Posted by
One_Esc on
Wednesday, January 29, 2020
JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (20)
Judul : dengan satu syarat. 2
"Saya sudah mengikhlaskan parfum itu. Saya ikhlas
memberikannya pada anda, Nona."
Mila menghela nafasnya lega. Ah, ternyata Alhamdulillah ...
"Tapi, dengan satu syarat."
"Ck, katanya ikhlas, tapi kok nuntut," tanpa
sadar, Mila bergumam.
"Ekhem. Maaf, Nona! Saya mendengarnya."
Mila langsung menggigit jarinya dan memejamkan matanya
rapat. 'Astagfirullah ...'
"Apa kira-kira syaratnya, Gus?"
"Syaratnya ... Nona harus bersedia menjadi ibu---"
"Appa???" Mila refleks menjerit. 'Dag-dig-dug,
dag-dig-dug, dag-dig-dug,' jantungnya berdetak sepuluh kali lipat cepatnya.
'Apa tadi katanya? Ibu?'
Fakhri berjingkat kaget, kala jeritan Mila melengking
tiba-tiba. Tubuh Fakhri menegang, mendengar debaran jantung milik Mila. 'Kenapa
dia kaget? Apa ada yang salah dengan ucapanku?' tanya Fakhri dalam hati.
"Ekhem, Nona, anda tidak apa-apa?" tanya Fakhri
hati-hati. Dia tidak bisa melihat raut muka Mila, karena saat ini mereka di
halangi oleh lemari buku. Tapi, Fakhri dapat memastikan, kalau Mila sangat syok
dengan ucapannya. Terlebih, dia mendengar suara detak jantung Mila. Meski tidak
begitu jelas.
Tidak ada sahutan, ataupun jawaban dari Mila, membuat Fakhri
terus mengingat, apa yang barusan dia katakan.
Seulas senyum terukir dibibir pria tersebut, kala ia
mendapatkan satu kesimpulan, 'mungkinkah Nona Kamila ini, mengira ...'
"Ekhem, maaf, Nona! Sepertinya saya belum selesai
bicara," ucap Fakhri setenang mungkin. Entah mengapa, dia ingin sekali
tersenyum.
"Haah?" bukannya mereda, jantung Mila semakin
berpacu hebat. Bahkan, mukanya sudah sangat panas. Tangannya berkeringat.
'Astagfirullah... Kenapa aku sangat keterlaluan? Bisa-bisanya aku memotong
ucapan Fakhri, apalagi dengan lengkingannya itu. Bagaimana kalau Fakhri tahu,
kalau dirinya sempat galfok dengan kata ibu itu?'
"Ma,maafkan s,saya, G,gus!" Mila berkata dengan
terbata.
"Tidak apa-apa. Jadi, bisakah saya meneruskannya?"
Mila menganggukkan kepalanya.
"Nona, bagaimana? Apakah saya bisa melanjutkan perbincangannya?"
tanya Fakhri, karena Mila tak kunjung menjawabnya.
"A,ah .. I,iya, Gus. Silahkan!" jawab Mila sambil
menepuk jidatnya. Kenapa malah melamun sih? Ini lagi, jantungnya masih belum
berdetak normal. 'Jantung, oh jantung, tenanglah!'
"Syaratnya, adalah ... Saya meminta Nona agar bersedia
menjadi ibu pembimbing putra saya."
'Blushhh' andai ada yang tahu, bagaimana kondisi wajah Mila
saat ini. 'YaAlloh ... Kenapa dia sempat berpikiran, kalau tadi Fakhri
memintanya menjadi ...' 'tidak, tidak, tidak!' Mila menggelengkan kepalanya
berulang kali.
"Saya yakin, Nona bisa membuat putra saya menjadi anak
yang penurut," lanjut Fakhri. Tanpa tahu, orang yang sedang di ajak
bicaranya, masih menenangkan jantung dan hatinya.
"Ba,bagaimana anda yakin? Bahkan sampai saat ini, G,gus
Ihsan selalu membuat saya jantungan," jawab Mila dengan suara pelan.
"Saya pastikan, bahwa ucapan saya bisa di andalkan.
Mungkin Nona berfikir, bahwa putra saya bersikap seperti itu ke semua orang.
Tapi, nyatanya, sifat jahil tersebut, setelah dia bertemu denganmu, dan hanya
kepadamu saja, Nona."
"Jadi, menurut anda, saya telah membawa pengaruh buruk
pada putra anda, begitu?" tanya Mila nyolot. Dia merasa tak terima bahwa
dia seolah pihak tersangka di sini.
"Bukan. Jangan! Maksud saya, bukan begitu. Saya tidak
ada sedikitpun menyalahkan anda, Nona. Saya justru berterimakasih pada Nona.
Krarena Nona, bisa membangun sifat Fatah yang seharusnya."
Mila benar-benar tidak begitu faham dengan ucapan Fakhri,
membangun sifat yang seharusnya? Apa itu? Jadi, sifat menyebalkan Ihsan itu
adalah sifat yang seharusnya? 'Arrgh. Gak mengerti aku, dia jadi bingung harus
menjawab apa. Dia takut salah alamat lagi, kayak tadi. Tentang menjadi Ib--
lupakan!'
"Maaf, Gus. Saya tidak faham," Mila rasa, itu
adalah tanggapan yang paling aman.
"Sifat Fatah selama ini, cenderung tenang dan santai.
Cuek, dan tak pernah peduli terhadap sekitarnya. Selalu bersikap seperti orang
dewasa," Fakhri mencoba menjelaskan.
"Masa sih? Kok, aku gak percaya," lagi-lagi, Mila
bergumam tanpa sadar.
Fakhri tersenyum, 'sudah ku duga, Nona ini pasti tak akan
mudah percaya.'
"Tapi, itulah kenyataannya, saya melihat tingkah Fatah
yang jail, suka cemberut jika tak dituruti, selalu bercerita tentang
masalahnya, itu setelah dia bertemu dengan anda, Nona. Bahkan, saya tidak
mengira, bahwa dia akan menjebak saya seperti sekarang ini. Saya memang tidak
setuju, bahkan marah dengan kelakuannya saat ini. Tapi, terlepas dari itu
semua, saya merasa bersyukur, setidaknya dengan sikap nakalnya itu, saya bisa
menyimpulkan, bahwa dia masih sosok seorang anak kecil, yang bertindak tanpa
berfikir dahulu."
Mila menghela nafasnya, "tapi, saya merasa tidak yakin,
Gus. Saya takut, kenakalan putra anda, akan bertambah akut, jika saya yang
menjadi mentor belajarnya."
"Saya berani menjamin itu. Sudah saya katakan bukan?
Dia hanya bersikap seperti itu hanya terhadap Nona saja. Katakan saja, dia
bersikap seperti itu, karena dia ingin mendapat perhatian dari anda,
Nona."
"Perhatian dari saya? Kok bisa? Gus Ihsan ingin
perhatian dariku?"
"Untuk soal itu, Nona bisa tanyakan langsung pada
Fatah, dan ... Ekhem, saya tidak bisa mendengar kata 'tidak' dari jawaban
anda," tandas Fakhri pada akhirnya. Sebenarnya, Fakhri sangat ingin lebih
banyak waktu untuk berbincang dengan Mila. Tak dapat dipungkiri, dia juga
merasa nyaman mengobrol dengan gadis di balik lemari itu. Tapi, dia sadar.
Situasi ini akan menimbulkan banyak konsekuensi. Seperti pikiran negatif dari
luar, dan juga tidak menutup kemungkinan syetan datang di waktu yang tak
disangka-sangka.
"Sepertinya, perbincangan kita cukup sampai disini,
Nona. Saya minta maaf, atas semua kenakalan yang dibuat putra saya terhadap
anda. Percayalah! Berikan dia perhatian lebih, maka ia tak akan berbuat nakal
lagi terhadap anda," ucap Fakhri. Dia sudah beranjak dari duduknya menuju
pintu keluar.
Sedangkan Mila masih bingung dengan kata 'perhatian' itu.
Oh, tak bisakah Gus duda itu, bicara yang sedikit lebih jelas? Dia yang bingung
sendiri bukan? Terus apa yang harus dia lakukan untuk kata memberi perhatian
itu? "Argh! Pusyiang," Mila mengacak kerudungnya.
"DORDORDOR, FATAH, BUKA PINTUNYA!" Fakhri kembali
menggedor pintu, sambil memanggil putra nakalnya itu.
Terdengar suara kunci diputar, dan 'Ceklek' pintu terbuka.
Fakhri yang niat awalnya akan langsung menegur putranya,
langsung berganti raut muka bingung, kala Mbok Sum lah yang membukanya,
"lho, kok Mbok yang bukain pintu? Fatah mana, Mbok?" tanya Fakhri.
"Anu, Tuan. Den kecil ikut Non Rifa keluar, dan
Astagfirullah, itu hidung Tuan kenapa berdarah?" si Mbok tak melanjutkan
ucapannya, ketika matanya melihat hidung majikannya mengeluarkan darah.
"Oh, ini. Tidak apa-apa, Mbok. Oia, Mbok, sepertinya
Nona itu belum tahu kalau saya sudah keluar, tolong samperin dia, ya!"
ucap Fakhri sambil melangkah hendak meninggalkan tempat.
"Lho, bukannya Tuan sama Ning ayu bersama di dalam?
Kenapa Ning ayu tidak tahu Tuan keluar?"
Fakhri menghentikan langkahnya, dan berbalik serta
tersenyum, "kami memang satu ruangan. Tapi, kami tidak saling berhadapan,
Nona itu berada di balik lemari buku, Mbok," jawab Fakhri, setelah itu
langsung berbalik kembali, dia merogoh saku celananya. Mendial nomor seseorang.
Mbok Sum tersenyum, merasa lega. Setidaknya mereka masih
bisa menjaga satu sama lainnya, meski dalam satu ruangan. Tidak mengambil
kesempatan dalam kesempitan.
Mbok Sum melangkah memasuki ruangan kerja majikannya. Ternyata
benar, Mila masih termenung di sana.
"Ning ayu," ucap Mbok Sum sambil menepuk pelan
pundak Mila.
"Astagfirullah ..." Mila terlonjak kaget saat
merasakan tepukan itu, menoleh, dan menghela nafasnya, "Mbok,"
ucapnya sambil mengurut dadanya.
...........
"Gus, kenapa kamu sekarang jail pada orang sih?"
tanya Rifa ketika mereka sudah di rumahnya Mina.
"Aku gak jail, Tante," jawab Ihsan cemberut.
"Lalu apa yang kamu barusan lakukan pada Mbak
Mila?"
"Aku hanya menjalankan tugas," jawab Ihsan singkat.
"Tugas?"
"Ya, tugas. Otak Fatah yang memberikan tugas itu. Tante
tahu? Note-ku sangat takut pada Papa, aku tak suka Note-ku takut sama Papa.
Makanya Fatah merencanakan ini semua. Note harus tahu, bahwa Papa adalah orang
baik," jawab Ihsan antusias.
Rifa menatap Ihsan lekat sekali. Kenapa Ihsan begitu peduli
dengan Mila?
"Gus."
"Ya?"
"Apa kamu ingin Mbak Mila menjadi ibumu?" tanya
Rifa hati-hati. Dia sebenarnya ragu, apakah Ihsan tahu maksud pertanyaannya
atau tidak.
Ihsan menatap Rifa, "ibu? Kan ibu Fatah sudah
meninggal, Tante."
"Maksud Tante, ibu pengganti."
Ihsan langsung mendelik kearah Rifa, "tak akan ada yang
bisa menggantikan Mama, mama Fatah hanya satu," jawabnya ketus.
"Lalu, kenapa kamu bersikeras membuat Mbak Mila agar
tidak takut pada Papamu, Gus?"
"Karena itu sebagian dari rencana awal Fatah."
Rifa mengernyit bingung, "rencana awal? Apalagi
tuh?"
"Rencana awal. Fatah bertekad akan membuat Note
klepek-klepek sama Papa," jawabnya sambil mengepalkan tangannya di simpan
di depan dadanya. Terlihat binar matanya sangat hidup penuh semangat.
Rifa menganga, lalu menepuk jidatnya, "Fatah, kamu
keterlaluan."
Ihsan cemberut disebut keterlaluan.
"Aku tidak keterlaluan, Papa orang yang paling tampan,
aku gak suka, Note malu-malu jika bertemu dengan om Arfan. Om Arfan kegenitan,
suka godain Note-ku."
'Deg' ^om Arfan suka kegenitan, suka godain Note-ku,^
tiba-tiba ucapan Ihsan yang terakhir sangat mengusik hatinya.
Rifa menghembuskan nafasnya, ternyata tidak mudah melupakan
cinta yang telah mengakar kuat, meski tanpa dia pupuk. Bahkan Rifa sudah
berusaha untuk mematikannya. Namun, sebesar dia berniat menghapus, sebesar itu
pula keinginannya untuk lebih berharap. Tanpa dia sadari, nama Arfanlah, lelaki
yang selalu mengisi disetiap hembusan do'anya.
Arfan cinta dalam diamnya, yang tak akan pernah bisa dia
gapai.
"Sedang membicarakan apa sih? Serius banget," Mina
datang sambil membawa cemilan.
Rifa tersenyum, "tidak usah repot-repot, Nok. Mana mas
Lukman?"
"Mas Lukman pergi ke kantor, om Attar menelponnya, dia
tidak bisa ke kantor karena katanya ada urusan sama Fatah. Tapi, kenapa Fatah
ada disini?" ucap Mina, heran. Tak mungkinkan suaminya berbohong.
Rifa menghela nafasnya, "Fatah sengaja kesini, karena
takut dihukum ayahnya. Dia telah membuat satu kesalahan."
Mina mengernyit dahinya, bingung. Pasalnya, seingat Mina,
Ihsan tak pernah membuat omnya itu marah.
"Panjang ceritanya. Oia, udah berapa bulan ini
baby?" ucap Rifa sambil mengelus perut Mina.
"InsyaAlloh, menginjak bulan ke lima," jawab Mina
bahagia, "Tante kapan nyusul?" tanya Mina pada Rifa.
Rifa hanya menghela nafas, lalu cemberut.
"Aku yakin, mas Arfan juga mempunyai rasa terhadapmu.
Dia keras kepala, ya. Padahal, meskipun adiknya akan di jadikan ibu dari Fatah.
Diapun bisa menikahi Tante."
Rifa menoleh kearah Mina, 'Astagfirullah, dia lupa. Bahwa
adik Arfan adalah gadis yang di wasiatkan oleh mendiang kakak iparnya.'
'YaAlloh, bagaimana ini? Sedangkan Ihsan sudah terlanjur
tertarik terhadap Mila. Rifa tahu, meskipun Ihsan mengatakan tidak akan ada
yang menggantikan sosok ibunya, tapi tanpa Ihsan mengerti, bahwa dirinya sudah
sangat bergantung pada sosok Mila. Bagaimana ini?'
'Drrt' ponsel Rifa bergetar, dia melihat siapa yang
menelponnya, matanya membulat kala melihat nama kakak laki-lakinya tertera di
sana.
"Gus, Papamu menelpon Tante, nih kamu yang
angkat!" ujar Rifa sambil menyodorkan ponselnya.
"Iiih, Papa nelpon ke Hpnya Tante, jadi Papa perlunya
sama Tante. Jadi, yang angkat harus Tante dong. bilangin Papa, ya. Fatah akan
menginap di rumah nenek," ucap Ihsan sambil berlalu.
Ihsan yakin, Papanya tidak akan berani memarahinya, jika dia
bersama neneknya. 'Yes, aku aman,' Ihsan berjingkrak dalam hati.
Rifa menghembuskan nafasnya, "halo,
Assalaamu'alaikum."
...........
Universitas Indonesia. Jakarta.
"Ekhem, Nona Zahra."
Zahra yang semula sedang berkutat di laporan nilai siswa,
mendongak, kala mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata dosen otoriternya.
Dahi Zahra berkerut, ketika dia melihat Juand tidak sendirian, melainkan
bersama seseorang.
"Nona, mulai saat ini, anda tidak perlu membantu saya
lagi," ucap Juand dingin, "pekerjaanmu akan di ganti sama
Jessica," lanjutnya.
Zahra seketika terkejut, namun hanya sesaat. Dia mengangguk
seraya tersenyum antusias, " baik, Pak. Terimakasih," ucapnya
semangat.
Juand tidak membalas, melainkan tersenyum sinis sambil
berbalik. Jessica tersenyum mengejek kearah Zahra, sebelum mengikuti langkah
Juand.
"Aahh ..." Zahra menghela nafasnya, setelah
kepergian Juand dan Jessica. Seharusnya dia lega kan? Bahagia kan? Dia tidak
akan berurusan lagi dengan dosen otoriter itu? Tapi, kenapa hatinya tidak
merasakan kelegaan itu? Malah cenderung tidak nyaman, dan sedikit menyesal
dengan keputusan Juand.
Zahra menggelengkan kepalanya, kala sekelebat pikiran masuk
pada hatinya. Zahra Segera membereskan barang-barangnya, dia ingin segera
keluar, agar pikirannya kembali normal.
'Dia, tidak mungkin tertarik pada dosen otoriter itu,
bukan?'
...............
Malang. Jawa Timur.
"Mas, katanya hari ini ada meeting di kantor, ya?"
tanya Mina ketika menyiapkan pakaian suaminya. Hari ini adalah hari senin.
"Ya. Tapi, Mas sudah minta izin pada Gus Attar, akan
menemanimu memeriksa kandunganmu," jawab Lukman lembut.
Tubuh Mina menegang, "kenapa harus izin sih? Biar aku
sendiri saja yang periksa."
Lukman menatap lekat istrinya. Merasa ada yang tak beres.
Pasalnya, sudah beberapa kali dia ingin ikut pemeriksaan, Mina selalu menolak.
"Mas, jangan menatapku seperti itu! Serem tahu,"
ucap Mina pura-pura merajuk, "oke, periksanya sama Mas. Tapi, setelah Mas
ikut meeting, ya!"
Lukman menghela nafasnya, "sebenarnya kenapa sih kamu
gak bolehin Mas ikut periksa anak kita? Mas juga kan ingin mendengar detak
jantungnya, melihat tubuhnya yang sedang bergerak di dalam," keluh Lukman.
Lukman tidak menyadari, ucapannya membuat Mina harus
mati-matian menahan gejolak di hatinya. Dia menggigit bibir dalamnya kuat, agar
dia tak menumpahkan tangisannya. Sungguh. Dia sangat berdosa kepada suaminya
itu. Tapi, dia juga tidak ingin kehilangan anaknya. Dia takut, kalau suaminya
tahu. Dia akan memaksanya menggugurkan kandungannya.
"Hei, hei, kenapa malah menangis? Oke, maafkan, Mas!
Tapi, berhenti menangis!" Lukman kaget, karena tiba-tiba saja, airmata
Mina mengalir, mungkin ini adalah efek kesensitifan istrinya karena sedang
hamil. Diraihnya tubuh mungil itu kedalam pelukannya.
Mina semakin tergugu, tangannya terus memukul dada suaminya.
Dia berharap, suaminya mengira bahwa tangisannya itu atas dasar kelabilannya
yang sedang hamil.
"Mas jahat, Mas nuduh aku. Hiks, hiks, hiks."
"Maaf, Mas minta maaf. Mas tidak bermaksud seperti
itu," ucap Lukman sambil terus mengecup kening istrinya dan tangan
kanannya mengelus punggung Mina.
"Kan udah dibilangin. Kita periksa bersama, setelah
meeting Mas selesai, anak kita, gak mau Ayahnya bolos kerja sesuka
hatinya," ucap Mina dengan nada merengek.
Lukman terkekeh, "baiklah, Mas akan kerja dulu.
Puaskan? Heum?"
Mina tersenyum, dia mengecup pipi Lukman sekilas,
"terimakasih, Ayah. I love you," ucap Mina memeluk kembali tubuh
suaminya.
Lukman membalas pelukan istrinya. Mengecup berkali-kali
kening Mina, "i love you so much, Bunda," bisik Lukman amat sangat
tulus.
Mina semakin mengeratkan pelukannya, menghirup aroma
suaminya sangat dalam. 'Aku sangat percaya, kamu mencintaiku, Mas. Tapi, aku
juga tahu, di dasar hatimu yang lain, kau masih menyebut namanya.'
,.........
PonPes Al-Zamil.
Wajah penuh keceriaan selalu terpatri di wajah kecil milik
Ihsan. Semenjak Mila menjadi guru pembimbingnya, tak pernah sekalipun Ihsan
tidak tersenyum.
Wajahnya begitu penuh warna. Benar apa yang dikatakan
Fakhri. Ihsan tidak lagi berbuat onar,
semenjak Mila selalu berada disisinya.
Meski tidak setiap hari mereka bertemu. Ihsan tidak
keberatan, dua hari sekali, Mila akan kerumahnya. Bahkan, sekarang Mila suka
membantu Rifa mengurus kebun bunganya.
Bukan hanya Ihsan saja yang merasakan bahagia itu, pun
dengan sang ayah, yang bahkan tanpa ia sadari selalu menunggu hari dimana Mila
akan kerumahnya.
Lucu sekali, Mila selalu mendapatkan perhatian, berupa hadiah,
ataupun makanan dari keduanya. Yang membuatnya lucu adalah, ketika yang
memberikannya Ihsan, maka Ihsan akan berkata, bahwa itu pemberian Ayahnya,
begitupun dengan Fakhri. Dia akan berkata bahwa sesuatu yang diberikannya itu,
adalah atas desakan Ihsan.
Seringnya mereka bertemu dan berinteraksi, tak memungkiri
membuat satu perasaan asing tumbuh pada keduanya. Fakhri selalu merasa ada
percikan kabahagian jika melihat Mila, bahkan dia suka terpergok senyum-senyum
sendiri oleh Mbok Sum.
Begitupun dengan yang dialami Mila. Terkadang dia selalu
tertawa bahkan tiba-tiba merasakan wajahnya memanas bila mengingat ayah Gus
kecil itu.
Dan itu juga tidak menutup sekelilingnya merasakan perubahan
itu. Anisa sang sahabatpun merasakan keganjilan pada diri Mila. Begitupun
dengan Rifa juga ... Arfan.
Rifa selalu menolak bahwa perubahan kakaknya itu adalah
semata merasa ikut senang atas keantusiasan Ihsan terhadap Mila. Tapi, bagi
Arfan, itu adalah sebuah ancaman. Dia bahkan sudah mengantisipasi segala
kemungkinan tersebut dengan berdiskusi tentang perjodohan Fakhri atas keinginan
terakhir mendiang Salma pada Bu Nyai dan Pak Kyai.
Dia tidak akan membiarkan semua yang pengorbanannya sia-sia.
Terlebih ... Kebahagiaan adiknya adalah tujuannya dia hidup saat ini.
.......
"Waah, Mbak Mila, coba lihat? Bunganya mekar dengan
indah, ya?" ucap Rifa antusias. Dia sangat senang sekali melihat bunga di
kebun kakaknya tumbuh menjadi lebih subur dan asri.
"Iya, Nok Rifa. Saya sangat juga senang
melihatnya," jawab Mila ikut tersenyum.
Setelah menjadi guru pembimbing Ihsan. Mila ikut menyiram
bunga di kebun depan rumah Fakhri. Kebetulan, saat ini bunga sedang bermekaran.
"Itu semua, karena tangan Mbak Mila yang ajaib,"
ucap Rifa sambil bertepuk tangan.
"Jangan berlebihan, Nok Rifa. Nok yang selalu
menyiaminya setiap hari."
"Tante, Note, lihat! Ini indah sekali."
Ihsan bersorak riang, berlari kearah Mila dan Rifa, di
tangannya dia membawa sesuatu.
"Lihatlah! Cantik sekali bukan?" tanyanya
tersenyum lebar. Sambil menyodorkan sesuatu itu pada Mila.
"KYAAAAAAA, hatcim, hatcim, hatcim," di luar
dugaan. Mila malah bersin bersin sambil menggosok tubuhnya yang sudah memerah.
Rifa dan Ihsan menjadi panik, berlarian tak tentu arah,
saking paniknya. Ihsan baru sadar bahwa Note-nya itu alergi ...
"Oia, parfum Papa. Fatah akan ambilkan parfum Papa
dulu," ucap Ihsan berbalik akan mengambil langkah seribu. Sebelum ....
'Pluk' sesuatu mendarat di kepala Mila.
'Mujarab,' Mila langsung berhenti dari bersin-bersinnya itu.
Ketika satu buah sorban menutupi kepalanya dengan aroma yang tak asing lagi
baginya. Aroma yang selalu membuatnya tenang. Aroma khas Fakhri.
Tubuh Mila mematung, tak bisa bergerak, kala jantungnya berpacu
sangat cepat. Bahkan dia merasakan sesuatu yang melilit di perutnya.
Bukan hanya Mila saja yang terkejut, melainkan Rifa,dan juga
Ihsan. Tidak menyangka, bahwa Fakhri akan menjadi pahlawan tepat waktu.
"Fatah, kamu sudah tahukan? Bahwa Nona Kamila ini
alergi yang berbau ulat?" Fakhri berkata pada putranya. Seolah sedang
menegurnya.
Ihsan tersenyum kikuk, ia benar-benar lupa. 'Padahal
kupu-kupu itu sangat cantik, persis seperti Note,' ucap Ihsan dalam hatinya.
"Bawa Nona Kamila-nya masuk kedalam, Gus! Berikan dia
minuman hangat."
Ihsan mengangguk antusias, "ayok, Note!" ajak
Ihsan.
Setelah diyakini Mila masuk, Fakhri tersenyum sambil
menggeleng, "seorang gadis takut kupu-kupu, lucu sekali," gumamnya sambil
berlalu.
Rifa masih mematung di tempatnya, dia yakin .. Bahwa
kakaknya sudah tertarik pada Mila. Sangat terlihat dari mata pria satu anak
itu.
Sedangkan di atas atap tak jauh dari sana. Arfan melihat
semuanya, dengan mengepalkan kedua tangannya, "bolehkah, sekali ini saja
aku bersikap egois?" gumamnya sangat pelan.
Labels:
cerbung,
cerita humor,
cerpen
Thanks for reading Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Satu Syarat2. Please share...!