Blog Kang One

Catatan Sederhana untuk Berbagi

Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Satu Syarat




JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (19)

Judul : dengan satu syarat. 1

"Ke,ke,kenapa bis,bis,bisa G,g,g,gus berkata se,se,sep,seperti i,i,itu?" sungguh. Mila benar-benar seperti sosok IJAT dalam serial IPAN DAN APIN. latah, seeelatah-latahnya.

"Not---" 'breem' ucapan Ihsan terhenti kala mendengar suara mobil masuk ke pekarangan rumahnya. Dia beranjak, lalu mengintip melalui jendela kamarnya.

"Papa? Kenapa Papa sudah pulang?" tanya Ihsan lebih, pada dirinya sendiri. Merasa heran.

"APAAA?" 'tamatlah sudah kau, Milaaaaaaa.' jerit Mila menangis kejer.

Mila langsung kalang kabut, dia berjalan kesana kemari. Sungguh! Benar-benar masalah besar.

Sedangkan Ihsan terus mengintip ayahnya dari balik tirai kamarnya, 'kenapa Papa cepat sekali pulangnya?'

"Gus, bagaimana ini? A,apa yang harus saya lakukan?" wajah Mila sudah pucat, tangannya pun gemetaran.

"GUS, TOLONGIN SAYA!" Mila memanggil Ihsan dengan sedikit membentak. Tak mempedulikan siapa Ihsan di sini. Yang hanya Mila ingat adalah bagaimana caranya kabur dari Fakhri.

"Tuan, sudah pulang?" terdengar si Mbok bertanya kepada Fakhri di teras rumah.

"Saya mau ambil barang yang ketinggalan di rumah, Mbok," terdengar Fakhri menjawab.

Ihsan menatap lekat Mila, "ada apa dengan wajah Note? Kenapa pucat sekali?" tanya Ihsan khawatir.

Mila memutar bola matanya kesal, "tolong saya, Gus! Bantu saya kabur! Sebelum ayah Gus menemukan saya. Tolong!" ucap Mila memohon.

'Ting- oia, Note kan takut Papa,' otaknya Ihsan kembali bekerja.

"Fatah dimana, Mbok?" terdengar lagi suara Fakhri.

Mila semakin kalang kabut. Tangannya sudah dingin sekali. Ihsan hanya menggelengkan kepalanya, merasa heran, 'kenapa harus takut pada Papa coba?'

"Gu--"

"Ikut saya! Pekerjaan Note belum selesai, Papa cuma sebentar di rumah, katanya mau ambil barang yang tertinggal. Jadi, Note harus sembunyi dulu," ucap Ihsan sambil membawa Mila keluar kamar.

Mila yang pada dasarnya sudah ketakutan, terus mengikuti kemana Ihsan membawanya. Ihsan membawa Mila ke suatu tempat.

"Gus, kenapa kesini?" tanya Mila, ketika dia sadar, bahwa ruangan itu adalah ...

"Note bersembunyi, cepetan! Papa sudah memanggilku," Ihsan tak menjawab kebingungan Mila.

"Fatah."

Mila kembali kalang kabut kala mendengar suara Fakhri memanggil Ihsan.

"Duuuuh, gimana ini? Aku harus ngumpet dimana?" Mila hilir mudik tak karuan. Otak, oh otak. Dimana kamu? Kenapa mendadak nge-blank begini?

"Note, di sana saja," ujar Ihsan sambil menunjuk ke suatu tempat, "jangan dulu keluar sebelum saya memerintah."

Mila mengangguk, tanpa di suruh dua kali, dia langsung bersembunyi di tempat yang di intruksikan Ihsan terhadapnya.

Setelah memastikan Mila aman, Ihsan buru-buru keluar.

"Gus."

Ihsan berjalan agak berlari, ketika suara ayahnya makin mendekat.

"Di sini, Papa."

"Kamu dari mana aja?"

"Dari belakang, Pa," jawab Ihsan.

Fakhri mengangguk, "Gus, kamu lihat map ayah gak? Yang kemarin Papa simpan di atas nakas kamar Papa."

Ihsan menelengkan matanya, sedang berfikir, "bukannya Papa taruhnya di meja kerja Papa?"

Fakhri mengerutkan dahinya, "masa sih? Seingat Papa sudah di bawa ke kamar deh."

"Apa di kamar ada, Pa?"

"Itu dia, gada."

"Coba Papa cek di meja kerja!"

"Baiklah. Oia, kata si Mbok, ada Mbak santri kesini, dimana dia?" tanya Fakhri.

Ihsan menegang seketika, membuat Fakhri menatap curiga, "Gus, ka--"

"Ada, Pa. Tadi, sewaktu Papa pulang lagi, dia sedang membereskan pakaian Fatah," jawab Ihsan cepat.

"Ya sudah," ucap Fakhri sambil berlalu kearah ruang kerjanya.

....

Mila masih menunggu dengan sabar di tempat persembunyiannya, dia berharap semoga Fakhri cepat pergi lagi.

'Ceklek' suara pintu dibuka, Mila tersenyum. Itu tandanya Fakhri sudah kembali pergi.

Suara langkah kaki terdengar semakin mendekatinya, dan berhenti tepat di belakangnya, lebih tepatnya, langkah itu berhenti di depan meja yang di jadikan Mila tempat persembunyiannya.

Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan ... Mila sudah menghitung sampai detik ke sepuluh, Ihsan belum juga memanggilnya.

'Ck,' Mila berdecak pelan. 'Ihsan pasti sedang mengerjainya.'

"Gus, gimana? Sudah belum?" Mila berucap sangat pelan kepada orang yang dia yakini sedang berdiri di depan meja itu.

Namun, tak ada sahutan yang di dengar Mila.

"Gus Ihsan. Gus, Gus Ihsan," Mila kembali memanggil.

Hening, tidak ada sahutan.
'Deg' seketika jantungnya berpacu cepat, kala hidungnya mencium sesuatu yang tak asing lagi baginya.

'Jangan-jangan ...' "KYAAAA" 'Bugh' "Astagfirullah ..."

Mila melotot kala tangannya tak sengaja menjotos wajah seseorang. Dia semakin ketakutan setelah melihat siapa yang dia tinju barusan itu.

Fakhri, awalnya akan mengambil map pekerjaannya, yang tak sengaja dia tinggalkan itu ke ruang kerjanya, tiba-tiba terhenti, kala matanya menemukan sesuatu yang aneh di bawah meja kerjanya. Dia tak bersuara, menunggu sesuatu untuk dipastikan.

Dan ternyata dugaannya benar, ada sesuatu di bawah meja kerjanya. Semakin yakin, bahwa itu bukanlah salah pendengarannya saja, dia berjongkok untuk melihat langsung.

Namun, naas. Ketika baru saja di mendongak ke bawah meja. Jeritan melengking, disertai tinjuan mantul dia dapatkan di wajahnya.

Baru saja Fakhri akan memarahi orang tersebut, namun seketika niatnya ia urungkan kala melihat tubuh di hadapannya itu menggigil ketakutan. Wajahnya sangat pucat sampai ada derai airmata yang berjatuhan.

Fakhri langsung berdiri lagi, "keluarlah, Nona! Sedang apa anda di situ?" tanya Fakhri setenang mungkin.

Fakhri menunggu orang itu keluar, namun di tunggu sampai lima detik, orang itu tidak keluar-keluar.

"Keluarlah! Saya tunggu sampai hitungan ke tiga, kalau anda tetap tidak keluar juga, jangan salahkan saya," ucap Fakhri dingin.

Ketakutan Mila semakin menjadi. Andai dia sedang berada di sebuah film, mungkin dia akan ngompol di celananya, saking ketakutannya itu. Beruntung dia hanya berada di sebuah cerita.

"Satu," 'dakdikdukdakdikduk'' suara gaduh di bawah meja jelas sekali, tak ayal membuat Fakhri yang mendengar juga meringis, membayangkan bagaimana itu kepala terpentok ke sana-sini.

"Dua," 'dakdikdukdakdikduk' suara itu semakin menjadi.

"Ti---"

"Ampun, ampun, ampuni saya, Gus! Saya mohon, ampuni saya, hiks," Mila tiba-tiba memohon ampun sambil setengah menangis. Dia sudah pasrah, jika duda beranak itu akan menghukumnya seberat mungkin. Dia semakin ketakutan, kala melihat ujung hidung Fakhri mengeluarkan darah.

Fakhri menautkan alisnya, ketika wajah perempuan itu sudah terlihat jelas, "Nona Kamila?" gumamnya pelan.

"Ampuni saya, Gus Fakhri. Saya tidak sengaja. Saya, saya, saya ... Saya ju,juga Ti,tidak tahu, kalau parfum itu milik anda. Dan, dan, ..." Mila terus meracau sambil menggoyangkan tangannya, dan juga tubuhnya. Jangan berfikir goyangan Mila yang aduhai, ya! Ini goyangan ketika seseorang sedang dilanda kepanikan akut.

"Nona, tenanglah! Apa yang sedang anda--" Fakhri tak melanjutkan ucapannya, kala otaknya mengatakan sesuatu, ia berjalan cepat kearah pintu ruang kerjanya. Dan benar saja. Fakhri menghirup udara sedalam-dalamnya, matanya dia pejamkan, sebelum ....

'DORDORDOR,' "IHSAN FATAHILLAH, JANGAN BERCANDA, BUKA PINTUNYA," Fakhri berteriak murka memanggil putranya, ia tak habis pikir, bahwa kenakalan Ihsan akan se-keterlaluan ini.

Mila tambah ketakutan, kala mendengar teriakan Fakhri yang sedang murka. Tangan itu menggedor kuat pintu tersebut. 'Ternyata gus kecil itu, lagi-lagi telah menggiringnya kesebuah masalah besar.'

Tubuh Mila terus bergoyang, apalagi sekarang Mila merasakan sesuatu mendorong dari bagian tubuhnya, hatinya tambah panik dan kalang kabut, 'YaAlloh ... Jangan sampai!!'

Fakhri menoleh kebelakang, dan seketika matanya melihat wajah Mila yang semakin memucat. Keringat bercucuran diwajahnya.

"Nona, tenanglah! Saya janji, tidak akan melakukan apapun terhadap Nona. Anda tenang sedikit, oke!" Fakhri mencoba berbicara lembut, berharap Mila sedikit tenang.

Mila mengangguk, namun seketika menggeleng. Tubuh Mila tetap saja bergoyang, "aduuuh, aduuuh, bagaimana ini? Bagaimana ini?" racau Mila tak jelas.

"Ten--"

"Anu, sa,saya ... S,s,saya ... Kebelet pi,pip,pi,piiiiiis," ucap Mila terbata. Wajahnya berwarna merah dan putih pucat.

Fakhri seketika melongo mendengar ucapan Mila.

"Toloooongh," ucap Mila memelas, tangannya sudah di letakan dibawah perutnya.

Fakhri kembali berbalik, dan menggedor kembali pintu ruangan kerjanya, 'DORDORDOR' "FATAH, BUKA PINTUNYA! NONA KAMILA KEBELET BUANG AIR. FATAH, BUKA PINTUNYA!" Fakhri kembali berteriak.

"Di dalam ada kamar mandinya, Pa. Suruh Note-ku buang hajatnya di sana!" terdengar suara Ihsan dari luar mengomentari panggilan Fakhri.

Fakhri semakin melongo, mendengar jawaban Ihsan. Dia menduga, bahwa ini sudah direncanakan putranya. 'Astagfirullah ... Dia kena jebakan Batman dari putranya.'

"Nona, itu adalah kamar mandi. Nona bisa pakai," ucap Fakhri sambil menunjuk ke sebuah pintu.

Tak perlu fi komando lagi, Mila langsung berlari masuk kedalam.

Fakhri mondar-mandir sambil menunggu Mila keluar dari sana. Dia tak pernah berfikir, bahwa putranya akan mengelabuinya, dan menjahilinya.

'Ceklek' pintu kamar mandi itu terbuka, sosok Mila keluar dari sana. Fakhri kembali kearah pintu keluar, melihat gelagat Mila yang sepertinya benar-benar takut terhadap dirinya.

'DORDORDOR' "FATAH, BUKA PINTUNYA! PAPA JANJI GAK AKAN MEMARAHIMU," 'tapi sedikit akan memberimu hukuman,' lanjut Fakhri dalam hati.

"PA, NOTE TADI BILANG KE FATAH, KALAU DIA SANGAT TAKUT TERHADAP PAPA, COBA PAPA TANYAKAN! APA WAJAH PAPA MENYERAMKAN?!" kembali terdengar jawaban Ihsan dari luar. Mila menganga, tidak menyangka, bahwa Ihsan akan melaporkan itu kepada Fakhri langsung. Tubuh Mila seketika membeku, kala dengan tiba-tiba Fakhri menolehkan wajahnya kearahnya.

Mila menghela nafasnya, ketika tubuh Fakhri kembali memunggunginya.

"OKE, PAPA AKAN TANYAKAN. TAPI, BUKA DULU PINTUNYA. KITA AKAN SAMA-SAMA TANYAKAN PADA NONA INI," Fakhri kembali berteriak, memberikan negosiasi pada putranya.

"NONA KAMILA, PAPA. BUKAN NONA INI! DIA PUNYA NAMA, PA. TIDAK AKAN DI BUKA, SEBELUM PAPA TANYAKAN SENDIRI, KENAPA NOTE-KU TAKUT PADA PAPA." Ihsan menjawab lagi sambil berteriak.

Ingin rasanya Mila mengulek Ihsan, dan dijadikannya sambal cobek. 'Nona itu punya nama. Lalu? Kenapa dirinya menyebut Mila dengan sebutan terigu?' Begitu pun dengan Fakhri, dia mengacak rambutnya frustasi. Seketika tubuh berbalik, menatap Mila lekat. Mila langsung menghentikan nafasnya. Pasrah.

"Nona, anda duduklah di sana! Sifat Fatah tidak bisa di ganggu gugat. Dia tidak akan membukakan pintu untuk kita,sebelum apa yang di inginkannya terkabul."

Mila langsung berjalan kearah kursi yang agak jauh dari tempat Fakhri berdiri.

Fakhri masih berjalan mondar-mandir, mencari ide, namun ... "Argh" dia mengusap wajahnya. Tidak menemukan ide samasekali. 'Tidak tahukah putranya itu? Bahwa dia sedang bersama wanita ghoir mahram. Itu artinya dia sedang ber-khulwah. Astagfirullah ...' racau Fakhri.

Merogoh saku celananya, mendial nomor seseorang, lalu 'tut, tut, tut,'

"...."

"Wa'alaikumussalaam, Man. Maaf! Bisakah kamu menyelesaikan pekerjaanku di kantor? Berkasnya akan aku kirimkan lewat email komputerku. Hanya tinggal sedikit lagi."

"...."

"Iya, sekarang. Aku ada urusan mendadak dengan Fatah. Jadi bisakah?"

"...."

"Oke, terimakasih. Assalamu'alaikum." 'tut'

Fakhri menghela nafasnya, dia merasa bersalah, karena telah menyita waktu ponakan iparnya itu. Namun, ya harus bagaimana lagi?

Fakhri membalikkan tubuhnya, dan menghela nafasnya kembali, ketika melihat reaksi tubuh Mila masih sama seperti tadi. 'Menegang jika dia menatapnya.'

"Ekhem, Nona. Bisakah anda duduk di balik lemari buku ini? Saya akan menuruti permintaan putra saya. Tapi tidak saling berhadapan."

Tubuh Mila bergetar, namun Mila tetap berdiri menuruti perintah Fakhri.

Fakhri duduk disamping kursi yang baru saja di duduki Mila. Setelah dirasa cukup. Fakhri memulai percakapannya.

"Jadi, bisa anda jelaskan, kenapa anda takut terhadap saya?!" pertanyaan Fakhri lebih kepada pernyataan.

Mila menghirup nafasnya dalam-dalam. Sudahlah! Lagian mengakui kesalahan adalah sesuatu yang seharusnya bukan? Mila pasrah dengan segala konsekuensinya.

"Ma,maafkan saya, Gus Fakhri! Saya, telah melakukan sebuah kesalahan terhadap anda," jawab Mila mencicit.

Fakhri mengernyitkan dahinya, kenapa sedikit ganjal? Oh, 'ternyata dia sudah tahu rupanya, bahwa Fakhri dan Attar adalah orang yang sama.'

Fakhri mengulum senyumannya, dia mengerti, kenapa Mila sampai merasa takut terhadapnya. Kita lihat, seberapa beraninya dia mengakui kesalahan itu.

"Katakan! Apa kesalahan anda itu. Saya akan mendengarkan, sebelum saya menentukan, apakah anda pantas saya maafkan atau tidak."

Mila bergetar kembali, dia benar-benar telah masuk ke kandang macan.

"Maafkan saya, Gus Fakh--"

"Simpan dulu kata maafnya! Saya ingin mendengar pengakuannya saja, sekarang."

Bibir Mila mengerucut, beruntung dia dan Fakhri tak bertatap muka, jadi dia bisa mengekspresikan wajahnya sesuka hatinya.

"Saya telah ...."

.....

Sementara di luar, Ihsan sedang tersenyum. Beruntung, dia menyiapkannya lebih awal. Sehingga, meski ayahnya pulang tak sesuai perkiraannya, tetap rencananya berjalan lancar. Dia juga sudah memperkirakan bahwa ayahnya akan murka. Dia siap untuk diberi hukuman. Walau sebenarnya, dia berharap, ayahnya memaafkan saja.

"Gus." Ihsan berbalik kala ada yang memanggilnya, terlihat Rifa sedang berjalan kearahnya, sambil menatapnya bingung.

"Kenapa berdiri saja di situ? Dan lagi, kenapa telinganya dirapatkan di pintu? Ada apa di dalam?" tanya Rifa.

Dia bermaksud membawa Ihsan untuk main kerumah Mina, karena ia mendengar, Ihsan sedang merajuk, disebabkan ayahnya pergi kekantor. Tapi dia bingung, karena melihat wajah Ihsan yang sedang tersenyum sambil menempelkan daun telinganya ke pintu ruang kerja kakaknya.

Ihsan menggandeng tangan Rifa dan membawanya jauh dari ruang kerja ayahnya.

"Sutt," Ihsan menempelkan telunjuknya di depan bibirnya, mengisyaratkan bahwa dia meminta Rifa untuk diam.

"Papa dan Note-ku, sedang berduaan di ruang kerja Papa," ucap Ihsan tersenyum antusias.

Rifa langsung melotot mendengar ucapan ponakannya itu.

"Apa? Kenapa bisa seperti itu?" tanya Rifa sedikit menjerit.

"Suttt, Tante, kecilkan suaramu. Fatah yang mengunci mereka. Fatah gak akan bukain pintunya, sebelum Note mengakui kenapa dia takut pada Papa."

Rifa semakin menganga, 'Astagfirullah ... Ihsan Fatahillah.'

"Astagfirullah ... Gus. Kamu tahu gak sih. Tindakanmu itu, membuat ayahmu melakukan Khulwah."

"Khulwah? Apa itu, Tante?" tanya Ihsan bingung.

"Khulwah itu, istilah lainnya adalah ... Kumpul kebo," jawab Rifa.

Ihsan seketika melotot kearah tantenya, membuat Rifa merasa lega, bersyukur, ponakannya itu berotak cerdas, sehingga langsung bisa mengerti apa yang di katakannya dengan sekali saja.

"Tante, menyebut Papa kebo? Ihsan bilangin nih sama Papa, kalau Tante menyebutnya kebo, PAP---"

"Eh, eh, eh, bukan begitu maksud Tante," sergah Rifa sambil membekap mulut Ihsan, dia menyesal memuji Ihsan barusan. Ternyata kecerdasan Ihsan hanya berfungsi untuk kenakalannya saja, "maksud Tante, itu ibaratnya. Peribahasa. Atau--"

"Sama aja. Tante menyamakan Papa dengan kebo. Ingat lho, Tan! Kata Papa, kita itu harus menghormati orang yang lebih tua, Tante tidak sopan bilang Papa seperti kebo," ucap Ihsan, memotong ucapan Rifa.

Rifa menggigit jarinya karena kesal, sangat kesal. 'Apa katanya tadi? Harus menghormati orang yang lebih tua? Terus, apa dong namanya dengan kelakuan Ihsan itu? Menjahili orang tuannya sendiri?'

"Ihsan, Khulwah itu hukumnya haram. Khulwah adalah berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan. Itu termasuk dosa badan. Kamu mau Papamu seperti itu?"

Ihsan langsung menggeleng, "Papa tidak berduaan kok, dirumah ini ada kita, ada Mbok Sum, jadi tidak berduaan. Hanya saja ... Papa dan Note, terjebak di ruangan kerja."

Rifa menghela nafasnya, seberapa banyaknya dia menjelaskan tentang Khulwah. Ihsan tak akan mengerti dengan mudah.

"Oia, Tante mau apa kesini?" tanya Ihsan.

"Tante akan mengajakmu pergi kerumah kak Mina, tadinya."

"Ayok," Ihsan merespon cepat.

"Tapi ... Bagaimana dengan Mbak Mila dan Papamu?"

Ihsan menghampiri Mbok Sum yang sedang di dapur.

"Mbok, ini kunci ruangan Papa. Jika Papa menggedor pintu lagi, langsung Mbok bukain, ya!"

Mbok Sum yang semula akan bicara, langsung mengangguk tanpa membantah, kala melihat mata Ihsan menatapnya lekat.

"Fatah mau ikut kerumah kak Mina, bersama Tante Rifa," 'sekaligus kabur,' "Assalamu'alaikum," lanjut Ihsan sambil mencium tangan Mbok Sum.

"Tante, ayok!" ucap Ihsan.

"Gak izin dulu, sama Papamu?" tanya Rifa.

"Pa, Fatah main kerumah Kak Mina bersama Tante Rifa, ya!" ucap Ihsan sambil berbisik. Rifa hampir tertawa melihat tingkah Ihsan barusan.

"Gus, mana kedengaran itu."

"Yang penting, Fatah sudah izin. Tante saksinya."

"Eh, mana bisa?"

"Bisa, tentu saja. Lagian, Fatah sudah minta izin kok sama si Mbok."

"Ayok, Tante," ucap Ihsan sambil menyeret Rifa keluar rumahnya. 'Kalau tidak cepat keluar, aku pasti akan tertangkap sama Papa,' lanjutnya dalam hati.

Rifa menggelengkan kepalanya, sambil terus mengikuti langkah ponakannya.

........

"Jadi, karena itu, Nona takut pada saya?"

Mila menganggukkan kepalanya, "Oh, i,iya, Gus Fakhri," Mila menjawab setelah sekian detik. Dia lupa. Bahwa Fakhri tidak dapat melihat anggukkannya.

"Saya pribadi, seharusnya yang meminta maaf, karena saya juga melihat, dan sadar, bahwa di sini, bukan anda tersangkanya, malah bisa dikatakan, anda adalah korban dari kenakalan putra saya. Jadi tidak seharusnya anda merasa takut, karena pada kenyataannya, anda tidak bersalah."

Mila menghembuskan nafasnya lega, ternyata benar, apa yang dikatakan Anisa. Lebih baik menghadapi daripada menghindari terus-menerus. Ketakutan yang di rasakannya ternyata sangat berlebihan.

Fakhri ternyata bukan orang seperti dalam bayangannya. Dia adalah seorang Ayah yang bertanggungjawab, tidak menghalalkan segala sesuatu yang dilakukan oleh putranya.

"Soal parfum, itu memang benar adanya. Anda adalah orang pertama yang memakainya, selain saya dan juga Fatah, bahkan Almarhumah istri sayapun tidak pernah mencicipinya."

Mila kembali menegang, bahkan sekarang ditambah dengan degupan jantungnya yang mendadak cepat. Kakinya mendadak lemas. Andai dia sedang berdiri, dia pasti sudah tersungkur ke lantai.

"Saya sudah mengikhlaskan parfum itu. Saya ikhlas memberikannya pada anda, Nona."

Mila menghela nafasnya lega. Ah, ternyata Alhamdulillah ...

"Tapi, dengan satu syarat."

"Ck, katanya ikhlas, tapi kok nuntut," tanpa sadar, Mila bergumam.

"Ekhem. Maaf, Nona! Saya mendengarnya."

Mila langsung menggigit jarinya dan memejamkan matanya rapat. 'Astagfirullah ...'

"Apa kira-kira syaratnya, Gus?"

"Syaratnya ... Nona harus bersedia menjadi ibu---"

"Appa???" Mila refleks menjerit. 'Dag-dig-dug, dag-dig-dug, dag-dig-dug,' jantungnya berdetak sepuluh kali lipat cepatnya.

'Apa tadi katanya? Ibu?'

Labels: cerita humor, hiburan, humor

Thanks for reading Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Satu Syarat. Please share...!

Back To Top