Blog Kang One

Catatan Sederhana untuk Berbagi

Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Satu Syarat2




JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (20)

Judul : dengan satu syarat. 2

"Saya sudah mengikhlaskan parfum itu. Saya ikhlas memberikannya pada anda, Nona."

Mila menghela nafasnya lega. Ah, ternyata Alhamdulillah ...

"Tapi, dengan satu syarat."

"Ck, katanya ikhlas, tapi kok nuntut," tanpa sadar, Mila bergumam.

"Ekhem. Maaf, Nona! Saya mendengarnya."

Mila langsung menggigit jarinya dan memejamkan matanya rapat. 'Astagfirullah ...'

"Apa kira-kira syaratnya, Gus?"

"Syaratnya ... Nona harus bersedia menjadi ibu---"

"Appa???" Mila refleks menjerit. 'Dag-dig-dug, dag-dig-dug, dag-dig-dug,' jantungnya berdetak sepuluh kali lipat cepatnya.

'Apa tadi katanya? Ibu?'

Fakhri berjingkat kaget, kala jeritan Mila melengking tiba-tiba. Tubuh Fakhri menegang, mendengar debaran jantung milik Mila. 'Kenapa dia kaget? Apa ada yang salah dengan ucapanku?' tanya Fakhri dalam hati.

"Ekhem, Nona, anda tidak apa-apa?" tanya Fakhri hati-hati. Dia tidak bisa melihat raut muka Mila, karena saat ini mereka di halangi oleh lemari buku. Tapi, Fakhri dapat memastikan, kalau Mila sangat syok dengan ucapannya. Terlebih, dia mendengar suara detak jantung Mila. Meski tidak begitu jelas.

Tidak ada sahutan, ataupun jawaban dari Mila, membuat Fakhri terus mengingat, apa yang barusan dia katakan.

Seulas senyum terukir dibibir pria tersebut, kala ia mendapatkan satu kesimpulan, 'mungkinkah Nona Kamila ini, mengira ...'

"Ekhem, maaf, Nona! Sepertinya saya belum selesai bicara," ucap Fakhri setenang mungkin. Entah mengapa, dia ingin sekali tersenyum.

"Haah?" bukannya mereda, jantung Mila semakin berpacu hebat. Bahkan, mukanya sudah sangat panas. Tangannya berkeringat. 'Astagfirullah... Kenapa aku sangat keterlaluan? Bisa-bisanya aku memotong ucapan Fakhri, apalagi dengan lengkingannya itu. Bagaimana kalau Fakhri tahu, kalau dirinya sempat galfok dengan kata ibu itu?'

"Ma,maafkan s,saya, G,gus!" Mila berkata dengan terbata.

"Tidak apa-apa. Jadi, bisakah saya meneruskannya?"

Mila menganggukkan kepalanya.

"Nona, bagaimana? Apakah saya bisa melanjutkan perbincangannya?" tanya Fakhri, karena Mila tak kunjung menjawabnya.

"A,ah .. I,iya, Gus. Silahkan!" jawab Mila sambil menepuk jidatnya. Kenapa malah melamun sih? Ini lagi, jantungnya masih belum berdetak normal. 'Jantung, oh jantung, tenanglah!'

"Syaratnya, adalah ... Saya meminta Nona agar bersedia menjadi ibu pembimbing putra saya."

'Blushhh' andai ada yang tahu, bagaimana kondisi wajah Mila saat ini. 'YaAlloh ... Kenapa dia sempat berpikiran, kalau tadi Fakhri memintanya menjadi ...' 'tidak, tidak, tidak!' Mila menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Saya yakin, Nona bisa membuat putra saya menjadi anak yang penurut," lanjut Fakhri. Tanpa tahu, orang yang sedang di ajak bicaranya, masih menenangkan jantung dan hatinya.

"Ba,bagaimana anda yakin? Bahkan sampai saat ini, G,gus Ihsan selalu membuat saya jantungan," jawab Mila dengan suara pelan.

"Saya pastikan, bahwa ucapan saya bisa di andalkan. Mungkin Nona berfikir, bahwa putra saya bersikap seperti itu ke semua orang. Tapi, nyatanya, sifat jahil tersebut, setelah dia bertemu denganmu, dan hanya kepadamu saja, Nona."

"Jadi, menurut anda, saya telah membawa pengaruh buruk pada putra anda, begitu?" tanya Mila nyolot. Dia merasa tak terima bahwa dia seolah pihak tersangka di sini.

"Bukan. Jangan! Maksud saya, bukan begitu. Saya tidak ada sedikitpun menyalahkan anda, Nona. Saya justru berterimakasih pada Nona. Krarena Nona, bisa membangun sifat Fatah yang seharusnya."

Mila benar-benar tidak begitu faham dengan ucapan Fakhri, membangun sifat yang seharusnya? Apa itu? Jadi, sifat menyebalkan Ihsan itu adalah sifat yang seharusnya? 'Arrgh. Gak mengerti aku, dia jadi bingung harus menjawab apa. Dia takut salah alamat lagi, kayak tadi. Tentang menjadi Ib-- lupakan!'

"Maaf, Gus. Saya tidak faham," Mila rasa, itu adalah tanggapan yang paling aman.

"Sifat Fatah selama ini, cenderung tenang dan santai. Cuek, dan tak pernah peduli terhadap sekitarnya. Selalu bersikap seperti orang dewasa," Fakhri mencoba menjelaskan.

"Masa sih? Kok, aku gak percaya," lagi-lagi, Mila bergumam tanpa sadar.

Fakhri tersenyum, 'sudah ku duga, Nona ini pasti tak akan mudah percaya.'

"Tapi, itulah kenyataannya, saya melihat tingkah Fatah yang jail, suka cemberut jika tak dituruti, selalu bercerita tentang masalahnya, itu setelah dia bertemu dengan anda, Nona. Bahkan, saya tidak mengira, bahwa dia akan menjebak saya seperti sekarang ini. Saya memang tidak setuju, bahkan marah dengan kelakuannya saat ini. Tapi, terlepas dari itu semua, saya merasa bersyukur, setidaknya dengan sikap nakalnya itu, saya bisa menyimpulkan, bahwa dia masih sosok seorang anak kecil, yang bertindak tanpa berfikir dahulu."

Mila menghela nafasnya, "tapi, saya merasa tidak yakin, Gus. Saya takut, kenakalan putra anda, akan bertambah akut, jika saya yang menjadi mentor belajarnya."

"Saya berani menjamin itu. Sudah saya katakan bukan? Dia hanya bersikap seperti itu hanya terhadap Nona saja. Katakan saja, dia bersikap seperti itu, karena dia ingin mendapat perhatian dari anda, Nona."

"Perhatian dari saya? Kok bisa? Gus Ihsan ingin perhatian dariku?"

"Untuk soal itu, Nona bisa tanyakan langsung pada Fatah, dan ... Ekhem, saya tidak bisa mendengar kata 'tidak' dari jawaban anda," tandas Fakhri pada akhirnya. Sebenarnya, Fakhri sangat ingin lebih banyak waktu untuk berbincang dengan Mila. Tak dapat dipungkiri, dia juga merasa nyaman mengobrol dengan gadis di balik lemari itu. Tapi, dia sadar. Situasi ini akan menimbulkan banyak konsekuensi. Seperti pikiran negatif dari luar, dan juga tidak menutup kemungkinan syetan datang di waktu yang tak disangka-sangka.

"Sepertinya, perbincangan kita cukup sampai disini, Nona. Saya minta maaf, atas semua kenakalan yang dibuat putra saya terhadap anda. Percayalah! Berikan dia perhatian lebih, maka ia tak akan berbuat nakal lagi terhadap anda," ucap Fakhri. Dia sudah beranjak dari duduknya menuju pintu keluar.

Sedangkan Mila masih bingung dengan kata 'perhatian' itu. Oh, tak bisakah Gus duda itu, bicara yang sedikit lebih jelas? Dia yang bingung sendiri bukan? Terus apa yang harus dia lakukan untuk kata memberi perhatian itu? "Argh! Pusyiang," Mila mengacak kerudungnya.

"DORDORDOR, FATAH, BUKA PINTUNYA!" Fakhri kembali menggedor pintu, sambil memanggil putra nakalnya itu.

Terdengar suara kunci diputar, dan 'Ceklek' pintu terbuka.

Fakhri yang niat awalnya akan langsung menegur putranya, langsung berganti raut muka bingung, kala Mbok Sum lah yang membukanya, "lho, kok Mbok yang bukain pintu? Fatah mana, Mbok?" tanya Fakhri.

"Anu, Tuan. Den kecil ikut Non Rifa keluar, dan Astagfirullah, itu hidung Tuan kenapa berdarah?" si Mbok tak melanjutkan ucapannya, ketika matanya melihat hidung majikannya mengeluarkan darah.

"Oh, ini. Tidak apa-apa, Mbok. Oia, Mbok, sepertinya Nona itu belum tahu kalau saya sudah keluar, tolong samperin dia, ya!" ucap Fakhri sambil melangkah hendak meninggalkan tempat.

"Lho, bukannya Tuan sama Ning ayu bersama di dalam? Kenapa Ning ayu tidak tahu Tuan keluar?"

Fakhri menghentikan langkahnya, dan berbalik serta tersenyum, "kami memang satu ruangan. Tapi, kami tidak saling berhadapan, Nona itu berada di balik lemari buku, Mbok," jawab Fakhri, setelah itu langsung berbalik kembali, dia merogoh saku celananya. Mendial nomor seseorang.

Mbok Sum tersenyum, merasa lega. Setidaknya mereka masih bisa menjaga satu sama lainnya, meski dalam satu ruangan. Tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Mbok Sum melangkah memasuki ruangan kerja majikannya. Ternyata benar, Mila masih termenung di sana.

"Ning ayu," ucap Mbok Sum sambil menepuk pelan pundak Mila.

"Astagfirullah ..." Mila terlonjak kaget saat merasakan tepukan itu, menoleh, dan menghela nafasnya, "Mbok," ucapnya sambil mengurut dadanya.

...........

"Gus, kenapa kamu sekarang jail pada orang sih?" tanya Rifa ketika mereka sudah di rumahnya Mina.

"Aku gak jail, Tante," jawab Ihsan cemberut.

"Lalu apa yang kamu barusan lakukan pada Mbak Mila?"

"Aku hanya menjalankan tugas," jawab Ihsan singkat.

"Tugas?"

"Ya, tugas. Otak Fatah yang memberikan tugas itu. Tante tahu? Note-ku sangat takut pada Papa, aku tak suka Note-ku takut sama Papa. Makanya Fatah merencanakan ini semua. Note harus tahu, bahwa Papa adalah orang baik," jawab Ihsan antusias.

Rifa menatap Ihsan lekat sekali. Kenapa Ihsan begitu peduli dengan Mila?

"Gus."

"Ya?"

"Apa kamu ingin Mbak Mila menjadi ibumu?" tanya Rifa hati-hati. Dia sebenarnya ragu, apakah Ihsan tahu maksud pertanyaannya atau tidak.

Ihsan menatap Rifa, "ibu? Kan ibu Fatah sudah meninggal, Tante."

"Maksud Tante, ibu pengganti."

Ihsan langsung mendelik kearah Rifa, "tak akan ada yang bisa menggantikan Mama, mama Fatah hanya satu," jawabnya ketus.

"Lalu, kenapa kamu bersikeras membuat Mbak Mila agar tidak takut pada Papamu, Gus?"

"Karena itu sebagian dari rencana awal Fatah."

Rifa mengernyit bingung, "rencana awal? Apalagi tuh?"

"Rencana awal. Fatah bertekad akan membuat Note klepek-klepek sama Papa," jawabnya sambil mengepalkan tangannya di simpan di depan dadanya. Terlihat binar matanya sangat hidup penuh semangat.

Rifa menganga, lalu menepuk jidatnya, "Fatah, kamu keterlaluan."

Ihsan cemberut disebut keterlaluan.
"Aku tidak keterlaluan, Papa orang yang paling tampan, aku gak suka, Note malu-malu jika bertemu dengan om Arfan. Om Arfan kegenitan, suka godain Note-ku."

'Deg' ^om Arfan suka kegenitan, suka godain Note-ku,^ tiba-tiba ucapan Ihsan yang terakhir sangat mengusik hatinya.

Rifa menghembuskan nafasnya, ternyata tidak mudah melupakan cinta yang telah mengakar kuat, meski tanpa dia pupuk. Bahkan Rifa sudah berusaha untuk mematikannya. Namun, sebesar dia berniat menghapus, sebesar itu pula keinginannya untuk lebih berharap. Tanpa dia sadari, nama Arfanlah, lelaki yang selalu mengisi disetiap hembusan do'anya.

Arfan cinta dalam diamnya, yang tak akan pernah bisa dia gapai.

"Sedang membicarakan apa sih? Serius banget," Mina datang sambil membawa cemilan.

Rifa tersenyum, "tidak usah repot-repot, Nok. Mana mas Lukman?"

"Mas Lukman pergi ke kantor, om Attar menelponnya, dia tidak bisa ke kantor karena katanya ada urusan sama Fatah. Tapi, kenapa Fatah ada disini?" ucap Mina, heran. Tak mungkinkan suaminya berbohong.

Rifa menghela nafasnya, "Fatah sengaja kesini, karena takut dihukum ayahnya. Dia telah membuat satu kesalahan."

Mina mengernyit dahinya, bingung. Pasalnya, seingat Mina, Ihsan tak pernah membuat omnya itu marah.

"Panjang ceritanya. Oia, udah berapa bulan ini baby?" ucap Rifa sambil mengelus perut Mina.

"InsyaAlloh, menginjak bulan ke lima," jawab Mina bahagia, "Tante kapan nyusul?" tanya Mina pada Rifa.

Rifa hanya menghela nafas, lalu cemberut.

"Aku yakin, mas Arfan juga mempunyai rasa terhadapmu. Dia keras kepala, ya. Padahal, meskipun adiknya akan di jadikan ibu dari Fatah. Diapun bisa menikahi Tante."

Rifa menoleh kearah Mina, 'Astagfirullah, dia lupa. Bahwa adik Arfan adalah gadis yang di wasiatkan oleh mendiang kakak iparnya.'

'YaAlloh, bagaimana ini? Sedangkan Ihsan sudah terlanjur tertarik terhadap Mila. Rifa tahu, meskipun Ihsan mengatakan tidak akan ada yang menggantikan sosok ibunya, tapi tanpa Ihsan mengerti, bahwa dirinya sudah sangat bergantung pada sosok Mila. Bagaimana ini?'

'Drrt' ponsel Rifa bergetar, dia melihat siapa yang menelponnya, matanya membulat kala melihat nama kakak laki-lakinya tertera di sana.

"Gus, Papamu menelpon Tante, nih kamu yang angkat!" ujar Rifa sambil menyodorkan ponselnya.

"Iiih, Papa nelpon ke Hpnya Tante, jadi Papa perlunya sama Tante. Jadi, yang angkat harus Tante dong. bilangin Papa, ya. Fatah akan menginap di rumah nenek," ucap Ihsan sambil berlalu.

Ihsan yakin, Papanya tidak akan berani memarahinya, jika dia bersama neneknya. 'Yes, aku aman,' Ihsan berjingkrak dalam hati.

Rifa menghembuskan nafasnya, "halo, Assalaamu'alaikum."

...........

Universitas Indonesia. Jakarta.

"Ekhem, Nona Zahra."

Zahra yang semula sedang berkutat di laporan nilai siswa, mendongak, kala mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata dosen otoriternya. Dahi Zahra berkerut, ketika dia melihat Juand tidak sendirian, melainkan bersama seseorang.

"Nona, mulai saat ini, anda tidak perlu membantu saya lagi," ucap Juand dingin, "pekerjaanmu akan di ganti sama Jessica," lanjutnya.

Zahra seketika terkejut, namun hanya sesaat. Dia mengangguk seraya tersenyum antusias, " baik, Pak. Terimakasih," ucapnya semangat.

Juand tidak membalas, melainkan tersenyum sinis sambil berbalik. Jessica tersenyum mengejek kearah Zahra, sebelum mengikuti langkah Juand.

"Aahh ..." Zahra menghela nafasnya, setelah kepergian Juand dan Jessica. Seharusnya dia lega kan? Bahagia kan? Dia tidak akan berurusan lagi dengan dosen otoriter itu? Tapi, kenapa hatinya tidak merasakan kelegaan itu? Malah cenderung tidak nyaman, dan sedikit menyesal dengan keputusan Juand.

Zahra menggelengkan kepalanya, kala sekelebat pikiran masuk pada hatinya. Zahra Segera membereskan barang-barangnya, dia ingin segera keluar, agar pikirannya kembali normal.

'Dia, tidak mungkin tertarik pada dosen otoriter itu, bukan?'

...............

Malang. Jawa Timur.

"Mas, katanya hari ini ada meeting di kantor, ya?" tanya Mina ketika menyiapkan pakaian suaminya. Hari ini adalah hari senin.

"Ya. Tapi, Mas sudah minta izin pada Gus Attar, akan menemanimu memeriksa kandunganmu," jawab Lukman lembut.

Tubuh Mina menegang, "kenapa harus izin sih? Biar aku sendiri saja yang periksa."

Lukman menatap lekat istrinya. Merasa ada yang tak beres. Pasalnya, sudah beberapa kali dia ingin ikut pemeriksaan, Mina selalu menolak.

"Mas, jangan menatapku seperti itu! Serem tahu," ucap Mina pura-pura merajuk, "oke, periksanya sama Mas. Tapi, setelah Mas ikut meeting, ya!"

Lukman menghela nafasnya, "sebenarnya kenapa sih kamu gak bolehin Mas ikut periksa anak kita? Mas juga kan ingin mendengar detak jantungnya, melihat tubuhnya yang sedang bergerak di dalam," keluh Lukman.

Lukman tidak menyadari, ucapannya membuat Mina harus mati-matian menahan gejolak di hatinya. Dia menggigit bibir dalamnya kuat, agar dia tak menumpahkan tangisannya. Sungguh. Dia sangat berdosa kepada suaminya itu. Tapi, dia juga tidak ingin kehilangan anaknya. Dia takut, kalau suaminya tahu. Dia akan memaksanya menggugurkan kandungannya.

"Hei, hei, kenapa malah menangis? Oke, maafkan, Mas! Tapi, berhenti menangis!" Lukman kaget, karena tiba-tiba saja, airmata Mina mengalir, mungkin ini adalah efek kesensitifan istrinya karena sedang hamil. Diraihnya tubuh mungil itu kedalam pelukannya.

Mina semakin tergugu, tangannya terus memukul dada suaminya. Dia berharap, suaminya mengira bahwa tangisannya itu atas dasar kelabilannya yang sedang hamil.

"Mas jahat, Mas nuduh aku. Hiks, hiks, hiks."

"Maaf, Mas minta maaf. Mas tidak bermaksud seperti itu," ucap Lukman sambil terus mengecup kening istrinya dan tangan kanannya mengelus punggung Mina.

"Kan udah dibilangin. Kita periksa bersama, setelah meeting Mas selesai, anak kita, gak mau Ayahnya bolos kerja sesuka hatinya," ucap Mina dengan nada merengek.

Lukman terkekeh, "baiklah, Mas akan kerja dulu. Puaskan? Heum?"

Mina tersenyum, dia mengecup pipi Lukman sekilas, "terimakasih, Ayah. I love you," ucap Mina memeluk kembali tubuh suaminya.

Lukman membalas pelukan istrinya. Mengecup berkali-kali kening Mina, "i love you so much, Bunda," bisik Lukman amat sangat tulus.

Mina semakin mengeratkan pelukannya, menghirup aroma suaminya sangat dalam. 'Aku sangat percaya, kamu mencintaiku, Mas. Tapi, aku juga tahu, di dasar hatimu yang lain, kau masih menyebut namanya.'

,.........

PonPes Al-Zamil.

Wajah penuh keceriaan selalu terpatri di wajah kecil milik Ihsan. Semenjak Mila menjadi guru pembimbingnya, tak pernah sekalipun Ihsan tidak tersenyum.

Wajahnya begitu penuh warna. Benar apa yang dikatakan Fakhri. Ihsan tidak lagi berbuat onar,  semenjak Mila selalu berada disisinya.

Meski tidak setiap hari mereka bertemu. Ihsan tidak keberatan, dua hari sekali, Mila akan kerumahnya. Bahkan, sekarang Mila suka membantu Rifa mengurus kebun bunganya.

Bukan hanya Ihsan saja yang merasakan bahagia itu, pun dengan sang ayah, yang bahkan tanpa ia sadari selalu menunggu hari dimana Mila akan kerumahnya.

Lucu sekali, Mila selalu mendapatkan perhatian, berupa hadiah, ataupun makanan dari keduanya. Yang membuatnya lucu adalah, ketika yang memberikannya Ihsan, maka Ihsan akan berkata, bahwa itu pemberian Ayahnya, begitupun dengan Fakhri. Dia akan berkata bahwa sesuatu yang diberikannya itu, adalah atas desakan Ihsan.

Seringnya mereka bertemu dan berinteraksi, tak memungkiri membuat satu perasaan asing tumbuh pada keduanya. Fakhri selalu merasa ada percikan kabahagian jika melihat Mila, bahkan dia suka terpergok senyum-senyum sendiri oleh Mbok Sum.

Begitupun dengan yang dialami Mila. Terkadang dia selalu tertawa bahkan tiba-tiba merasakan wajahnya memanas bila mengingat ayah Gus kecil itu.

Dan itu juga tidak menutup sekelilingnya merasakan perubahan itu. Anisa sang sahabatpun merasakan keganjilan pada diri Mila. Begitupun dengan Rifa juga ... Arfan.

Rifa selalu menolak bahwa perubahan kakaknya itu adalah semata merasa ikut senang atas keantusiasan Ihsan terhadap Mila. Tapi, bagi Arfan, itu adalah sebuah ancaman. Dia bahkan sudah mengantisipasi segala kemungkinan tersebut dengan berdiskusi tentang perjodohan Fakhri atas keinginan terakhir mendiang Salma pada Bu Nyai dan Pak Kyai.

Dia tidak akan membiarkan semua yang pengorbanannya sia-sia. Terlebih ... Kebahagiaan adiknya adalah tujuannya dia hidup saat ini.

.......

"Waah, Mbak Mila, coba lihat? Bunganya mekar dengan indah, ya?" ucap Rifa antusias. Dia sangat senang sekali melihat bunga di kebun kakaknya tumbuh menjadi lebih subur dan asri.

"Iya, Nok Rifa. Saya sangat juga senang melihatnya," jawab Mila ikut tersenyum.

Setelah menjadi guru pembimbing Ihsan. Mila ikut menyiram bunga di kebun depan rumah Fakhri. Kebetulan, saat ini bunga sedang bermekaran.

"Itu semua, karena tangan Mbak Mila yang ajaib," ucap Rifa sambil bertepuk tangan.

"Jangan berlebihan, Nok Rifa. Nok yang selalu menyiaminya setiap hari."

"Tante, Note, lihat! Ini indah sekali."

Ihsan bersorak riang, berlari kearah Mila dan Rifa, di tangannya dia membawa sesuatu.

"Lihatlah! Cantik sekali bukan?" tanyanya tersenyum lebar. Sambil menyodorkan sesuatu itu pada Mila.

"KYAAAAAAA, hatcim, hatcim, hatcim," di luar dugaan. Mila malah bersin bersin sambil menggosok tubuhnya yang sudah memerah.

Rifa dan Ihsan menjadi panik, berlarian tak tentu arah, saking paniknya. Ihsan baru sadar bahwa Note-nya itu alergi ...

"Oia, parfum Papa. Fatah akan ambilkan parfum Papa dulu," ucap Ihsan berbalik akan mengambil langkah seribu. Sebelum ....

'Pluk' sesuatu mendarat di kepala Mila.

'Mujarab,' Mila langsung berhenti dari bersin-bersinnya itu. Ketika satu buah sorban menutupi kepalanya dengan aroma yang tak asing lagi baginya. Aroma yang selalu membuatnya tenang. Aroma khas Fakhri.

Tubuh Mila mematung, tak bisa bergerak, kala jantungnya berpacu sangat cepat. Bahkan dia merasakan sesuatu yang melilit di perutnya.

Bukan hanya Mila saja yang terkejut, melainkan Rifa,dan juga Ihsan. Tidak menyangka, bahwa Fakhri akan menjadi pahlawan tepat waktu.

"Fatah, kamu sudah tahukan? Bahwa Nona Kamila ini alergi yang berbau ulat?" Fakhri berkata pada putranya. Seolah sedang menegurnya.

Ihsan tersenyum kikuk, ia benar-benar lupa. 'Padahal kupu-kupu itu sangat cantik, persis seperti Note,' ucap Ihsan dalam hatinya.

"Bawa Nona Kamila-nya masuk kedalam, Gus! Berikan dia minuman hangat."

Ihsan mengangguk antusias, "ayok, Note!" ajak Ihsan.

Setelah diyakini Mila masuk, Fakhri tersenyum sambil menggeleng, "seorang gadis takut kupu-kupu, lucu sekali," gumamnya sambil berlalu.

Rifa masih mematung di tempatnya, dia yakin .. Bahwa kakaknya sudah tertarik pada Mila. Sangat terlihat dari mata pria satu anak itu.

Sedangkan di atas atap tak jauh dari sana. Arfan melihat semuanya, dengan mengepalkan kedua tangannya, "bolehkah, sekali ini saja aku bersikap egois?" gumamnya sangat pelan.

Labels: cerbung, cerita humor, cerpen

Thanks for reading Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Satu Syarat2. Please share...!

Back To Top