Posted by
One_Esc on
Thursday, January 30, 2020
JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (22)
Judul kejutan. A
"Sudah Fakhri katakan, itu hanya keinginan Salma saja.
Bukan permintaannya." Fakhri menghela nafasnya. Berharap dia memiliki
banyak kesabaran, ketika orangtuanya kembali mengungkit keinginan mendiang
istrinya itu.
Bukan berarti Fakhri tidak suka dengan adiknya Arfan. Fakhri
sangat mencintai dan menyayanginya. Tapi, rasa cinta dan sayang yang dia
rasakan, adalah sebagai seorang kakak pada adiknya.
"Tapi, Gus. Bukankah keinginan itu tandanya agar
dituruti?" tanya Bu Nyai hati-hati. Bu Nyai sudah melihat gelagat Fakhri
yang sudah mulai kehilangan kesabaran.
"Beda, Umi. Fakhri juga sudah katakan, setelah Salma
mengungkapkan keinginannya itu, Fakhri langsung menolaknya. Tolonglah, Umi!
Jangan membebankan hisaban Salma dengan masalah ini!"
Bu Nyai terhenyak, menyadari bahwa apa yang dikatakan
putranya itu, memang benar. Dia terus mendesak putranya, sehingga menjadikan
putranya terus berdebat dengannya.
Tapi, di satu sisi Bu Nyai ingin putranya kembali mempunyai
istri. Bagaimanapun juga, Ihsan butuh sosok seorang ibu.
"Fakhri harap, ini yang terakhir kalinya kita bahas
masalah itu. Fakhri pamit dulu, hari sudah semakin siang. Fakhri masih harus
bekerja. Sekali lagi, percayalah, Umi! Dia akan mendapatkan jodoh yang lebih
baik dari Fakhri," ucap Fakhri sambil mencium tangan ibunya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh."
Fakhri segera berbalik, dan melangkah keluar.
Bu Nyai menghela nafasnya berat. Sungguh! Beliau sangat
bimbang. Disatu sisi, dia memang tidak ingin memaksa putranya. Tapi, disisi
lain, beliau begitu tahu bagaimana tatapan pilu putri angkatnya itu, ketika
Fakhri menolak perjodohan mereka secara mentah-mentah.
Bu Nyai tidak akan tenang, jika salah satu putra dan
putrinya mendapatkan kebahagiaan secara tidak adil.
'YaAlloh, bagaimana ini? Apa yang harus hamba lakukan? Hamba
sangat mencintai dan menyayangi keduanya. Semoga secepatnya mendapatkan
penyelesaian yang baik,' Bu Nyai merapalkan do'anya.
Di balik tembok tempat Fakhri dan Bu Nyai berbincang, Arfan
menguping. Tangannya mengepal kuat, kala suara Fakhri menyeruakan penolakannya
kembali.
'Aku tahu, kamu sudah memilih Kamila untuk calonmu. Tapi,
maafkan aku! Aku akan mencuri star darimu terlebih dahulu. Maafkan aku, Gus!'
"Gus Arfan."
Arfan menoleh, kala ada suara memanggil. Menyadarkannya dari
lamunan.
"Maaf, Gus. Mbak Mila sudah berada di depan."
Arfan mengangguk, sambil tersenyum, "iya, saya akan
segera kesana. Terimakasih, Mbak Mawar," ucap Arfan pada staff santri
putri.
Arfan menghembuskan nafasnya, berharap, apa yang sedang di
rencanakannya adalah keputusan yang tepat.
Setelah tadi pagi dia menguping pembicaraan Fakhri dan Bu
Nyai. Dia bertekad, bahwa dia tidak akan membiarkan orang lain mencuri
kesempatannya.
Arfan beranjak dan melangkah ketempat dimana Mila berada.
'Toktoktok' "Assalamu'alaikum."
Mila yang memang sedang melamun, terlonjak kaget, karena ada
yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Mila mengangguk, lalu menunduk, " Wa'alaikumussalaam,
Gus Arfan. "
Arfan tersenyum, lalu duduk di belakang Mila, sambil
membelakangi Mila. Jadi, posisi mereka sekarang adalah, saling membelakangi.
"Apakah aku mengganggumu, Mbak Mila?" tanya Arfan.
Mila sebenarnya merasakan perasaan tak nyaman, ketika Arfan
mengganti panggilannya dari formal menjadi sapaan akrab. -Aku, kamu.-
"Ah, ti,tidak, Gus. Kalau boleh saya tahu, ada apa,
ya?" ucap Mila.
Arfan diam beberapa saat. Ingin sekali dirinya menatap Mila
saat ini. Dia tersenyum kikuk, "bagaimana memulainya, ya?" ucap Arfan
sambil mengusap tengkuknya.
"Mungkin, ada yang bisa saya bantu, Gus."
Arfan menghirup udara dalam, "Mbak Kamila, sebenarnya
... Dari awal kita bertemu, aku sudah tertarik padamu," ucap Arfan to the
point.
Arfan menunggu respon Mila dengan perasaan was-was. Walaupun
dia tak melihat ekspresi Mila. Tapi, dia bisa memastikan, kalau Mila sangat
terkejut. Karena nafas Mila yang tiba-tiba terhenti, serta ada suara henyakan
samar dari bibir perempuan yang berada di belakangnya ini.
Ada sedikit rasa menyesal, mungkin dia terlalu cepat
mengungkapkan maksudnya. Tapi, bukankah, lebih cepat lebih baik? Siapa cepat,
dia dapat, bukan?
Mila yang hatinya sudah entah kemana, semenjak mendengar
kabar tentang calon ibu baru Ihsan tersebut. Semakin tak karuan, kala mendengar
ucapan Arfan yang sangat ambigu juga tiba-tiba untuknya.
Apa maksudnya? Tertarik? Tertarik pada apanya?
"Ma,maksud G,gus Arfan g,gimana?" Mila sangat
gugup, kala hatinya menerka maksud ucapan Arfan.
"Maksudku, mungkin ... Ini, terlalu mendadak bagimu,
Mbak Mila. Tapi, aku tidak bisa memendam sesuatu yang bahkan aku sendiripun tak
bisa mengatasinya. Jadi ... Aku pikir, mungkin akan lebih baik, jika aku
langsung mengungkapkannya. Lebih cepat, mungkin akan lebih baik," jawab
Arfan.
Hening.
"Maaf! Jika terkesan mendadak bagimu," Arfan
melanjutkan ucapannya, ketika dia tidak mendapatkan respon dari Mila,
"tapi, dengan niat yang tulus ... Mbak Mila, maukah kamu menerima
pinanganku?" tanyanya mantap. Dia sangat berharap, jika Mila mengatakan
'Ya'.
Mila seakan mati kutu, pikirannya serasa beku seketika.
Pengakuan Arfan sungguh di luar dugaannya. Apa yang harus dia jawab? YaAlloh,
apa yang harus dia lakukan?
"Mbak Mila," Arfan memanggil Mila, karena dia tak mendapatkan
respon apapun. Ingin sekali dia berbalik, dan melihat bagaimana wajah perempuan
yang sudah dia lamar ini.
"Mbak Mil--"
"A,ah, m,maaf, G,gus A,arfan! S,s,saya, s,s,saya,
..." Mila tak bisa menjawab, dia bingung. Sangat bingung, harus menjawab apa.
Terlebih, hatinya saat ini sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Arfan menghela nafasnya, memejamkan matanya. Dia sudah
menduganya. Tapi, dia tak menduga akan se-kecewa ini.
"Tak perlu di jawab sekarang! Aku tahu, kamu pasti
sangat terkejut. Tapi, satu yang harus kamu yakini! Bahwa aku tulus dengan
niatku ini. Maka dari itu, bisakah kamu mempertimbangkan lamaranku ini?"
Arfan akan mencoba peruntungan kembali. Dia bertekad, dia akan meyakinkan Mila.
Bahwa dia adalah sosok yang patut dipercaya dan dipertimbangkan.
"T,terimakasih a,atas pengertiannya, G,gus."
"Aku mengerti, aku juga gak mau memaksamu. Tapi, terus
terang, aku sangat berharap kamu mengatakan 'iya'. Aku akan bersabar sampai
kamu bisa menjawab niatku ini," jawab Arfan kembali sambil menekan kata
'iya'.
Mila menunduk, hatinya sangat bersyukur dan merasa bersalah
pada Arfan. Dia berterimakasih, karena Arfan mau mengerti. Tapi, juga merasa
bersalah, karena dia tahu, Arfan pasti kecewa dengan tindakannya saat ini.
Mila tak mau mengambil langkah salah lagi. Dia tak mau
berpura-pura menerima, sedangkan hatinya menolaknya. Dia sudah merasakannya,
dan itu sangat mengecewakan.
"K,kalau b,begitu, b,bolehkah s,s,saya u,undur d,diri?
Mo,mohon m,maaf a,atas se,semuanya, G,gus!" saat ini, Mila hanya ingin
menyendiri. Tak mau di ganggu siapapun.
"Ya, silahkan! Aku juga minta maaf, telah membuatmu
terbebani dengan pengakuanku. Dan juga mengganggu waktumu."
"Ti,tidak ap,aoa-apa. K,kalau b,begitu, s,saya undur
diri, As,Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh."
Mila perlahan berdiri, dan melangkah menuju pintu keluar.
"Mbak Mila, tunggu!" Arfan kembali memanggil Mila,
ketika dia sudah menyentuh gagang pintu.
Mila berbalik dengan kepala yang menunduk.
"Satu lagi. Maafkan aku! Aku telah berbohong
kepadamu."
Mila mendongak, menatap Arfan, dan menunggu Arfan
melanjutkan kalimatnya.
"Sebenarnya, aku sangat mengenal Zahra, sahabatmu
itu."
Mila melotot, dan menganga. Untuk apa Arfan berbohong
padanya?
Arfan terkekeh, "sudah kuduga kamu akan merasa kaget
seperti itu. Awalnya, aku hanya ingin tahu, apakah kamu benar-benar kenal
adikku itu, atau hanya kamuflase semata. Tapi, ternyata memang benar, adikku
adalah sahabatmu. Dia juga sudah memarahiku, karena telah mengerjai sahabat
baiknya."
'JESSSSSSS' Seakan tersiram air es dari planet pluto. Tubuh
Mila membeku, begitupun dengan otaknya. Dia tak mendengar ucapan Arfan, telinganya
menolak cerocosan Arfan, pendengarannya terus mendengung, kala satu buah fakta
menusuk kesadarannya.
"A,adik? J,jadi ... Z,zahra itu, a,a,adiknya G,g,gus
A,Arfan?" Mila bertanya dengan nada semakin terbata.
Arfan tersenyum, lalu mengangguk, "benar."
"J,jadi ... Z,zahra a,adalah ... Ca,ca,calon
istrinya--"
"Calon istri?" 'deg' Arfan memotong ucapan Mila.
Jantungnya berdegup kencang, dia tak menyangka, kalau Mila sudah tahu soal itu.
Dia fikir, dia akan mendapatkan Mila sebelum Mila tahu, bahwa Zahra adalah
calon istrinya Fakhri.
"C,calon i,istri, ya? Waaah darimana kamu tahu?
Sepertinya, gosip memang cepat sekali menyebar, ya?" ucap Arfan.
Mila tidak menjawab, pandangannya kosong.
"Benar, Zahra sudah di jodohkan dengan Gus Fakhri empat
tahun yang lalu. Namun, karena Zahra harus menuntut ilmu di Jakarta, membuat
perjodohan ini harus ditunda dulu. Dan ... Pernikahannya akan di laksanakan
ketika dia sudah pulang akhir bulan ini."
Mila meremas pakaiannya kuat. Hari ini dia sudah mendapatkan
tiga kejutan sekaligus.
Dia benar-benar tidak menyangka, kalau sahabatnya-lah yang
akan menjadi istri Fakhri.
'Heh, memangnya kenapa kalau itu Zahra, Kamila? Semua tidak
ada yang salah disini. Kamunya aja yang berlebihan. Memangnya, apa hubungannya
denganmu tentang perjodohan mereka? Siapa kau yang harus merasa tersakiti?'
logika Mila menyeruak.
Mila tersenyum, benar! Apalah dirinya ini? Kenapa harus ikut
campur? Apalagi mencampur biarkan di ngan urusan hatinya ini. Seharusnya dia
bahagia bukan, kalau sahabatnya akan segera menikah?
Mila menghirup nafasnya yang entah kenapa sangat susah
sekali dihirupnya, dia menelan ludah yang entah kenapa seperti sangat keras
sekali, sehingga tidak bisa dia telan dengan mudahnya.
Dia sadar, dia bukanlah siapa-siapanya Fakhri dan Ihsan. Dia
hanya seorang santri yang beruntung bisa berinteraksi akrab dengan ayah dan
anak tersebut. Tapi, mengapa hatinya merasakan sakit? Malah, rasa sakit karena
kegagalan pernikahannya tidak ada apa-apanya, dibandingkan rasa sakit yang kini
sedang dia rasakan.
Tanpa bicara sepatah katapun, Mila tersenyum kearah Arfan,
lalu berbalik dan melanjutkan niatnya untuk segera pergi dari sana.
Mila mengerjapkan matanya berulang kali, menghirup udara
sebanyak mungkin, berharap rasa sesak di dadanya berkurang, meski sedikit saja.
"Mbak Mila. Mbak tidak apa-apa?"
Mika menoleh, dan tersenyum kepada Mawar yang menyapanya.
Tercetak sangat jelas sekali, Mawar sangat penasaran dengan dirinya.
"Aku tidak apa-apa, Mbak Mawar. Kalau begitu, aku
permisi dulu, Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," Mawar
menjawab salam Mila. Meski dia sangat tak puas dengan jawaban yang Mila
berikan. 'Pasti ada sesuatu.'
Arfan berdiri di dekat kaca, memperhatikan punggung Mila
yang kian menjauh. Di dasar hatinya, dia merasakan kesakitan. Melihat mimik
muka Mila yang sangat tidak baik-baik saja. 'Maafkan aku, Mila! Aku tahu, kamu
sudah menaruh hati pada Fakhri. Aku berjanji, aku akan menghilangkan rasa
cintamu itu padanya. Dan aku berjanji, akan aku ganti dengan jutaan kasih
sayang yang akan berikan padamu. Tapi, aku mohon, Bantulah aku! Mewujudkan
kebahagiaan adikku yang sederhana ini.'
........
"Mbak Mila." Mila terlonjak kaget, ketika ada yang
memanggilnya.
Anisa menghampirinya, dan memeluknya. Tak perlu berbicara,
Anisa tahu, saat ini, sahabatnya ini sedang dalam hati yang kacau. Tak ada kata
atau pembicaraan, Anisa terus memeluk tubuh Mila, sambil mengusap punggung
sahabat yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri.
Mila yang mendapat perlakuan seperti itu, langsung membalas
pelukan Anisa dengan sangat erat. Dia tahu, tanpa dia menceritakan pun,
sahabatnya yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri ini, sudah mengerti
keadaannya.
"Weleh, weleh, kenapa kalian berpelukan tanpa mengajak
kami."
Mila buru-buru menghapus airmatanya, yang entah sejak kapan
keluar mengalir begitu saja tanpa ia sadari.
Mila dan Anisa mengurai pelukannya. Mereka saling melempar
senyuman, meski suara segukan terdengar samar dari bibir Mila.
"Mbak Mila kenapa? Kok menangis?" Rohmi bertanya
heran.
"Mbak Mila katanya sudah rindu rumahnya," Bukan
Mila yang menjawab, tapi Anisa.
"O, begituuu."
"Sudahlah! Mbak Mila, bukankah hari ini Mbak harus
kerumah Gus Fakhri, untuk mengajari Gus Ihsan?" tanya Anisa.
Mila menegang, sanggupkah dia? Menoleh kearah Anisa yang
sudah menatapnya, sambil tersenyum dan mengangguk, seolah mengatakan ... Semua
akan baik-baik saja.
"Haaah, aku yakin. Selama Mbak Mila di dalam kandungan
ibunya. Ibu Mbak Mila sering sekali melakukan amal Shodaqoh deh." suara
itu menyeletuk dari bibir Tia.
"Memangnya kenapa?" tanya Rohmi penasaran.
"Lihatlah! Nasib baik, selalu mengelilingi Mbak Mila.
Dari mulai, berparas cantik, berotak cerdas, berperilaku baik, disukai dan
disayangi banyak orang, dan yang paling menguntungkan adalah bisa keluar masuk
rumahnya Gus Fakhri tanpa rintangan apapun, dan ... Tentu sangat memungkinkan,
Mbak Mila sering bertemu dengan Gus Duda ganteng itu, lalu lambat laun ...
Karena terbiasa, cintapun bersemi tanpa diduga di antara keduanya. Lalu, mereka
menikah, dan hidup bahagia selamanya," Tia menjawab panjang lebar, sambil
menerawang, seolah dia sedang menonton televisi kartun cinderella.
'Deg' tubuh Mila menegang. -karena terbiasa, cintapun
bersemi tanpa diduga- 'Astagfirullah! Jadi, rasa sakit yang sedang dia rasakan
ini, karena dia sudah ...? Astagfirullah, YaAlloh ...'
"Hihihi, Mbak Tia keren juga. Kamu membuat aku terlena.
Aku sangat setuju dengan pendapatmu, jika saja aku tidak mengingat atau
mengetahui, bahwa Gus Fakhri sudah memiliki calon istri sendiri."
'Jlebb' seolah tak pernah puas, sesak itu menyerangnya
kembali. Apalagi dia sudah mengetahui, siapa calon istrinya.
Mila menghirup udara sebanyak mungkin. 'YaAlloh ...'
lirihnya penuh kesedihan.
sumber : WAG
Labels:
cerbung,
cerita humor,
cerpen
Thanks for reading Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Kejutan. Please share...!