Posted by
One_Esc on
Wednesday, January 29, 2020
JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (21)
Judul : teka teki
"WAAMMAA INKAANA MINALMUKADZDZIBIINADLDLOOLLIIN,
FANUZULUM-MIN HAMIIMIN-WATASHLIATU JAHIIM, INNA HAADZA LAHUA-LHAQQUL YAQIIN,
FASABBIH BISMI ROBBIKA-L'ADHZIIM, SHODAQOLLOOHU-L'ADHZIIM," seorang santri
mengakhiri hafalannya.
Fakhri segera beranjak dari duduknya, meski masih banyak
santri yang belum menyetorkan hafalan, dia tetap melangkah keluar. Karena dia yakin,
tidak ada lagi yang akan menyetorkan hafalan kepadanya.
Entah mengapa, setiap ada penyetoran hafalan, entah itu dari
hafalan AlQur-an, atau dari hafalan Kitab, Fakhri tak pernah banyak yang akan
menyetorkan kepadanya. Banyak juga desus yang beredar, bahwa santri yang punya
nyali besarlah, yang akan sanggup menyetor hafalan kepadanya.
Mereka selalu merasa takut, jika melakukan kesalahan.
Padahal, semuanya juga belum pernah ada yang menyaksikan tentang kemarahan
Fakhri terhadap santri yang menemukan kesalahan pada hafalannya. Seperti,
membentak, atau memukul.
Berbeda jika ia sedang mengajar mengaji balagan (mengaji
bandung kuping), selalu penuh, entah dari santri putra,maupun santri putri.
Fakhri tak ambil pusing, ketika dirinya dipandang apapun
oleh semua santri. Bahkan semua orang.
Biarlah mereka menilai dirinya, sesuai sugestinya masing-masing.
"Gus."
Fakhri menoleh, kala seseorang memanggilnya, dia tersenyum,
dan melangkah menghampiri ibunya yang sedang berdiri di ambang pintu rumah
orangtuanya.
"Assalamu'alaikum, Umi," sapanya.
"Wa'alaikumussalaam, Gus. Masuklah dulu! Habis dari
Aula putra, ya?" Bu Nyai mengajak Fakhri kedalam.
"Iya, Umi," jawab Fakhri.
"Memang kamu pulang jam berapa dari kantor?" Bu
Nyai bertanya lagi. Dia yakin, kalau dari Aula putra berarti putranya ikut
memantau hafalan para santri putra.
"Sebelum 'Ashar, Umi."
Bu Nyai mengangguk tersenyum.
"Gus, dari Aula putra kamu?"
Fakhri dan Bu Nyai menoleh, Pak Kyai datang dan bergabung di
sana. Fakhri mencium tangan ayahnya, "Assalamu'alaikum, Abi."
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," jawab Pak
Kyai sambil menepuk pundak putranya.
"Benar, Abi. Habis mendengarkan hafalan santri,"
Fakhri menjawab pertanyaan Pak Kyai yang sempat terselang salam.
Pak Kyai tersenyum, merasa senang, putra satu-satunya itu,
mulai aktif kembali ikut mengurus kegiatan pesantren. Beliau juga tahu, kalau
Fakhri sudah mulai punya jadwal sendiri tentang balagan Kitab.
"Abi senang, kamu mulai ikut aktif kembali
berpartisipasi dengan kegiatan para santri. Kerja memang perlu, tapi
menyebarkan dan memberikan ilmu adalah bentuk Shodaqoh yang paling
menguntungkan. Itu sebabnya, kenapa ilmu yang bermanfaat termasuk dengan Shodaqoh
jariyyah? Karena ketika kita mati, akan terus mengalir pahalanya, jika orang
yang pernah kita beri ilmu tersebut mengamalkan ilmunya. Juga, ilmu tak seperti
harta. Ilmu, semakin kita berikan dan amalkan, maka semakin banyak pula ilmu
yang kita dapat. Berbeda dengan harta. Harta akan habis, jika terus-menerus
kita pakai, pasti pada akhirnya harta itu pasti akan berkurang."
Fakhri mengangguk, mengamini apa yang di sampaikan Pak Kyai,
"iya, Abi. Terimakasih atas wejangannya. InsyaAlloh, Fakhri akan selalu
mengingatnya."
"Ngomong-omong, kamu berniat terus tinggal di rumah
komplek Pesantren, kan?"
"Belum tahu, Abi. Fakhri gimana Fatah saja."
Pak Kyai mengangguk, Bu Nyai melirik kearah Pak Kyai,
sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu.
"Abi, Umi, kalau begitu, Fakhri undur diri dulu. Fakhri
belum ketemu sama Fatah setelah pulang dari kantor tadi," ucap Fakhri
berpamitan.
Pak Kyai dan Bu Nyai saling pandang. Membuat Fakhri
mengerutkan dahinya.
"Oh, i,iya, Gus. Silahkan!" jawab Pak Kyai agak
terbata.
"Apa ada sesuatu yang ingin Abi sampaikan pada
Fakhri?" tanya Fakhri.
"O, ti,tidak ada. Pulanglah! Fatah pasti sudah
menunggumu," jawab Pak Kyai.
Fakhri mengangguk, tak memperpanjang percakapan. Dia
menghampiri ayah ibunya, untuk bersalaman.
"Kalau begitu, Fakhri pamit dulu.
Assalamu'alaikum," ucap Fakhri sambil mencium kedua tangan orangtuanya.
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," jawab Pak
Kyai dan Bu Nyai bersamaan.
Fakhri berbalik, dan melangkah keluar.
'Plak' "Astagfirullah, kenapa Ibu memukul Bapak?"
tanya Pak Kyai ketika pukulan halus mendarat di pahanya.
"Bapak ini, gimana sih? Katanya akan membicarakan
tentang keinginan Nok Salma, kok malah membiarkan Attar pulang?" tanya Bu
Nyai, ketika dirasa, Fakhri sudah tak lagi berada di sana.
Pak Kyai menghela nafasnya, "ya ... Mau gimana lagi,
Bu. Bapak agak canggung sama Attar."
"Bapak ini, masa sama putra sendiri canggung sih?"
"Ibu juga kan tahu, Attar berbeda dengan putra kita
yang lainnya. Berbeda dengan Lukman dan Arfan. Attar itu orangnya tak punya
banyak warna muka," jawab Pak Kyai.
Bu Nyai kembali memukul, bukan. Lebih tepatnya menepuk,
"Bapak ini, memangnya wajah Attar itu pelangi, dikatain berwarna
segala."
"Ya, maksud Bapak, tak banyak ekspresi. Datar."
sergah Pak Kyai.
"Iya ya, Pak. Kok Attar punya sifat seperti itu, ya?
Nurun dari siapa coba?" tanya Bu Nyai.
"Siapa lagi. Dari Ibu lah," jawab Pak Kyai tenang.
Bu Nyai menghadap Pak Kyai, "ish, Ibu gak judes, Ibu
itu humble," protes Bu Nyai.
"Oia ya, bibir Ibu-kan ... Sedikit tipis dan mungil,
kata orang banyak bicaranya."
"Bapak!" Bu Nyai kembali protes.
"Hahaha, Maafkan Bapak, Ibu!" ucap Pak Kyai sambil
merangkul pundak Bu Nyai, "Bapak cuma bercanda. Soal keinginan terakhir
Salma, kita bicarakan lagi nanti. Lagian, Bapak lihat, Fakhri akan menjawab
sama seperti yang sudah-sudah."
"Tapi, Pak. Kata Gus Arfan--"
"Iya, kita akan mencobanya kembali." potong Pak
Kyai.
Bu Nyai menghembuskan nafasnya, kemudian mengangguk.
....
"Waah, Mbak Mila, coba lihat? Bunganya mekar dengan
indah, ya?"
Langkah Fakhri terhenti, kala mendengar suara Rifa yang
sangat antusias sekali. Adiknya itu sedang berada di kebun bunganya bersama
Mila.
"Iya, Nok Rifa. Saya sangat juga senang melihatnya,"
Fakhri ikut tersenyum, ketika dia melihat lengkungan bibir
Mila yang sedang tersenyum. 'Ah, manis sekali. Astagfirullah, jaga pandanganmu,
Fakhri!' Fakhri segera menundukan kepalanya, ketika hatinya sadar, dia telah
menatap Mila. -Wanita yang saat ini, masih belum halal untuknya.-
'Sepertinya, dia sudah selesai mengajar Fatah,' ucapnya
dalam hati. Fakhri kembali melangkah menuju pintu rumahnya.
"Itu semua, karena tangan Mbak Mila yang ajaib,"
"Jangan berlebihan, Nok Rifa. Nok yang selalu
menyiaminya setiap hari."
"Tante, Note, lihat! Ini indah sekali."
Fakhri kembali menghentikan langkahnya, ketika telinganya
mendengar teriakan putranya penuh gembira.
Terlihat Ihsan sedang berlarian kearah Mila dan Rifa dengan
penuh antusias.
Serasa ada kupu-kupu dalam perutnya, kala melihat binar
bahagia putranya. Fakhri sangat bahagia. Tersenyum, dan kembali melangkah. Dia
bukannya tidak mau melihat lebih lama keantusiasan Ihsan. Hanya saja, dia
takut, matanya akan kembali belok pada yang lain.
"Lihatlah! Cantik sekali bukan?" terdengar Ihsan
kembali berbicara dengan nada gembiranya.
"KYAAAAAAA, hatcim, hatcim, hatcim,"
Fakhri yang semula sudah masuk, kembali keluar, kala
mendengar teriakan Mila penuh keterkejutan. Dia melihat wajah Mila yang sudah
memerah serta bersin tak tiada hentinya.
Terlihat Rifa dan Ihsan sedang mondar-mandir merasakan
kepanikan. Fakhri masih di teras rumahnya menyaksikan kejadian yang begitu tak
trduga itu.
Otaknya terus berfikir, kenapa bisa begitu? Apa yang membuat
Mila seperti itu?
Seketika Fakhri melangkah kearah dimana ada Mila, Rifa, juga
Ihsan, setelah ujung matanya menangkap sesuatu di depan Mila.
"Oia, parfum Papa. Fatah akan ambilkan parfum Papa
dulu,"
Fakhri mendengar Ihsan berbicara, berarti dugaannya memang
benar.
'Pluk' Fakhri melemparkan sorban yang dia pakai. Yang memang
selalu dia pakai ketika sedang Sholat dan juga mengajar.
Sebenarnya Fakhri gak tahu, apakah tindakannya itu tepat
atau tidak, tapi mengingat bahwa aroma parfumnya dapat mengurangi alergi Mila,
dia refleks melemparkannya. Apalagi ketika Ihsan berseru tentang parfum itu.
Hening. Tidak ada teriakan Ihsan. Tidak ada suara kepanikan
Rifa, bahkan tidak ada lagi terdengar suara bersin dari mulut Mila. Bahkan
tubuh Mila menjadi kaku layaknya menekan.
Tubuh Fakhri menegang, kala telinganya mendengar degupan
jantung milik Mila. Dan sepertinya jantungnya pun ikut terinfeksi. Karena dia
juga merasakan sama. Jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya.
"Fatah, kamu sudah tahukan? Bahwa Nona Kamila ini,
alergi yang berbau ulat?" Fakhri berkata pada putranya. Seolah sedang
menegurnya.
Terlihat Ihsan salah tingkah, sepertinya ini bukan di
sengaja. Ihsan melupakan alergi Mila. Catat! Bukan disengaja.
"Bawa Nona Kamila-nya masuk kedalam, Gus! Berikan dia
minuman hangat."
Ihsan mengangguk antusias, "ayok, Note!" ajak
Ihsan.
Setelah Ihsan berlalu bersama Mila. Fakhri tidak dapat
menyembunyikan senyumannya, dia menunduk, kemudian menggeleng, "seorang
gadis, takut kupu-kupu? Lucu sekali," gumamnya.
Fakhri mendongak, dan matanya bertubrukan dengan mata Rifa
yang masih melongo, terkejut.
"Ekhem, Nok," Fakhri mencoba memanggil adiknya
dengan nada senormal mungkin. Sungguh. Ini kaki pertama dia tercyduk, apalagi
oleh adiknya sendiri.
"YA!" Rifa refleks menjawab dengan keterkejutan
yang nyata, "Ma,maaf, Mas! Euma ... Tidak apa-apa, m,maksud Rifa, hanya
panik. Ya, hanya panik," Rifa menjawab dengan gugup.
-Aneh, yang tercyduk siapa? Yang gugupnya siapa?-
Fakhri menganggukkan kepalanya, lalu berbalik dab melangkah,
'Astagfirullah! Macam abegeh saja kau, Fakhri!' tegurnya dalam hati.
..........
"Hihihi."
Ihsan tak bisa menghentikan tawanya, ketika ingatannya terus
memutar kejadian kemarin sore. Andai saja dirinya tahu akan ada kejadian
seperti kemarin, dia akan merekamnya, dan menjadikannya sebuah film. 'Wkwkwkwk'
Ihsan tertawa dalam hatinya kala terlintas idenya itu.
"Gus Fatah."
Ihsan menoleh, dan seketika senyumannya menjadi mengerucut,
ketika mengetahui siapa yang memanggilnya.
Arfan tersenyum, kala melihat sikap Ihsan. Dia juga merasa
bingung, kenapa Ihsan selalu bersikap jutek bila bertemu dengan dirinya.
"Assalamu'alaikum, Gus Fatah," Arfan menyapa
lembut.
"Wa'alaikumussalaam," tapi Ihsan menjawab datar.
'Benar-benar replika ayahnya,' ucap Arfan dalam hati.
"Sedang ngapain, Gus?" tanya Arfan kembali.
"Sedang tidak ingin di ganggu," jawab Ihsan sambil
memalingkan wajahnya.
Ihsan masih sebal pada Arfan, karena otaknya terus mengingat
kejadian itu, kejadian dimana Arfan sempat membantu Mila mengumpulkan belalang.
Arfan tersenyum, dia memaklumi sikap Ihsan, tapi dia juga
tidak akan menyerah, "waah kalau begitu, Maaf sekali, ya! Karena
kedatangan Om kesini ada keperluan dengan Gus Fatah."
Arfan sengaja tidak basa-basi lagi. Karena ia tahu, Ihsan
akan terus menolaknya.
"Om ada keperluan apa sama Fatah?" tanya Ihsan
mulai kepo. Walau hatinya sudah waspada. 'Ingat! Om Arfan adalah saingannya
dalam merebut hati Note-nya,' ucap Ihsan dalam hatinya.
"Ini menyangkut tentang ..." Arfan sengaja
menggantungkan kalimatnya, agar Ihsan semakin penasaran, "Ibumu."
"Ibu?" tanya Ihsan refleks, "maksud Om, Mama
Fatah?"
Arfan tersenyum, lalu mengangguk, "iya, Om punya cerita
tentang Mamamu."
Terlihat wajah Ihsan menjadi sangat penasaran, pasalnya
selama ini tidak ada yang mengungkit-ungkit tentang ibunya. Tapi, kenapa Omnya
yang satu ini tiba-tiba berbicara tentang ibunya.
"Apa itu?" tanya Ihsan penasaran.
Arfan tersenyum, bersyukur, Ihsan mau mendengarkan.
"Begini, ..."
................
Universitas Indonesia. Jakarta.
"Ekhem, Nona yang di sana! Apakah anda berniat
mendengarkan pelajaran saya?"
Semua orang menoleh ke salahsatu murid yang di tunjuk oleh
sang dosen. Mereka tak berani bergerak, karena merasa takut pada gurunya itu.
Apalagi julukannya saja udah 'Dosen Otoriter' dan sekarang ditambah aura sang
Dosen sangat gelap sekali. Sehingga julukan 'Killer' pun sangat terhormat untuk
Dosen tersebut.
Salahsatu mahasiswi disana memutar bola matanya. Dia
berdiri, dan dengan angkuhnya berjalan menghampiri murid yang mungkin sedang
melamun itu.
'BRAK'
"Astagfirullah."
Sang murid yang melamun Zahra, murid yang melamun itu
mengusap dadanya berkali-kali, ia mendongak, dan mendapati wajah sombong
Jessica yang sedang bersedekap dada.
"Ada apa ya, Mbak Jessica?" tanya Zahra.
Jessica yang berubah gaya menjadi bertolak pinggang, akan
menyemburkan layarnya, kalau saja ...
"Nona Zahra, apakah anda berniat mendengarkan pelajaran
saya?" suara Juand tidak menengahi.
Zahra menatap sekelilingnya, dia menunduk, kala sadar bahwa
dirinya sedang menjadi pusat perhatian.
"Mohon maaf, Pak," ucap Zahra.
"Sekali lagi saya melihat anda tidak memperhatikan
pelajaran saya, lebih baik anda kembali pulang. Mengerti?" ucap Juand
penuh intimidasi.
"Baik, Pak," jawab Zahra sambil mengangguk.
"Jessica, kembali ke tempat duduk!"
Jessica mendengus kearah Zahra, lalu kembali berjalan ke
tempat duduknya.
"Haaahhh," Zahra menghembuskan nafasnya. Semenjak
dia di keluarkan dari pekerjaannya(menjadi AsDos) Zahra menjadi seperti tidak
semangat lagi. Apalagi jika harus bertemu dengan Juand dan lintahnya itu.
Lintahnya? Iya. Lintahnya. si Jessica. Dia itukan seperti
Lintah. Terus menempel kepada Juand.
'Astagfirullah, Allohu Akbar! YaAlloh, kenapa dirinya
menjadi begini sih? Tak seharusnya dia mencampuri urusan orang lain, apalagi
sampai mengatai orang lain lintah segala. YaAlloh, ampuni hamba!' racau Zahra
dalam hatinya.
Pandangan Zahra kembali kepada Juand yang sedang memberikan
arahan kepada muridnya, seketika Zahra menunduk, kala hatinya mengatakan bahwa
dia menatap Juand bukan sekedar menatap orang yang sedang memberikan ilmu
padanya, melainkan menatap Juand sebagai seorang ...
"Nona Zahra."
Zahra langsung mendongak, kala suara Juand memecahkan
lamunannya kembali.
"Maaf, Pak. Sepertinya, saya memang membutuhkan pulang
untuk saat ini," ucap Zahra sambil berdiri, kepalanya dia anggukan syarat
kesopanan.
Tanpa memperdulikan keadaan setempat, Zahra terus melangkah
menuju kearah pintu. Kalau saja dia punya pintu doraemon, dia rasanya ingin
masuk kesana. Agar dirinya tidak melewati Dosen Otoriter itu.
'Manusia gagal move on,' seketika langkahnya terhenti, kala
telinganya mendengar bisikan Juand. Tapi, hanya sebentar. Dia melanjutkan
langkahnya, meski dalam hati terus bertanya, apa maksud ucapan Juand tersebut?
Manusia gagal move on? Dia yakin, bahwa bisikan itu di tujukan pada dirinya.
"Ahhhhhh," Zahra menghembuskan nafasnya kembali,
ketika dia sudah duduk di kursi taman. Sekarang menunjukan pukul sebelas.
Memejamkan matanya, mencoba untuk menenangkan jiwanya, yang
entah kenapa akhir-akhir ini dia merasa tidak enak hati. Tak nyaman, ada rasa
marah, tapi entah kepada siapa.
'Drrrt' ponselnya bergetar, tangannya membuka tasnya, dan
mengambil benda pipih persegi itu. Bibirnya melengkung senang, kala melihat
siapa yang menelponnya.
"Assalamu'alaikum, Kamila," sapanya antusias.
"...."
"Aku baik. Kamu?"
"...."
"Heeeeh," Zahra menghembuskan nafasnya sambil
cemberut.
"...."
"Gak ada apa-apa, cuma lagi bete aja."
"...."
"Tidak, Pak Juand sudah tidak menggangguku lagi."
Terdengar helaan nafas lega dari seberang sana.
"...."
"Iya," 'tapi, aku yang merasa tak nyaman,'
lanjutnya dalam hati.
"...."
"He-em, aju juga akan pulang tak lama lagi, Mila
sayang. Tunggu aku di sana, ya! Pokoknya sebelum kamu pulang, aku akan pulang
paling dahulu," ucap Zahra mencoba mengalihkan pembicaraan dari si Dosen
otoriter itu.
"Halo, Mil. Mila. Kamu masih di sana kan?" tanya
Zahra. Ketika tidak ada sahutan dari sahabatnya itu.
"...."
"Kirain kamu kemana? Oia, kamu sering hubungi om sama
tante bukan?"
"...."
"Iya, tak terasa, waktu kabur mu hanya enam minggu
lagi. Wkwkwkwk,"
"...."
"Iya maaf, cantik! Hehehe. Puas-puasin deh ya di sana.
Semoga pas kamu pulang, kamu bawa gendolan cogan buat di setorin sama Pak
Kakek. Hihihi."
"...."
"Wkwkwk, ya semoga aha kali, hihi."
"...."
"Iya, yuk! Assalamu'alaikum."
"...." 'klik'
"Haaaaah, ASTAGFIRULLAH."
Zahra menjerit kaget, ketika sesuatu yang dingin menempel di
pipi kanannya.
Dia menoleh, dan seketika matanya mendelik, kearah sang
tersangka.
"Ish, Bapak ngagetin aja. Kalau saya kena penyakit
jantung, tanggung jawab!"
Orang yang di cerca hanya menatap datar Zahra. Tangannya
menyodorkan satu kaleng larutan dingin.
Dahi Zahra mengerut, bingung, "ini apa?" tanya
Zahra.
"Ck, anda mendadak tidak bisa membaca juga? Setelah
seharian ini tidak fokus sama pelajaran saya. Andapun mengalami amnesia
terhadap huruf?"
Zahra mendelik, bibirnya mengerucut, "buka begitu
maksud saya, saya tidak sedang sariawan. Jadi tidak memerlukan itu. Dan kalau
bicara, di saring kek! Itu mulut, apa bon cabe?"
"Ini, ambilah!" ucap orang itu. Yang tak lain
adalah Juand.
"Untuk apa?"
"Saya harus memastikan, bahwa anda masuh baik-baik
saja. Sebelum anda mengatakan, dimana keberadaan adik saya, otak anda harus
tetap tegak. Jangan berkurang sedikitpun," ujar Juand sambil berlalu.
Zahra melotot, lalu terdengar lirih dia menyerapahi Juand.
'Sakit perut tahu rasa.'
"Satu lagi," Juand menghentikan langkahnya,
"cobalah untuk move on, Nona! Jangan terus terkurung di masalalu!"
lanjut Juand penuh teka-teki.
Zahra langsung menoleh kearah Juand, 'siapa yang di sebut
gagal move on itu? Dirinya kah? Astagfirullah ... Jadi Juand tahu, kalau
dirinya gagal move on dari asisten Dosennya? Ck, sombong sekali. Lihat
saja.sebentar lagi dia akan melupakan pekerjaannya itu.'
........
Annur dua. Bululawang. Malang. Jawa Timur.
'Klik'
"Ahhhh" Mila menghela nafasnya, dia sempat
melupakan, bahwa dirinya hanya punya waktu sebulan setengah lagi di sana.
Padahal ... Dia sudah betah disini.
Mampukah Mila melepas begitu saja? Rasanya akan berat.
Apalagi ada seseorang yang membuatnya enggan pulang kerumahnya. Siapa kalau
buka Ihsan. Gus Ihsan yang pintar dan manis.
Ya, manis. Manis sekali. Gus kecil itu sudah berubah menjadi
madu setelah menjadi lebah sebelumnya.
"Aaaahhhh" Mila sekali lagi menghembuskan
nafasnya.
"Kenapa, Mbak Mila?" Anisa yang melihat tingkah
Mila, menghampirinya, dan bertanya.
"Ah, oh, itu, tidak apa-apa, Mbak Nisa," jawab
Mila tersenyum.
"Sepertinya, Mbak Mil--"
"Hancur sudaaaaah, haraapankuuuu."
Ucapan Anisa terhenti, ketika suara nyanyian melengking
jelas dari seseorang yang baru saja masuk ke kamar mereka.
Terlihat Rohmi sedang berlagak menyanyi dengan kedua
tangannya yang ikut ber-atraksi.
Mila terkekeh, merasa geli. Sedang Anisa menggelengkan
kepalanya.
"Mbak Rohmi, tidak baik lho. Seorang wanita meninggikan
suaranya. Tidak takut apa, di dengar laki-laki ghoir mahrom kita?" Anisa
menegur halus Rohmi.
Rohmi hanya cengengesan, lalu mimik mukanya kembali
mendramatisir.
"Aku baru saja patah hati, Mbak Anisa," logat
Rohmi sepilu mungkin.
"Kenapa?"
"Mbak tahu gak? Kalau sebentar lagi, calon istri Gus
Fakhri akan pulang. Itu berarti, sebentar lagi, Gus Fakhri sudah bukan duda
lagi. Huwaaaaaa,"
'DEG' jantung Mila serasa berhenti. Tubuhnya menegang.
Hatinya bergetar kuat. Otaknya 'blank' seketika. 'Apa? Calon istri?'
'Astagfirullah!' Mila menggelengkan kepalanya terus-menerus.
Kala hatinya mengakui sesuatu. Dia terus beristigfar. Memohon ampun, dan
meminta agar Alloh mengenyahkan pikiran tersebut.
Anisa langsung melirik Mila, kala ucapan Rohmi telah
berhenti. Tangannya memeras pundak Mila, berharap Mila sadar akan tingkahnya.
"Mbak Mila kenapa?" tanya Rohmi.
"Ah, neng,enggak apa-apa k,kok," jawab Mila kikuk.
Tangan Anisa masih memegang pundak Mila.
"Cukup, Mbak Rohmi! Apapun itu, bukan urusan
kita."
Rohmi cemberut mendengar teguran Anisa.
"Calon istri?" Mila bergumam.
Seolah mendapatkan jalan, Rohmi menganggukkan kepalanya
berulang kali, menghiraukan teguran kecil lainnya dari Anisa.
"Iya, Mbak Mila. Calon istri Gus Fakhri itu, adalah
adiknya Gus Arfan yang sekarang sedang berkuliah di luar kota. Menurut yang aku
dengar, sebentar lagi dia akan pulang. Dan akan langsung mengadakan resepsi
akad pernikahan. Aku--"
"Mbak Rohmi, sudah! Jangan berani-beraninya menyebarkan
segala sesuatu yang di dengar. Apalagi kita tidak tahu sebenarnya," Anisa
menghentikan ucapan Rohmi. Bukan karena melihat reaksi Mila saja. Tapi, dia
juga merasa kasihan, bila nanti Rohmi akan mendapatkan masalah sari hasil
menggosipnya itu. Dia menyayangi keduanya. Mila dan Rohmi.
Seolah tak bernyawa, Mila juga ikut-ikutan tak mengindahkan
Anisa.
"Kalau boleh tahu, siapa namanya?"
"Namanya adal---"
'Toktoktok' ucapan Rohmi seketika terhenti, karena ada yang
mengetuk pintu.
"Assalamu'alaikum, maaf mengganggu! Mbak Mila, Gus
Arfan ingin bertemu dengan Mbak. Beliau sedang menunggumu di ruang kantor
santriwati," ucap salahsatu santri putri di sana.
"Aahhhh, baiklah. Terimakasih," ucap Mila.
Dia menoleh kearah Anisa dan Rohmi untuk berpamitan.
Anisa menghembuskan nafasnya, lalu menoleh kearah Rohmi yang
sedang mematung, mungkin Rohmi kaget. Orang yang sedang di bicarakan, malah
memanggil salah satunya, 'sepertinya, ucapan Anisa benar.'
Mila melangkah dengan otak dipenuhi dengan berbagai
pertanyaan. 'Siapa calon istri Gus Fakhri?'
sumber : WAG
Labels:
cerbung,
cerita humor,
cerpen
Thanks for reading Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Teka-teki. Please share...!