Posted by
One_Esc on
Wednesday, January 29, 2020
JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (19)
Judul : dengan satu syarat. 1
"Ke,ke,kenapa bis,bis,bisa G,g,g,gus berkata
se,se,sep,seperti i,i,itu?" sungguh. Mila benar-benar seperti sosok IJAT
dalam serial IPAN DAN APIN. latah, seeelatah-latahnya.
"Not---" 'breem' ucapan Ihsan terhenti kala
mendengar suara mobil masuk ke pekarangan rumahnya. Dia beranjak, lalu
mengintip melalui jendela kamarnya.
"Papa? Kenapa Papa sudah pulang?" tanya Ihsan
lebih, pada dirinya sendiri. Merasa heran.
"APAAA?" 'tamatlah sudah kau, Milaaaaaaa.' jerit
Mila menangis kejer.
Mila langsung kalang kabut, dia berjalan kesana kemari.
Sungguh! Benar-benar masalah besar.
Sedangkan Ihsan terus mengintip ayahnya dari balik tirai
kamarnya, 'kenapa Papa cepat sekali pulangnya?'
"Gus, bagaimana ini? A,apa yang harus saya
lakukan?" wajah Mila sudah pucat, tangannya pun gemetaran.
"GUS, TOLONGIN SAYA!" Mila memanggil Ihsan dengan
sedikit membentak. Tak mempedulikan siapa Ihsan di sini. Yang hanya Mila ingat
adalah bagaimana caranya kabur dari Fakhri.
"Tuan, sudah pulang?" terdengar si Mbok bertanya
kepada Fakhri di teras rumah.
"Saya mau ambil barang yang ketinggalan di rumah,
Mbok," terdengar Fakhri menjawab.
Ihsan menatap lekat Mila, "ada apa dengan wajah Note?
Kenapa pucat sekali?" tanya Ihsan khawatir.
Mila memutar bola matanya kesal, "tolong saya, Gus!
Bantu saya kabur! Sebelum ayah Gus menemukan saya. Tolong!" ucap Mila
memohon.
'Ting- oia, Note kan takut Papa,' otaknya Ihsan kembali
bekerja.
"Fatah dimana, Mbok?" terdengar lagi suara Fakhri.
Mila semakin kalang kabut. Tangannya sudah dingin sekali.
Ihsan hanya menggelengkan kepalanya, merasa heran, 'kenapa harus takut pada
Papa coba?'
"Gu--"
"Ikut saya! Pekerjaan Note belum selesai, Papa cuma
sebentar di rumah, katanya mau ambil barang yang tertinggal. Jadi, Note harus
sembunyi dulu," ucap Ihsan sambil membawa Mila keluar kamar.
Mila yang pada dasarnya sudah ketakutan, terus mengikuti
kemana Ihsan membawanya. Ihsan membawa Mila ke suatu tempat.
"Gus, kenapa kesini?" tanya Mila, ketika dia
sadar, bahwa ruangan itu adalah ...
"Note bersembunyi, cepetan! Papa sudah
memanggilku," Ihsan tak menjawab kebingungan Mila.
"Fatah."
Mila kembali kalang kabut kala mendengar suara Fakhri
memanggil Ihsan.
"Duuuuh, gimana ini? Aku harus ngumpet dimana?"
Mila hilir mudik tak karuan. Otak, oh otak. Dimana kamu? Kenapa mendadak
nge-blank begini?
"Note, di sana saja," ujar Ihsan sambil menunjuk
ke suatu tempat, "jangan dulu keluar sebelum saya memerintah."
Mila mengangguk, tanpa di suruh dua kali, dia langsung
bersembunyi di tempat yang di intruksikan Ihsan terhadapnya.
Setelah memastikan Mila aman, Ihsan buru-buru keluar.
"Gus."
Ihsan berjalan agak berlari, ketika suara ayahnya makin
mendekat.
"Di sini, Papa."
"Kamu dari mana aja?"
"Dari belakang, Pa," jawab Ihsan.
Fakhri mengangguk, "Gus, kamu lihat map ayah gak? Yang
kemarin Papa simpan di atas nakas kamar Papa."
Ihsan menelengkan matanya, sedang berfikir, "bukannya
Papa taruhnya di meja kerja Papa?"
Fakhri mengerutkan dahinya, "masa sih? Seingat Papa
sudah di bawa ke kamar deh."
"Apa di kamar ada, Pa?"
"Itu dia, gada."
"Coba Papa cek di meja kerja!"
"Baiklah. Oia, kata si Mbok, ada Mbak santri kesini,
dimana dia?" tanya Fakhri.
Ihsan menegang seketika, membuat Fakhri menatap curiga,
"Gus, ka--"
"Ada, Pa. Tadi, sewaktu Papa pulang lagi, dia sedang
membereskan pakaian Fatah," jawab Ihsan cepat.
"Ya sudah," ucap Fakhri sambil berlalu kearah
ruang kerjanya.
....
Mila masih menunggu dengan sabar di tempat persembunyiannya,
dia berharap semoga Fakhri cepat pergi lagi.
'Ceklek' suara pintu dibuka, Mila tersenyum. Itu tandanya
Fakhri sudah kembali pergi.
Suara langkah kaki terdengar semakin mendekatinya, dan
berhenti tepat di belakangnya, lebih tepatnya, langkah itu berhenti di depan
meja yang di jadikan Mila tempat persembunyiannya.
Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan ... Mila sudah
menghitung sampai detik ke sepuluh, Ihsan belum juga memanggilnya.
'Ck,' Mila berdecak pelan. 'Ihsan pasti sedang
mengerjainya.'
"Gus, gimana? Sudah belum?" Mila berucap sangat
pelan kepada orang yang dia yakini sedang berdiri di depan meja itu.
Namun, tak ada sahutan yang di dengar Mila.
"Gus Ihsan. Gus, Gus Ihsan," Mila kembali
memanggil.
Hening, tidak ada sahutan.
'Deg' seketika jantungnya berpacu cepat, kala hidungnya
mencium sesuatu yang tak asing lagi baginya.
'Jangan-jangan ...' "KYAAAA" 'Bugh'
"Astagfirullah ..."
Mila melotot kala tangannya tak sengaja menjotos wajah
seseorang. Dia semakin ketakutan setelah melihat siapa yang dia tinju barusan
itu.
Fakhri, awalnya akan mengambil map pekerjaannya, yang tak
sengaja dia tinggalkan itu ke ruang kerjanya, tiba-tiba terhenti, kala matanya
menemukan sesuatu yang aneh di bawah meja kerjanya. Dia tak bersuara, menunggu
sesuatu untuk dipastikan.
Dan ternyata dugaannya benar, ada sesuatu di bawah meja
kerjanya. Semakin yakin, bahwa itu bukanlah salah pendengarannya saja, dia
berjongkok untuk melihat langsung.
Namun, naas. Ketika baru saja di mendongak ke bawah meja.
Jeritan melengking, disertai tinjuan mantul dia dapatkan di wajahnya.
Baru saja Fakhri akan memarahi orang tersebut, namun seketika
niatnya ia urungkan kala melihat tubuh di hadapannya itu menggigil ketakutan.
Wajahnya sangat pucat sampai ada derai airmata yang berjatuhan.
Fakhri langsung berdiri lagi, "keluarlah, Nona! Sedang
apa anda di situ?" tanya Fakhri setenang mungkin.
Fakhri menunggu orang itu keluar, namun di tunggu sampai
lima detik, orang itu tidak keluar-keluar.
"Keluarlah! Saya tunggu sampai hitungan ke tiga, kalau
anda tetap tidak keluar juga, jangan salahkan saya," ucap Fakhri dingin.
Ketakutan Mila semakin menjadi. Andai dia sedang berada di
sebuah film, mungkin dia akan ngompol di celananya, saking ketakutannya itu.
Beruntung dia hanya berada di sebuah cerita.
"Satu," 'dakdikdukdakdikduk'' suara gaduh di bawah
meja jelas sekali, tak ayal membuat Fakhri yang mendengar juga meringis,
membayangkan bagaimana itu kepala terpentok ke sana-sini.
"Dua," 'dakdikdukdakdikduk' suara itu semakin
menjadi.
"Ti---"
"Ampun, ampun, ampuni saya, Gus! Saya mohon, ampuni
saya, hiks," Mila tiba-tiba memohon ampun sambil setengah menangis. Dia
sudah pasrah, jika duda beranak itu akan menghukumnya seberat mungkin. Dia
semakin ketakutan, kala melihat ujung hidung Fakhri mengeluarkan darah.
Fakhri menautkan alisnya, ketika wajah perempuan itu sudah
terlihat jelas, "Nona Kamila?" gumamnya pelan.
"Ampuni saya, Gus Fakhri. Saya tidak sengaja. Saya,
saya, saya ... Saya ju,juga Ti,tidak tahu, kalau parfum itu milik anda. Dan,
dan, ..." Mila terus meracau sambil menggoyangkan tangannya, dan juga
tubuhnya. Jangan berfikir goyangan Mila yang aduhai, ya! Ini goyangan ketika
seseorang sedang dilanda kepanikan akut.
"Nona, tenanglah! Apa yang sedang anda--" Fakhri
tak melanjutkan ucapannya, kala otaknya mengatakan sesuatu, ia berjalan cepat
kearah pintu ruang kerjanya. Dan benar saja. Fakhri menghirup udara
sedalam-dalamnya, matanya dia pejamkan, sebelum ....
'DORDORDOR,' "IHSAN FATAHILLAH, JANGAN BERCANDA, BUKA
PINTUNYA," Fakhri berteriak murka memanggil putranya, ia tak habis pikir,
bahwa kenakalan Ihsan akan se-keterlaluan ini.
Mila tambah ketakutan, kala mendengar teriakan Fakhri yang
sedang murka. Tangan itu menggedor kuat pintu tersebut. 'Ternyata gus kecil
itu, lagi-lagi telah menggiringnya kesebuah masalah besar.'
Tubuh Mila terus bergoyang, apalagi sekarang Mila merasakan
sesuatu mendorong dari bagian tubuhnya, hatinya tambah panik dan kalang kabut,
'YaAlloh ... Jangan sampai!!'
Fakhri menoleh kebelakang, dan seketika matanya melihat
wajah Mila yang semakin memucat. Keringat bercucuran diwajahnya.
"Nona, tenanglah! Saya janji, tidak akan melakukan
apapun terhadap Nona. Anda tenang sedikit, oke!" Fakhri mencoba berbicara
lembut, berharap Mila sedikit tenang.
Mila mengangguk, namun seketika menggeleng. Tubuh Mila tetap
saja bergoyang, "aduuuh, aduuuh, bagaimana ini? Bagaimana ini?" racau
Mila tak jelas.
"Ten--"
"Anu, sa,saya ... S,s,saya ... Kebelet
pi,pip,pi,piiiiiis," ucap Mila terbata. Wajahnya berwarna merah dan putih
pucat.
Fakhri seketika melongo mendengar ucapan Mila.
"Toloooongh," ucap Mila memelas, tangannya sudah
di letakan dibawah perutnya.
Fakhri kembali berbalik, dan menggedor kembali pintu ruangan
kerjanya, 'DORDORDOR' "FATAH, BUKA PINTUNYA! NONA KAMILA KEBELET BUANG
AIR. FATAH, BUKA PINTUNYA!" Fakhri kembali berteriak.
"Di dalam ada kamar mandinya, Pa. Suruh Note-ku buang
hajatnya di sana!" terdengar suara Ihsan dari luar mengomentari panggilan
Fakhri.
Fakhri semakin melongo, mendengar jawaban Ihsan. Dia
menduga, bahwa ini sudah direncanakan putranya. 'Astagfirullah ... Dia kena
jebakan Batman dari putranya.'
"Nona, itu adalah kamar mandi. Nona bisa pakai,"
ucap Fakhri sambil menunjuk ke sebuah pintu.
Tak perlu fi komando lagi, Mila langsung berlari masuk
kedalam.
Fakhri mondar-mandir sambil menunggu Mila keluar dari sana.
Dia tak pernah berfikir, bahwa putranya akan mengelabuinya, dan menjahilinya.
'Ceklek' pintu kamar mandi itu terbuka, sosok Mila keluar
dari sana. Fakhri kembali kearah pintu keluar, melihat gelagat Mila yang
sepertinya benar-benar takut terhadap dirinya.
'DORDORDOR' "FATAH, BUKA PINTUNYA! PAPA JANJI GAK AKAN
MEMARAHIMU," 'tapi sedikit akan memberimu hukuman,' lanjut Fakhri dalam
hati.
"PA, NOTE TADI BILANG KE FATAH, KALAU DIA SANGAT TAKUT
TERHADAP PAPA, COBA PAPA TANYAKAN! APA WAJAH PAPA MENYERAMKAN?!" kembali
terdengar jawaban Ihsan dari luar. Mila menganga, tidak menyangka, bahwa Ihsan
akan melaporkan itu kepada Fakhri langsung. Tubuh Mila seketika membeku, kala
dengan tiba-tiba Fakhri menolehkan wajahnya kearahnya.
Mila menghela nafasnya, ketika tubuh Fakhri kembali
memunggunginya.
"OKE, PAPA AKAN TANYAKAN. TAPI, BUKA DULU PINTUNYA.
KITA AKAN SAMA-SAMA TANYAKAN PADA NONA INI," Fakhri kembali berteriak,
memberikan negosiasi pada putranya.
"NONA KAMILA, PAPA. BUKAN NONA INI! DIA PUNYA NAMA, PA.
TIDAK AKAN DI BUKA, SEBELUM PAPA TANYAKAN SENDIRI, KENAPA NOTE-KU TAKUT PADA
PAPA." Ihsan menjawab lagi sambil berteriak.
Ingin rasanya Mila mengulek Ihsan, dan dijadikannya sambal
cobek. 'Nona itu punya nama. Lalu? Kenapa dirinya menyebut Mila dengan sebutan
terigu?' Begitu pun dengan Fakhri, dia mengacak rambutnya frustasi. Seketika
tubuh berbalik, menatap Mila lekat. Mila langsung menghentikan nafasnya.
Pasrah.
"Nona, anda duduklah di sana! Sifat Fatah tidak bisa di
ganggu gugat. Dia tidak akan membukakan pintu untuk kita,sebelum apa yang di
inginkannya terkabul."
Mila langsung berjalan kearah kursi yang agak jauh dari
tempat Fakhri berdiri.
Fakhri masih berjalan mondar-mandir, mencari ide, namun ...
"Argh" dia mengusap wajahnya. Tidak menemukan ide samasekali. 'Tidak
tahukah putranya itu? Bahwa dia sedang bersama wanita ghoir mahram. Itu artinya
dia sedang ber-khulwah. Astagfirullah ...' racau Fakhri.
Merogoh saku celananya, mendial nomor seseorang, lalu 'tut,
tut, tut,'
"...."
"Wa'alaikumussalaam, Man. Maaf! Bisakah kamu
menyelesaikan pekerjaanku di kantor? Berkasnya akan aku kirimkan lewat email
komputerku. Hanya tinggal sedikit lagi."
"...."
"Iya, sekarang. Aku ada urusan mendadak dengan Fatah.
Jadi bisakah?"
"...."
"Oke, terimakasih. Assalamu'alaikum." 'tut'
Fakhri menghela nafasnya, dia merasa bersalah, karena telah
menyita waktu ponakan iparnya itu. Namun, ya harus bagaimana lagi?
Fakhri membalikkan tubuhnya, dan menghela nafasnya kembali,
ketika melihat reaksi tubuh Mila masih sama seperti tadi. 'Menegang jika dia
menatapnya.'
"Ekhem, Nona. Bisakah anda duduk di balik lemari buku
ini? Saya akan menuruti permintaan putra saya. Tapi tidak saling
berhadapan."
Tubuh Mila bergetar, namun Mila tetap berdiri menuruti
perintah Fakhri.
Fakhri duduk disamping kursi yang baru saja di duduki Mila.
Setelah dirasa cukup. Fakhri memulai percakapannya.
"Jadi, bisa anda jelaskan, kenapa anda takut terhadap
saya?!" pertanyaan Fakhri lebih kepada pernyataan.
Mila menghirup nafasnya dalam-dalam. Sudahlah! Lagian
mengakui kesalahan adalah sesuatu yang seharusnya bukan? Mila pasrah dengan
segala konsekuensinya.
"Ma,maafkan saya, Gus Fakhri! Saya, telah melakukan
sebuah kesalahan terhadap anda," jawab Mila mencicit.
Fakhri mengernyitkan dahinya, kenapa sedikit ganjal? Oh,
'ternyata dia sudah tahu rupanya, bahwa Fakhri dan Attar adalah orang yang
sama.'
Fakhri mengulum senyumannya, dia mengerti, kenapa Mila
sampai merasa takut terhadapnya. Kita lihat, seberapa beraninya dia mengakui
kesalahan itu.
"Katakan! Apa kesalahan anda itu. Saya akan
mendengarkan, sebelum saya menentukan, apakah anda pantas saya maafkan atau
tidak."
Mila bergetar kembali, dia benar-benar telah masuk ke
kandang macan.
"Maafkan saya, Gus Fakh--"
"Simpan dulu kata maafnya! Saya ingin mendengar
pengakuannya saja, sekarang."
Bibir Mila mengerucut, beruntung dia dan Fakhri tak bertatap
muka, jadi dia bisa mengekspresikan wajahnya sesuka hatinya.
"Saya telah ...."
.....
Sementara di luar, Ihsan sedang tersenyum. Beruntung, dia
menyiapkannya lebih awal. Sehingga, meski ayahnya pulang tak sesuai
perkiraannya, tetap rencananya berjalan lancar. Dia juga sudah memperkirakan
bahwa ayahnya akan murka. Dia siap untuk diberi hukuman. Walau sebenarnya, dia
berharap, ayahnya memaafkan saja.
"Gus." Ihsan berbalik kala ada yang memanggilnya,
terlihat Rifa sedang berjalan kearahnya, sambil menatapnya bingung.
"Kenapa berdiri saja di situ? Dan lagi, kenapa
telinganya dirapatkan di pintu? Ada apa di dalam?" tanya Rifa.
Dia bermaksud membawa Ihsan untuk main kerumah Mina, karena
ia mendengar, Ihsan sedang merajuk, disebabkan ayahnya pergi kekantor. Tapi dia
bingung, karena melihat wajah Ihsan yang sedang tersenyum sambil menempelkan
daun telinganya ke pintu ruang kerja kakaknya.
Ihsan menggandeng tangan Rifa dan membawanya jauh dari ruang
kerja ayahnya.
"Sutt," Ihsan menempelkan telunjuknya di depan
bibirnya, mengisyaratkan bahwa dia meminta Rifa untuk diam.
"Papa dan Note-ku, sedang berduaan di ruang kerja
Papa," ucap Ihsan tersenyum antusias.
Rifa langsung melotot mendengar ucapan ponakannya itu.
"Apa? Kenapa bisa seperti itu?" tanya Rifa sedikit
menjerit.
"Suttt, Tante, kecilkan suaramu. Fatah yang mengunci
mereka. Fatah gak akan bukain pintunya, sebelum Note mengakui kenapa dia takut
pada Papa."
Rifa semakin menganga, 'Astagfirullah ... Ihsan Fatahillah.'
"Astagfirullah ... Gus. Kamu tahu gak sih. Tindakanmu
itu, membuat ayahmu melakukan Khulwah."
"Khulwah? Apa itu, Tante?" tanya Ihsan bingung.
"Khulwah itu, istilah lainnya adalah ... Kumpul
kebo," jawab Rifa.
Ihsan seketika melotot kearah tantenya, membuat Rifa merasa
lega, bersyukur, ponakannya itu berotak cerdas, sehingga langsung bisa mengerti
apa yang di katakannya dengan sekali saja.
"Tante, menyebut Papa kebo? Ihsan bilangin nih sama
Papa, kalau Tante menyebutnya kebo, PAP---"
"Eh, eh, eh, bukan begitu maksud Tante," sergah
Rifa sambil membekap mulut Ihsan, dia menyesal memuji Ihsan barusan. Ternyata
kecerdasan Ihsan hanya berfungsi untuk kenakalannya saja, "maksud Tante,
itu ibaratnya. Peribahasa. Atau--"
"Sama aja. Tante menyamakan Papa dengan kebo. Ingat
lho, Tan! Kata Papa, kita itu harus menghormati orang yang lebih tua, Tante
tidak sopan bilang Papa seperti kebo," ucap Ihsan, memotong ucapan Rifa.
Rifa menggigit jarinya karena kesal, sangat kesal. 'Apa
katanya tadi? Harus menghormati orang yang lebih tua? Terus, apa dong namanya
dengan kelakuan Ihsan itu? Menjahili orang tuannya sendiri?'
"Ihsan, Khulwah itu hukumnya haram. Khulwah adalah
berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan. Itu termasuk dosa
badan. Kamu mau Papamu seperti itu?"
Ihsan langsung menggeleng, "Papa tidak berduaan kok,
dirumah ini ada kita, ada Mbok Sum, jadi tidak berduaan. Hanya saja ... Papa
dan Note, terjebak di ruangan kerja."
Rifa menghela nafasnya, seberapa banyaknya dia menjelaskan
tentang Khulwah. Ihsan tak akan mengerti dengan mudah.
"Oia, Tante mau apa kesini?" tanya Ihsan.
"Tante akan mengajakmu pergi kerumah kak Mina,
tadinya."
"Ayok," Ihsan merespon cepat.
"Tapi ... Bagaimana dengan Mbak Mila dan Papamu?"
Ihsan menghampiri Mbok Sum yang sedang di dapur.
"Mbok, ini kunci ruangan Papa. Jika Papa menggedor
pintu lagi, langsung Mbok bukain, ya!"
Mbok Sum yang semula akan bicara, langsung mengangguk tanpa
membantah, kala melihat mata Ihsan menatapnya lekat.
"Fatah mau ikut kerumah kak Mina, bersama Tante
Rifa," 'sekaligus kabur,' "Assalamu'alaikum," lanjut Ihsan
sambil mencium tangan Mbok Sum.
"Tante, ayok!" ucap Ihsan.
"Gak izin dulu, sama Papamu?" tanya Rifa.
"Pa, Fatah main kerumah Kak Mina bersama Tante Rifa,
ya!" ucap Ihsan sambil berbisik. Rifa hampir tertawa melihat tingkah Ihsan
barusan.
"Gus, mana kedengaran itu."
"Yang penting, Fatah sudah izin. Tante saksinya."
"Eh, mana bisa?"
"Bisa, tentu saja. Lagian, Fatah sudah minta izin kok
sama si Mbok."
"Ayok, Tante," ucap Ihsan sambil menyeret Rifa
keluar rumahnya. 'Kalau tidak cepat keluar, aku pasti akan tertangkap sama
Papa,' lanjutnya dalam hati.
Rifa menggelengkan kepalanya, sambil terus mengikuti langkah
ponakannya.
........
"Jadi, karena itu, Nona takut pada saya?"
Mila menganggukkan kepalanya, "Oh, i,iya, Gus
Fakhri," Mila menjawab setelah sekian detik. Dia lupa. Bahwa Fakhri tidak
dapat melihat anggukkannya.
"Saya pribadi, seharusnya yang meminta maaf, karena
saya juga melihat, dan sadar, bahwa di sini, bukan anda tersangkanya, malah
bisa dikatakan, anda adalah korban dari kenakalan putra saya. Jadi tidak
seharusnya anda merasa takut, karena pada kenyataannya, anda tidak
bersalah."
Mila menghembuskan nafasnya lega, ternyata benar, apa yang
dikatakan Anisa. Lebih baik menghadapi daripada menghindari terus-menerus.
Ketakutan yang di rasakannya ternyata sangat berlebihan.
Fakhri ternyata bukan orang seperti dalam bayangannya. Dia
adalah seorang Ayah yang bertanggungjawab, tidak menghalalkan segala sesuatu
yang dilakukan oleh putranya.
"Soal parfum, itu memang benar adanya. Anda adalah
orang pertama yang memakainya, selain saya dan juga Fatah, bahkan Almarhumah
istri sayapun tidak pernah mencicipinya."
Mila kembali menegang, bahkan sekarang ditambah dengan
degupan jantungnya yang mendadak cepat. Kakinya mendadak lemas. Andai dia
sedang berdiri, dia pasti sudah tersungkur ke lantai.
"Saya sudah mengikhlaskan parfum itu. Saya ikhlas
memberikannya pada anda, Nona."
Mila menghela nafasnya lega. Ah, ternyata Alhamdulillah ...
"Tapi, dengan satu syarat."
"Ck, katanya ikhlas, tapi kok nuntut," tanpa
sadar, Mila bergumam.
"Ekhem. Maaf, Nona! Saya mendengarnya."
Mila langsung menggigit jarinya dan memejamkan matanya
rapat. 'Astagfirullah ...'
"Apa kira-kira syaratnya, Gus?"
"Syaratnya ... Nona harus bersedia menjadi ibu---"
"Appa???" Mila refleks menjerit. 'Dag-dig-dug,
dag-dig-dug, dag-dig-dug,' jantungnya berdetak sepuluh kali lipat cepatnya.
'Apa tadi katanya? Ibu?'
Labels:
cerita humor,
hiburan,
humor
Thanks for reading Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Satu Syarat. Please share...!