Blog Kang One

Catatan Sederhana untuk Berbagi

Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Kejutan



JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (22)

Judul kejutan. A

"Sudah Fakhri katakan, itu hanya keinginan Salma saja. Bukan permintaannya." Fakhri menghela nafasnya. Berharap dia memiliki banyak kesabaran, ketika orangtuanya kembali mengungkit keinginan mendiang istrinya itu.

Bukan berarti Fakhri tidak suka dengan adiknya Arfan. Fakhri sangat mencintai dan menyayanginya. Tapi, rasa cinta dan sayang yang dia rasakan, adalah sebagai seorang kakak pada adiknya.

"Tapi, Gus. Bukankah keinginan itu tandanya agar dituruti?" tanya Bu Nyai hati-hati. Bu Nyai sudah melihat gelagat Fakhri yang sudah mulai kehilangan kesabaran.

"Beda, Umi. Fakhri juga sudah katakan, setelah Salma mengungkapkan keinginannya itu, Fakhri langsung menolaknya. Tolonglah, Umi! Jangan membebankan hisaban Salma dengan masalah ini!"

Bu Nyai terhenyak, menyadari bahwa apa yang dikatakan putranya itu, memang benar. Dia terus mendesak putranya, sehingga menjadikan putranya terus berdebat dengannya.

Tapi, di satu sisi Bu Nyai ingin putranya kembali mempunyai istri. Bagaimanapun juga, Ihsan butuh sosok seorang ibu.

"Fakhri harap, ini yang terakhir kalinya kita bahas masalah itu. Fakhri pamit dulu, hari sudah semakin siang. Fakhri masih harus bekerja. Sekali lagi, percayalah, Umi! Dia akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Fakhri," ucap Fakhri sambil mencium tangan ibunya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh."

Fakhri segera berbalik, dan melangkah keluar.

Bu Nyai menghela nafasnya berat. Sungguh! Beliau sangat bimbang. Disatu sisi, dia memang tidak ingin memaksa putranya. Tapi, disisi lain, beliau begitu tahu bagaimana tatapan pilu putri angkatnya itu, ketika Fakhri menolak perjodohan mereka secara mentah-mentah.

Bu Nyai tidak akan tenang, jika salah satu putra dan putrinya mendapatkan kebahagiaan secara tidak adil.

'YaAlloh, bagaimana ini? Apa yang harus hamba lakukan? Hamba sangat mencintai dan menyayangi keduanya. Semoga secepatnya mendapatkan penyelesaian yang baik,' Bu Nyai merapalkan do'anya.

Di balik tembok tempat Fakhri dan Bu Nyai berbincang, Arfan menguping. Tangannya mengepal kuat, kala suara Fakhri menyeruakan penolakannya kembali.

'Aku tahu, kamu sudah memilih Kamila untuk calonmu. Tapi, maafkan aku! Aku akan mencuri star darimu terlebih dahulu. Maafkan aku, Gus!'

"Gus Arfan."

Arfan menoleh, kala ada suara memanggil. Menyadarkannya dari lamunan.

"Maaf, Gus. Mbak Mila sudah berada di depan."

Arfan mengangguk, sambil tersenyum, "iya, saya akan segera kesana. Terimakasih, Mbak Mawar," ucap Arfan pada staff santri putri.

Arfan menghembuskan nafasnya, berharap, apa yang sedang di rencanakannya adalah keputusan yang tepat.

Setelah tadi pagi dia menguping pembicaraan Fakhri dan Bu Nyai. Dia bertekad, bahwa dia tidak akan membiarkan orang lain mencuri kesempatannya.

Arfan beranjak dan melangkah ketempat dimana Mila berada.

'Toktoktok' "Assalamu'alaikum."

Mila yang memang sedang melamun, terlonjak kaget, karena ada yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

Mila mengangguk, lalu menunduk, " Wa'alaikumussalaam, Gus Arfan. "

Arfan tersenyum, lalu duduk di belakang Mila, sambil membelakangi Mila. Jadi, posisi mereka sekarang adalah, saling membelakangi.

"Apakah aku mengganggumu, Mbak Mila?" tanya Arfan.

Mila sebenarnya merasakan perasaan tak nyaman, ketika Arfan mengganti panggilannya dari formal menjadi sapaan akrab. -Aku, kamu.-

"Ah, ti,tidak, Gus. Kalau boleh saya tahu, ada apa, ya?" ucap Mila.

Arfan diam beberapa saat. Ingin sekali dirinya menatap Mila saat ini. Dia tersenyum kikuk, "bagaimana memulainya, ya?" ucap Arfan sambil mengusap tengkuknya.

"Mungkin, ada yang bisa saya bantu, Gus."

Arfan menghirup udara dalam, "Mbak Kamila, sebenarnya ... Dari awal kita bertemu, aku sudah tertarik padamu," ucap Arfan to the point.

Arfan menunggu respon Mila dengan perasaan was-was. Walaupun dia tak melihat ekspresi Mila. Tapi, dia bisa memastikan, kalau Mila sangat terkejut. Karena nafas Mila yang tiba-tiba terhenti, serta ada suara henyakan samar dari bibir perempuan yang berada di belakangnya ini.

Ada sedikit rasa menyesal, mungkin dia terlalu cepat mengungkapkan maksudnya. Tapi, bukankah, lebih cepat lebih baik? Siapa cepat, dia dapat, bukan?

Mila yang hatinya sudah entah kemana, semenjak mendengar kabar tentang calon ibu baru Ihsan tersebut. Semakin tak karuan, kala mendengar ucapan Arfan yang sangat ambigu juga tiba-tiba untuknya.

Apa maksudnya? Tertarik? Tertarik pada apanya?

"Ma,maksud G,gus Arfan g,gimana?" Mila sangat gugup, kala hatinya menerka maksud ucapan Arfan.

"Maksudku, mungkin ... Ini, terlalu mendadak bagimu, Mbak Mila. Tapi, aku tidak bisa memendam sesuatu yang bahkan aku sendiripun tak bisa mengatasinya. Jadi ... Aku pikir, mungkin akan lebih baik, jika aku langsung mengungkapkannya. Lebih cepat, mungkin akan lebih baik," jawab Arfan.

Hening.

"Maaf! Jika terkesan mendadak bagimu," Arfan melanjutkan ucapannya, ketika dia tidak mendapatkan respon dari Mila, "tapi, dengan niat yang tulus ... Mbak Mila, maukah kamu menerima pinanganku?" tanyanya mantap. Dia sangat berharap, jika Mila mengatakan 'Ya'.

Mila seakan mati kutu, pikirannya serasa beku seketika. Pengakuan Arfan sungguh di luar dugaannya. Apa yang harus dia jawab? YaAlloh, apa yang harus dia lakukan?

"Mbak Mila," Arfan memanggil Mila, karena dia tak mendapatkan respon apapun. Ingin sekali dia berbalik, dan melihat bagaimana wajah perempuan yang sudah dia lamar ini.

"Mbak Mil--"

"A,ah, m,maaf, G,gus A,arfan! S,s,saya, s,s,saya, ..." Mila tak bisa menjawab, dia bingung. Sangat bingung, harus menjawab apa. Terlebih, hatinya saat ini sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Arfan menghela nafasnya, memejamkan matanya. Dia sudah menduganya. Tapi, dia tak menduga akan se-kecewa ini.

"Tak perlu di jawab sekarang! Aku tahu, kamu pasti sangat terkejut. Tapi, satu yang harus kamu yakini! Bahwa aku tulus dengan niatku ini. Maka dari itu, bisakah kamu mempertimbangkan lamaranku ini?" Arfan akan mencoba peruntungan kembali. Dia bertekad, dia akan meyakinkan Mila. Bahwa dia adalah sosok yang patut dipercaya dan dipertimbangkan.

"T,terimakasih a,atas pengertiannya, G,gus."

"Aku mengerti, aku juga gak mau memaksamu. Tapi, terus terang, aku sangat berharap kamu mengatakan 'iya'. Aku akan bersabar sampai kamu bisa menjawab niatku ini," jawab Arfan kembali sambil menekan kata 'iya'.

Mila menunduk, hatinya sangat bersyukur dan merasa bersalah pada Arfan. Dia berterimakasih, karena Arfan mau mengerti. Tapi, juga merasa bersalah, karena dia tahu, Arfan pasti kecewa dengan tindakannya saat ini.

Mila tak mau mengambil langkah salah lagi. Dia tak mau berpura-pura menerima, sedangkan hatinya menolaknya. Dia sudah merasakannya, dan itu sangat mengecewakan.

"K,kalau b,begitu, b,bolehkah s,s,saya u,undur d,diri? Mo,mohon m,maaf a,atas se,semuanya, G,gus!" saat ini, Mila hanya ingin menyendiri. Tak mau di ganggu siapapun.

"Ya, silahkan! Aku juga minta maaf, telah membuatmu terbebani dengan pengakuanku. Dan juga mengganggu waktumu."

"Ti,tidak ap,aoa-apa. K,kalau b,begitu, s,saya undur diri, As,Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh."

Mila perlahan berdiri, dan melangkah menuju pintu keluar.

"Mbak Mila, tunggu!" Arfan kembali memanggil Mila, ketika dia sudah menyentuh gagang pintu.

Mila berbalik dengan kepala yang menunduk.

"Satu lagi. Maafkan aku! Aku telah berbohong kepadamu."

Mila mendongak, menatap Arfan, dan menunggu Arfan melanjutkan kalimatnya.

"Sebenarnya, aku sangat mengenal Zahra, sahabatmu itu."

Mila melotot, dan menganga. Untuk apa Arfan berbohong padanya?

Arfan terkekeh, "sudah kuduga kamu akan merasa kaget seperti itu. Awalnya, aku hanya ingin tahu, apakah kamu benar-benar kenal adikku itu, atau hanya kamuflase semata. Tapi, ternyata memang benar, adikku adalah sahabatmu. Dia juga sudah memarahiku, karena telah mengerjai sahabat baiknya."

'JESSSSSSS' Seakan tersiram air es dari planet pluto. Tubuh Mila membeku, begitupun dengan otaknya. Dia tak mendengar ucapan Arfan, telinganya menolak cerocosan Arfan, pendengarannya terus mendengung, kala satu buah fakta menusuk kesadarannya.

"A,adik? J,jadi ... Z,zahra itu, a,a,adiknya G,g,gus A,Arfan?" Mila bertanya dengan nada semakin terbata.

Arfan tersenyum, lalu mengangguk, "benar."

"J,jadi ... Z,zahra a,adalah ... Ca,ca,calon istrinya--"

"Calon istri?" 'deg' Arfan memotong ucapan Mila. Jantungnya berdegup kencang, dia tak menyangka, kalau Mila sudah tahu soal itu. Dia fikir, dia akan mendapatkan Mila sebelum Mila tahu, bahwa Zahra adalah calon istrinya Fakhri.

"C,calon i,istri, ya? Waaah darimana kamu tahu? Sepertinya, gosip memang cepat sekali menyebar, ya?" ucap Arfan.

Mila tidak menjawab, pandangannya kosong.

"Benar, Zahra sudah di jodohkan dengan Gus Fakhri empat tahun yang lalu. Namun, karena Zahra harus menuntut ilmu di Jakarta, membuat perjodohan ini harus ditunda dulu. Dan ... Pernikahannya akan di laksanakan ketika dia sudah pulang akhir bulan ini."

Mila meremas pakaiannya kuat. Hari ini dia sudah mendapatkan tiga kejutan sekaligus.

Dia benar-benar tidak menyangka, kalau sahabatnya-lah yang akan menjadi istri Fakhri.

'Heh, memangnya kenapa kalau itu Zahra, Kamila? Semua tidak ada yang salah disini. Kamunya aja yang berlebihan. Memangnya, apa hubungannya denganmu tentang perjodohan mereka? Siapa kau yang harus merasa tersakiti?' logika Mila menyeruak.

Mila tersenyum, benar! Apalah dirinya ini? Kenapa harus ikut campur? Apalagi mencampur biarkan di ngan urusan hatinya ini. Seharusnya dia bahagia bukan, kalau sahabatnya akan segera menikah?

Mila menghirup nafasnya yang entah kenapa sangat susah sekali dihirupnya, dia menelan ludah yang entah kenapa seperti sangat keras sekali, sehingga tidak bisa dia telan dengan mudahnya.

Dia sadar, dia bukanlah siapa-siapanya Fakhri dan Ihsan. Dia hanya seorang santri yang beruntung bisa berinteraksi akrab dengan ayah dan anak tersebut. Tapi, mengapa hatinya merasakan sakit? Malah, rasa sakit karena kegagalan pernikahannya tidak ada apa-apanya, dibandingkan rasa sakit yang kini sedang dia rasakan.

Tanpa bicara sepatah katapun, Mila tersenyum kearah Arfan, lalu berbalik dan melanjutkan niatnya untuk segera pergi dari sana.

Mila mengerjapkan matanya berulang kali, menghirup udara sebanyak mungkin, berharap rasa sesak di dadanya berkurang, meski sedikit saja.

"Mbak Mila. Mbak tidak apa-apa?"

Mika menoleh, dan tersenyum kepada Mawar yang menyapanya. Tercetak sangat jelas sekali, Mawar sangat penasaran dengan dirinya.

"Aku tidak apa-apa, Mbak Mawar. Kalau begitu, aku permisi dulu, Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam, warohmatullooh," Mawar menjawab salam Mila. Meski dia sangat tak puas dengan jawaban yang Mila berikan. 'Pasti ada sesuatu.'

Arfan berdiri di dekat kaca, memperhatikan punggung Mila yang kian menjauh. Di dasar hatinya, dia merasakan kesakitan. Melihat mimik muka Mila yang sangat tidak baik-baik saja. 'Maafkan aku, Mila! Aku tahu, kamu sudah menaruh hati pada Fakhri. Aku berjanji, aku akan menghilangkan rasa cintamu itu padanya. Dan aku berjanji, akan aku ganti dengan jutaan kasih sayang yang akan berikan padamu. Tapi, aku mohon, Bantulah aku! Mewujudkan kebahagiaan adikku yang sederhana ini.'

........

"Mbak Mila." Mila terlonjak kaget, ketika ada yang memanggilnya.

Anisa menghampirinya, dan memeluknya. Tak perlu berbicara, Anisa tahu, saat ini, sahabatnya ini sedang dalam hati yang kacau. Tak ada kata atau pembicaraan, Anisa terus memeluk tubuh Mila, sambil mengusap punggung sahabat yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri.

Mila yang mendapat perlakuan seperti itu, langsung membalas pelukan Anisa dengan sangat erat. Dia tahu, tanpa dia menceritakan pun, sahabatnya yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri ini, sudah mengerti keadaannya.

"Weleh, weleh, kenapa kalian berpelukan tanpa mengajak kami."

Mila buru-buru menghapus airmatanya, yang entah sejak kapan keluar mengalir begitu saja tanpa ia sadari.

Mila dan Anisa mengurai pelukannya. Mereka saling melempar senyuman, meski suara segukan terdengar samar dari bibir Mila.

"Mbak Mila kenapa? Kok menangis?" Rohmi bertanya heran.

"Mbak Mila katanya sudah rindu rumahnya," Bukan Mila yang menjawab, tapi Anisa.

"O, begituuu."

"Sudahlah! Mbak Mila, bukankah hari ini Mbak harus kerumah Gus Fakhri, untuk mengajari Gus Ihsan?" tanya Anisa.

Mila menegang, sanggupkah dia? Menoleh kearah Anisa yang sudah menatapnya, sambil tersenyum dan mengangguk, seolah mengatakan ... Semua akan baik-baik saja.

"Haaah, aku yakin. Selama Mbak Mila di dalam kandungan ibunya. Ibu Mbak Mila sering sekali melakukan amal Shodaqoh deh." suara itu menyeletuk dari bibir Tia.

"Memangnya kenapa?" tanya Rohmi penasaran.

"Lihatlah! Nasib baik, selalu mengelilingi Mbak Mila. Dari mulai, berparas cantik, berotak cerdas, berperilaku baik, disukai dan disayangi banyak orang, dan yang paling menguntungkan adalah bisa keluar masuk rumahnya Gus Fakhri tanpa rintangan apapun, dan ... Tentu sangat memungkinkan, Mbak Mila sering bertemu dengan Gus Duda ganteng itu, lalu lambat laun ... Karena terbiasa, cintapun bersemi tanpa diduga di antara keduanya. Lalu, mereka menikah, dan hidup bahagia selamanya," Tia menjawab panjang lebar, sambil menerawang, seolah dia sedang menonton televisi kartun cinderella.

'Deg' tubuh Mila menegang. -karena terbiasa, cintapun bersemi tanpa diduga- 'Astagfirullah! Jadi, rasa sakit yang sedang dia rasakan ini, karena dia sudah ...? Astagfirullah, YaAlloh ...'

"Hihihi, Mbak Tia keren juga. Kamu membuat aku terlena. Aku sangat setuju dengan pendapatmu, jika saja aku tidak mengingat atau mengetahui, bahwa Gus Fakhri sudah memiliki calon istri sendiri."

'Jlebb' seolah tak pernah puas, sesak itu menyerangnya kembali. Apalagi dia sudah mengetahui, siapa calon istrinya.

Mila menghirup udara sebanyak mungkin. 'YaAlloh ...' lirihnya penuh kesedihan.


sumber  : WAG
Labels: cerbung, cerita humor, cerpen

Thanks for reading Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Kejutan. Please share...!

Back To Top