf, Mas! Euma ... Tidak apa-apa, m,maksud Rifa, hanya
panik. Ya, hanya panik," Rifa menjawab dengan gugup.
-Aneh, yang tercyduk siapa? Yang gugupnya siapa?-
Fakhri menganggukkan kepalanya, lalu berbalik dab melangkah,
'Astagfirullah! Macam abegeh saja kau, Fakhri!' tegurnya dalam hati.
..........
"Hihihi."
Ihsan tak bisa menghentikan tawanya, ketika ingatannya terus
memutar kejadian kemarin sore. Andai saja dirinya tahu akan ada kejadian
seperti kemarin, dia akan merekamnya, dan menjadikannya sebuah film. 'Wkwkwkwk'
Ihsan tertawa dalam hatinya kala terlintas idenya itu.
"Gus Fatah."
Ihsan menoleh, dan seketika senyumannya menjadi mengerucut,
ketika mengetahui siapa yang memanggilnya.
Arfan tersenyum, kala melihat sikap Ihsan. Dia juga merasa
bingung, kenapa Ihsan selalu bersikap jutek bila bertemu dengan dirinya.
"Assalamu'alaikum, Gus Fatah," Arfan menyapa
lembut.
"Wa'alaikumussalaam," tapi Ihsan menjawab datar.
'Benar-benar replika ayahnya,' ucap Arfan dalam hati.
"Sedang ngapain, Gus?" tanya Arfan kembali.
"Sedang tidak ingin di ganggu," jawab Ihsan sambil
memalingkan wajahnya.
Ihsan masih sebal pada Arfan, karena otaknya terus mengingat
kejadian itu, kejadian dimana Arfan sempat membantu Mila mengumpulkan belalang.
Arfan tersenyum, dia memaklumi sikap Ihsan, tapi dia juga
tidak akan menyerah, "waah kalau begitu, Maaf sekali, ya! Karena
kedatangan Om kesini ada keperluan dengan Gus Fatah."
Arfan sengaja tidak basa-basi lagi. Karena ia tahu, Ihsan
akan terus menolaknya.
"Om ada keperluan apa sama Fatah?" tanya Ihsan
mulai kepo. Walau hatinya sudah waspada. 'Ingat! Om Arfan adalah saingannya
dalam merebut hati Note-nya,' ucap Ihsan dalam hatinya.
"Ini menyangkut tentang ..." Arfan sengaja
menggantungkan kalimatnya, agar Ihsan semakin penasaran, "Ibumu."
"Ibu?" tanya Ihsan refleks, "maksud Om, Mama
Fatah?"
Arfan tersenyum, lalu mengangguk, "iya, Om punya cerita
tentang Mamamu."
Terlihat wajah Ihsan menjadi sangat penasaran, pasalnya
selama ini tidak ada yang mengungkit-ungkit tentang ibunya. Tapi, kenapa Omnya
yang satu ini tiba-tiba berbicara tentang ibunya.
"Apa itu?" tanya Ihsan penasaran.
Arfan tersenyum, bersyukur, Ihsan mau mendengarkan.
"Begini, ..."
................
Universitas Indonesia. Jakarta.
"Ekhem, Nona yang di sana! Apakah anda berniat
mendengarkan pelajaran saya?"
Semua orang menoleh ke salahsatu murid yang di tunjuk oleh
sang dosen. Mereka tak berani bergerak, karena merasa takut pada gurunya itu.
Apalagi julukannya saja udah 'Dosen Otoriter' dan sekarang ditambah aura sang
Dosen sangat gelap sekali. Sehingga julukan 'Killer' pun sangat terhormat untuk
Dosen tersebut.
Salahsatu mahasiswi disana memutar bola matanya. Dia
berdiri, dan dengan angkuhnya berjalan menghampiri murid yang mungkin sedang
melamun itu.
'BRAK'
"Astagfirullah."
Sang murid yang melamun Zahra, murid yang melamun itu
mengusap dadanya berkali-kali, ia mendongak, dan mendapati wajah sombong
Jessica yang sedang bersedekap dada.
"Ada apa ya, Mbak Jessica?" tanya Zahra.
Jessica yang berubah gaya menjadi bertolak pinggang, akan
menyemburkan layarnya, kalau saja ...
"Nona Zahra, apakah anda berniat mendengarkan pelajaran
saya?" suara Juand tidak menengahi.
Zahra menatap sekelilingnya, dia menunduk, kala sadar bahwa
dirinya sedang menjadi pusat perhatian.
"Mohon maaf, Pak," ucap Zahra.
"Sekali lagi saya melihat anda tidak memperhatikan
pelajaran saya, lebih baik anda kembali pulang. Mengerti?" ucap Juand
penuh intimidasi.
"Baik, Pak," jawab Zahra sambil mengangguk.
"Jessica, kembali ke tempat duduk!"
Jessica mendengus kearah Zahra, lalu kembali berjalan ke
tempat duduknya.
"Haaahhh," Zahra menghembuskan nafasnya. Semenjak
dia di keluarkan dari pekerjaannya(menjadi AsDos) Zahra menjadi seperti tidak
semangat lagi. Apalagi jika harus bertemu dengan Juand dan lintahnya itu.
Lintahnya? Iya. Lintahnya. si Jessica. Dia itukan seperti
Lintah. Terus menempel kepada Juand.
'Astagfirullah, Allohu Akbar! YaAlloh, kenapa dirinya
menjadi begini sih? Tak seharusnya dia mencampuri urusan orang lain, apalagi
sampai mengatai orang lain lintah segala. YaAlloh, ampuni hamba!' racau Zahra
dalam hatinya.
Pandangan Zahra kembali kepada Juand yang sedang memberikan
arahan kepada muridnya, seketika Zahra menunduk, kala hatinya mengatakan bahwa
dia menatap Juand bukan sekedar menatap orang yang sedang memberikan ilmu
padanya, melainkan menatap Juand sebagai seorang ...
"Nona Zahra."
Zahra langsung mendongak, kala suara Juand memecahkan
lamunannya kembali.
"Maaf, Pak. Sepertinya, saya memang membutuhkan pulang
untuk saat ini," ucap Zahra sambil berdiri, kepalanya dia anggukan syarat
kesopanan.
Tanpa memperdulikan keadaan setempat, Zahra terus melangkah
menuju kearah pintu. Kalau saja dia punya pintu doraemon, dia rasanya ingin
masuk kesana. Agar dirinya tidak melewati Dosen Otoriter itu.
'Manusia gagal move on,' seketika langkahnya terhenti, kala
telinganya mendengar bisikan Juand. Tapi, hanya sebentar. Dia melanjutkan
langkahnya, meski dalam hati terus bertanya, apa maksud ucapan Juand tersebut?
Manusia gagal move on? Dia yakin, bahwa bisikan itu di tujukan pada dirinya.
"Ahhhhhh," Zahra menghembuskan nafasnya kembali,
ketika dia sudah duduk di kursi taman. Sekarang menunjukan pukul sebelas.
Memejamkan matanya, mencoba untuk menenangkan jiwanya, yang
entah kenapa akhir-akhir ini dia merasa tidak enak hati. Tak nyaman, ada rasa
marah, tapi entah kepada siapa.
'Drrrt' ponselnya bergetar, tangannya membuka tasnya, dan
mengambil benda pipih persegi itu. Bibirnya melengkung senang, kala melihat
siapa yang menelponnya.
"Assalamu'alaikum, Kamila," sapanya antusias.
"...."
"Aku baik. Kamu?"
"...."
"Heeeeh," Zahra menghembuskan nafasnya sambil
cemberut.
"...."
"Gak ada apa-apa, cuma lagi bete aja."
"...."
"Tidak, Pak Juand sudah tidak menggangguku lagi."
Terdengar helaan nafas lega dari seberang sana.
"...."
"Iya," 'tapi, aku yang merasa tak nyaman,'
lanjutnya dalam hati.
"...."
"He-em, aju juga akan pulang tak lama lagi, Mila
sayang. Tunggu aku di sana, ya! Pokoknya sebelum kamu pulang, aku akan pulang
paling dahulu," ucap Zahra mencoba mengalihkan pembicaraan dari si Dosen
otoriter itu.
"Halo, Mil. Mila. Kamu masih di sana kan?" tanya
Zahra. Ketika tidak ada sahutan dari sahabatnya itu.
"...."
"Kirain kamu kemana? Oia, kamu sering hubungi om sama
tante bukan?"
"...."
"Iya, tak terasa, waktu kabur mu hanya enam minggu
lagi. Wkwkwkwk,"
"...."
"Iya maaf, cantik! Hehehe. Puas-puasin deh ya di sana.
Semoga pas kamu pulang, kamu bawa gendolan cogan buat di setorin sama Pak
Kakek. Hihihi."
"...."
"Wkwkwk, ya semoga aha kali, hihi."
"...."
"Iya, yuk! Assalamu'alaikum."
"...." 'klik'
"Haaaaah, ASTAGFIRULLAH."
Zahra menjerit kaget, ketika sesuatu yang dingin menempel di
pipi kanannya.
Dia menoleh, dan seketika matanya mendelik, kearah sang
tersangka.
"Ish, Bapak ngagetin aja. Kalau saya kena penyakit
jantung, tanggung jawab!"
Orang yang di cerca hanya menatap datar Zahra. Tangannya
menyodorkan satu kaleng larutan dingin.
Dahi Zahra mengerut, bingung, "ini apa?" tanya
Zahra.
"Ck, anda mendadak tidak bisa membaca juga? Setelah
seharian ini tidak fokus sama pelajaran saya. Andapun mengalami amnesia
terhadap huruf?"
Zahra mendelik, bibirnya mengerucut, "buka begitu
maksud saya, saya tidak sedang sariawan. Jadi tidak memerlukan itu. Dan kalau
bicara, di saring kek! Itu mulut, apa bon cabe?"
"Ini, ambilah!" ucap orang itu. Yang tak lain
adalah Juand.
"Untuk apa?"
"Saya harus memastikan, bahwa anda masuh baik-baik
saja. Sebelum anda mengatakan, dimana keberadaan adik saya, otak anda harus
tetap tegak. Jangan berkurang sedikitpun," ujar Juand sambil berlalu.
Zahra melotot, lalu terdengar lirih dia menyerapahi Juand.
'Sakit perut tahu rasa.'
"Satu lagi," Juand menghentikan langkahnya,
"cobalah untuk move on, Nona! Jangan terus terkurung di masalalu!"
lanjut Juand penuh teka-teki.
Zahra langsung menoleh kearah Juand, 'siapa yang di sebut
gagal move on itu? Dirinya kah? Astagfirullah ... Jadi Juand tahu, kalau
dirinya gagal move on dari asisten Dosennya? Ck, sombong sekali. Lihat
saja.sebentar lagi dia akan melupakan pekerjaannya itu.'
........
Annur dua. Bululawang. Malang. Jawa Timur.
'Klik'
"Ahhhh" Mila menghela nafasnya, dia sempat
melupakan, bahwa dirinya hanya punya waktu sebulan setengah lagi di sana.
Padahal ... Dia sudah betah disini.
Mampukah Mila melepas begitu saja? Rasanya akan berat.
Apalagi ada seseorang yang membuatnya enggan pulang kerumahnya. Siapa kalau
buka Ihsan. Gus Ihsan yang pintar dan manis.
Ya, manis. Manis sekali. Gus kecil itu sudah berubah menjadi
madu setelah menjadi lebah sebelumnya.
"Aaaahhhh" Mila sekali lagi menghembuskan
nafasnya.
"Kenapa, Mbak Mila?" Anisa yang melihat tingkah
Mila, menghampirinya, dan bertanya.
"Ah, oh, itu, tidak apa-apa, Mbak Nisa," jawab
Mila tersenyum.
"Sepertinya, Mbak Mil--"
"Hancur sudaaaaah, haraapankuuuu."
Ucapan Anisa terhenti, ketika suara nyanyian melengking
jelas dari seseorang yang baru saja masuk ke kamar mereka.
Terlihat Rohmi sedang berlagak menyanyi dengan kedua
tangannya yang ikut ber-atraksi.
Mila terkekeh, merasa geli. Sedang Anisa menggelengkan
kepalanya.
"Mbak Rohmi, tidak baik lho. Seorang wanita meninggikan
suaranya. Tidak takut apa, di dengar laki-laki ghoir mahrom kita?" Anisa
menegur halus Rohmi.
Rohmi hanya cengengesan, lalu mimik mukanya kembali
mendramatisir.
"Aku baru saja patah hati, Mbak Anisa," logat
Rohmi sepilu mungkin.
"Kenapa?"
"Mbak tahu gak? Kalau sebentar lagi, calon istri Gus
Fakhri akan pulang. Itu berarti, sebentar lagi, Gus Fakhri sudah bukan duda
lagi. Huwaaaaaa,"
'DEG' jantung Mila serasa berhenti. Tubuhnya menegang.
Hatinya bergetar kuat. Otaknya 'blank' seketika. 'Apa? Calon istri?'
'Astagfirullah!' Mila menggelengkan kepalanya terus-menerus.
Kala hatinya mengakui sesuatu. Dia terus beristigfar. Memohon ampun, dan
meminta agar Alloh mengenyahkan pikiran tersebut.
Anisa langsung melirik Mila, kala ucapan Rohmi telah
berhenti. Tangannya memeras pundak Mila, berharap Mila sadar akan tingkahnya.
"Mbak Mila kenapa?" tanya Rohmi.
"Ah, neng,enggak apa-apa k,kok," jawab Mila kikuk.
Tangan Anisa masih memegang pundak Mila.
"Cukup, Mbak Rohmi! Apapun itu, bukan urusan
kita."
Rohmi cemberut mendengar teguran Anisa.
"Calon istri?" Mila bergumam.
Seolah mendapatkan jalan, Rohmi menganggukkan kepalanya
berulang kali, menghiraukan teguran kecil lainnya dari Anisa.
"Iya, Mbak Mila. Calon istri Gus Fakhri itu, adalah
adiknya Gus Arfan yang sekarang sedang berkuliah di luar kota. Menurut yang aku
dengar, sebentar lagi dia akan pulang. Dan akan langsung mengadakan resepsi
akad pernikahan. Aku--"
"Mbak Rohmi, sudah! Jangan berani-beraninya menyebarkan
segala sesuatu yang di dengar. Apalagi kita tidak tahu sebenarnya," Anisa
menghentikan ucapan Rohmi. Bukan karena melihat reaksi Mila saja. Tapi, dia
juga merasa kasihan, bila nanti Rohmi akan mendapatkan masalah sari hasil
menggosipnya itu. Dia menyayangi keduanya. Mila dan Rohmi.
Seolah tak bernyawa, Mila juga ikut-ikutan tak mengindahkan
Anisa.
"Kalau boleh tahu, siapa namanya?"
"Namanya adal---"
'Toktoktok' ucapan Rohmi seketika terhenti, karena ada yang
mengetuk pintu.
"Assalamu'alaikum, maaf mengganggu! Mbak Mila, Gus
Arfan ingin bertemu dengan Mbak. Beliau sedang menunggumu di ruang kantor
santriwati," ucap salahsatu santri putri di sana.
"Aahhhh, baiklah. Terimakasih," ucap Mila.
Dia menoleh kearah Anisa dan Rohmi untuk berpamitan.
Anisa menghembuskan nafasnya, lalu menoleh kearah Rohmi yang
sedang mematung, mungkin Rohmi kaget. Orang yang sedang di bicarakan, malah
memanggil salah satunya, 'sepertinya, ucapan Anisa benar.'
Mila melangkah dengan otak dipenuhi dengan berbagai
pertanyaan. 'Siapa calon istri Gus Fakhri?'
sumber : WAG iwan setiawan January 29, 2020 Admin Indonesia
Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Teka-teki
JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (21)
Judul : teka teki
"WAAMMAA INKAANA MINALMUKADZDZIBIINADLDLOOLLIIN,
FANUZULUM-MIN HAMIIMIN-WATASHLIATU JAHIIM, INNA HAADZA LAHUA-LHAQQUL YAQIIN,
FASABBIH BISMI ROBBIKA-L'ADHZIIM, SHODAQOLLOOHU-L'ADHZIIM," seorang santri
mengakhiri hafalannya.
Fakhri segera beranjak dari duduknya, meski masih banyak
santri yang belum menyetorkan hafalan, dia tetap melangkah keluar. Karena dia yakin,
tidak ada lagi yang akan menyetorkan hafalan kepadanya.
Entah mengapa, setiap ada penyetoran hafalan, entah itu dari
hafalan AlQur-an, atau dari hafalan Kitab, Fakhri tak pernah banyak yang akan
menyetorkan kepadanya. Banyak juga desus yang beredar, bahwa santri yang punya
nyali besarlah, yang akan sanggup menyetor hafalan kepadanya.
Mereka selalu merasa takut, jika melakukan kesalahan.
Padahal, semuanya juga belum pernah ada yang menyaksikan tentang kemarahan
Fakhri terhadap santri yang menemukan kesalahan pada hafalannya. Seperti,
membentak, atau memukul.
Berbeda jika ia sedang mengajar mengaji balagan (mengaji
bandung kuping), selalu penuh, entah dari santri putra,maupun santri putri.
Fakhri tak ambil pusing, ketika dirinya dipandang apapun
oleh semua santri. Bahkan semua orang.
Biarlah mereka menilai dirinya, sesuai sugestinya masing-masing.
"Gus."
Fakhri menoleh, kala seseorang memanggilnya, dia tersenyum,
dan melangkah menghampiri ibunya yang sedang berdiri di ambang pintu rumah
orangtuanya.
"Assalamu'alaikum, Umi," sapanya.
"Wa'alaikumussalaam, Gus. Masuklah dulu! Habis dari
Aula putra, ya?" Bu Nyai mengajak Fakhri kedalam.
"Iya, Umi," jawab Fakhri.
"Memang kamu pulang jam berapa dari kantor?" Bu
Nyai bertanya lagi. Dia yakin, kalau dari Aula putra berarti putranya ikut
memantau hafalan para santri putra.
"Sebelum 'Ashar, Umi."
Bu Nyai mengangguk tersenyum.
"Gus, dari Aula putra kamu?"
Fakhri dan Bu Nyai menoleh, Pak Kyai datang dan bergabung di
sana. Fakhri mencium tangan ayahnya, "Assalamu'alaikum, Abi."
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," jawab Pak
Kyai sambil menepuk pundak putranya.
"Benar, Abi. Habis mendengarkan hafalan santri,"
Fakhri menjawab pertanyaan Pak Kyai yang sempat terselang salam.
Pak Kyai tersenyum, merasa senang, putra satu-satunya itu,
mulai aktif kembali ikut mengurus kegiatan pesantren. Beliau juga tahu, kalau
Fakhri sudah mulai punya jadwal sendiri tentang balagan Kitab.
"Abi senang, kamu mulai ikut aktif kembali
berpartisipasi dengan kegiatan para santri. Kerja memang perlu, tapi
menyebarkan dan memberikan ilmu adalah bentuk Shodaqoh yang paling
menguntungkan. Itu sebabnya, kenapa ilmu yang bermanfaat termasuk dengan Shodaqoh
jariyyah? Karena ketika kita mati, akan terus mengalir pahalanya, jika orang
yang pernah kita beri ilmu tersebut mengamalkan ilmunya. Juga, ilmu tak seperti
harta. Ilmu, semakin kita berikan dan amalkan, maka semakin banyak pula ilmu
yang kita dapat. Berbeda dengan harta. Harta akan habis, jika terus-menerus
kita pakai, pasti pada akhirnya harta itu pasti akan berkurang."
Fakhri mengangguk, mengamini apa yang di sampaikan Pak Kyai,
"iya, Abi. Terimakasih atas wejangannya. InsyaAlloh, Fakhri akan selalu
mengingatnya."
"Ngomong-omong, kamu berniat terus tinggal di rumah
komplek Pesantren, kan?"
"Belum tahu, Abi. Fakhri gimana Fatah saja."
Pak Kyai mengangguk, Bu Nyai melirik kearah Pak Kyai,
sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu.
"Abi, Umi, kalau begitu, Fakhri undur diri dulu. Fakhri
belum ketemu sama Fatah setelah pulang dari kantor tadi," ucap Fakhri
berpamitan.
Pak Kyai dan Bu Nyai saling pandang. Membuat Fakhri
mengerutkan dahinya.
"Oh, i,iya, Gus. Silahkan!" jawab Pak Kyai agak
terbata.
"Apa ada sesuatu yang ingin Abi sampaikan pada
Fakhri?" tanya Fakhri.
"O, ti,tidak ada. Pulanglah! Fatah pasti sudah
menunggumu," jawab Pak Kyai.
Fakhri mengangguk, tak memperpanjang percakapan. Dia
menghampiri ayah ibunya, untuk bersalaman.
"Kalau begitu, Fakhri pamit dulu.
Assalamu'alaikum," ucap Fakhri sambil mencium kedua tangan orangtuanya.
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," jawab Pak
Kyai dan Bu Nyai bersamaan.
Fakhri berbalik, dan melangkah keluar.
'Plak' "Astagfirullah, kenapa Ibu memukul Bapak?"
tanya Pak Kyai ketika pukulan halus mendarat di pahanya.
"Bapak ini, gimana sih? Katanya akan membicarakan
tentang keinginan Nok Salma, kok malah membiarkan Attar pulang?" tanya Bu
Nyai, ketika dirasa, Fakhri sudah tak lagi berada di sana.
Pak Kyai menghela nafasnya, "ya ... Mau gimana lagi,
Bu. Bapak agak canggung sama Attar."
"Bapak ini, masa sama putra sendiri canggung sih?"
"Ibu juga kan tahu, Attar berbeda dengan putra kita
yang lainnya. Berbeda dengan Lukman dan Arfan. Attar itu orangnya tak punya
banyak warna muka," jawab Pak Kyai.
Bu Nyai kembali memukul, bukan. Lebih tepatnya menepuk,
"Bapak ini, memangnya wajah Attar itu pelangi, dikatain berwarna
segala."
"Ya, maksud Bapak, tak banyak ekspresi. Datar."
sergah Pak Kyai.
"Iya ya, Pak. Kok Attar punya sifat seperti itu, ya?
Nurun dari siapa coba?" tanya Bu Nyai.
"Siapa lagi. Dari Ibu lah," jawab Pak Kyai tenang.
Bu Nyai menghadap Pak Kyai, "ish, Ibu gak judes, Ibu
itu humble," protes Bu Nyai.
"Oia ya, bibir Ibu-kan ... Sedikit tipis dan mungil,
kata orang banyak bicaranya."
"Bapak!" Bu Nyai kembali protes.
"Hahaha, Maafkan Bapak, Ibu!" ucap Pak Kyai sambil
merangkul pundak Bu Nyai, "Bapak cuma bercanda. Soal keinginan terakhir
Salma, kita bicarakan lagi nanti. Lagian, Bapak lihat, Fakhri akan menjawab
sama seperti yang sudah-sudah."
"Tapi, Pak. Kata Gus Arfan--"
"Iya, kita akan mencobanya kembali." potong Pak
Kyai.
Bu Nyai menghembuskan nafasnya, kemudian mengangguk.
....
"Waah, Mbak Mila, coba lihat? Bunganya mekar dengan
indah, ya?"
Langkah Fakhri terhenti, kala mendengar suara Rifa yang
sangat antusias sekali. Adiknya itu sedang berada di kebun bunganya bersama
Mila.
"Iya, Nok Rifa. Saya sangat juga senang melihatnya,"
Fakhri ikut tersenyum, ketika dia melihat lengkungan bibir
Mila yang sedang tersenyum. 'Ah, manis sekali. Astagfirullah, jaga pandanganmu,
Fakhri!' Fakhri segera menundukan kepalanya, ketika hatinya sadar, dia telah
menatap Mila. -Wanita yang saat ini, masih belum halal untuknya.-
'Sepertinya, dia sudah selesai mengajar Fatah,' ucapnya
dalam hati. Fakhri kembali melangkah menuju pintu rumahnya.
"Itu semua, karena tangan Mbak Mila yang ajaib,"
"Jangan berlebihan, Nok Rifa. Nok yang selalu
menyiaminya setiap hari."
"Tante, Note, lihat! Ini indah sekali."
Fakhri kembali menghentikan langkahnya, ketika telinganya
mendengar teriakan putranya penuh gembira.
Terlihat Ihsan sedang berlarian kearah Mila dan Rifa dengan
penuh antusias.
Serasa ada kupu-kupu dalam perutnya, kala melihat binar
bahagia putranya. Fakhri sangat bahagia. Tersenyum, dan kembali melangkah. Dia
bukannya tidak mau melihat lebih lama keantusiasan Ihsan. Hanya saja, dia
takut, matanya akan kembali belok pada yang lain.
"Lihatlah! Cantik sekali bukan?" terdengar Ihsan
kembali berbicara dengan nada gembiranya.
"KYAAAAAAA, hatcim, hatcim, hatcim,"
Fakhri yang semula sudah masuk, kembali keluar, kala
mendengar teriakan Mila penuh keterkejutan. Dia melihat wajah Mila yang sudah
memerah serta bersin tak tiada hentinya.
Terlihat Rifa dan Ihsan sedang mondar-mandir merasakan
kepanikan. Fakhri masih di teras rumahnya menyaksikan kejadian yang begitu tak
trduga itu.
Otaknya terus berfikir, kenapa bisa begitu? Apa yang membuat
Mila seperti itu?
Seketika Fakhri melangkah kearah dimana ada Mila, Rifa, juga
Ihsan, setelah ujung matanya menangkap sesuatu di depan Mila.
"Oia, parfum Papa. Fatah akan ambilkan parfum Papa
dulu,"
Fakhri mendengar Ihsan berbicara, berarti dugaannya memang
benar.
'Pluk' Fakhri melemparkan sorban yang dia pakai. Yang memang
selalu dia pakai ketika sedang Sholat dan juga mengajar.
Sebenarnya Fakhri gak tahu, apakah tindakannya itu tepat
atau tidak, tapi mengingat bahwa aroma parfumnya dapat mengurangi alergi Mila,
dia refleks melemparkannya. Apalagi ketika Ihsan berseru tentang parfum itu.
Hening. Tidak ada teriakan Ihsan. Tidak ada suara kepanikan
Rifa, bahkan tidak ada lagi terdengar suara bersin dari mulut Mila. Bahkan
tubuh Mila menjadi kaku layaknya menekan.
Tubuh Fakhri menegang, kala telinganya mendengar degupan
jantung milik Mila. Dan sepertinya jantungnya pun ikut terinfeksi. Karena dia
juga merasakan sama. Jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya.
"Fatah, kamu sudah tahukan? Bahwa Nona Kamila ini,
alergi yang berbau ulat?" Fakhri berkata pada putranya. Seolah sedang
menegurnya.
Terlihat Ihsan salah tingkah, sepertinya ini bukan di
sengaja. Ihsan melupakan alergi Mila. Catat! Bukan disengaja.
"Bawa Nona Kamila-nya masuk kedalam, Gus! Berikan dia
minuman hangat."
Ihsan mengangguk antusias, "ayok, Note!" ajak
Ihsan.
Setelah Ihsan berlalu bersama Mila. Fakhri tidak dapat
menyembunyikan senyumannya, dia menunduk, kemudian menggeleng, "seorang
gadis, takut kupu-kupu? Lucu sekali," gumamnya.
Fakhri mendongak, dan matanya bertubrukan dengan mata Rifa
yang masih melongo, terkejut.
"Ekhem, Nok," Fakhri mencoba memanggil adiknya
dengan nada senormal mungkin. Sungguh. Ini kaki pertama dia tercyduk, apalagi
oleh adiknya sendiri.
"YA!" Rifa refleks menjawab dengan keterkejutan
yang nyata, "Ma,maaf, Mas! Euma ... Tidak apa-apa, m,maksud Rifa, hanya
panik. Ya, hanya panik," Rifa menjawab dengan gugup.
-Aneh, yang tercyduk siapa? Yang gugupnya siapa?-
Fakhri menganggukkan kepalanya, lalu berbalik dab melangkah,
'Astagfirullah! Macam abegeh saja kau, Fakhri!' tegurnya dalam hati.
..........
"Hihihi."
Ihsan tak bisa menghentikan tawanya, ketika ingatannya terus
memutar kejadian kemarin sore. Andai saja dirinya tahu akan ada kejadian
seperti kemarin, dia akan merekamnya, dan menjadikannya sebuah film. 'Wkwkwkwk'
Ihsan tertawa dalam hatinya kala terlintas idenya itu.
"Gus Fatah."
Ihsan menoleh, dan seketika senyumannya menjadi mengerucut,
ketika mengetahui siapa yang memanggilnya.
Arfan tersenyum, kala melihat sikap Ihsan. Dia juga merasa
bingung, kenapa Ihsan selalu bersikap jutek bila bertemu dengan dirinya.
"Assalamu'alaikum, Gus Fatah," Arfan menyapa
lembut.
"Wa'alaikumussalaam," tapi Ihsan menjawab datar.
'Benar-benar replika ayahnya,' ucap Arfan dalam hati.
"Sedang ngapain, Gus?" tanya Arfan kembali.
"Sedang tidak ingin di ganggu," jawab Ihsan sambil
memalingkan wajahnya.
Ihsan masih sebal pada Arfan, karena otaknya terus mengingat
kejadian itu, kejadian dimana Arfan sempat membantu Mila mengumpulkan belalang.
Arfan tersenyum, dia memaklumi sikap Ihsan, tapi dia juga
tidak akan menyerah, "waah kalau begitu, Maaf sekali, ya! Karena
kedatangan Om kesini ada keperluan dengan Gus Fatah."
Arfan sengaja tidak basa-basi lagi. Karena ia tahu, Ihsan
akan terus menolaknya.
"Om ada keperluan apa sama Fatah?" tanya Ihsan
mulai kepo. Walau hatinya sudah waspada. 'Ingat! Om Arfan adalah saingannya
dalam merebut hati Note-nya,' ucap Ihsan dalam hatinya.
"Ini menyangkut tentang ..." Arfan sengaja
menggantungkan kalimatnya, agar Ihsan semakin penasaran, "Ibumu."
"Ibu?" tanya Ihsan refleks, "maksud Om, Mama
Fatah?"
Arfan tersenyum, lalu mengangguk, "iya, Om punya cerita
tentang Mamamu."
Terlihat wajah Ihsan menjadi sangat penasaran, pasalnya
selama ini tidak ada yang mengungkit-ungkit tentang ibunya. Tapi, kenapa Omnya
yang satu ini tiba-tiba berbicara tentang ibunya.
"Apa itu?" tanya Ihsan penasaran.
Arfan tersenyum, bersyukur, Ihsan mau mendengarkan.
"Begini, ..."
................
Universitas Indonesia. Jakarta.
"Ekhem, Nona yang di sana! Apakah anda berniat
mendengarkan pelajaran saya?"
Semua orang menoleh ke salahsatu murid yang di tunjuk oleh
sang dosen. Mereka tak berani bergerak, karena merasa takut pada gurunya itu.
Apalagi julukannya saja udah 'Dosen Otoriter' dan sekarang ditambah aura sang
Dosen sangat gelap sekali. Sehingga julukan 'Killer' pun sangat terhormat untuk
Dosen tersebut.
Salahsatu mahasiswi disana memutar bola matanya. Dia
berdiri, dan dengan angkuhnya berjalan menghampiri murid yang mungkin sedang
melamun itu.
'BRAK'
"Astagfirullah."
Sang murid yang melamun Zahra, murid yang melamun itu
mengusap dadanya berkali-kali, ia mendongak, dan mendapati wajah sombong
Jessica yang sedang bersedekap dada.
"Ada apa ya, Mbak Jessica?" tanya Zahra.
Jessica yang berubah gaya menjadi bertolak pinggang, akan
menyemburkan layarnya, kalau saja ...
"Nona Zahra, apakah anda berniat mendengarkan pelajaran
saya?" suara Juand tidak menengahi.
Zahra menatap sekelilingnya, dia menunduk, kala sadar bahwa
dirinya sedang menjadi pusat perhatian.
"Mohon maaf, Pak," ucap Zahra.
"Sekali lagi saya melihat anda tidak memperhatikan
pelajaran saya, lebih baik anda kembali pulang. Mengerti?" ucap Juand
penuh intimidasi.
"Baik, Pak," jawab Zahra sambil mengangguk.
"Jessica, kembali ke tempat duduk!"
Jessica mendengus kearah Zahra, lalu kembali berjalan ke
tempat duduknya.
"Haaahhh," Zahra menghembuskan nafasnya. Semenjak
dia di keluarkan dari pekerjaannya(menjadi AsDos) Zahra menjadi seperti tidak
semangat lagi. Apalagi jika harus bertemu dengan Juand dan lintahnya itu.
Lintahnya? Iya. Lintahnya. si Jessica. Dia itukan seperti
Lintah. Terus menempel kepada Juand.
'Astagfirullah, Allohu Akbar! YaAlloh, kenapa dirinya
menjadi begini sih? Tak seharusnya dia mencampuri urusan orang lain, apalagi
sampai mengatai orang lain lintah segala. YaAlloh, ampuni hamba!' racau Zahra
dalam hatinya.
Pandangan Zahra kembali kepada Juand yang sedang memberikan
arahan kepada muridnya, seketika Zahra menunduk, kala hatinya mengatakan bahwa
dia menatap Juand bukan sekedar menatap orang yang sedang memberikan ilmu
padanya, melainkan menatap Juand sebagai seorang ...
"Nona Zahra."
Zahra langsung mendongak, kala suara Juand memecahkan
lamunannya kembali.
"Maaf, Pak. Sepertinya, saya memang membutuhkan pulang
untuk saat ini," ucap Zahra sambil berdiri, kepalanya dia anggukan syarat
kesopanan.
Tanpa memperdulikan keadaan setempat, Zahra terus melangkah
menuju kearah pintu. Kalau saja dia punya pintu doraemon, dia rasanya ingin
masuk kesana. Agar dirinya tidak melewati Dosen Otoriter itu.
'Manusia gagal move on,' seketika langkahnya terhenti, kala
telinganya mendengar bisikan Juand. Tapi, hanya sebentar. Dia melanjutkan
langkahnya, meski dalam hati terus bertanya, apa maksud ucapan Juand tersebut?
Manusia gagal move on? Dia yakin, bahwa bisikan itu di tujukan pada dirinya.
"Ahhhhhh," Zahra menghembuskan nafasnya kembali,
ketika dia sudah duduk di kursi taman. Sekarang menunjukan pukul sebelas.
Memejamkan matanya, mencoba untuk menenangkan jiwanya, yang
entah kenapa akhir-akhir ini dia merasa tidak enak hati. Tak nyaman, ada rasa
marah, tapi entah kepada siapa.
'Drrrt' ponselnya bergetar, tangannya membuka tasnya, dan
mengambil benda pipih persegi itu. Bibirnya melengkung senang, kala melihat
siapa yang menelponnya.
"Assalamu'alaikum, Kamila," sapanya antusias.
"...."
"Aku baik. Kamu?"
"...."
"Heeeeh," Zahra menghembuskan nafasnya sambil
cemberut.
"...."
"Gak ada apa-apa, cuma lagi bete aja."
"...."
"Tidak, Pak Juand sudah tidak menggangguku lagi."
Terdengar helaan nafas lega dari seberang sana.
"...."
"Iya," 'tapi, aku yang merasa tak nyaman,'
lanjutnya dalam hati.
"...."
"He-em, aju juga akan pulang tak lama lagi, Mila
sayang. Tunggu aku di sana, ya! Pokoknya sebelum kamu pulang, aku akan pulang
paling dahulu," ucap Zahra mencoba mengalihkan pembicaraan dari si Dosen
otoriter itu.
"Halo, Mil. Mila. Kamu masih di sana kan?" tanya
Zahra. Ketika tidak ada sahutan dari sahabatnya itu.
"...."
"Kirain kamu kemana? Oia, kamu sering hubungi om sama
tante bukan?"
"...."
"Iya, tak terasa, waktu kabur mu hanya enam minggu
lagi. Wkwkwkwk,"
"...."
"Iya maaf, cantik! Hehehe. Puas-puasin deh ya di sana.
Semoga pas kamu pulang, kamu bawa gendolan cogan buat di setorin sama Pak
Kakek. Hihihi."
"...."
"Wkwkwk, ya semoga aha kali, hihi."
"...."
"Iya, yuk! Assalamu'alaikum."
"...." 'klik'
"Haaaaah, ASTAGFIRULLAH."
Zahra menjerit kaget, ketika sesuatu yang dingin menempel di
pipi kanannya.
Dia menoleh, dan seketika matanya mendelik, kearah sang
tersangka.
"Ish, Bapak ngagetin aja. Kalau saya kena penyakit
jantung, tanggung jawab!"
Orang yang di cerca hanya menatap datar Zahra. Tangannya
menyodorkan satu kaleng larutan dingin.
Dahi Zahra mengerut, bingung, "ini apa?" tanya
Zahra.
"Ck, anda mendadak tidak bisa membaca juga? Setelah
seharian ini tidak fokus sama pelajaran saya. Andapun mengalami amnesia
terhadap huruf?"
Zahra mendelik, bibirnya mengerucut, "buka begitu
maksud saya, saya tidak sedang sariawan. Jadi tidak memerlukan itu. Dan kalau
bicara, di saring kek! Itu mulut, apa bon cabe?"
"Ini, ambilah!" ucap orang itu. Yang tak lain
adalah Juand.
"Untuk apa?"
"Saya harus memastikan, bahwa anda masuh baik-baik
saja. Sebelum anda mengatakan, dimana keberadaan adik saya, otak anda harus
tetap tegak. Jangan berkurang sedikitpun," ujar Juand sambil berlalu.
Zahra melotot, lalu terdengar lirih dia menyerapahi Juand.
'Sakit perut tahu rasa.'
"Satu lagi," Juand menghentikan langkahnya,
"cobalah untuk move on, Nona! Jangan terus terkurung di masalalu!"
lanjut Juand penuh teka-teki.
Zahra langsung menoleh kearah Juand, 'siapa yang di sebut
gagal move on itu? Dirinya kah? Astagfirullah ... Jadi Juand tahu, kalau
dirinya gagal move on dari asisten Dosennya? Ck, sombong sekali. Lihat
saja.sebentar lagi dia akan melupakan pekerjaannya itu.'
........
Annur dua. Bululawang. Malang. Jawa Timur.
'Klik'
"Ahhhh" Mila menghela nafasnya, dia sempat
melupakan, bahwa dirinya hanya punya waktu sebulan setengah lagi di sana.
Padahal ... Dia sudah betah disini.
Mampukah Mila melepas begitu saja? Rasanya akan berat.
Apalagi ada seseorang yang membuatnya enggan pulang kerumahnya. Siapa kalau
buka Ihsan. Gus Ihsan yang pintar dan manis.
Ya, manis. Manis sekali. Gus kecil itu sudah berubah menjadi
madu setelah menjadi lebah sebelumnya.
"Aaaahhhh" Mila sekali lagi menghembuskan
nafasnya.
"Kenapa, Mbak Mila?" Anisa yang melihat tingkah
Mila, menghampirinya, dan bertanya.
"Ah, oh, itu, tidak apa-apa, Mbak Nisa," jawab
Mila tersenyum.
"Sepertinya, Mbak Mil--"
"Hancur sudaaaaah, haraapankuuuu."
Ucapan Anisa terhenti, ketika suara nyanyian melengking
jelas dari seseorang yang baru saja masuk ke kamar mereka.
Terlihat Rohmi sedang berlagak menyanyi dengan kedua
tangannya yang ikut ber-atraksi.
Mila terkekeh, merasa geli. Sedang Anisa menggelengkan
kepalanya.
"Mbak Rohmi, tidak baik lho. Seorang wanita meninggikan
suaranya. Tidak takut apa, di dengar laki-laki ghoir mahrom kita?" Anisa
menegur halus Rohmi.
Rohmi hanya cengengesan, lalu mimik mukanya kembali
mendramatisir.
"Aku baru saja patah hati, Mbak Anisa," logat
Rohmi sepilu mungkin.
"Kenapa?"
"Mbak tahu gak? Kalau sebentar lagi, calon istri Gus
Fakhri akan pulang. Itu berarti, sebentar lagi, Gus Fakhri sudah bukan duda
lagi. Huwaaaaaa,"
'DEG' jantung Mila serasa berhenti. Tubuhnya menegang.
Hatinya bergetar kuat. Otaknya 'blank' seketika. 'Apa? Calon istri?'
'Astagfirullah!' Mila menggelengkan kepalanya terus-menerus.
Kala hatinya mengakui sesuatu. Dia terus beristigfar. Memohon ampun, dan
meminta agar Alloh mengenyahkan pikiran tersebut.
Anisa langsung melirik Mila, kala ucapan Rohmi telah
berhenti. Tangannya memeras pundak Mila, berharap Mila sadar akan tingkahnya.
"Mbak Mila kenapa?" tanya Rohmi.
"Ah, neng,enggak apa-apa k,kok," jawab Mila kikuk.
Tangan Anisa masih memegang pundak Mila.
"Cukup, Mbak Rohmi! Apapun itu, bukan urusan
kita."
Rohmi cemberut mendengar teguran Anisa.
"Calon istri?" Mila bergumam.
Seolah mendapatkan jalan, Rohmi menganggukkan kepalanya
berulang kali, menghiraukan teguran kecil lainnya dari Anisa.
"Iya, Mbak Mila. Calon istri Gus Fakhri itu, adalah
adiknya Gus Arfan yang sekarang sedang berkuliah di luar kota. Menurut yang aku
dengar, sebentar lagi dia akan pulang. Dan akan langsung mengadakan resepsi
akad pernikahan. Aku--"
"Mbak Rohmi, sudah! Jangan berani-beraninya menyebarkan
segala sesuatu yang di dengar. Apalagi kita tidak tahu sebenarnya," Anisa
menghentikan ucapan Rohmi. Bukan karena melihat reaksi Mila saja. Tapi, dia
juga merasa kasihan, bila nanti Rohmi akan mendapatkan masalah sari hasil
menggosipnya itu. Dia menyayangi keduanya. Mila dan Rohmi.
Seolah tak bernyawa, Mila juga ikut-ikutan tak mengindahkan
Anisa.
"Kalau boleh tahu, siapa namanya?"
"Namanya adal---"
'Toktoktok' ucapan Rohmi seketika terhenti, karena ada yang
mengetuk pintu.
"Assalamu'alaikum, maaf mengganggu! Mbak Mila, Gus
Arfan ingin bertemu dengan Mbak. Beliau sedang menunggumu di ruang kantor
santriwati," ucap salahsatu santri putri di sana.
"Aahhhh, baiklah. Terimakasih," ucap Mila.
Dia menoleh kearah Anisa dan Rohmi untuk berpamitan.
Anisa menghembuskan nafasnya, lalu menoleh kearah Rohmi yang
sedang mematung, mungkin Rohmi kaget. Orang yang sedang di bicarakan, malah
memanggil salah satunya, 'sepertinya, ucapan Anisa benar.'
Mila melangkah dengan otak dipenuhi dengan berbagai
pertanyaan. 'Siapa calon istri Gus Fakhri?'
sumber : WAG
JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (20)
Judul : dengan satu syarat. 2
"Saya sudah mengikhlaskan parfum itu. Saya ikhlas
memberikannya pada anda, Nona."
Mila menghela nafasnya lega. Ah, ternyata Alhamdulillah ...
"Tapi, dengan satu syarat."
"Ck, katanya ikhlas, tapi kok nuntut," tanpa
sadar, Mila bergumam.
"Ekhem. Maaf, Nona! Saya mendengarnya."
Mila langsung menggigit jarinya dan memejamkan matanya
rapat. 'Astagfirullah ...'
"Apa kira-kira syaratnya, Gus?"
"Syaratnya ... Nona harus bersedia menjadi ibu---"
"Appa???" Mila refleks menjerit. 'Dag-dig-dug,
dag-dig-dug, dag-dig-dug,' jantungnya berdetak sepuluh kali lipat cepatnya.
'Apa tadi katanya? Ibu?'
Fakhri berjingkat kaget, kala jeritan Mila melengking
tiba-tiba. Tubuh Fakhri menegang, mendengar debaran jantung milik Mila. 'Kenapa
dia kaget? Apa ada yang salah dengan ucapanku?' tanya Fakhri dalam hati.
"Ekhem, Nona, anda tidak apa-apa?" tanya Fakhri
hati-hati. Dia tidak bisa melihat raut muka Mila, karena saat ini mereka di
halangi oleh lemari buku. Tapi, Fakhri dapat memastikan, kalau Mila sangat syok
dengan ucapannya. Terlebih, dia mendengar suara detak jantung Mila. Meski tidak
begitu jelas.
Tidak ada sahutan, ataupun jawaban dari Mila, membuat Fakhri
terus mengingat, apa yang barusan dia katakan.
Seulas senyum terukir dibibir pria tersebut, kala ia
mendapatkan satu kesimpulan, 'mungkinkah Nona Kamila ini, mengira ...'
"Ekhem, maaf, Nona! Sepertinya saya belum selesai
bicara," ucap Fakhri setenang mungkin. Entah mengapa, dia ingin sekali
tersenyum.
"Haah?" bukannya mereda, jantung Mila semakin
berpacu hebat. Bahkan, mukanya sudah sangat panas. Tangannya berkeringat.
'Astagfirullah... Kenapa aku sangat keterlaluan? Bisa-bisanya aku memotong
ucapan Fakhri, apalagi dengan lengkingannya itu. Bagaimana kalau Fakhri tahu,
kalau dirinya sempat galfok dengan kata ibu itu?'
"Ma,maafkan s,saya, G,gus!" Mila berkata dengan
terbata.
"Tidak apa-apa. Jadi, bisakah saya meneruskannya?"
Mila menganggukkan kepalanya.
"Nona, bagaimana? Apakah saya bisa melanjutkan perbincangannya?"
tanya Fakhri, karena Mila tak kunjung menjawabnya.
"A,ah .. I,iya, Gus. Silahkan!" jawab Mila sambil
menepuk jidatnya. Kenapa malah melamun sih? Ini lagi, jantungnya masih belum
berdetak normal. 'Jantung, oh jantung, tenanglah!'
"Syaratnya, adalah ... Saya meminta Nona agar bersedia
menjadi ibu pembimbing putra saya."
'Blushhh' andai ada yang tahu, bagaimana kondisi wajah Mila
saat ini. 'YaAlloh ... Kenapa dia sempat berpikiran, kalau tadi Fakhri
memintanya menjadi ...' 'tidak, tidak, tidak!' Mila menggelengkan kepalanya
berulang kali.
"Saya yakin, Nona bisa membuat putra saya menjadi anak
yang penurut," lanjut Fakhri. Tanpa tahu, orang yang sedang di ajak
bicaranya, masih menenangkan jantung dan hatinya.
"Ba,bagaimana anda yakin? Bahkan sampai saat ini, G,gus
Ihsan selalu membuat saya jantungan," jawab Mila dengan suara pelan.
"Saya pastikan, bahwa ucapan saya bisa di andalkan.
Mungkin Nona berfikir, bahwa putra saya bersikap seperti itu ke semua orang.
Tapi, nyatanya, sifat jahil tersebut, setelah dia bertemu denganmu, dan hanya
kepadamu saja, Nona."
"Jadi, menurut anda, saya telah membawa pengaruh buruk
pada putra anda, begitu?" tanya Mila nyolot. Dia merasa tak terima bahwa
dia seolah pihak tersangka di sini.
"Bukan. Jangan! Maksud saya, bukan begitu. Saya tidak
ada sedikitpun menyalahkan anda, Nona. Saya justru berterimakasih pada Nona.
Krarena Nona, bisa membangun sifat Fatah yang seharusnya."
Mila benar-benar tidak begitu faham dengan ucapan Fakhri,
membangun sifat yang seharusnya? Apa itu? Jadi, sifat menyebalkan Ihsan itu
adalah sifat yang seharusnya? 'Arrgh. Gak mengerti aku, dia jadi bingung harus
menjawab apa. Dia takut salah alamat lagi, kayak tadi. Tentang menjadi Ib--
lupakan!'
"Maaf, Gus. Saya tidak faham," Mila rasa, itu
adalah tanggapan yang paling aman.
"Sifat Fatah selama ini, cenderung tenang dan santai.
Cuek, dan tak pernah peduli terhadap sekitarnya. Selalu bersikap seperti orang
dewasa," Fakhri mencoba menjelaskan.
"Masa sih? Kok, aku gak percaya," lagi-lagi, Mila
bergumam tanpa sadar.
Fakhri tersenyum, 'sudah ku duga, Nona ini pasti tak akan
mudah percaya.'
"Tapi, itulah kenyataannya, saya melihat tingkah Fatah
yang jail, suka cemberut jika tak dituruti, selalu bercerita tentang
masalahnya, itu setelah dia bertemu dengan anda, Nona. Bahkan, saya tidak
mengira, bahwa dia akan menjebak saya seperti sekarang ini. Saya memang tidak
setuju, bahkan marah dengan kelakuannya saat ini. Tapi, terlepas dari itu
semua, saya merasa bersyukur, setidaknya dengan sikap nakalnya itu, saya bisa
menyimpulkan, bahwa dia masih sosok seorang anak kecil, yang bertindak tanpa
berfikir dahulu."
Mila menghela nafasnya, "tapi, saya merasa tidak yakin,
Gus. Saya takut, kenakalan putra anda, akan bertambah akut, jika saya yang
menjadi mentor belajarnya."
"Saya berani menjamin itu. Sudah saya katakan bukan?
Dia hanya bersikap seperti itu hanya terhadap Nona saja. Katakan saja, dia
bersikap seperti itu, karena dia ingin mendapat perhatian dari anda,
Nona."
"Perhatian dari saya? Kok bisa? Gus Ihsan ingin
perhatian dariku?"
"Untuk soal itu, Nona bisa tanyakan langsung pada
Fatah, dan ... Ekhem, saya tidak bisa mendengar kata 'tidak' dari jawaban
anda," tandas Fakhri pada akhirnya. Sebenarnya, Fakhri sangat ingin lebih
banyak waktu untuk berbincang dengan Mila. Tak dapat dipungkiri, dia juga
merasa nyaman mengobrol dengan gadis di balik lemari itu. Tapi, dia sadar.
Situasi ini akan menimbulkan banyak konsekuensi. Seperti pikiran negatif dari
luar, dan juga tidak menutup kemungkinan syetan datang di waktu yang tak
disangka-sangka.
"Sepertinya, perbincangan kita cukup sampai disini,
Nona. Saya minta maaf, atas semua kenakalan yang dibuat putra saya terhadap
anda. Percayalah! Berikan dia perhatian lebih, maka ia tak akan berbuat nakal
lagi terhadap anda," ucap Fakhri. Dia sudah beranjak dari duduknya menuju
pintu keluar.
Sedangkan Mila masih bingung dengan kata 'perhatian' itu.
Oh, tak bisakah Gus duda itu, bicara yang sedikit lebih jelas? Dia yang bingung
sendiri bukan? Terus apa yang harus dia lakukan untuk kata memberi perhatian
itu? "Argh! Pusyiang," Mila mengacak kerudungnya.
"DORDORDOR, FATAH, BUKA PINTUNYA!" Fakhri kembali
menggedor pintu, sambil memanggil putra nakalnya itu.
Terdengar suara kunci diputar, dan 'Ceklek' pintu terbuka.
Fakhri yang niat awalnya akan langsung menegur putranya,
langsung berganti raut muka bingung, kala Mbok Sum lah yang membukanya,
"lho, kok Mbok yang bukain pintu? Fatah mana, Mbok?" tanya Fakhri.
"Anu, Tuan. Den kecil ikut Non Rifa keluar, dan
Astagfirullah, itu hidung Tuan kenapa berdarah?" si Mbok tak melanjutkan
ucapannya, ketika matanya melihat hidung majikannya mengeluarkan darah.
"Oh, ini. Tidak apa-apa, Mbok. Oia, Mbok, sepertinya
Nona itu belum tahu kalau saya sudah keluar, tolong samperin dia, ya!"
ucap Fakhri sambil melangkah hendak meninggalkan tempat.
"Lho, bukannya Tuan sama Ning ayu bersama di dalam?
Kenapa Ning ayu tidak tahu Tuan keluar?"
Fakhri menghentikan langkahnya, dan berbalik serta
tersenyum, "kami memang satu ruangan. Tapi, kami tidak saling berhadapan,
Nona itu berada di balik lemari buku, Mbok," jawab Fakhri, setelah itu
langsung berbalik kembali, dia merogoh saku celananya. Mendial nomor seseorang.
Mbok Sum tersenyum, merasa lega. Setidaknya mereka masih
bisa menjaga satu sama lainnya, meski dalam satu ruangan. Tidak mengambil
kesempatan dalam kesempitan.
Mbok Sum melangkah memasuki ruangan kerja majikannya. Ternyata
benar, Mila masih termenung di sana.
"Ning ayu," ucap Mbok Sum sambil menepuk pelan
pundak Mila.
"Astagfirullah ..." Mila terlonjak kaget saat
merasakan tepukan itu, menoleh, dan menghela nafasnya, "Mbok,"
ucapnya sambil mengurut dadanya.
...........
"Gus, kenapa kamu sekarang jail pada orang sih?"
tanya Rifa ketika mereka sudah di rumahnya Mina.
"Aku gak jail, Tante," jawab Ihsan cemberut.
"Lalu apa yang kamu barusan lakukan pada Mbak
Mila?"
"Aku hanya menjalankan tugas," jawab Ihsan singkat.
"Tugas?"
"Ya, tugas. Otak Fatah yang memberikan tugas itu. Tante
tahu? Note-ku sangat takut pada Papa, aku tak suka Note-ku takut sama Papa.
Makanya Fatah merencanakan ini semua. Note harus tahu, bahwa Papa adalah orang
baik," jawab Ihsan antusias.
Rifa menatap Ihsan lekat sekali. Kenapa Ihsan begitu peduli
dengan Mila?
"Gus."
"Ya?"
"Apa kamu ingin Mbak Mila menjadi ibumu?" tanya
Rifa hati-hati. Dia sebenarnya ragu, apakah Ihsan tahu maksud pertanyaannya
atau tidak.
Ihsan menatap Rifa, "ibu? Kan ibu Fatah sudah
meninggal, Tante."
"Maksud Tante, ibu pengganti."
Ihsan langsung mendelik kearah Rifa, "tak akan ada yang
bisa menggantikan Mama, mama Fatah hanya satu," jawabnya ketus.
"Lalu, kenapa kamu bersikeras membuat Mbak Mila agar
tidak takut pada Papamu, Gus?"
"Karena itu sebagian dari rencana awal Fatah."
Rifa mengernyit bingung, "rencana awal? Apalagi
tuh?"
"Rencana awal. Fatah bertekad akan membuat Note
klepek-klepek sama Papa," jawabnya sambil mengepalkan tangannya di simpan
di depan dadanya. Terlihat binar matanya sangat hidup penuh semangat.
Rifa menganga, lalu menepuk jidatnya, "Fatah, kamu
keterlaluan."
Ihsan cemberut disebut keterlaluan.
"Aku tidak keterlaluan, Papa orang yang paling tampan,
aku gak suka, Note malu-malu jika bertemu dengan om Arfan. Om Arfan kegenitan,
suka godain Note-ku."
'Deg' ^om Arfan suka kegenitan, suka godain Note-ku,^
tiba-tiba ucapan Ihsan yang terakhir sangat mengusik hatinya.
Rifa menghembuskan nafasnya, ternyata tidak mudah melupakan
cinta yang telah mengakar kuat, meski tanpa dia pupuk. Bahkan Rifa sudah
berusaha untuk mematikannya. Namun, sebesar dia berniat menghapus, sebesar itu
pula keinginannya untuk lebih berharap. Tanpa dia sadari, nama Arfanlah, lelaki
yang selalu mengisi disetiap hembusan do'anya.
Arfan cinta dalam diamnya, yang tak akan pernah bisa dia
gapai.
"Sedang membicarakan apa sih? Serius banget," Mina
datang sambil membawa cemilan.
Rifa tersenyum, "tidak usah repot-repot, Nok. Mana mas
Lukman?"
"Mas Lukman pergi ke kantor, om Attar menelponnya, dia
tidak bisa ke kantor karena katanya ada urusan sama Fatah. Tapi, kenapa Fatah
ada disini?" ucap Mina, heran. Tak mungkinkan suaminya berbohong.
Rifa menghela nafasnya, "Fatah sengaja kesini, karena
takut dihukum ayahnya. Dia telah membuat satu kesalahan."
Mina mengernyit dahinya, bingung. Pasalnya, seingat Mina,
Ihsan tak pernah membuat omnya itu marah.
"Panjang ceritanya. Oia, udah berapa bulan ini
baby?" ucap Rifa sambil mengelus perut Mina.
"InsyaAlloh, menginjak bulan ke lima," jawab Mina
bahagia, "Tante kapan nyusul?" tanya Mina pada Rifa.
Rifa hanya menghela nafas, lalu cemberut.
"Aku yakin, mas Arfan juga mempunyai rasa terhadapmu.
Dia keras kepala, ya. Padahal, meskipun adiknya akan di jadikan ibu dari Fatah.
Diapun bisa menikahi Tante."
Rifa menoleh kearah Mina, 'Astagfirullah, dia lupa. Bahwa
adik Arfan adalah gadis yang di wasiatkan oleh mendiang kakak iparnya.'
'YaAlloh, bagaimana ini? Sedangkan Ihsan sudah terlanjur
tertarik terhadap Mila. Rifa tahu, meskipun Ihsan mengatakan tidak akan ada
yang menggantikan sosok ibunya, tapi tanpa Ihsan mengerti, bahwa dirinya sudah
sangat bergantung pada sosok Mila. Bagaimana ini?'
'Drrt' ponsel Rifa bergetar, dia melihat siapa yang
menelponnya, matanya membulat kala melihat nama kakak laki-lakinya tertera di
sana.
"Gus, Papamu menelpon Tante, nih kamu yang
angkat!" ujar Rifa sambil menyodorkan ponselnya.
"Iiih, Papa nelpon ke Hpnya Tante, jadi Papa perlunya
sama Tante. Jadi, yang angkat harus Tante dong. bilangin Papa, ya. Fatah akan
menginap di rumah nenek," ucap Ihsan sambil berlalu.
Ihsan yakin, Papanya tidak akan berani memarahinya, jika dia
bersama neneknya. 'Yes, aku aman,' Ihsan berjingkrak dalam hati.
Rifa menghembuskan nafasnya, "halo,
Assalaamu'alaikum."
...........
Universitas Indonesia. Jakarta.
"Ekhem, Nona Zahra."
Zahra yang semula sedang berkutat di laporan nilai siswa,
mendongak, kala mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata dosen otoriternya.
Dahi Zahra berkerut, ketika dia melihat Juand tidak sendirian, melainkan
bersama seseorang.
"Nona, mulai saat ini, anda tidak perlu membantu saya
lagi," ucap Juand dingin, "pekerjaanmu akan di ganti sama
Jessica," lanjutnya.
Zahra seketika terkejut, namun hanya sesaat. Dia mengangguk
seraya tersenyum antusias, " baik, Pak. Terimakasih," ucapnya
semangat.
Juand tidak membalas, melainkan tersenyum sinis sambil
berbalik. Jessica tersenyum mengejek kearah Zahra, sebelum mengikuti langkah
Juand.
"Aahh ..." Zahra menghela nafasnya, setelah
kepergian Juand dan Jessica. Seharusnya dia lega kan? Bahagia kan? Dia tidak
akan berurusan lagi dengan dosen otoriter itu? Tapi, kenapa hatinya tidak
merasakan kelegaan itu? Malah cenderung tidak nyaman, dan sedikit menyesal
dengan keputusan Juand.
Zahra menggelengkan kepalanya, kala sekelebat pikiran masuk
pada hatinya. Zahra Segera membereskan barang-barangnya, dia ingin segera
keluar, agar pikirannya kembali normal.
'Dia, tidak mungkin tertarik pada dosen otoriter itu,
bukan?'
...............
Malang. Jawa Timur.
"Mas, katanya hari ini ada meeting di kantor, ya?"
tanya Mina ketika menyiapkan pakaian suaminya. Hari ini adalah hari senin.
"Ya. Tapi, Mas sudah minta izin pada Gus Attar, akan
menemanimu memeriksa kandunganmu," jawab Lukman lembut.
Tubuh Mina menegang, "kenapa harus izin sih? Biar aku
sendiri saja yang periksa."
Lukman menatap lekat istrinya. Merasa ada yang tak beres.
Pasalnya, sudah beberapa kali dia ingin ikut pemeriksaan, Mina selalu menolak.
"Mas, jangan menatapku seperti itu! Serem tahu,"
ucap Mina pura-pura merajuk, "oke, periksanya sama Mas. Tapi, setelah Mas
ikut meeting, ya!"
Lukman menghela nafasnya, "sebenarnya kenapa sih kamu
gak bolehin Mas ikut periksa anak kita? Mas juga kan ingin mendengar detak
jantungnya, melihat tubuhnya yang sedang bergerak di dalam," keluh Lukman.
Lukman tidak menyadari, ucapannya membuat Mina harus
mati-matian menahan gejolak di hatinya. Dia menggigit bibir dalamnya kuat, agar
dia tak menumpahkan tangisannya. Sungguh. Dia sangat berdosa kepada suaminya
itu. Tapi, dia juga tidak ingin kehilangan anaknya. Dia takut, kalau suaminya
tahu. Dia akan memaksanya menggugurkan kandungannya.
"Hei, hei, kenapa malah menangis? Oke, maafkan, Mas!
Tapi, berhenti menangis!" Lukman kaget, karena tiba-tiba saja, airmata
Mina mengalir, mungkin ini adalah efek kesensitifan istrinya karena sedang
hamil. Diraihnya tubuh mungil itu kedalam pelukannya.
Mina semakin tergugu, tangannya terus memukul dada suaminya.
Dia berharap, suaminya mengira bahwa tangisannya itu atas dasar kelabilannya
yang sedang hamil.
"Mas jahat, Mas nuduh aku. Hiks, hiks, hiks."
"Maaf, Mas minta maaf. Mas tidak bermaksud seperti
itu," ucap Lukman sambil terus mengecup kening istrinya dan tangan
kanannya mengelus punggung Mina.
"Kan udah dibilangin. Kita periksa bersama, setelah
meeting Mas selesai, anak kita, gak mau Ayahnya bolos kerja sesuka
hatinya," ucap Mina dengan nada merengek.
Lukman terkekeh, "baiklah, Mas akan kerja dulu.
Puaskan? Heum?"
Mina tersenyum, dia mengecup pipi Lukman sekilas,
"terimakasih, Ayah. I love you," ucap Mina memeluk kembali tubuh
suaminya.
Lukman membalas pelukan istrinya. Mengecup berkali-kali
kening Mina, "i love you so much, Bunda," bisik Lukman amat sangat
tulus.
Mina semakin mengeratkan pelukannya, menghirup aroma
suaminya sangat dalam. 'Aku sangat percaya, kamu mencintaiku, Mas. Tapi, aku
juga tahu, di dasar hatimu yang lain, kau masih menyebut namanya.'
,.........
PonPes Al-Zamil.
Wajah penuh keceriaan selalu terpatri di wajah kecil milik
Ihsan. Semenjak Mila menjadi guru pembimbingnya, tak pernah sekalipun Ihsan
tidak tersenyum.
Wajahnya begitu penuh warna. Benar apa yang dikatakan
Fakhri. Ihsan tidak lagi berbuat onar,
semenjak Mila selalu berada disisinya.
Meski tidak setiap hari mereka bertemu. Ihsan tidak
keberatan, dua hari sekali, Mila akan kerumahnya. Bahkan, sekarang Mila suka
membantu Rifa mengurus kebun bunganya.
Bukan hanya Ihsan saja yang merasakan bahagia itu, pun
dengan sang ayah, yang bahkan tanpa ia sadari selalu menunggu hari dimana Mila
akan kerumahnya.
Lucu sekali, Mila selalu mendapatkan perhatian, berupa hadiah,
ataupun makanan dari keduanya. Yang membuatnya lucu adalah, ketika yang
memberikannya Ihsan, maka Ihsan akan berkata, bahwa itu pemberian Ayahnya,
begitupun dengan Fakhri. Dia akan berkata bahwa sesuatu yang diberikannya itu,
adalah atas desakan Ihsan.
Seringnya mereka bertemu dan berinteraksi, tak memungkiri
membuat satu perasaan asing tumbuh pada keduanya. Fakhri selalu merasa ada
percikan kabahagian jika melihat Mila, bahkan dia suka terpergok senyum-senyum
sendiri oleh Mbok Sum.
Begitupun dengan yang dialami Mila. Terkadang dia selalu
tertawa bahkan tiba-tiba merasakan wajahnya memanas bila mengingat ayah Gus
kecil itu.
Dan itu juga tidak menutup sekelilingnya merasakan perubahan
itu. Anisa sang sahabatpun merasakan keganjilan pada diri Mila. Begitupun
dengan Rifa juga ... Arfan.
Rifa selalu menolak bahwa perubahan kakaknya itu adalah
semata merasa ikut senang atas keantusiasan Ihsan terhadap Mila. Tapi, bagi
Arfan, itu adalah sebuah ancaman. Dia bahkan sudah mengantisipasi segala
kemungkinan tersebut dengan berdiskusi tentang perjodohan Fakhri atas keinginan
terakhir mendiang Salma pada Bu Nyai dan Pak Kyai.
Dia tidak akan membiarkan semua yang pengorbanannya sia-sia.
Terlebih ... Kebahagiaan adiknya adalah tujuannya dia hidup saat ini.
.......
"Waah, Mbak Mila, coba lihat? Bunganya mekar dengan
indah, ya?" ucap Rifa antusias. Dia sangat senang sekali melihat bunga di
kebun kakaknya tumbuh menjadi lebih subur dan asri.
"Iya, Nok Rifa. Saya sangat juga senang
melihatnya," jawab Mila ikut tersenyum.
Setelah menjadi guru pembimbing Ihsan. Mila ikut menyiram
bunga di kebun depan rumah Fakhri. Kebetulan, saat ini bunga sedang bermekaran.
"Itu semua, karena tangan Mbak Mila yang ajaib,"
ucap Rifa sambil bertepuk tangan.
"Jangan berlebihan, Nok Rifa. Nok yang selalu
menyiaminya setiap hari."
"Tante, Note, lihat! Ini indah sekali."
Ihsan bersorak riang, berlari kearah Mila dan Rifa, di
tangannya dia membawa sesuatu.
"Lihatlah! Cantik sekali bukan?" tanyanya
tersenyum lebar. Sambil menyodorkan sesuatu itu pada Mila.
"KYAAAAAAA, hatcim, hatcim, hatcim," di luar
dugaan. Mila malah bersin bersin sambil menggosok tubuhnya yang sudah memerah.
Rifa dan Ihsan menjadi panik, berlarian tak tentu arah,
saking paniknya. Ihsan baru sadar bahwa Note-nya itu alergi ...
"Oia, parfum Papa. Fatah akan ambilkan parfum Papa
dulu," ucap Ihsan berbalik akan mengambil langkah seribu. Sebelum ....
'Pluk' sesuatu mendarat di kepala Mila.
'Mujarab,' Mila langsung berhenti dari bersin-bersinnya itu.
Ketika satu buah sorban menutupi kepalanya dengan aroma yang tak asing lagi
baginya. Aroma yang selalu membuatnya tenang. Aroma khas Fakhri.
Tubuh Mila mematung, tak bisa bergerak, kala jantungnya berpacu
sangat cepat. Bahkan dia merasakan sesuatu yang melilit di perutnya.
Bukan hanya Mila saja yang terkejut, melainkan Rifa,dan juga
Ihsan. Tidak menyangka, bahwa Fakhri akan menjadi pahlawan tepat waktu.
"Fatah, kamu sudah tahukan? Bahwa Nona Kamila ini
alergi yang berbau ulat?" Fakhri berkata pada putranya. Seolah sedang
menegurnya.
Ihsan tersenyum kikuk, ia benar-benar lupa. 'Padahal
kupu-kupu itu sangat cantik, persis seperti Note,' ucap Ihsan dalam hatinya.
"Bawa Nona Kamila-nya masuk kedalam, Gus! Berikan dia
minuman hangat."
Ihsan mengangguk antusias, "ayok, Note!" ajak
Ihsan.
Setelah diyakini Mila masuk, Fakhri tersenyum sambil
menggeleng, "seorang gadis takut kupu-kupu, lucu sekali," gumamnya sambil
berlalu.
Rifa masih mematung di tempatnya, dia yakin .. Bahwa
kakaknya sudah tertarik pada Mila. Sangat terlihat dari mata pria satu anak
itu.
Sedangkan di atas atap tak jauh dari sana. Arfan melihat
semuanya, dengan mengepalkan kedua tangannya, "bolehkah, sekali ini saja
aku bersikap egois?" gumamnya sangat pelan.
iwan setiawan January 29, 2020 Admin Indonesia
Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Satu Syarat2
JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (20)
Judul : dengan satu syarat. 2
"Saya sudah mengikhlaskan parfum itu. Saya ikhlas
memberikannya pada anda, Nona."
Mila menghela nafasnya lega. Ah, ternyata Alhamdulillah ...
"Tapi, dengan satu syarat."
"Ck, katanya ikhlas, tapi kok nuntut," tanpa
sadar, Mila bergumam.
"Ekhem. Maaf, Nona! Saya mendengarnya."
Mila langsung menggigit jarinya dan memejamkan matanya
rapat. 'Astagfirullah ...'
"Apa kira-kira syaratnya, Gus?"
"Syaratnya ... Nona harus bersedia menjadi ibu---"
"Appa???" Mila refleks menjerit. 'Dag-dig-dug,
dag-dig-dug, dag-dig-dug,' jantungnya berdetak sepuluh kali lipat cepatnya.
'Apa tadi katanya? Ibu?'
Fakhri berjingkat kaget, kala jeritan Mila melengking
tiba-tiba. Tubuh Fakhri menegang, mendengar debaran jantung milik Mila. 'Kenapa
dia kaget? Apa ada yang salah dengan ucapanku?' tanya Fakhri dalam hati.
"Ekhem, Nona, anda tidak apa-apa?" tanya Fakhri
hati-hati. Dia tidak bisa melihat raut muka Mila, karena saat ini mereka di
halangi oleh lemari buku. Tapi, Fakhri dapat memastikan, kalau Mila sangat syok
dengan ucapannya. Terlebih, dia mendengar suara detak jantung Mila. Meski tidak
begitu jelas.
Tidak ada sahutan, ataupun jawaban dari Mila, membuat Fakhri
terus mengingat, apa yang barusan dia katakan.
Seulas senyum terukir dibibir pria tersebut, kala ia
mendapatkan satu kesimpulan, 'mungkinkah Nona Kamila ini, mengira ...'
"Ekhem, maaf, Nona! Sepertinya saya belum selesai
bicara," ucap Fakhri setenang mungkin. Entah mengapa, dia ingin sekali
tersenyum.
"Haah?" bukannya mereda, jantung Mila semakin
berpacu hebat. Bahkan, mukanya sudah sangat panas. Tangannya berkeringat.
'Astagfirullah... Kenapa aku sangat keterlaluan? Bisa-bisanya aku memotong
ucapan Fakhri, apalagi dengan lengkingannya itu. Bagaimana kalau Fakhri tahu,
kalau dirinya sempat galfok dengan kata ibu itu?'
"Ma,maafkan s,saya, G,gus!" Mila berkata dengan
terbata.
"Tidak apa-apa. Jadi, bisakah saya meneruskannya?"
Mila menganggukkan kepalanya.
"Nona, bagaimana? Apakah saya bisa melanjutkan perbincangannya?"
tanya Fakhri, karena Mila tak kunjung menjawabnya.
"A,ah .. I,iya, Gus. Silahkan!" jawab Mila sambil
menepuk jidatnya. Kenapa malah melamun sih? Ini lagi, jantungnya masih belum
berdetak normal. 'Jantung, oh jantung, tenanglah!'
"Syaratnya, adalah ... Saya meminta Nona agar bersedia
menjadi ibu pembimbing putra saya."
'Blushhh' andai ada yang tahu, bagaimana kondisi wajah Mila
saat ini. 'YaAlloh ... Kenapa dia sempat berpikiran, kalau tadi Fakhri
memintanya menjadi ...' 'tidak, tidak, tidak!' Mila menggelengkan kepalanya
berulang kali.
"Saya yakin, Nona bisa membuat putra saya menjadi anak
yang penurut," lanjut Fakhri. Tanpa tahu, orang yang sedang di ajak
bicaranya, masih menenangkan jantung dan hatinya.
"Ba,bagaimana anda yakin? Bahkan sampai saat ini, G,gus
Ihsan selalu membuat saya jantungan," jawab Mila dengan suara pelan.
"Saya pastikan, bahwa ucapan saya bisa di andalkan.
Mungkin Nona berfikir, bahwa putra saya bersikap seperti itu ke semua orang.
Tapi, nyatanya, sifat jahil tersebut, setelah dia bertemu denganmu, dan hanya
kepadamu saja, Nona."
"Jadi, menurut anda, saya telah membawa pengaruh buruk
pada putra anda, begitu?" tanya Mila nyolot. Dia merasa tak terima bahwa
dia seolah pihak tersangka di sini.
"Bukan. Jangan! Maksud saya, bukan begitu. Saya tidak
ada sedikitpun menyalahkan anda, Nona. Saya justru berterimakasih pada Nona.
Krarena Nona, bisa membangun sifat Fatah yang seharusnya."
Mila benar-benar tidak begitu faham dengan ucapan Fakhri,
membangun sifat yang seharusnya? Apa itu? Jadi, sifat menyebalkan Ihsan itu
adalah sifat yang seharusnya? 'Arrgh. Gak mengerti aku, dia jadi bingung harus
menjawab apa. Dia takut salah alamat lagi, kayak tadi. Tentang menjadi Ib--
lupakan!'
"Maaf, Gus. Saya tidak faham," Mila rasa, itu
adalah tanggapan yang paling aman.
"Sifat Fatah selama ini, cenderung tenang dan santai.
Cuek, dan tak pernah peduli terhadap sekitarnya. Selalu bersikap seperti orang
dewasa," Fakhri mencoba menjelaskan.
"Masa sih? Kok, aku gak percaya," lagi-lagi, Mila
bergumam tanpa sadar.
Fakhri tersenyum, 'sudah ku duga, Nona ini pasti tak akan
mudah percaya.'
"Tapi, itulah kenyataannya, saya melihat tingkah Fatah
yang jail, suka cemberut jika tak dituruti, selalu bercerita tentang
masalahnya, itu setelah dia bertemu dengan anda, Nona. Bahkan, saya tidak
mengira, bahwa dia akan menjebak saya seperti sekarang ini. Saya memang tidak
setuju, bahkan marah dengan kelakuannya saat ini. Tapi, terlepas dari itu
semua, saya merasa bersyukur, setidaknya dengan sikap nakalnya itu, saya bisa
menyimpulkan, bahwa dia masih sosok seorang anak kecil, yang bertindak tanpa
berfikir dahulu."
Mila menghela nafasnya, "tapi, saya merasa tidak yakin,
Gus. Saya takut, kenakalan putra anda, akan bertambah akut, jika saya yang
menjadi mentor belajarnya."
"Saya berani menjamin itu. Sudah saya katakan bukan?
Dia hanya bersikap seperti itu hanya terhadap Nona saja. Katakan saja, dia
bersikap seperti itu, karena dia ingin mendapat perhatian dari anda,
Nona."
"Perhatian dari saya? Kok bisa? Gus Ihsan ingin
perhatian dariku?"
"Untuk soal itu, Nona bisa tanyakan langsung pada
Fatah, dan ... Ekhem, saya tidak bisa mendengar kata 'tidak' dari jawaban
anda," tandas Fakhri pada akhirnya. Sebenarnya, Fakhri sangat ingin lebih
banyak waktu untuk berbincang dengan Mila. Tak dapat dipungkiri, dia juga
merasa nyaman mengobrol dengan gadis di balik lemari itu. Tapi, dia sadar.
Situasi ini akan menimbulkan banyak konsekuensi. Seperti pikiran negatif dari
luar, dan juga tidak menutup kemungkinan syetan datang di waktu yang tak
disangka-sangka.
"Sepertinya, perbincangan kita cukup sampai disini,
Nona. Saya minta maaf, atas semua kenakalan yang dibuat putra saya terhadap
anda. Percayalah! Berikan dia perhatian lebih, maka ia tak akan berbuat nakal
lagi terhadap anda," ucap Fakhri. Dia sudah beranjak dari duduknya menuju
pintu keluar.
Sedangkan Mila masih bingung dengan kata 'perhatian' itu.
Oh, tak bisakah Gus duda itu, bicara yang sedikit lebih jelas? Dia yang bingung
sendiri bukan? Terus apa yang harus dia lakukan untuk kata memberi perhatian
itu? "Argh! Pusyiang," Mila mengacak kerudungnya.
"DORDORDOR, FATAH, BUKA PINTUNYA!" Fakhri kembali
menggedor pintu, sambil memanggil putra nakalnya itu.
Terdengar suara kunci diputar, dan 'Ceklek' pintu terbuka.
Fakhri yang niat awalnya akan langsung menegur putranya,
langsung berganti raut muka bingung, kala Mbok Sum lah yang membukanya,
"lho, kok Mbok yang bukain pintu? Fatah mana, Mbok?" tanya Fakhri.
"Anu, Tuan. Den kecil ikut Non Rifa keluar, dan
Astagfirullah, itu hidung Tuan kenapa berdarah?" si Mbok tak melanjutkan
ucapannya, ketika matanya melihat hidung majikannya mengeluarkan darah.
"Oh, ini. Tidak apa-apa, Mbok. Oia, Mbok, sepertinya
Nona itu belum tahu kalau saya sudah keluar, tolong samperin dia, ya!"
ucap Fakhri sambil melangkah hendak meninggalkan tempat.
"Lho, bukannya Tuan sama Ning ayu bersama di dalam?
Kenapa Ning ayu tidak tahu Tuan keluar?"
Fakhri menghentikan langkahnya, dan berbalik serta
tersenyum, "kami memang satu ruangan. Tapi, kami tidak saling berhadapan,
Nona itu berada di balik lemari buku, Mbok," jawab Fakhri, setelah itu
langsung berbalik kembali, dia merogoh saku celananya. Mendial nomor seseorang.
Mbok Sum tersenyum, merasa lega. Setidaknya mereka masih
bisa menjaga satu sama lainnya, meski dalam satu ruangan. Tidak mengambil
kesempatan dalam kesempitan.
Mbok Sum melangkah memasuki ruangan kerja majikannya. Ternyata
benar, Mila masih termenung di sana.
"Ning ayu," ucap Mbok Sum sambil menepuk pelan
pundak Mila.
"Astagfirullah ..." Mila terlonjak kaget saat
merasakan tepukan itu, menoleh, dan menghela nafasnya, "Mbok,"
ucapnya sambil mengurut dadanya.
...........
"Gus, kenapa kamu sekarang jail pada orang sih?"
tanya Rifa ketika mereka sudah di rumahnya Mina.
"Aku gak jail, Tante," jawab Ihsan cemberut.
"Lalu apa yang kamu barusan lakukan pada Mbak
Mila?"
"Aku hanya menjalankan tugas," jawab Ihsan singkat.
"Tugas?"
"Ya, tugas. Otak Fatah yang memberikan tugas itu. Tante
tahu? Note-ku sangat takut pada Papa, aku tak suka Note-ku takut sama Papa.
Makanya Fatah merencanakan ini semua. Note harus tahu, bahwa Papa adalah orang
baik," jawab Ihsan antusias.
Rifa menatap Ihsan lekat sekali. Kenapa Ihsan begitu peduli
dengan Mila?
"Gus."
"Ya?"
"Apa kamu ingin Mbak Mila menjadi ibumu?" tanya
Rifa hati-hati. Dia sebenarnya ragu, apakah Ihsan tahu maksud pertanyaannya
atau tidak.
Ihsan menatap Rifa, "ibu? Kan ibu Fatah sudah
meninggal, Tante."
"Maksud Tante, ibu pengganti."
Ihsan langsung mendelik kearah Rifa, "tak akan ada yang
bisa menggantikan Mama, mama Fatah hanya satu," jawabnya ketus.
"Lalu, kenapa kamu bersikeras membuat Mbak Mila agar
tidak takut pada Papamu, Gus?"
"Karena itu sebagian dari rencana awal Fatah."
Rifa mengernyit bingung, "rencana awal? Apalagi
tuh?"
"Rencana awal. Fatah bertekad akan membuat Note
klepek-klepek sama Papa," jawabnya sambil mengepalkan tangannya di simpan
di depan dadanya. Terlihat binar matanya sangat hidup penuh semangat.
Rifa menganga, lalu menepuk jidatnya, "Fatah, kamu
keterlaluan."
Ihsan cemberut disebut keterlaluan.
"Aku tidak keterlaluan, Papa orang yang paling tampan,
aku gak suka, Note malu-malu jika bertemu dengan om Arfan. Om Arfan kegenitan,
suka godain Note-ku."
'Deg' ^om Arfan suka kegenitan, suka godain Note-ku,^
tiba-tiba ucapan Ihsan yang terakhir sangat mengusik hatinya.
Rifa menghembuskan nafasnya, ternyata tidak mudah melupakan
cinta yang telah mengakar kuat, meski tanpa dia pupuk. Bahkan Rifa sudah
berusaha untuk mematikannya. Namun, sebesar dia berniat menghapus, sebesar itu
pula keinginannya untuk lebih berharap. Tanpa dia sadari, nama Arfanlah, lelaki
yang selalu mengisi disetiap hembusan do'anya.
Arfan cinta dalam diamnya, yang tak akan pernah bisa dia
gapai.
"Sedang membicarakan apa sih? Serius banget," Mina
datang sambil membawa cemilan.
Rifa tersenyum, "tidak usah repot-repot, Nok. Mana mas
Lukman?"
"Mas Lukman pergi ke kantor, om Attar menelponnya, dia
tidak bisa ke kantor karena katanya ada urusan sama Fatah. Tapi, kenapa Fatah
ada disini?" ucap Mina, heran. Tak mungkinkan suaminya berbohong.
Rifa menghela nafasnya, "Fatah sengaja kesini, karena
takut dihukum ayahnya. Dia telah membuat satu kesalahan."
Mina mengernyit dahinya, bingung. Pasalnya, seingat Mina,
Ihsan tak pernah membuat omnya itu marah.
"Panjang ceritanya. Oia, udah berapa bulan ini
baby?" ucap Rifa sambil mengelus perut Mina.
"InsyaAlloh, menginjak bulan ke lima," jawab Mina
bahagia, "Tante kapan nyusul?" tanya Mina pada Rifa.
Rifa hanya menghela nafas, lalu cemberut.
"Aku yakin, mas Arfan juga mempunyai rasa terhadapmu.
Dia keras kepala, ya. Padahal, meskipun adiknya akan di jadikan ibu dari Fatah.
Diapun bisa menikahi Tante."
Rifa menoleh kearah Mina, 'Astagfirullah, dia lupa. Bahwa
adik Arfan adalah gadis yang di wasiatkan oleh mendiang kakak iparnya.'
'YaAlloh, bagaimana ini? Sedangkan Ihsan sudah terlanjur
tertarik terhadap Mila. Rifa tahu, meskipun Ihsan mengatakan tidak akan ada
yang menggantikan sosok ibunya, tapi tanpa Ihsan mengerti, bahwa dirinya sudah
sangat bergantung pada sosok Mila. Bagaimana ini?'
'Drrt' ponsel Rifa bergetar, dia melihat siapa yang
menelponnya, matanya membulat kala melihat nama kakak laki-lakinya tertera di
sana.
"Gus, Papamu menelpon Tante, nih kamu yang
angkat!" ujar Rifa sambil menyodorkan ponselnya.
"Iiih, Papa nelpon ke Hpnya Tante, jadi Papa perlunya
sama Tante. Jadi, yang angkat harus Tante dong. bilangin Papa, ya. Fatah akan
menginap di rumah nenek," ucap Ihsan sambil berlalu.
Ihsan yakin, Papanya tidak akan berani memarahinya, jika dia
bersama neneknya. 'Yes, aku aman,' Ihsan berjingkrak dalam hati.
Rifa menghembuskan nafasnya, "halo,
Assalaamu'alaikum."
...........
Universitas Indonesia. Jakarta.
"Ekhem, Nona Zahra."
Zahra yang semula sedang berkutat di laporan nilai siswa,
mendongak, kala mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata dosen otoriternya.
Dahi Zahra berkerut, ketika dia melihat Juand tidak sendirian, melainkan
bersama seseorang.
"Nona, mulai saat ini, anda tidak perlu membantu saya
lagi," ucap Juand dingin, "pekerjaanmu akan di ganti sama
Jessica," lanjutnya.
Zahra seketika terkejut, namun hanya sesaat. Dia mengangguk
seraya tersenyum antusias, " baik, Pak. Terimakasih," ucapnya
semangat.
Juand tidak membalas, melainkan tersenyum sinis sambil
berbalik. Jessica tersenyum mengejek kearah Zahra, sebelum mengikuti langkah
Juand.
"Aahh ..." Zahra menghela nafasnya, setelah
kepergian Juand dan Jessica. Seharusnya dia lega kan? Bahagia kan? Dia tidak
akan berurusan lagi dengan dosen otoriter itu? Tapi, kenapa hatinya tidak
merasakan kelegaan itu? Malah cenderung tidak nyaman, dan sedikit menyesal
dengan keputusan Juand.
Zahra menggelengkan kepalanya, kala sekelebat pikiran masuk
pada hatinya. Zahra Segera membereskan barang-barangnya, dia ingin segera
keluar, agar pikirannya kembali normal.
'Dia, tidak mungkin tertarik pada dosen otoriter itu,
bukan?'
...............
Malang. Jawa Timur.
"Mas, katanya hari ini ada meeting di kantor, ya?"
tanya Mina ketika menyiapkan pakaian suaminya. Hari ini adalah hari senin.
"Ya. Tapi, Mas sudah minta izin pada Gus Attar, akan
menemanimu memeriksa kandunganmu," jawab Lukman lembut.
Tubuh Mina menegang, "kenapa harus izin sih? Biar aku
sendiri saja yang periksa."
Lukman menatap lekat istrinya. Merasa ada yang tak beres.
Pasalnya, sudah beberapa kali dia ingin ikut pemeriksaan, Mina selalu menolak.
"Mas, jangan menatapku seperti itu! Serem tahu,"
ucap Mina pura-pura merajuk, "oke, periksanya sama Mas. Tapi, setelah Mas
ikut meeting, ya!"
Lukman menghela nafasnya, "sebenarnya kenapa sih kamu
gak bolehin Mas ikut periksa anak kita? Mas juga kan ingin mendengar detak
jantungnya, melihat tubuhnya yang sedang bergerak di dalam," keluh Lukman.
Lukman tidak menyadari, ucapannya membuat Mina harus
mati-matian menahan gejolak di hatinya. Dia menggigit bibir dalamnya kuat, agar
dia tak menumpahkan tangisannya. Sungguh. Dia sangat berdosa kepada suaminya
itu. Tapi, dia juga tidak ingin kehilangan anaknya. Dia takut, kalau suaminya
tahu. Dia akan memaksanya menggugurkan kandungannya.
"Hei, hei, kenapa malah menangis? Oke, maafkan, Mas!
Tapi, berhenti menangis!" Lukman kaget, karena tiba-tiba saja, airmata
Mina mengalir, mungkin ini adalah efek kesensitifan istrinya karena sedang
hamil. Diraihnya tubuh mungil itu kedalam pelukannya.
Mina semakin tergugu, tangannya terus memukul dada suaminya.
Dia berharap, suaminya mengira bahwa tangisannya itu atas dasar kelabilannya
yang sedang hamil.
"Mas jahat, Mas nuduh aku. Hiks, hiks, hiks."
"Maaf, Mas minta maaf. Mas tidak bermaksud seperti
itu," ucap Lukman sambil terus mengecup kening istrinya dan tangan
kanannya mengelus punggung Mina.
"Kan udah dibilangin. Kita periksa bersama, setelah
meeting Mas selesai, anak kita, gak mau Ayahnya bolos kerja sesuka
hatinya," ucap Mina dengan nada merengek.
Lukman terkekeh, "baiklah, Mas akan kerja dulu.
Puaskan? Heum?"
Mina tersenyum, dia mengecup pipi Lukman sekilas,
"terimakasih, Ayah. I love you," ucap Mina memeluk kembali tubuh
suaminya.
Lukman membalas pelukan istrinya. Mengecup berkali-kali
kening Mina, "i love you so much, Bunda," bisik Lukman amat sangat
tulus.
Mina semakin mengeratkan pelukannya, menghirup aroma
suaminya sangat dalam. 'Aku sangat percaya, kamu mencintaiku, Mas. Tapi, aku
juga tahu, di dasar hatimu yang lain, kau masih menyebut namanya.'
,.........
PonPes Al-Zamil.
Wajah penuh keceriaan selalu terpatri di wajah kecil milik
Ihsan. Semenjak Mila menjadi guru pembimbingnya, tak pernah sekalipun Ihsan
tidak tersenyum.
Wajahnya begitu penuh warna. Benar apa yang dikatakan
Fakhri. Ihsan tidak lagi berbuat onar,
semenjak Mila selalu berada disisinya.
Meski tidak setiap hari mereka bertemu. Ihsan tidak
keberatan, dua hari sekali, Mila akan kerumahnya. Bahkan, sekarang Mila suka
membantu Rifa mengurus kebun bunganya.
Bukan hanya Ihsan saja yang merasakan bahagia itu, pun
dengan sang ayah, yang bahkan tanpa ia sadari selalu menunggu hari dimana Mila
akan kerumahnya.
Lucu sekali, Mila selalu mendapatkan perhatian, berupa hadiah,
ataupun makanan dari keduanya. Yang membuatnya lucu adalah, ketika yang
memberikannya Ihsan, maka Ihsan akan berkata, bahwa itu pemberian Ayahnya,
begitupun dengan Fakhri. Dia akan berkata bahwa sesuatu yang diberikannya itu,
adalah atas desakan Ihsan.
Seringnya mereka bertemu dan berinteraksi, tak memungkiri
membuat satu perasaan asing tumbuh pada keduanya. Fakhri selalu merasa ada
percikan kabahagian jika melihat Mila, bahkan dia suka terpergok senyum-senyum
sendiri oleh Mbok Sum.
Begitupun dengan yang dialami Mila. Terkadang dia selalu
tertawa bahkan tiba-tiba merasakan wajahnya memanas bila mengingat ayah Gus
kecil itu.
Dan itu juga tidak menutup sekelilingnya merasakan perubahan
itu. Anisa sang sahabatpun merasakan keganjilan pada diri Mila. Begitupun
dengan Rifa juga ... Arfan.
Rifa selalu menolak bahwa perubahan kakaknya itu adalah
semata merasa ikut senang atas keantusiasan Ihsan terhadap Mila. Tapi, bagi
Arfan, itu adalah sebuah ancaman. Dia bahkan sudah mengantisipasi segala
kemungkinan tersebut dengan berdiskusi tentang perjodohan Fakhri atas keinginan
terakhir mendiang Salma pada Bu Nyai dan Pak Kyai.
Dia tidak akan membiarkan semua yang pengorbanannya sia-sia.
Terlebih ... Kebahagiaan adiknya adalah tujuannya dia hidup saat ini.
.......
"Waah, Mbak Mila, coba lihat? Bunganya mekar dengan
indah, ya?" ucap Rifa antusias. Dia sangat senang sekali melihat bunga di
kebun kakaknya tumbuh menjadi lebih subur dan asri.
"Iya, Nok Rifa. Saya sangat juga senang
melihatnya," jawab Mila ikut tersenyum.
Setelah menjadi guru pembimbing Ihsan. Mila ikut menyiram
bunga di kebun depan rumah Fakhri. Kebetulan, saat ini bunga sedang bermekaran.
"Itu semua, karena tangan Mbak Mila yang ajaib,"
ucap Rifa sambil bertepuk tangan.
"Jangan berlebihan, Nok Rifa. Nok yang selalu
menyiaminya setiap hari."
"Tante, Note, lihat! Ini indah sekali."
Ihsan bersorak riang, berlari kearah Mila dan Rifa, di
tangannya dia membawa sesuatu.
"Lihatlah! Cantik sekali bukan?" tanyanya
tersenyum lebar. Sambil menyodorkan sesuatu itu pada Mila.
"KYAAAAAAA, hatcim, hatcim, hatcim," di luar
dugaan. Mila malah bersin bersin sambil menggosok tubuhnya yang sudah memerah.
Rifa dan Ihsan menjadi panik, berlarian tak tentu arah,
saking paniknya. Ihsan baru sadar bahwa Note-nya itu alergi ...
"Oia, parfum Papa. Fatah akan ambilkan parfum Papa
dulu," ucap Ihsan berbalik akan mengambil langkah seribu. Sebelum ....
'Pluk' sesuatu mendarat di kepala Mila.
'Mujarab,' Mila langsung berhenti dari bersin-bersinnya itu.
Ketika satu buah sorban menutupi kepalanya dengan aroma yang tak asing lagi
baginya. Aroma yang selalu membuatnya tenang. Aroma khas Fakhri.
Tubuh Mila mematung, tak bisa bergerak, kala jantungnya berpacu
sangat cepat. Bahkan dia merasakan sesuatu yang melilit di perutnya.
Bukan hanya Mila saja yang terkejut, melainkan Rifa,dan juga
Ihsan. Tidak menyangka, bahwa Fakhri akan menjadi pahlawan tepat waktu.
"Fatah, kamu sudah tahukan? Bahwa Nona Kamila ini
alergi yang berbau ulat?" Fakhri berkata pada putranya. Seolah sedang
menegurnya.
Ihsan tersenyum kikuk, ia benar-benar lupa. 'Padahal
kupu-kupu itu sangat cantik, persis seperti Note,' ucap Ihsan dalam hatinya.
"Bawa Nona Kamila-nya masuk kedalam, Gus! Berikan dia
minuman hangat."
Ihsan mengangguk antusias, "ayok, Note!" ajak
Ihsan.
Setelah diyakini Mila masuk, Fakhri tersenyum sambil
menggeleng, "seorang gadis takut kupu-kupu, lucu sekali," gumamnya sambil
berlalu.
Rifa masih mematung di tempatnya, dia yakin .. Bahwa
kakaknya sudah tertarik pada Mila. Sangat terlihat dari mata pria satu anak
itu.
Sedangkan di atas atap tak jauh dari sana. Arfan melihat
semuanya, dengan mengepalkan kedua tangannya, "bolehkah, sekali ini saja
aku bersikap egois?" gumamnya sangat pelan.
JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (19)
Judul : dengan satu syarat. 1
"Ke,ke,kenapa bis,bis,bisa G,g,g,gus berkata
se,se,sep,seperti i,i,itu?" sungguh. Mila benar-benar seperti sosok IJAT
dalam serial IPAN DAN APIN. latah, seeelatah-latahnya.
"Not---" 'breem' ucapan Ihsan terhenti kala
mendengar suara mobil masuk ke pekarangan rumahnya. Dia beranjak, lalu
mengintip melalui jendela kamarnya.
"Papa? Kenapa Papa sudah pulang?" tanya Ihsan
lebih, pada dirinya sendiri. Merasa heran.
"APAAA?" 'tamatlah sudah kau, Milaaaaaaa.' jerit
Mila menangis kejer.
Mila langsung kalang kabut, dia berjalan kesana kemari.
Sungguh! Benar-benar masalah besar.
Sedangkan Ihsan terus mengintip ayahnya dari balik tirai
kamarnya, 'kenapa Papa cepat sekali pulangnya?'
"Gus, bagaimana ini? A,apa yang harus saya
lakukan?" wajah Mila sudah pucat, tangannya pun gemetaran.
"GUS, TOLONGIN SAYA!" Mila memanggil Ihsan dengan
sedikit membentak. Tak mempedulikan siapa Ihsan di sini. Yang hanya Mila ingat
adalah bagaimana caranya kabur dari Fakhri.
"Tuan, sudah pulang?" terdengar si Mbok bertanya
kepada Fakhri di teras rumah.
"Saya mau ambil barang yang ketinggalan di rumah,
Mbok," terdengar Fakhri menjawab.
Ihsan menatap lekat Mila, "ada apa dengan wajah Note?
Kenapa pucat sekali?" tanya Ihsan khawatir.
Mila memutar bola matanya kesal, "tolong saya, Gus!
Bantu saya kabur! Sebelum ayah Gus menemukan saya. Tolong!" ucap Mila
memohon.
'Ting- oia, Note kan takut Papa,' otaknya Ihsan kembali
bekerja.
"Fatah dimana, Mbok?" terdengar lagi suara Fakhri.
Mila semakin kalang kabut. Tangannya sudah dingin sekali.
Ihsan hanya menggelengkan kepalanya, merasa heran, 'kenapa harus takut pada
Papa coba?'
"Gu--"
"Ikut saya! Pekerjaan Note belum selesai, Papa cuma
sebentar di rumah, katanya mau ambil barang yang tertinggal. Jadi, Note harus
sembunyi dulu," ucap Ihsan sambil membawa Mila keluar kamar.
Mila yang pada dasarnya sudah ketakutan, terus mengikuti
kemana Ihsan membawanya. Ihsan membawa Mila ke suatu tempat.
"Gus, kenapa kesini?" tanya Mila, ketika dia
sadar, bahwa ruangan itu adalah ...
"Note bersembunyi, cepetan! Papa sudah
memanggilku," Ihsan tak menjawab kebingungan Mila.
"Fatah."
Mila kembali kalang kabut kala mendengar suara Fakhri
memanggil Ihsan.
"Duuuuh, gimana ini? Aku harus ngumpet dimana?"
Mila hilir mudik tak karuan. Otak, oh otak. Dimana kamu? Kenapa mendadak
nge-blank begini?
"Note, di sana saja," ujar Ihsan sambil menunjuk
ke suatu tempat, "jangan dulu keluar sebelum saya memerintah."
Mila mengangguk, tanpa di suruh dua kali, dia langsung
bersembunyi di tempat yang di intruksikan Ihsan terhadapnya.
Setelah memastikan Mila aman, Ihsan buru-buru keluar.
"Gus."
Ihsan berjalan agak berlari, ketika suara ayahnya makin
mendekat.
"Di sini, Papa."
"Kamu dari mana aja?"
"Dari belakang, Pa," jawab Ihsan.
Fakhri mengangguk, "Gus, kamu lihat map ayah gak? Yang
kemarin Papa simpan di atas nakas kamar Papa."
Ihsan menelengkan matanya, sedang berfikir, "bukannya
Papa taruhnya di meja kerja Papa?"
Fakhri mengerutkan dahinya, "masa sih? Seingat Papa
sudah di bawa ke kamar deh."
"Apa di kamar ada, Pa?"
"Itu dia, gada."
"Coba Papa cek di meja kerja!"
"Baiklah. Oia, kata si Mbok, ada Mbak santri kesini,
dimana dia?" tanya Fakhri.
Ihsan menegang seketika, membuat Fakhri menatap curiga,
"Gus, ka--"
"Ada, Pa. Tadi, sewaktu Papa pulang lagi, dia sedang
membereskan pakaian Fatah," jawab Ihsan cepat.
"Ya sudah," ucap Fakhri sambil berlalu kearah
ruang kerjanya.
....
Mila masih menunggu dengan sabar di tempat persembunyiannya,
dia berharap semoga Fakhri cepat pergi lagi.
'Ceklek' suara pintu dibuka, Mila tersenyum. Itu tandanya
Fakhri sudah kembali pergi.
Suara langkah kaki terdengar semakin mendekatinya, dan
berhenti tepat di belakangnya, lebih tepatnya, langkah itu berhenti di depan
meja yang di jadikan Mila tempat persembunyiannya.
Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan ... Mila sudah
menghitung sampai detik ke sepuluh, Ihsan belum juga memanggilnya.
'Ck,' Mila berdecak pelan. 'Ihsan pasti sedang
mengerjainya.'
"Gus, gimana? Sudah belum?" Mila berucap sangat
pelan kepada orang yang dia yakini sedang berdiri di depan meja itu.
Namun, tak ada sahutan yang di dengar Mila.
"Gus Ihsan. Gus, Gus Ihsan," Mila kembali
memanggil.
Hening, tidak ada sahutan.
'Deg' seketika jantungnya berpacu cepat, kala hidungnya
mencium sesuatu yang tak asing lagi baginya.
'Jangan-jangan ...' "KYAAAA" 'Bugh'
"Astagfirullah ..."
Mila melotot kala tangannya tak sengaja menjotos wajah
seseorang. Dia semakin ketakutan setelah melihat siapa yang dia tinju barusan
itu.
Fakhri, awalnya akan mengambil map pekerjaannya, yang tak
sengaja dia tinggalkan itu ke ruang kerjanya, tiba-tiba terhenti, kala matanya
menemukan sesuatu yang aneh di bawah meja kerjanya. Dia tak bersuara, menunggu
sesuatu untuk dipastikan.
Dan ternyata dugaannya benar, ada sesuatu di bawah meja
kerjanya. Semakin yakin, bahwa itu bukanlah salah pendengarannya saja, dia
berjongkok untuk melihat langsung.
Namun, naas. Ketika baru saja di mendongak ke bawah meja.
Jeritan melengking, disertai tinjuan mantul dia dapatkan di wajahnya.
Baru saja Fakhri akan memarahi orang tersebut, namun seketika
niatnya ia urungkan kala melihat tubuh di hadapannya itu menggigil ketakutan.
Wajahnya sangat pucat sampai ada derai airmata yang berjatuhan.
Fakhri langsung berdiri lagi, "keluarlah, Nona! Sedang
apa anda di situ?" tanya Fakhri setenang mungkin.
Fakhri menunggu orang itu keluar, namun di tunggu sampai
lima detik, orang itu tidak keluar-keluar.
"Keluarlah! Saya tunggu sampai hitungan ke tiga, kalau
anda tetap tidak keluar juga, jangan salahkan saya," ucap Fakhri dingin.
Ketakutan Mila semakin menjadi. Andai dia sedang berada di
sebuah film, mungkin dia akan ngompol di celananya, saking ketakutannya itu.
Beruntung dia hanya berada di sebuah cerita.
"Satu," 'dakdikdukdakdikduk'' suara gaduh di bawah
meja jelas sekali, tak ayal membuat Fakhri yang mendengar juga meringis,
membayangkan bagaimana itu kepala terpentok ke sana-sini.
"Dua," 'dakdikdukdakdikduk' suara itu semakin
menjadi.
"Ti---"
"Ampun, ampun, ampuni saya, Gus! Saya mohon, ampuni
saya, hiks," Mila tiba-tiba memohon ampun sambil setengah menangis. Dia
sudah pasrah, jika duda beranak itu akan menghukumnya seberat mungkin. Dia
semakin ketakutan, kala melihat ujung hidung Fakhri mengeluarkan darah.
Fakhri menautkan alisnya, ketika wajah perempuan itu sudah
terlihat jelas, "Nona Kamila?" gumamnya pelan.
"Ampuni saya, Gus Fakhri. Saya tidak sengaja. Saya,
saya, saya ... Saya ju,juga Ti,tidak tahu, kalau parfum itu milik anda. Dan,
dan, ..." Mila terus meracau sambil menggoyangkan tangannya, dan juga
tubuhnya. Jangan berfikir goyangan Mila yang aduhai, ya! Ini goyangan ketika
seseorang sedang dilanda kepanikan akut.
"Nona, tenanglah! Apa yang sedang anda--" Fakhri
tak melanjutkan ucapannya, kala otaknya mengatakan sesuatu, ia berjalan cepat
kearah pintu ruang kerjanya. Dan benar saja. Fakhri menghirup udara
sedalam-dalamnya, matanya dia pejamkan, sebelum ....
'DORDORDOR,' "IHSAN FATAHILLAH, JANGAN BERCANDA, BUKA
PINTUNYA," Fakhri berteriak murka memanggil putranya, ia tak habis pikir,
bahwa kenakalan Ihsan akan se-keterlaluan ini.
Mila tambah ketakutan, kala mendengar teriakan Fakhri yang
sedang murka. Tangan itu menggedor kuat pintu tersebut. 'Ternyata gus kecil
itu, lagi-lagi telah menggiringnya kesebuah masalah besar.'
Tubuh Mila terus bergoyang, apalagi sekarang Mila merasakan
sesuatu mendorong dari bagian tubuhnya, hatinya tambah panik dan kalang kabut,
'YaAlloh ... Jangan sampai!!'
Fakhri menoleh kebelakang, dan seketika matanya melihat
wajah Mila yang semakin memucat. Keringat bercucuran diwajahnya.
"Nona, tenanglah! Saya janji, tidak akan melakukan
apapun terhadap Nona. Anda tenang sedikit, oke!" Fakhri mencoba berbicara
lembut, berharap Mila sedikit tenang.
Mila mengangguk, namun seketika menggeleng. Tubuh Mila tetap
saja bergoyang, "aduuuh, aduuuh, bagaimana ini? Bagaimana ini?" racau
Mila tak jelas.
"Ten--"
"Anu, sa,saya ... S,s,saya ... Kebelet
pi,pip,pi,piiiiiis," ucap Mila terbata. Wajahnya berwarna merah dan putih
pucat.
Fakhri seketika melongo mendengar ucapan Mila.
"Toloooongh," ucap Mila memelas, tangannya sudah
di letakan dibawah perutnya.
Fakhri kembali berbalik, dan menggedor kembali pintu ruangan
kerjanya, 'DORDORDOR' "FATAH, BUKA PINTUNYA! NONA KAMILA KEBELET BUANG
AIR. FATAH, BUKA PINTUNYA!" Fakhri kembali berteriak.
"Di dalam ada kamar mandinya, Pa. Suruh Note-ku buang
hajatnya di sana!" terdengar suara Ihsan dari luar mengomentari panggilan
Fakhri.
Fakhri semakin melongo, mendengar jawaban Ihsan. Dia
menduga, bahwa ini sudah direncanakan putranya. 'Astagfirullah ... Dia kena
jebakan Batman dari putranya.'
"Nona, itu adalah kamar mandi. Nona bisa pakai,"
ucap Fakhri sambil menunjuk ke sebuah pintu.
Tak perlu fi komando lagi, Mila langsung berlari masuk
kedalam.
Fakhri mondar-mandir sambil menunggu Mila keluar dari sana.
Dia tak pernah berfikir, bahwa putranya akan mengelabuinya, dan menjahilinya.
'Ceklek' pintu kamar mandi itu terbuka, sosok Mila keluar
dari sana. Fakhri kembali kearah pintu keluar, melihat gelagat Mila yang
sepertinya benar-benar takut terhadap dirinya.
'DORDORDOR' "FATAH, BUKA PINTUNYA! PAPA JANJI GAK AKAN
MEMARAHIMU," 'tapi sedikit akan memberimu hukuman,' lanjut Fakhri dalam
hati.
"PA, NOTE TADI BILANG KE FATAH, KALAU DIA SANGAT TAKUT
TERHADAP PAPA, COBA PAPA TANYAKAN! APA WAJAH PAPA MENYERAMKAN?!" kembali
terdengar jawaban Ihsan dari luar. Mila menganga, tidak menyangka, bahwa Ihsan
akan melaporkan itu kepada Fakhri langsung. Tubuh Mila seketika membeku, kala
dengan tiba-tiba Fakhri menolehkan wajahnya kearahnya.
Mila menghela nafasnya, ketika tubuh Fakhri kembali
memunggunginya.
"OKE, PAPA AKAN TANYAKAN. TAPI, BUKA DULU PINTUNYA.
KITA AKAN SAMA-SAMA TANYAKAN PADA NONA INI," Fakhri kembali berteriak,
memberikan negosiasi pada putranya.
"NONA KAMILA, PAPA. BUKAN NONA INI! DIA PUNYA NAMA, PA.
TIDAK AKAN DI BUKA, SEBELUM PAPA TANYAKAN SENDIRI, KENAPA NOTE-KU TAKUT PADA
PAPA." Ihsan menjawab lagi sambil berteriak.
Ingin rasanya Mila mengulek Ihsan, dan dijadikannya sambal
cobek. 'Nona itu punya nama. Lalu? Kenapa dirinya menyebut Mila dengan sebutan
terigu?' Begitu pun dengan Fakhri, dia mengacak rambutnya frustasi. Seketika
tubuh berbalik, menatap Mila lekat. Mila langsung menghentikan nafasnya.
Pasrah.
"Nona, anda duduklah di sana! Sifat Fatah tidak bisa di
ganggu gugat. Dia tidak akan membukakan pintu untuk kita,sebelum apa yang di
inginkannya terkabul."
Mila langsung berjalan kearah kursi yang agak jauh dari
tempat Fakhri berdiri.
Fakhri masih berjalan mondar-mandir, mencari ide, namun ...
"Argh" dia mengusap wajahnya. Tidak menemukan ide samasekali. 'Tidak
tahukah putranya itu? Bahwa dia sedang bersama wanita ghoir mahram. Itu artinya
dia sedang ber-khulwah. Astagfirullah ...' racau Fakhri.
Merogoh saku celananya, mendial nomor seseorang, lalu 'tut,
tut, tut,'
"...."
"Wa'alaikumussalaam, Man. Maaf! Bisakah kamu
menyelesaikan pekerjaanku di kantor? Berkasnya akan aku kirimkan lewat email
komputerku. Hanya tinggal sedikit lagi."
"...."
"Iya, sekarang. Aku ada urusan mendadak dengan Fatah.
Jadi bisakah?"
"...."
"Oke, terimakasih. Assalamu'alaikum." 'tut'
Fakhri menghela nafasnya, dia merasa bersalah, karena telah
menyita waktu ponakan iparnya itu. Namun, ya harus bagaimana lagi?
Fakhri membalikkan tubuhnya, dan menghela nafasnya kembali,
ketika melihat reaksi tubuh Mila masih sama seperti tadi. 'Menegang jika dia
menatapnya.'
"Ekhem, Nona. Bisakah anda duduk di balik lemari buku
ini? Saya akan menuruti permintaan putra saya. Tapi tidak saling
berhadapan."
Tubuh Mila bergetar, namun Mila tetap berdiri menuruti
perintah Fakhri.
Fakhri duduk disamping kursi yang baru saja di duduki Mila.
Setelah dirasa cukup. Fakhri memulai percakapannya.
"Jadi, bisa anda jelaskan, kenapa anda takut terhadap
saya?!" pertanyaan Fakhri lebih kepada pernyataan.
Mila menghirup nafasnya dalam-dalam. Sudahlah! Lagian
mengakui kesalahan adalah sesuatu yang seharusnya bukan? Mila pasrah dengan
segala konsekuensinya.
"Ma,maafkan saya, Gus Fakhri! Saya, telah melakukan
sebuah kesalahan terhadap anda," jawab Mila mencicit.
Fakhri mengernyitkan dahinya, kenapa sedikit ganjal? Oh,
'ternyata dia sudah tahu rupanya, bahwa Fakhri dan Attar adalah orang yang
sama.'
Fakhri mengulum senyumannya, dia mengerti, kenapa Mila
sampai merasa takut terhadapnya. Kita lihat, seberapa beraninya dia mengakui
kesalahan itu.
"Katakan! Apa kesalahan anda itu. Saya akan
mendengarkan, sebelum saya menentukan, apakah anda pantas saya maafkan atau
tidak."
Mila bergetar kembali, dia benar-benar telah masuk ke
kandang macan.
"Maafkan saya, Gus Fakh--"
"Simpan dulu kata maafnya! Saya ingin mendengar
pengakuannya saja, sekarang."
Bibir Mila mengerucut, beruntung dia dan Fakhri tak bertatap
muka, jadi dia bisa mengekspresikan wajahnya sesuka hatinya.
"Saya telah ...."
.....
Sementara di luar, Ihsan sedang tersenyum. Beruntung, dia
menyiapkannya lebih awal. Sehingga, meski ayahnya pulang tak sesuai
perkiraannya, tetap rencananya berjalan lancar. Dia juga sudah memperkirakan
bahwa ayahnya akan murka. Dia siap untuk diberi hukuman. Walau sebenarnya, dia
berharap, ayahnya memaafkan saja.
"Gus." Ihsan berbalik kala ada yang memanggilnya,
terlihat Rifa sedang berjalan kearahnya, sambil menatapnya bingung.
"Kenapa berdiri saja di situ? Dan lagi, kenapa
telinganya dirapatkan di pintu? Ada apa di dalam?" tanya Rifa.
Dia bermaksud membawa Ihsan untuk main kerumah Mina, karena
ia mendengar, Ihsan sedang merajuk, disebabkan ayahnya pergi kekantor. Tapi dia
bingung, karena melihat wajah Ihsan yang sedang tersenyum sambil menempelkan
daun telinganya ke pintu ruang kerja kakaknya.
Ihsan menggandeng tangan Rifa dan membawanya jauh dari ruang
kerja ayahnya.
"Sutt," Ihsan menempelkan telunjuknya di depan
bibirnya, mengisyaratkan bahwa dia meminta Rifa untuk diam.
"Papa dan Note-ku, sedang berduaan di ruang kerja
Papa," ucap Ihsan tersenyum antusias.
Rifa langsung melotot mendengar ucapan ponakannya itu.
"Apa? Kenapa bisa seperti itu?" tanya Rifa sedikit
menjerit.
"Suttt, Tante, kecilkan suaramu. Fatah yang mengunci
mereka. Fatah gak akan bukain pintunya, sebelum Note mengakui kenapa dia takut
pada Papa."
Rifa semakin menganga, 'Astagfirullah ... Ihsan Fatahillah.'
"Astagfirullah ... Gus. Kamu tahu gak sih. Tindakanmu
itu, membuat ayahmu melakukan Khulwah."
"Khulwah? Apa itu, Tante?" tanya Ihsan bingung.
"Khulwah itu, istilah lainnya adalah ... Kumpul
kebo," jawab Rifa.
Ihsan seketika melotot kearah tantenya, membuat Rifa merasa
lega, bersyukur, ponakannya itu berotak cerdas, sehingga langsung bisa mengerti
apa yang di katakannya dengan sekali saja.
"Tante, menyebut Papa kebo? Ihsan bilangin nih sama
Papa, kalau Tante menyebutnya kebo, PAP---"
"Eh, eh, eh, bukan begitu maksud Tante," sergah
Rifa sambil membekap mulut Ihsan, dia menyesal memuji Ihsan barusan. Ternyata
kecerdasan Ihsan hanya berfungsi untuk kenakalannya saja, "maksud Tante,
itu ibaratnya. Peribahasa. Atau--"
"Sama aja. Tante menyamakan Papa dengan kebo. Ingat
lho, Tan! Kata Papa, kita itu harus menghormati orang yang lebih tua, Tante
tidak sopan bilang Papa seperti kebo," ucap Ihsan, memotong ucapan Rifa.
Rifa menggigit jarinya karena kesal, sangat kesal. 'Apa
katanya tadi? Harus menghormati orang yang lebih tua? Terus, apa dong namanya
dengan kelakuan Ihsan itu? Menjahili orang tuannya sendiri?'
"Ihsan, Khulwah itu hukumnya haram. Khulwah adalah
berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan. Itu termasuk dosa
badan. Kamu mau Papamu seperti itu?"
Ihsan langsung menggeleng, "Papa tidak berduaan kok,
dirumah ini ada kita, ada Mbok Sum, jadi tidak berduaan. Hanya saja ... Papa
dan Note, terjebak di ruangan kerja."
Rifa menghela nafasnya, seberapa banyaknya dia menjelaskan
tentang Khulwah. Ihsan tak akan mengerti dengan mudah.
"Oia, Tante mau apa kesini?" tanya Ihsan.
"Tante akan mengajakmu pergi kerumah kak Mina,
tadinya."
"Ayok," Ihsan merespon cepat.
"Tapi ... Bagaimana dengan Mbak Mila dan Papamu?"
Ihsan menghampiri Mbok Sum yang sedang di dapur.
"Mbok, ini kunci ruangan Papa. Jika Papa menggedor
pintu lagi, langsung Mbok bukain, ya!"
Mbok Sum yang semula akan bicara, langsung mengangguk tanpa
membantah, kala melihat mata Ihsan menatapnya lekat.
"Fatah mau ikut kerumah kak Mina, bersama Tante
Rifa," 'sekaligus kabur,' "Assalamu'alaikum," lanjut Ihsan
sambil mencium tangan Mbok Sum.
"Tante, ayok!" ucap Ihsan.
"Gak izin dulu, sama Papamu?" tanya Rifa.
"Pa, Fatah main kerumah Kak Mina bersama Tante Rifa,
ya!" ucap Ihsan sambil berbisik. Rifa hampir tertawa melihat tingkah Ihsan
barusan.
"Gus, mana kedengaran itu."
"Yang penting, Fatah sudah izin. Tante saksinya."
"Eh, mana bisa?"
"Bisa, tentu saja. Lagian, Fatah sudah minta izin kok
sama si Mbok."
"Ayok, Tante," ucap Ihsan sambil menyeret Rifa
keluar rumahnya. 'Kalau tidak cepat keluar, aku pasti akan tertangkap sama
Papa,' lanjutnya dalam hati.
Rifa menggelengkan kepalanya, sambil terus mengikuti langkah
ponakannya.
........
"Jadi, karena itu, Nona takut pada saya?"
Mila menganggukkan kepalanya, "Oh, i,iya, Gus
Fakhri," Mila menjawab setelah sekian detik. Dia lupa. Bahwa Fakhri tidak
dapat melihat anggukkannya.
"Saya pribadi, seharusnya yang meminta maaf, karena
saya juga melihat, dan sadar, bahwa di sini, bukan anda tersangkanya, malah
bisa dikatakan, anda adalah korban dari kenakalan putra saya. Jadi tidak
seharusnya anda merasa takut, karena pada kenyataannya, anda tidak
bersalah."
Mila menghembuskan nafasnya lega, ternyata benar, apa yang
dikatakan Anisa. Lebih baik menghadapi daripada menghindari terus-menerus.
Ketakutan yang di rasakannya ternyata sangat berlebihan.
Fakhri ternyata bukan orang seperti dalam bayangannya. Dia
adalah seorang Ayah yang bertanggungjawab, tidak menghalalkan segala sesuatu
yang dilakukan oleh putranya.
"Soal parfum, itu memang benar adanya. Anda adalah
orang pertama yang memakainya, selain saya dan juga Fatah, bahkan Almarhumah
istri sayapun tidak pernah mencicipinya."
Mila kembali menegang, bahkan sekarang ditambah dengan
degupan jantungnya yang mendadak cepat. Kakinya mendadak lemas. Andai dia
sedang berdiri, dia pasti sudah tersungkur ke lantai.
"Saya sudah mengikhlaskan parfum itu. Saya ikhlas
memberikannya pada anda, Nona."
Mila menghela nafasnya lega. Ah, ternyata Alhamdulillah ...
"Tapi, dengan satu syarat."
"Ck, katanya ikhlas, tapi kok nuntut," tanpa
sadar, Mila bergumam.
"Ekhem. Maaf, Nona! Saya mendengarnya."
Mila langsung menggigit jarinya dan memejamkan matanya
rapat. 'Astagfirullah ...'
"Apa kira-kira syaratnya, Gus?"
"Syaratnya ... Nona harus bersedia menjadi ibu---"
"Appa???" Mila refleks menjerit. 'Dag-dig-dug,
dag-dig-dug, dag-dig-dug,' jantungnya berdetak sepuluh kali lipat cepatnya.
'Apa tadi katanya? Ibu?'
iwan setiawan January 29, 2020 Admin Indonesia
Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Satu Syarat
JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (19)
Judul : dengan satu syarat. 1
"Ke,ke,kenapa bis,bis,bisa G,g,g,gus berkata
se,se,sep,seperti i,i,itu?" sungguh. Mila benar-benar seperti sosok IJAT
dalam serial IPAN DAN APIN. latah, seeelatah-latahnya.
"Not---" 'breem' ucapan Ihsan terhenti kala
mendengar suara mobil masuk ke pekarangan rumahnya. Dia beranjak, lalu
mengintip melalui jendela kamarnya.
"Papa? Kenapa Papa sudah pulang?" tanya Ihsan
lebih, pada dirinya sendiri. Merasa heran.
"APAAA?" 'tamatlah sudah kau, Milaaaaaaa.' jerit
Mila menangis kejer.
Mila langsung kalang kabut, dia berjalan kesana kemari.
Sungguh! Benar-benar masalah besar.
Sedangkan Ihsan terus mengintip ayahnya dari balik tirai
kamarnya, 'kenapa Papa cepat sekali pulangnya?'
"Gus, bagaimana ini? A,apa yang harus saya
lakukan?" wajah Mila sudah pucat, tangannya pun gemetaran.
"GUS, TOLONGIN SAYA!" Mila memanggil Ihsan dengan
sedikit membentak. Tak mempedulikan siapa Ihsan di sini. Yang hanya Mila ingat
adalah bagaimana caranya kabur dari Fakhri.
"Tuan, sudah pulang?" terdengar si Mbok bertanya
kepada Fakhri di teras rumah.
"Saya mau ambil barang yang ketinggalan di rumah,
Mbok," terdengar Fakhri menjawab.
Ihsan menatap lekat Mila, "ada apa dengan wajah Note?
Kenapa pucat sekali?" tanya Ihsan khawatir.
Mila memutar bola matanya kesal, "tolong saya, Gus!
Bantu saya kabur! Sebelum ayah Gus menemukan saya. Tolong!" ucap Mila
memohon.
'Ting- oia, Note kan takut Papa,' otaknya Ihsan kembali
bekerja.
"Fatah dimana, Mbok?" terdengar lagi suara Fakhri.
Mila semakin kalang kabut. Tangannya sudah dingin sekali.
Ihsan hanya menggelengkan kepalanya, merasa heran, 'kenapa harus takut pada
Papa coba?'
"Gu--"
"Ikut saya! Pekerjaan Note belum selesai, Papa cuma
sebentar di rumah, katanya mau ambil barang yang tertinggal. Jadi, Note harus
sembunyi dulu," ucap Ihsan sambil membawa Mila keluar kamar.
Mila yang pada dasarnya sudah ketakutan, terus mengikuti
kemana Ihsan membawanya. Ihsan membawa Mila ke suatu tempat.
"Gus, kenapa kesini?" tanya Mila, ketika dia
sadar, bahwa ruangan itu adalah ...
"Note bersembunyi, cepetan! Papa sudah
memanggilku," Ihsan tak menjawab kebingungan Mila.
"Fatah."
Mila kembali kalang kabut kala mendengar suara Fakhri
memanggil Ihsan.
"Duuuuh, gimana ini? Aku harus ngumpet dimana?"
Mila hilir mudik tak karuan. Otak, oh otak. Dimana kamu? Kenapa mendadak
nge-blank begini?
"Note, di sana saja," ujar Ihsan sambil menunjuk
ke suatu tempat, "jangan dulu keluar sebelum saya memerintah."
Mila mengangguk, tanpa di suruh dua kali, dia langsung
bersembunyi di tempat yang di intruksikan Ihsan terhadapnya.
Setelah memastikan Mila aman, Ihsan buru-buru keluar.
"Gus."
Ihsan berjalan agak berlari, ketika suara ayahnya makin
mendekat.
"Di sini, Papa."
"Kamu dari mana aja?"
"Dari belakang, Pa," jawab Ihsan.
Fakhri mengangguk, "Gus, kamu lihat map ayah gak? Yang
kemarin Papa simpan di atas nakas kamar Papa."
Ihsan menelengkan matanya, sedang berfikir, "bukannya
Papa taruhnya di meja kerja Papa?"
Fakhri mengerutkan dahinya, "masa sih? Seingat Papa
sudah di bawa ke kamar deh."
"Apa di kamar ada, Pa?"
"Itu dia, gada."
"Coba Papa cek di meja kerja!"
"Baiklah. Oia, kata si Mbok, ada Mbak santri kesini,
dimana dia?" tanya Fakhri.
Ihsan menegang seketika, membuat Fakhri menatap curiga,
"Gus, ka--"
"Ada, Pa. Tadi, sewaktu Papa pulang lagi, dia sedang
membereskan pakaian Fatah," jawab Ihsan cepat.
"Ya sudah," ucap Fakhri sambil berlalu kearah
ruang kerjanya.
....
Mila masih menunggu dengan sabar di tempat persembunyiannya,
dia berharap semoga Fakhri cepat pergi lagi.
'Ceklek' suara pintu dibuka, Mila tersenyum. Itu tandanya
Fakhri sudah kembali pergi.
Suara langkah kaki terdengar semakin mendekatinya, dan
berhenti tepat di belakangnya, lebih tepatnya, langkah itu berhenti di depan
meja yang di jadikan Mila tempat persembunyiannya.
Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan ... Mila sudah
menghitung sampai detik ke sepuluh, Ihsan belum juga memanggilnya.
'Ck,' Mila berdecak pelan. 'Ihsan pasti sedang
mengerjainya.'
"Gus, gimana? Sudah belum?" Mila berucap sangat
pelan kepada orang yang dia yakini sedang berdiri di depan meja itu.
Namun, tak ada sahutan yang di dengar Mila.
"Gus Ihsan. Gus, Gus Ihsan," Mila kembali
memanggil.
Hening, tidak ada sahutan.
'Deg' seketika jantungnya berpacu cepat, kala hidungnya
mencium sesuatu yang tak asing lagi baginya.
'Jangan-jangan ...' "KYAAAA" 'Bugh'
"Astagfirullah ..."
Mila melotot kala tangannya tak sengaja menjotos wajah
seseorang. Dia semakin ketakutan setelah melihat siapa yang dia tinju barusan
itu.
Fakhri, awalnya akan mengambil map pekerjaannya, yang tak
sengaja dia tinggalkan itu ke ruang kerjanya, tiba-tiba terhenti, kala matanya
menemukan sesuatu yang aneh di bawah meja kerjanya. Dia tak bersuara, menunggu
sesuatu untuk dipastikan.
Dan ternyata dugaannya benar, ada sesuatu di bawah meja
kerjanya. Semakin yakin, bahwa itu bukanlah salah pendengarannya saja, dia
berjongkok untuk melihat langsung.
Namun, naas. Ketika baru saja di mendongak ke bawah meja.
Jeritan melengking, disertai tinjuan mantul dia dapatkan di wajahnya.
Baru saja Fakhri akan memarahi orang tersebut, namun seketika
niatnya ia urungkan kala melihat tubuh di hadapannya itu menggigil ketakutan.
Wajahnya sangat pucat sampai ada derai airmata yang berjatuhan.
Fakhri langsung berdiri lagi, "keluarlah, Nona! Sedang
apa anda di situ?" tanya Fakhri setenang mungkin.
Fakhri menunggu orang itu keluar, namun di tunggu sampai
lima detik, orang itu tidak keluar-keluar.
"Keluarlah! Saya tunggu sampai hitungan ke tiga, kalau
anda tetap tidak keluar juga, jangan salahkan saya," ucap Fakhri dingin.
Ketakutan Mila semakin menjadi. Andai dia sedang berada di
sebuah film, mungkin dia akan ngompol di celananya, saking ketakutannya itu.
Beruntung dia hanya berada di sebuah cerita.
"Satu," 'dakdikdukdakdikduk'' suara gaduh di bawah
meja jelas sekali, tak ayal membuat Fakhri yang mendengar juga meringis,
membayangkan bagaimana itu kepala terpentok ke sana-sini.
"Dua," 'dakdikdukdakdikduk' suara itu semakin
menjadi.
"Ti---"
"Ampun, ampun, ampuni saya, Gus! Saya mohon, ampuni
saya, hiks," Mila tiba-tiba memohon ampun sambil setengah menangis. Dia
sudah pasrah, jika duda beranak itu akan menghukumnya seberat mungkin. Dia
semakin ketakutan, kala melihat ujung hidung Fakhri mengeluarkan darah.
Fakhri menautkan alisnya, ketika wajah perempuan itu sudah
terlihat jelas, "Nona Kamila?" gumamnya pelan.
"Ampuni saya, Gus Fakhri. Saya tidak sengaja. Saya,
saya, saya ... Saya ju,juga Ti,tidak tahu, kalau parfum itu milik anda. Dan,
dan, ..." Mila terus meracau sambil menggoyangkan tangannya, dan juga
tubuhnya. Jangan berfikir goyangan Mila yang aduhai, ya! Ini goyangan ketika
seseorang sedang dilanda kepanikan akut.
"Nona, tenanglah! Apa yang sedang anda--" Fakhri
tak melanjutkan ucapannya, kala otaknya mengatakan sesuatu, ia berjalan cepat
kearah pintu ruang kerjanya. Dan benar saja. Fakhri menghirup udara
sedalam-dalamnya, matanya dia pejamkan, sebelum ....
'DORDORDOR,' "IHSAN FATAHILLAH, JANGAN BERCANDA, BUKA
PINTUNYA," Fakhri berteriak murka memanggil putranya, ia tak habis pikir,
bahwa kenakalan Ihsan akan se-keterlaluan ini.
Mila tambah ketakutan, kala mendengar teriakan Fakhri yang
sedang murka. Tangan itu menggedor kuat pintu tersebut. 'Ternyata gus kecil
itu, lagi-lagi telah menggiringnya kesebuah masalah besar.'
Tubuh Mila terus bergoyang, apalagi sekarang Mila merasakan
sesuatu mendorong dari bagian tubuhnya, hatinya tambah panik dan kalang kabut,
'YaAlloh ... Jangan sampai!!'
Fakhri menoleh kebelakang, dan seketika matanya melihat
wajah Mila yang semakin memucat. Keringat bercucuran diwajahnya.
"Nona, tenanglah! Saya janji, tidak akan melakukan
apapun terhadap Nona. Anda tenang sedikit, oke!" Fakhri mencoba berbicara
lembut, berharap Mila sedikit tenang.
Mila mengangguk, namun seketika menggeleng. Tubuh Mila tetap
saja bergoyang, "aduuuh, aduuuh, bagaimana ini? Bagaimana ini?" racau
Mila tak jelas.
"Ten--"
"Anu, sa,saya ... S,s,saya ... Kebelet
pi,pip,pi,piiiiiis," ucap Mila terbata. Wajahnya berwarna merah dan putih
pucat.
Fakhri seketika melongo mendengar ucapan Mila.
"Toloooongh," ucap Mila memelas, tangannya sudah
di letakan dibawah perutnya.
Fakhri kembali berbalik, dan menggedor kembali pintu ruangan
kerjanya, 'DORDORDOR' "FATAH, BUKA PINTUNYA! NONA KAMILA KEBELET BUANG
AIR. FATAH, BUKA PINTUNYA!" Fakhri kembali berteriak.
"Di dalam ada kamar mandinya, Pa. Suruh Note-ku buang
hajatnya di sana!" terdengar suara Ihsan dari luar mengomentari panggilan
Fakhri.
Fakhri semakin melongo, mendengar jawaban Ihsan. Dia
menduga, bahwa ini sudah direncanakan putranya. 'Astagfirullah ... Dia kena
jebakan Batman dari putranya.'
"Nona, itu adalah kamar mandi. Nona bisa pakai,"
ucap Fakhri sambil menunjuk ke sebuah pintu.
Tak perlu fi komando lagi, Mila langsung berlari masuk
kedalam.
Fakhri mondar-mandir sambil menunggu Mila keluar dari sana.
Dia tak pernah berfikir, bahwa putranya akan mengelabuinya, dan menjahilinya.
'Ceklek' pintu kamar mandi itu terbuka, sosok Mila keluar
dari sana. Fakhri kembali kearah pintu keluar, melihat gelagat Mila yang
sepertinya benar-benar takut terhadap dirinya.
'DORDORDOR' "FATAH, BUKA PINTUNYA! PAPA JANJI GAK AKAN
MEMARAHIMU," 'tapi sedikit akan memberimu hukuman,' lanjut Fakhri dalam
hati.
"PA, NOTE TADI BILANG KE FATAH, KALAU DIA SANGAT TAKUT
TERHADAP PAPA, COBA PAPA TANYAKAN! APA WAJAH PAPA MENYERAMKAN?!" kembali
terdengar jawaban Ihsan dari luar. Mila menganga, tidak menyangka, bahwa Ihsan
akan melaporkan itu kepada Fakhri langsung. Tubuh Mila seketika membeku, kala
dengan tiba-tiba Fakhri menolehkan wajahnya kearahnya.
Mila menghela nafasnya, ketika tubuh Fakhri kembali
memunggunginya.
"OKE, PAPA AKAN TANYAKAN. TAPI, BUKA DULU PINTUNYA.
KITA AKAN SAMA-SAMA TANYAKAN PADA NONA INI," Fakhri kembali berteriak,
memberikan negosiasi pada putranya.
"NONA KAMILA, PAPA. BUKAN NONA INI! DIA PUNYA NAMA, PA.
TIDAK AKAN DI BUKA, SEBELUM PAPA TANYAKAN SENDIRI, KENAPA NOTE-KU TAKUT PADA
PAPA." Ihsan menjawab lagi sambil berteriak.
Ingin rasanya Mila mengulek Ihsan, dan dijadikannya sambal
cobek. 'Nona itu punya nama. Lalu? Kenapa dirinya menyebut Mila dengan sebutan
terigu?' Begitu pun dengan Fakhri, dia mengacak rambutnya frustasi. Seketika
tubuh berbalik, menatap Mila lekat. Mila langsung menghentikan nafasnya.
Pasrah.
"Nona, anda duduklah di sana! Sifat Fatah tidak bisa di
ganggu gugat. Dia tidak akan membukakan pintu untuk kita,sebelum apa yang di
inginkannya terkabul."
Mila langsung berjalan kearah kursi yang agak jauh dari
tempat Fakhri berdiri.
Fakhri masih berjalan mondar-mandir, mencari ide, namun ...
"Argh" dia mengusap wajahnya. Tidak menemukan ide samasekali. 'Tidak
tahukah putranya itu? Bahwa dia sedang bersama wanita ghoir mahram. Itu artinya
dia sedang ber-khulwah. Astagfirullah ...' racau Fakhri.
Merogoh saku celananya, mendial nomor seseorang, lalu 'tut,
tut, tut,'
"...."
"Wa'alaikumussalaam, Man. Maaf! Bisakah kamu
menyelesaikan pekerjaanku di kantor? Berkasnya akan aku kirimkan lewat email
komputerku. Hanya tinggal sedikit lagi."
"...."
"Iya, sekarang. Aku ada urusan mendadak dengan Fatah.
Jadi bisakah?"
"...."
"Oke, terimakasih. Assalamu'alaikum." 'tut'
Fakhri menghela nafasnya, dia merasa bersalah, karena telah
menyita waktu ponakan iparnya itu. Namun, ya harus bagaimana lagi?
Fakhri membalikkan tubuhnya, dan menghela nafasnya kembali,
ketika melihat reaksi tubuh Mila masih sama seperti tadi. 'Menegang jika dia
menatapnya.'
"Ekhem, Nona. Bisakah anda duduk di balik lemari buku
ini? Saya akan menuruti permintaan putra saya. Tapi tidak saling
berhadapan."
Tubuh Mila bergetar, namun Mila tetap berdiri menuruti
perintah Fakhri.
Fakhri duduk disamping kursi yang baru saja di duduki Mila.
Setelah dirasa cukup. Fakhri memulai percakapannya.
"Jadi, bisa anda jelaskan, kenapa anda takut terhadap
saya?!" pertanyaan Fakhri lebih kepada pernyataan.
Mila menghirup nafasnya dalam-dalam. Sudahlah! Lagian
mengakui kesalahan adalah sesuatu yang seharusnya bukan? Mila pasrah dengan
segala konsekuensinya.
"Ma,maafkan saya, Gus Fakhri! Saya, telah melakukan
sebuah kesalahan terhadap anda," jawab Mila mencicit.
Fakhri mengernyitkan dahinya, kenapa sedikit ganjal? Oh,
'ternyata dia sudah tahu rupanya, bahwa Fakhri dan Attar adalah orang yang
sama.'
Fakhri mengulum senyumannya, dia mengerti, kenapa Mila
sampai merasa takut terhadapnya. Kita lihat, seberapa beraninya dia mengakui
kesalahan itu.
"Katakan! Apa kesalahan anda itu. Saya akan
mendengarkan, sebelum saya menentukan, apakah anda pantas saya maafkan atau
tidak."
Mila bergetar kembali, dia benar-benar telah masuk ke
kandang macan.
"Maafkan saya, Gus Fakh--"
"Simpan dulu kata maafnya! Saya ingin mendengar
pengakuannya saja, sekarang."
Bibir Mila mengerucut, beruntung dia dan Fakhri tak bertatap
muka, jadi dia bisa mengekspresikan wajahnya sesuka hatinya.
"Saya telah ...."
.....
Sementara di luar, Ihsan sedang tersenyum. Beruntung, dia
menyiapkannya lebih awal. Sehingga, meski ayahnya pulang tak sesuai
perkiraannya, tetap rencananya berjalan lancar. Dia juga sudah memperkirakan
bahwa ayahnya akan murka. Dia siap untuk diberi hukuman. Walau sebenarnya, dia
berharap, ayahnya memaafkan saja.
"Gus." Ihsan berbalik kala ada yang memanggilnya,
terlihat Rifa sedang berjalan kearahnya, sambil menatapnya bingung.
"Kenapa berdiri saja di situ? Dan lagi, kenapa
telinganya dirapatkan di pintu? Ada apa di dalam?" tanya Rifa.
Dia bermaksud membawa Ihsan untuk main kerumah Mina, karena
ia mendengar, Ihsan sedang merajuk, disebabkan ayahnya pergi kekantor. Tapi dia
bingung, karena melihat wajah Ihsan yang sedang tersenyum sambil menempelkan
daun telinganya ke pintu ruang kerja kakaknya.
Ihsan menggandeng tangan Rifa dan membawanya jauh dari ruang
kerja ayahnya.
"Sutt," Ihsan menempelkan telunjuknya di depan
bibirnya, mengisyaratkan bahwa dia meminta Rifa untuk diam.
"Papa dan Note-ku, sedang berduaan di ruang kerja
Papa," ucap Ihsan tersenyum antusias.
Rifa langsung melotot mendengar ucapan ponakannya itu.
"Apa? Kenapa bisa seperti itu?" tanya Rifa sedikit
menjerit.
"Suttt, Tante, kecilkan suaramu. Fatah yang mengunci
mereka. Fatah gak akan bukain pintunya, sebelum Note mengakui kenapa dia takut
pada Papa."
Rifa semakin menganga, 'Astagfirullah ... Ihsan Fatahillah.'
"Astagfirullah ... Gus. Kamu tahu gak sih. Tindakanmu
itu, membuat ayahmu melakukan Khulwah."
"Khulwah? Apa itu, Tante?" tanya Ihsan bingung.
"Khulwah itu, istilah lainnya adalah ... Kumpul
kebo," jawab Rifa.
Ihsan seketika melotot kearah tantenya, membuat Rifa merasa
lega, bersyukur, ponakannya itu berotak cerdas, sehingga langsung bisa mengerti
apa yang di katakannya dengan sekali saja.
"Tante, menyebut Papa kebo? Ihsan bilangin nih sama
Papa, kalau Tante menyebutnya kebo, PAP---"
"Eh, eh, eh, bukan begitu maksud Tante," sergah
Rifa sambil membekap mulut Ihsan, dia menyesal memuji Ihsan barusan. Ternyata
kecerdasan Ihsan hanya berfungsi untuk kenakalannya saja, "maksud Tante,
itu ibaratnya. Peribahasa. Atau--"
"Sama aja. Tante menyamakan Papa dengan kebo. Ingat
lho, Tan! Kata Papa, kita itu harus menghormati orang yang lebih tua, Tante
tidak sopan bilang Papa seperti kebo," ucap Ihsan, memotong ucapan Rifa.
Rifa menggigit jarinya karena kesal, sangat kesal. 'Apa
katanya tadi? Harus menghormati orang yang lebih tua? Terus, apa dong namanya
dengan kelakuan Ihsan itu? Menjahili orang tuannya sendiri?'
"Ihsan, Khulwah itu hukumnya haram. Khulwah adalah
berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan. Itu termasuk dosa
badan. Kamu mau Papamu seperti itu?"
Ihsan langsung menggeleng, "Papa tidak berduaan kok,
dirumah ini ada kita, ada Mbok Sum, jadi tidak berduaan. Hanya saja ... Papa
dan Note, terjebak di ruangan kerja."
Rifa menghela nafasnya, seberapa banyaknya dia menjelaskan
tentang Khulwah. Ihsan tak akan mengerti dengan mudah.
"Oia, Tante mau apa kesini?" tanya Ihsan.
"Tante akan mengajakmu pergi kerumah kak Mina,
tadinya."
"Ayok," Ihsan merespon cepat.
"Tapi ... Bagaimana dengan Mbak Mila dan Papamu?"
Ihsan menghampiri Mbok Sum yang sedang di dapur.
"Mbok, ini kunci ruangan Papa. Jika Papa menggedor
pintu lagi, langsung Mbok bukain, ya!"
Mbok Sum yang semula akan bicara, langsung mengangguk tanpa
membantah, kala melihat mata Ihsan menatapnya lekat.
"Fatah mau ikut kerumah kak Mina, bersama Tante
Rifa," 'sekaligus kabur,' "Assalamu'alaikum," lanjut Ihsan
sambil mencium tangan Mbok Sum.
"Tante, ayok!" ucap Ihsan.
"Gak izin dulu, sama Papamu?" tanya Rifa.
"Pa, Fatah main kerumah Kak Mina bersama Tante Rifa,
ya!" ucap Ihsan sambil berbisik. Rifa hampir tertawa melihat tingkah Ihsan
barusan.
"Gus, mana kedengaran itu."
"Yang penting, Fatah sudah izin. Tante saksinya."
"Eh, mana bisa?"
"Bisa, tentu saja. Lagian, Fatah sudah minta izin kok
sama si Mbok."
"Ayok, Tante," ucap Ihsan sambil menyeret Rifa
keluar rumahnya. 'Kalau tidak cepat keluar, aku pasti akan tertangkap sama
Papa,' lanjutnya dalam hati.
Rifa menggelengkan kepalanya, sambil terus mengikuti langkah
ponakannya.
........
"Jadi, karena itu, Nona takut pada saya?"
Mila menganggukkan kepalanya, "Oh, i,iya, Gus
Fakhri," Mila menjawab setelah sekian detik. Dia lupa. Bahwa Fakhri tidak
dapat melihat anggukkannya.
"Saya pribadi, seharusnya yang meminta maaf, karena
saya juga melihat, dan sadar, bahwa di sini, bukan anda tersangkanya, malah
bisa dikatakan, anda adalah korban dari kenakalan putra saya. Jadi tidak
seharusnya anda merasa takut, karena pada kenyataannya, anda tidak
bersalah."
Mila menghembuskan nafasnya lega, ternyata benar, apa yang
dikatakan Anisa. Lebih baik menghadapi daripada menghindari terus-menerus.
Ketakutan yang di rasakannya ternyata sangat berlebihan.
Fakhri ternyata bukan orang seperti dalam bayangannya. Dia
adalah seorang Ayah yang bertanggungjawab, tidak menghalalkan segala sesuatu
yang dilakukan oleh putranya.
"Soal parfum, itu memang benar adanya. Anda adalah
orang pertama yang memakainya, selain saya dan juga Fatah, bahkan Almarhumah
istri sayapun tidak pernah mencicipinya."
Mila kembali menegang, bahkan sekarang ditambah dengan
degupan jantungnya yang mendadak cepat. Kakinya mendadak lemas. Andai dia
sedang berdiri, dia pasti sudah tersungkur ke lantai.
"Saya sudah mengikhlaskan parfum itu. Saya ikhlas
memberikannya pada anda, Nona."
Mila menghela nafasnya lega. Ah, ternyata Alhamdulillah ...
"Tapi, dengan satu syarat."
"Ck, katanya ikhlas, tapi kok nuntut," tanpa
sadar, Mila bergumam.
"Ekhem. Maaf, Nona! Saya mendengarnya."
Mila langsung menggigit jarinya dan memejamkan matanya
rapat. 'Astagfirullah ...'
"Apa kira-kira syaratnya, Gus?"
"Syaratnya ... Nona harus bersedia menjadi ibu---"
"Appa???" Mila refleks menjerit. 'Dag-dig-dug,
dag-dig-dug, dag-dig-dug,' jantungnya berdetak sepuluh kali lipat cepatnya.
'Apa tadi katanya? Ibu?'