Blog Kang One

Catatan Sederhana untuk Berbagi

Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Teka-teki




JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (21)

Judul : teka teki

"WAAMMAA INKAANA MINALMUKADZDZIBIINADLDLOOLLIIN, FANUZULUM-MIN HAMIIMIN-WATASHLIATU JAHIIM, INNA HAADZA LAHUA-LHAQQUL YAQIIN, FASABBIH BISMI ROBBIKA-L'ADHZIIM, SHODAQOLLOOHU-L'ADHZIIM," seorang santri mengakhiri hafalannya.

Fakhri segera beranjak dari duduknya, meski masih banyak santri yang belum menyetorkan hafalan, dia tetap melangkah keluar. Karena dia yakin, tidak ada lagi yang akan menyetorkan hafalan kepadanya.

Entah mengapa, setiap ada penyetoran hafalan, entah itu dari hafalan AlQur-an, atau dari hafalan Kitab, Fakhri tak pernah banyak yang akan menyetorkan kepadanya. Banyak juga desus yang beredar, bahwa santri yang punya nyali besarlah, yang akan sanggup menyetor hafalan kepadanya.

Mereka selalu merasa takut, jika melakukan kesalahan. Padahal, semuanya juga belum pernah ada yang menyaksikan tentang kemarahan Fakhri terhadap santri yang menemukan kesalahan pada hafalannya. Seperti, membentak, atau memukul.

Berbeda jika ia sedang mengajar mengaji balagan (mengaji bandung kuping), selalu penuh, entah dari santri putra,maupun santri putri.

Fakhri tak ambil pusing, ketika dirinya dipandang apapun oleh semua santri.  Bahkan semua orang. Biarlah mereka menilai dirinya, sesuai sugestinya masing-masing.

"Gus."

Fakhri menoleh, kala seseorang memanggilnya, dia tersenyum, dan melangkah menghampiri ibunya yang sedang berdiri di ambang pintu rumah orangtuanya.

"Assalamu'alaikum, Umi," sapanya.

"Wa'alaikumussalaam, Gus. Masuklah dulu! Habis dari Aula putra, ya?" Bu Nyai mengajak Fakhri kedalam.

"Iya, Umi," jawab Fakhri.

"Memang kamu pulang jam berapa dari kantor?" Bu Nyai bertanya lagi. Dia yakin, kalau dari Aula putra berarti putranya ikut memantau hafalan para santri putra.

"Sebelum 'Ashar, Umi."

Bu Nyai mengangguk tersenyum.

"Gus, dari Aula putra kamu?"

Fakhri dan Bu Nyai menoleh, Pak Kyai datang dan bergabung di sana. Fakhri mencium tangan ayahnya, "Assalamu'alaikum, Abi."

"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," jawab Pak Kyai sambil menepuk pundak putranya.

"Benar, Abi. Habis mendengarkan hafalan santri," Fakhri menjawab pertanyaan Pak Kyai yang sempat terselang salam.

Pak Kyai tersenyum, merasa senang, putra satu-satunya itu, mulai aktif kembali ikut mengurus kegiatan pesantren. Beliau juga tahu, kalau Fakhri sudah mulai punya jadwal sendiri tentang balagan Kitab.

"Abi senang, kamu mulai ikut aktif kembali berpartisipasi dengan kegiatan para santri. Kerja memang perlu, tapi menyebarkan dan memberikan ilmu adalah bentuk Shodaqoh yang paling menguntungkan. Itu sebabnya, kenapa ilmu yang bermanfaat termasuk dengan Shodaqoh jariyyah? Karena ketika kita mati, akan terus mengalir pahalanya, jika orang yang pernah kita beri ilmu tersebut mengamalkan ilmunya. Juga, ilmu tak seperti harta. Ilmu, semakin kita berikan dan amalkan, maka semakin banyak pula ilmu yang kita dapat. Berbeda dengan harta. Harta akan habis, jika terus-menerus kita pakai, pasti pada akhirnya harta itu pasti akan berkurang."

Fakhri mengangguk, mengamini apa yang di sampaikan Pak Kyai, "iya, Abi. Terimakasih atas wejangannya. InsyaAlloh, Fakhri akan selalu mengingatnya."

"Ngomong-omong, kamu berniat terus tinggal di rumah komplek Pesantren, kan?"

"Belum tahu, Abi. Fakhri gimana Fatah saja."

Pak Kyai mengangguk, Bu Nyai melirik kearah Pak Kyai, sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu.

"Abi, Umi, kalau begitu, Fakhri undur diri dulu. Fakhri belum ketemu sama Fatah setelah pulang dari kantor tadi," ucap Fakhri berpamitan.

Pak Kyai dan Bu Nyai saling pandang. Membuat Fakhri mengerutkan dahinya.

"Oh, i,iya, Gus. Silahkan!" jawab Pak Kyai agak terbata.

"Apa ada sesuatu yang ingin Abi sampaikan pada Fakhri?" tanya Fakhri.

"O, ti,tidak ada. Pulanglah! Fatah pasti sudah menunggumu," jawab Pak Kyai.

Fakhri mengangguk, tak memperpanjang percakapan. Dia menghampiri ayah ibunya, untuk bersalaman.

"Kalau begitu, Fakhri pamit dulu. Assalamu'alaikum," ucap Fakhri sambil mencium kedua tangan orangtuanya.

"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," jawab Pak Kyai dan Bu Nyai bersamaan.

Fakhri berbalik, dan melangkah keluar.

'Plak' "Astagfirullah, kenapa Ibu memukul Bapak?" tanya Pak Kyai ketika pukulan halus mendarat di pahanya.

"Bapak ini, gimana sih? Katanya akan membicarakan tentang keinginan Nok Salma, kok malah membiarkan Attar pulang?" tanya Bu Nyai, ketika dirasa, Fakhri sudah tak lagi berada di sana.

Pak Kyai menghela nafasnya, "ya ... Mau gimana lagi, Bu. Bapak agak canggung sama Attar."

"Bapak ini, masa sama putra sendiri canggung sih?"

"Ibu juga kan tahu, Attar berbeda dengan putra kita yang lainnya. Berbeda dengan Lukman dan Arfan. Attar itu orangnya tak punya banyak warna muka," jawab Pak Kyai.

Bu Nyai kembali memukul, bukan. Lebih tepatnya menepuk, "Bapak ini, memangnya wajah Attar itu pelangi, dikatain berwarna segala."

"Ya, maksud Bapak, tak banyak ekspresi. Datar." sergah Pak Kyai.

"Iya ya, Pak. Kok Attar punya sifat seperti itu, ya? Nurun dari siapa coba?" tanya Bu Nyai.

"Siapa lagi. Dari Ibu lah," jawab Pak Kyai tenang.

Bu Nyai menghadap Pak Kyai, "ish, Ibu gak judes, Ibu itu humble," protes Bu Nyai.

"Oia ya, bibir Ibu-kan ... Sedikit tipis dan mungil, kata orang banyak bicaranya."

"Bapak!" Bu Nyai kembali protes.

"Hahaha, Maafkan Bapak, Ibu!" ucap Pak Kyai sambil merangkul pundak Bu Nyai, "Bapak cuma bercanda. Soal keinginan terakhir Salma, kita bicarakan lagi nanti. Lagian, Bapak lihat, Fakhri akan menjawab sama seperti yang sudah-sudah."

"Tapi, Pak. Kata Gus Arfan--"

"Iya, kita akan mencobanya kembali." potong Pak Kyai.

Bu Nyai menghembuskan nafasnya, kemudian mengangguk.

....

"Waah, Mbak Mila, coba lihat? Bunganya mekar dengan indah, ya?"

Langkah Fakhri terhenti, kala mendengar suara Rifa yang sangat antusias sekali. Adiknya itu sedang berada di kebun bunganya bersama Mila.

"Iya, Nok Rifa. Saya sangat juga senang melihatnya,"

Fakhri ikut tersenyum, ketika dia melihat lengkungan bibir Mila yang sedang tersenyum. 'Ah, manis sekali. Astagfirullah, jaga pandanganmu, Fakhri!' Fakhri segera menundukan kepalanya, ketika hatinya sadar, dia telah menatap Mila. -Wanita yang saat ini, masih belum halal untuknya.-

'Sepertinya, dia sudah selesai mengajar Fatah,' ucapnya dalam hati. Fakhri kembali melangkah menuju pintu rumahnya.

"Itu semua, karena tangan Mbak Mila yang ajaib,"

"Jangan berlebihan, Nok Rifa. Nok yang selalu menyiaminya setiap hari."

"Tante, Note, lihat! Ini indah sekali."

Fakhri kembali menghentikan langkahnya, ketika telinganya mendengar teriakan putranya penuh gembira.

Terlihat Ihsan sedang berlarian kearah Mila dan Rifa dengan penuh antusias.

Serasa ada kupu-kupu dalam perutnya, kala melihat binar bahagia putranya. Fakhri sangat bahagia. Tersenyum, dan kembali melangkah. Dia bukannya tidak mau melihat lebih lama keantusiasan Ihsan. Hanya saja, dia takut, matanya akan kembali belok pada yang lain.

"Lihatlah! Cantik sekali bukan?" terdengar Ihsan kembali berbicara dengan nada gembiranya.

"KYAAAAAAA, hatcim, hatcim, hatcim,"

Fakhri yang semula sudah masuk, kembali keluar, kala mendengar teriakan Mila penuh keterkejutan. Dia melihat wajah Mila yang sudah memerah serta bersin tak tiada hentinya.

Terlihat Rifa dan Ihsan sedang mondar-mandir merasakan kepanikan. Fakhri masih di teras rumahnya menyaksikan kejadian yang begitu tak trduga itu.

Otaknya terus berfikir, kenapa bisa begitu? Apa yang membuat Mila seperti itu?

Seketika Fakhri melangkah kearah dimana ada Mila, Rifa, juga Ihsan, setelah ujung matanya menangkap sesuatu di depan Mila.

"Oia, parfum Papa. Fatah akan ambilkan parfum Papa dulu,"

Fakhri mendengar Ihsan berbicara, berarti dugaannya memang benar.

'Pluk' Fakhri melemparkan sorban yang dia pakai. Yang memang selalu dia pakai ketika sedang Sholat dan juga mengajar.

Sebenarnya Fakhri gak tahu, apakah tindakannya itu tepat atau tidak, tapi mengingat bahwa aroma parfumnya dapat mengurangi alergi Mila, dia refleks melemparkannya. Apalagi ketika Ihsan berseru tentang parfum itu.

Hening. Tidak ada teriakan Ihsan. Tidak ada suara kepanikan Rifa, bahkan tidak ada lagi terdengar suara bersin dari mulut Mila. Bahkan tubuh Mila menjadi kaku layaknya menekan.

Tubuh Fakhri menegang, kala telinganya mendengar degupan jantung milik Mila. Dan sepertinya jantungnya pun ikut terinfeksi. Karena dia juga merasakan sama. Jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya.

"Fatah, kamu sudah tahukan? Bahwa Nona Kamila ini, alergi yang berbau ulat?" Fakhri berkata pada putranya. Seolah sedang menegurnya.

Terlihat Ihsan salah tingkah, sepertinya ini bukan di sengaja. Ihsan melupakan alergi Mila. Catat! Bukan disengaja.

"Bawa Nona Kamila-nya masuk kedalam, Gus! Berikan dia minuman hangat."

Ihsan mengangguk antusias, "ayok, Note!" ajak Ihsan.

Setelah Ihsan berlalu bersama Mila. Fakhri tidak dapat menyembunyikan senyumannya, dia menunduk, kemudian menggeleng, "seorang gadis, takut kupu-kupu? Lucu sekali," gumamnya.

Fakhri mendongak, dan matanya bertubrukan dengan mata Rifa yang masih melongo, terkejut.

"Ekhem, Nok," Fakhri mencoba memanggil adiknya dengan nada senormal mungkin. Sungguh. Ini kaki pertama dia tercyduk, apalagi oleh adiknya sendiri.

"YA!" Rifa refleks menjawab dengan keterkejutan yang nyata, "Ma,maaf, Mas! Euma ... Tidak apa-apa, m,maksud Rifa, hanya panik. Ya, hanya panik," Rifa menjawab dengan gugup.

-Aneh, yang tercyduk siapa? Yang gugupnya siapa?-

Fakhri menganggukkan kepalanya, lalu berbalik dab melangkah, 'Astagfirullah! Macam abegeh saja kau, Fakhri!' tegurnya dalam hati.

..........

"Hihihi."

Ihsan tak bisa menghentikan tawanya, ketika ingatannya terus memutar kejadian kemarin sore. Andai saja dirinya tahu akan ada kejadian seperti kemarin, dia akan merekamnya, dan menjadikannya sebuah film. 'Wkwkwkwk' Ihsan tertawa dalam hatinya kala terlintas idenya itu.

"Gus Fatah."

Ihsan menoleh, dan seketika senyumannya menjadi mengerucut, ketika mengetahui siapa yang memanggilnya.

Arfan tersenyum, kala melihat sikap Ihsan. Dia juga merasa bingung, kenapa Ihsan selalu bersikap jutek bila bertemu dengan dirinya.

"Assalamu'alaikum, Gus Fatah," Arfan menyapa lembut.

"Wa'alaikumussalaam," tapi Ihsan menjawab datar.

'Benar-benar replika ayahnya,' ucap Arfan dalam hati.

"Sedang ngapain, Gus?" tanya Arfan kembali.

"Sedang tidak ingin di ganggu," jawab Ihsan sambil memalingkan wajahnya.

Ihsan masih sebal pada Arfan, karena otaknya terus mengingat kejadian itu, kejadian dimana Arfan sempat membantu Mila mengumpulkan belalang.

Arfan tersenyum, dia memaklumi sikap Ihsan, tapi dia juga tidak akan menyerah, "waah kalau begitu, Maaf sekali, ya! Karena kedatangan Om kesini ada keperluan dengan Gus Fatah."

Arfan sengaja tidak basa-basi lagi. Karena ia tahu, Ihsan akan terus menolaknya.

"Om ada keperluan apa sama Fatah?" tanya Ihsan mulai kepo. Walau hatinya sudah waspada. 'Ingat! Om Arfan adalah saingannya dalam merebut hati Note-nya,' ucap Ihsan dalam hatinya.

"Ini menyangkut tentang ..." Arfan sengaja menggantungkan kalimatnya, agar Ihsan semakin penasaran, "Ibumu."

"Ibu?" tanya Ihsan refleks, "maksud Om, Mama Fatah?"

Arfan tersenyum, lalu mengangguk, "iya, Om punya cerita tentang Mamamu."

Terlihat wajah Ihsan menjadi sangat penasaran, pasalnya selama ini tidak ada yang mengungkit-ungkit tentang ibunya. Tapi, kenapa Omnya yang satu ini tiba-tiba berbicara tentang ibunya.

"Apa itu?" tanya Ihsan penasaran.

Arfan tersenyum, bersyukur, Ihsan mau mendengarkan.

"Begini, ..."

................

Universitas Indonesia. Jakarta.

"Ekhem, Nona yang di sana! Apakah anda berniat mendengarkan pelajaran saya?"

Semua orang menoleh ke salahsatu murid yang di tunjuk oleh sang dosen. Mereka tak berani bergerak, karena merasa takut pada gurunya itu. Apalagi julukannya saja udah 'Dosen Otoriter' dan sekarang ditambah aura sang Dosen sangat gelap sekali. Sehingga julukan 'Killer' pun sangat terhormat untuk Dosen tersebut.

Salahsatu mahasiswi disana memutar bola matanya. Dia berdiri, dan dengan angkuhnya berjalan menghampiri murid yang mungkin sedang melamun itu.

'BRAK'

"Astagfirullah."

Sang murid yang melamun Zahra, murid yang melamun itu mengusap dadanya berkali-kali, ia mendongak, dan mendapati wajah sombong Jessica yang sedang bersedekap dada.

"Ada apa ya, Mbak Jessica?" tanya Zahra.

Jessica yang berubah gaya menjadi bertolak pinggang, akan menyemburkan layarnya, kalau saja ...

"Nona Zahra, apakah anda berniat mendengarkan pelajaran saya?" suara Juand tidak menengahi.

Zahra menatap sekelilingnya, dia menunduk, kala sadar bahwa dirinya sedang menjadi pusat perhatian.

"Mohon maaf, Pak," ucap Zahra.

"Sekali lagi saya melihat anda tidak memperhatikan pelajaran saya, lebih baik anda kembali pulang. Mengerti?" ucap Juand penuh intimidasi.

"Baik, Pak," jawab Zahra sambil mengangguk.

"Jessica, kembali ke tempat duduk!"

Jessica mendengus kearah Zahra, lalu kembali berjalan ke tempat duduknya.

"Haaahhh," Zahra menghembuskan nafasnya. Semenjak dia di keluarkan dari pekerjaannya(menjadi AsDos) Zahra menjadi seperti tidak semangat lagi. Apalagi jika harus bertemu dengan Juand dan lintahnya itu.

Lintahnya? Iya. Lintahnya. si Jessica. Dia itukan seperti Lintah. Terus menempel kepada Juand.

'Astagfirullah, Allohu Akbar! YaAlloh, kenapa dirinya menjadi begini sih? Tak seharusnya dia mencampuri urusan orang lain, apalagi sampai mengatai orang lain lintah segala. YaAlloh, ampuni hamba!' racau Zahra dalam hatinya.

Pandangan Zahra kembali kepada Juand yang sedang memberikan arahan kepada muridnya, seketika Zahra menunduk, kala hatinya mengatakan bahwa dia menatap Juand bukan sekedar menatap orang yang sedang memberikan ilmu padanya, melainkan menatap Juand sebagai seorang ...

"Nona Zahra."

Zahra langsung mendongak, kala suara Juand memecahkan lamunannya kembali.

"Maaf, Pak. Sepertinya, saya memang membutuhkan pulang untuk saat ini," ucap Zahra sambil berdiri, kepalanya dia anggukan syarat kesopanan.

Tanpa memperdulikan keadaan setempat, Zahra terus melangkah menuju kearah pintu. Kalau saja dia punya pintu doraemon, dia rasanya ingin masuk kesana. Agar dirinya tidak melewati Dosen Otoriter itu.

'Manusia gagal move on,' seketika langkahnya terhenti, kala telinganya mendengar bisikan Juand. Tapi, hanya sebentar. Dia melanjutkan langkahnya, meski dalam hati terus bertanya, apa maksud ucapan Juand tersebut? Manusia gagal move on? Dia yakin, bahwa bisikan itu di tujukan pada dirinya.

"Ahhhhhh," Zahra menghembuskan nafasnya kembali, ketika dia sudah duduk di kursi taman. Sekarang menunjukan pukul sebelas.

Memejamkan matanya, mencoba untuk menenangkan jiwanya, yang entah kenapa akhir-akhir ini dia merasa tidak enak hati. Tak nyaman, ada rasa marah, tapi entah kepada siapa.

'Drrrt' ponselnya bergetar, tangannya membuka tasnya, dan mengambil benda pipih persegi itu. Bibirnya melengkung senang, kala melihat siapa yang menelponnya.

"Assalamu'alaikum, Kamila," sapanya antusias.

"...."

"Aku baik. Kamu?"

"...."

"Heeeeh," Zahra menghembuskan nafasnya sambil cemberut.

"...."

"Gak ada apa-apa, cuma lagi bete aja."

"...."

"Tidak, Pak Juand sudah tidak menggangguku lagi."

Terdengar helaan nafas lega dari seberang sana. "...."

"Iya," 'tapi, aku yang merasa tak nyaman,' lanjutnya dalam hati.

"...."

"He-em, aju juga akan pulang tak lama lagi, Mila sayang. Tunggu aku di sana, ya! Pokoknya sebelum kamu pulang, aku akan pulang paling dahulu," ucap Zahra mencoba mengalihkan pembicaraan dari si Dosen otoriter itu.

"Halo, Mil. Mila. Kamu masih di sana kan?" tanya Zahra. Ketika tidak ada sahutan dari sahabatnya itu.

"...."

"Kirain kamu kemana? Oia, kamu sering hubungi om sama tante bukan?"

"...."

"Iya, tak terasa, waktu kabur mu hanya enam minggu lagi. Wkwkwkwk,"

"...."

"Iya maaf, cantik! Hehehe. Puas-puasin deh ya di sana. Semoga pas kamu pulang, kamu bawa gendolan cogan buat di setorin sama Pak Kakek. Hihihi."

"...."

"Wkwkwk, ya semoga aha kali, hihi."

"...."

"Iya, yuk! Assalamu'alaikum."

"...." 'klik'

"Haaaaah, ASTAGFIRULLAH."

Zahra menjerit kaget, ketika sesuatu yang dingin menempel di pipi kanannya.

Dia menoleh, dan seketika matanya mendelik, kearah sang tersangka.

"Ish, Bapak ngagetin aja. Kalau saya kena penyakit jantung, tanggung jawab!"

Orang yang di cerca hanya menatap datar Zahra. Tangannya menyodorkan satu kaleng larutan dingin.

Dahi Zahra mengerut, bingung, "ini apa?" tanya Zahra.

"Ck, anda mendadak tidak bisa membaca juga? Setelah seharian ini tidak fokus sama pelajaran saya. Andapun mengalami amnesia terhadap huruf?"

Zahra mendelik, bibirnya mengerucut, "buka begitu maksud saya, saya tidak sedang sariawan. Jadi tidak memerlukan itu. Dan kalau bicara, di saring kek! Itu mulut, apa bon cabe?"

"Ini, ambilah!" ucap orang itu. Yang tak lain adalah Juand.

"Untuk apa?"

"Saya harus memastikan, bahwa anda masuh baik-baik saja. Sebelum anda mengatakan, dimana keberadaan adik saya, otak anda harus tetap tegak. Jangan berkurang sedikitpun," ujar Juand sambil berlalu.

Zahra melotot, lalu terdengar lirih dia menyerapahi Juand. 'Sakit perut tahu rasa.'

"Satu lagi," Juand menghentikan langkahnya, "cobalah untuk move on, Nona! Jangan terus terkurung di masalalu!" lanjut Juand penuh teka-teki.

Zahra langsung menoleh kearah Juand, 'siapa yang di sebut gagal move on itu? Dirinya kah? Astagfirullah ... Jadi Juand tahu, kalau dirinya gagal move on dari asisten Dosennya? Ck, sombong sekali. Lihat saja.sebentar lagi dia akan melupakan pekerjaannya itu.'

........

Annur dua. Bululawang. Malang. Jawa Timur.

'Klik'

"Ahhhh" Mila menghela nafasnya, dia sempat melupakan, bahwa dirinya hanya punya waktu sebulan setengah lagi di sana. Padahal ... Dia sudah betah disini.

Mampukah Mila melepas begitu saja? Rasanya akan berat. Apalagi ada seseorang yang membuatnya enggan pulang kerumahnya. Siapa kalau buka Ihsan. Gus Ihsan yang pintar dan manis.

Ya, manis. Manis sekali. Gus kecil itu sudah berubah menjadi madu setelah menjadi lebah sebelumnya.

"Aaaahhhh" Mila sekali lagi menghembuskan nafasnya.

"Kenapa, Mbak Mila?" Anisa yang melihat tingkah Mila, menghampirinya, dan bertanya.

"Ah, oh, itu, tidak apa-apa, Mbak Nisa," jawab Mila tersenyum.

"Sepertinya, Mbak Mil--"

"Hancur sudaaaaah, haraapankuuuu."

Ucapan Anisa terhenti, ketika suara nyanyian melengking jelas dari seseorang yang baru saja masuk ke kamar mereka.

Terlihat Rohmi sedang berlagak menyanyi dengan kedua tangannya yang ikut ber-atraksi.

Mila terkekeh, merasa geli. Sedang Anisa menggelengkan kepalanya.

"Mbak Rohmi, tidak baik lho. Seorang wanita meninggikan suaranya. Tidak takut apa, di dengar laki-laki ghoir mahrom kita?" Anisa menegur halus Rohmi.

Rohmi hanya cengengesan, lalu mimik mukanya kembali mendramatisir.

"Aku baru saja patah hati, Mbak Anisa," logat Rohmi sepilu mungkin.

"Kenapa?"

"Mbak tahu gak? Kalau sebentar lagi, calon istri Gus Fakhri akan pulang. Itu berarti, sebentar lagi, Gus Fakhri sudah bukan duda lagi. Huwaaaaaa,"

'DEG' jantung Mila serasa berhenti. Tubuhnya menegang. Hatinya bergetar kuat. Otaknya 'blank' seketika. 'Apa? Calon istri?'

'Astagfirullah!' Mila menggelengkan kepalanya terus-menerus. Kala hatinya mengakui sesuatu. Dia terus beristigfar. Memohon ampun, dan meminta agar Alloh mengenyahkan pikiran tersebut.

Anisa langsung melirik Mila, kala ucapan Rohmi telah berhenti. Tangannya memeras pundak Mila, berharap Mila sadar akan tingkahnya.

"Mbak Mila kenapa?" tanya Rohmi.

"Ah, neng,enggak apa-apa k,kok," jawab Mila kikuk.

Tangan Anisa masih memegang pundak Mila.

"Cukup, Mbak Rohmi! Apapun itu, bukan urusan kita."

Rohmi cemberut mendengar teguran Anisa.

"Calon istri?" Mila bergumam.

Seolah mendapatkan jalan, Rohmi menganggukkan kepalanya berulang kali, menghiraukan teguran kecil lainnya dari Anisa.

"Iya, Mbak Mila. Calon istri Gus Fakhri itu, adalah adiknya Gus Arfan yang sekarang sedang berkuliah di luar kota. Menurut yang aku dengar, sebentar lagi dia akan pulang. Dan akan langsung mengadakan resepsi akad pernikahan. Aku--"

"Mbak Rohmi, sudah! Jangan berani-beraninya menyebarkan segala sesuatu yang di dengar. Apalagi kita tidak tahu sebenarnya," Anisa menghentikan ucapan Rohmi. Bukan karena melihat reaksi Mila saja. Tapi, dia juga merasa kasihan, bila nanti Rohmi akan mendapatkan masalah sari hasil menggosipnya itu. Dia menyayangi keduanya. Mila dan Rohmi.

Seolah tak bernyawa, Mila juga ikut-ikutan tak mengindahkan Anisa.

"Kalau boleh tahu, siapa namanya?"

"Namanya adal---"

'Toktoktok' ucapan Rohmi seketika terhenti, karena ada yang mengetuk pintu.

"Assalamu'alaikum, maaf mengganggu! Mbak Mila, Gus Arfan ingin bertemu dengan Mbak. Beliau sedang menunggumu di ruang kantor santriwati," ucap salahsatu santri putri di sana.

"Aahhhh, baiklah. Terimakasih," ucap Mila.

Dia menoleh kearah Anisa dan Rohmi untuk berpamitan.

Anisa menghembuskan nafasnya, lalu menoleh kearah Rohmi yang sedang mematung, mungkin Rohmi kaget. Orang yang sedang di bicarakan, malah memanggil salah satunya, 'sepertinya, ucapan Anisa benar.'

Mila melangkah dengan otak dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. 'Siapa calon istri Gus Fakhri?'


sumber : WAG
Labels: cerbung, cerita humor, cerpen

Thanks for reading Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Teka-teki. Please share...!

Back To Top