Posted by
One_Esc on
Tuesday, January 28, 2020
JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (18)
Judul : siasat Ihsan.2
JAKARTA.
'Toktoktok'
"Masuk!"
'Ceklek' "Selamat siang, Pak."
"Hmm."
"Ada yang ingin bertemu dengan Bapak."
"Persilahkan masuk!"
Orang tersebut menunduk, lalu melangkah kearah pintu,
mempersilahkan tamu yang ingin bertemu dengan atasannya itu.
"Selamat siang, Pak Juand," sapa sang tamu.
Juanda, sang wakil Direktur di perusahaan keluarganya,
menyambut uluran tangan tamu itu, "siang, silahkan duduk!"
"Pak Putra, tolong pesankan jamuan untuk tamu
saya!" ucap Juand pada sekretarisnya.
"Baik, Pak. Saya undur diri."
Juand mengangguk sekali. Menunggu sampai
Putra(sekretarisnya) benar-benar keluar.
"Jadi, apa yang kamu dapat sekarang?" Juand
meninggalkan sikap formalnya ketika mereka sudah berdua saja.
"Aku mendapatkan laporan tentang penyelundup obat
terlarang itu. Dia menyamar menjadi mahasiswa di kampus tempatmu
mengajar."
Bibir Juand terangkat satu, "sudah kuduga."
Tamu itu menganga, "jadi, kamu sudah tahu?"
Juand melirik kearah tamu itu sekilas, "aku
mencurigainya. Dan ternyata kecurigaanku benar."
Tamu itu mengangguk-anggukan kepalanya, "terus, apa
rencanamu selanjutnya."
"Sedikit bermain, tentu saja. Kita ikuti permainannya.
Dia berpura-pura, maka kita juga sama. Bersikap seperti biasa seolah tidak
mengetahuinya."
Sang tamu kembali menganggukkan kepalanya.
"Rio, bagaimana tentang adikku?"
"Aku sudah--" 'toktoktok' ucapan Rio yang tak lain
adalah tamu itu, terhenti karena suara pintu di ketuk.
''Masuk!''
'Ceklek' seorang OB masuk sambil membawa air serta cemilan.
"Aku sudah mengetahui lokasinya," Rio mengulang
ucapannya, ketika mereka sudah berdua kembali.
"Dimana dia sekarang?"
"Di Jawa Timur. Tepatnya, di Kota Malang," jawab
Rio, sambil menyodorkan map tentang Mila. Adik bosnya.
Juand mengernyitkan dahinya, dia kira Mila kembali kabur ke
belahan dunia lainnya, ternyata balik ke Negaranya sendiri. Tapi, kenapa mesti
Jawa Timur?
"Kali ini sebuah Pondok Pesantren menjadi destinasinya,
dia menjadi salah satu santri di sana."
Juand menghela nafasnya, lebih baik seperti itu. Daripada
hidup seorang diri di negri orang.
"Apa nama Pesantrennya?"
"Pesantren Al-Zamil."
Juand menautkan alisnya, seperti tidak asing baginya.
"Ok, thanks ya, Bro."
"Hmm, tapi meski urusan sudah selesai, kamu jangan dulu
mengusirku, ya! Aku mau habisin jamuan ini, mubadzir," ucap Rio.
Juand tersenyum, "terserah," jawabnya. Dia
berjalan menuju kursi kebesarannya kembali. Membuka amplop yang diberikan Rio.
Seketika, senyumannya tersungging tipis di bibirnya. 'Pantas saja dia merasa
tak asing.'
'Pluk' sesuatu terjatuh dari mejanya kala dirinya menaruh
amplop. Memungutnya. Bibirnya kembali menyungging, ketika melihat apa yang
jatuh barusan. 'Buku harian milik Zahra?' ah iya, Juand ingat, buku itu dia
temukan yang tak sengaja Zahra jatuhkan, karena sedang terburu-buru keluar dari
ruangan dosen kemarin.
Juand terkekeh, merasa lucu saja. Di Zaman Now, masih saja
ada yang menulis curhatan di buku harian. Padahal sekarang tempat curhatan yang
sedang booming, adalah medsos. Mungkin Zahra adalah type manusia Zaman Old.
Tak akan berdosa kan? Jika dirinya mengintip sedikit isi
buku tersebut? Sepertinya gak akan. Kecuali jika Zahra mengetahuinya. 'Nona
Zahra, saya izin membuka buku harianmu, ya!' ucap Juand dalam hati.
Juand membaca kata demi kata di buku harian Zahra, namun
lengkungan bibirnya langsung menjadi datar kala matanya membaca deretan kalimat
di dalamnya. Juand tersenyum kecut, 'menjadi manusia gagal move on huh?'
gumamnya sinis. Melemparkan buku tersebut, kemudian berdiri sambil membawa
kunci mobil.
"Hei, mau kemana?" Rio yang sedang asik makan,
heran dengan tingkah laku bossnya.
"Aku mau cari angin dulu, di sini gerah," jawab
Juand sambil berlalu pergi.
Rio mengerutkan dahinya heran. 'Aneh banget si Bos, kalau
mau cari angin mah, kenapa gak nyalain kipas aja.'
Tak pedulikan urusan Bosnya, dia kembali melahap makanan di
hadapannya.
................
Malang. Jawa Timur.
"Ini, Mas," ucap sang istri.
"Terimakasih, Sayang," jawab suaminya.
Sang istri, yang tak lain adalah Mina, cucu ke tiga dari Pak
Kyai itu, mengangguk sambil tersenyum. Duduk di sebelah suaminya yang lagi
fokus dengan tab di hadapannya.
Senyumannya tak pernah lepas dari bibir Mina. Suaminya.
Lukman. Wajah tampan itu terlihat sangat fokus dan serius pada deretan hurup
dan angka di hadapannya.
Tangannya mengusap lembut perutnya, kala merasakan tendangan
samar dari dalam, 'kamu senang di dekat Ayah ya, Sayang?Ayahmu tampan, bukan?'
"Kenapa natap Mas serius banget? Terpesona, huh?"
Lukman menggoda Mina, yang hanya dibalas senyuman malu-malu ala istrinya itu.
Lukman terkekeh, lalu mencubit hidung sang istri, "Mas
selalu suka, melihat wajah cantikmu merah merona seperti ini, karena Mas."
"Iih .. Mas, kebiasaan deh, jail banget," ucap
Mina pura-pura marah.
"Karena Mas, menyukainya. Wajah istri Mas meningkat
berkali lipat cantiknya, jika sedang merona."
Mina menepuk pelan lengan suaminya.
"Mas."
"Ya, Sayang?"
"Semoga, anak kita berjenis kelamin laki-laki,
ya!"
Lukman mengerutkan dahinya, "kenapa harus
laki-laki?"
Mina cemberut, "ya, mau aja laki-laki. Di keluarga
Kakek, hampir semuanya perempuan."
Lukman mengusap pipi istrinya penuh kasih sayang, "Mas
tidak setuju kata-katamu, Sayang. Siapapun dia, Mas sangat menantikannya.
Lagian, kalaupun bayi kita perempuan, Mas senang. Karena Mas yakin, akan
secantik Mamanya, humm."
"Ish, Mas--"
"Sst! Kalau nanti bayi kita perempuan, kita akan
berusaha kembali, bekerjasama lagi, terus-menerus, sampai mendapat bayi
laki-laki," potong Lukman membawa Mina ke pelukannya.
Mina tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyumannya,
'bisakah aku sampai ke tahap itu?' lirih Mina getir dalam hatinya.
'Tingnong' suara bel rumah berbunyi.
"Siapa yang bertamu?" tanya Lukman.
"Mungkin santriwati yang aku pinta kesini," jawab
Mina.
Terlihat pembantu rumah tangga mereka berjalan tergopoh
menuju pintu utama.
"Mau di suruh apa memangnya?"
"Bukan di suruh, Mas. Tapi aku mau minta tolong. Aku
kan tidak di izinin nyuci sama Mas."
"Kenapa tidak si Mbok saja yang nyuci?"
"Ehm, gak tahu. Pingin Mbak santri aja yang
nyuci," jawab Mina singkat.
Terdengar suara langkah kaki mendekat kearah mereka berdua.
Tiba-tiba, tubuh Lukman menegang, bahkan dia tidak menyadari, tangannya
mengepal kuat di pergelangan istrinya.
"M,mas, sakit," lirih Mina hampir meringis.
Lukman yang mendengar lirihan istrinya, langsung melepaskan
cekalannya. Dia terlihat sangat merasa bersalah, Mina tersenyum sambil menepuk
tangan suaminya.
Lukman menutup matanya, jantungnya berdegup kencang. Dia
tahu, senyuman istrinya, tidak sampai kematanya. Dia sudah ...
"Assalamu'alaikum, Nok Mina," seseorang mengucap
salam.
Lukman langsung membalikkan badannya, kala mendengar suara
itu. Matanya menatap nyalang kearah orang tersebut.
"Anda keluar dari area pesantren dengan menggunakan
minyak wangi? Apa kalian tak sadar, siapa kalian itu?" Lukman mencerca
orang tersebut, tanpa mempedulikan tubuh bergetar di hadapannya, karena amat
ketakutan.
"Ma,maafkan ka,kami, Gus L,Lukman!" ucap orang itu
bergetar.
"Mas, sudahlah! Itu semua salahku. Aku memanggil mereka
mendadak, jadi mungkin mereka tidak sempat ganti baju dulu." Mina segera
memotong niat Lukman yang akan kembali mencerca santriwati di hadapannya itu.
"Se,sebetulnya ka--"
'Ddrrt' pembelaan santri itu terhenti kala mendengar ponsel
bergetar. Lukman membalikkan tubuhnya, dan segera menerima panggilan masuk.
"Assalaamu'alaikum, Gus."
"....."
"Sekarang?"
"...."
"Baiklah."
"......"
"Wa'alaikumussalaam." 'tut'
"Dari siapa, Mas?" tanya Mina.
"Gus Attar," jawab Lukman, "Sayang, Mas harus
ke kantor sekarang."
Mina mengernyit, "ada apa?"
"Sebenarnya, hari kamis kemarin, Gus Attar tidak masuk,
dan dia meninggalkan setumpuk pekerjaan yang katanya hari ini akan beliau
kerjakan. Tapi, barusan dia bilang, dia ada urusan dengan Gus Fatah."
Mina sebenarnya ingin membantah, 'tak bisakah di hari senin
saja?' Namun tentu itu hanya terucap di dalam hatinya. Terlebih, Mina melihat
suaminya, sangat tidak nyaman sekarang ini. 'Mungkin Mas Lukman membutuhkan
waktu sendiri.'
Tersenyum, lalu mengangguk, " kalau sudah selesai, cepat
pulang, ya!"
Lukman menghampiri istrinya, "maaf, Sayang! Janji, Mas
akan secepatnya pulang."
"Hati-hati, Mas."
"Tentu, InsyaAlloh. Mas pamit dulu,
Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalaam."
Lukman berlalu keluar rumah, terdengar suara mesin
dinyalakan, hingga menghilang tak terdengar.
"Ma,maaf, Nok Mina! Ka,kami tak bermaksud se,seperti
itu," ucap santriwati itu.
"Tidak apa-apa. Jangan di ambil hati ucapan suamiku,
Mbak Rohmi, Mbak Tia. Maafkan Mas Lukman, ya! Itu, karena beliau sangat peduli
pada kalian," jawab Mina lembut.
Mina menghampiri Rohmi dan Tia, memeluk keduanya erat.
Matanya ia pejamkan, menghirup wangi yang sangat ia sukai. Aroma khas suaminya.
Jilo-Strawberry.
"Wangi kalian enak banget, aku sangat
menyukainya," ucap Mina tersenyum.
"Se,sebenarnya, ini bukan milik kami, Nok Mina. Tapi,
milik Mbak Nisa. Kami memakainya Shubuh tadi. Dan ternyata wanginya awet
sekali," jawab Rohmi masih terbata. Dia masih syok. Bagaimana tidak? Rohmi
baru kali ini bertemu dengan Gus Lukman secara live, dan sekalinya bertemu, dia
dan Tia langsung mendapatkan cercaan pedas. 'Ternyata Gus Lukman sangat
garang,' monolognya dalam hati.
"Jangan takut! Sebenarnya Mas Lukman sangat romantis,
Kok," canda Mina, berharap Rohmi dan Tia sedikit rileks.
Rohmi dan Tia hanya mampu tersenyum, dan mengangguk,
"maaf, Nok. Sekiranya, apa yang bisa kami bantu?" tanya Rohmi.
"Ah, iya. Seperti biasa, aku minta tolong untuk mencuci
bajuku dan baju Mas Lukman, ya!"
"Baik, Nok Mina. Kalau begitu, kami undur diri ke
belakang," pamit Rohmi sopan.
"Silahkan. Terimakasih sebelumnya ya, Mbak."
"Sama-sama, Nok Mina. Senang bisa membantu."
Rohmi dan Tia berlalu ke belakang, sementara Mina berjalan
masuk ke kamarnya. Melangkah kearah meja riasnya. Membuka laci, dan mengambil
buku hariannya.
Duduk di kursi depan meja rias tersebut. Matanya terpejam,
sambil menghirup nafasnya yang terasa sedikit sempit, sesak.
Mina tahu, suaminya sangat mencintai dirinya, sorot mata
Lukman selalu memuja dan menatapnya penuh cinta kepadanya. Tapi, tetap saja.
Mina selalu merasa tak nyaman, jika tentang Anisa masih berefek kuat bagi cinta
halalnya.
Membuka halaman yang masih bersih tanpa coretan tinta,
tangan kirinya mengelus perut tidak ratanya itu, yang tiba-tiba melilit dan
keram.
Menghirup udara sebanyak-banyaknya, sebelum menggoyangkan
pena, untuk merangkai kata. Menumpahkan apa yang tengah dia rasakan.
'Mbak Anisa, maafkan aku!' Mina menengadahkan kepalanya,
berharap bulir bening itu tak jatuh dari pelupuk matanya. Sungguh, dia
kesakitan.
...........
PonPes Al-Zamil.
"Mbak Mila, bisa kerumah Gus Fakhri sekarang?"
Tubuh Mila menegang, tangannya mendadak bergetar, walau
sangat samar.
Dia menoleh kearah Anisa sambil memelas, "Mbak, please
..."
Anisa memegang kedua pundak Mila, menatap lurus mata coklat
itu, mencoba menembusnya, hanya ingin meyakinkan sahabatnya itu, bahwa semuanya
akan baik-baik saja.
"Dari kemarin Gus kecil itu uring-uringan, minta Mbak
Mila yang nyuciin bajunya, di tambah sekarang, ayahnya malah pergi ke kantor
meninggalkannya. Kasian Mbok Sum, yang menjadi sasaran kekesalannya," ucap
Anisa menjelaskan.
Mila menghela nafasnya, dia sungguh belum siap berpapasan
dengan Gus duda beranak satu itu. Tapi, ah ... Tadi? Apa katanya?
"Mbak Anisa bilang apa tadi? Ayahnya alias Gus Fakhri
pergi ke kantor? Kan ini hari sabtu, Mbak?"
"Justru, itulah sebabnya kenapa Gus Ihsan merasa kesal?
Karena ayahnya pergi ke kantor."
Mila termenung, kalau tak di turuti, kasian juga. Entah
karena dirinya terlalu baik, atau wajah Ihsan yang terlalu menggemaskan,
sehingga dia tak bisa menolak keinginan anak kecil tersebut. Pokoknya, Mila
selalu gak bisa nolak keinginannya itu.
Tapi, kalau dia menuruti, takut hanya jebakan betman belaka.
Keparnoannya, membuat Mila, tetap waspada siaga empat.
"Mbak Mila," Anisa kembali memanggil.
"Tapi, beneran kan? Ayahnya tidak ada di
rumahnya?"
"Dari tadi, emang tidak ada, Mbok Sum yang mengatakan
begitu. Tapi, alangkah lebih baik Mbak Mila meminta maaf saja, daripada terus
di hantui perasaan takut, setiap saat?"
"Justru itu, aku tak berani, Mbak Anisa," keluh Mila.
"Ya sudah. Sekarang, bisakah kita pergi? Hari sudah
mulai beranjak siang. Kita masih punya banyak pekerjaan, apalagi sekarang, Mbak
Rohmi dan Mbak Tia sedang kerumah Nok Mina."
"Baiklah, tapi beneran kan? Kalau Gus Fakhri tidak di
rumahnya?"
Anisa mengangguk, "iya, Mbak."
"Baiklah," Mila akhirnya mengalah.
Anisa menggandeng Mila sambil terus menepuk pundak temannya.
"Assalamu'alaikum."
Ihsan berjingkrak, kala mendengar suara Mila mengucapkan
salam. Namun, hanya sekejap saja. Setelahnya, dia sudah memasang wajah
cemberut, membuat orang percaya, kalau dirinya sedang merajuk. Padahal ... ?
"Wa'alaikumussalaam, mari Ning, masuk kedalam!"
terdengar suara Mbok Sum menyilahkan masuk.
"Assalamu'alaikum, Gus Ihsan," Mila menyapa.
Ihsan menoleh sedikit, juga hanya sebentar saja,
"Wa'alaikumussalaam," jawabnya singkat.
"Apa sekiranya yang bisa saya bantu, Gus?" tanya
Mila tanpa perlu basa-basi. Dia yakin, dirinya takkan bisa merayu Gus kecil
sedang dalam mood angry ini. Lebih baik cari amankan? Daripada ikut kena
semprotan.
Ihsan menatap lekat ke wajah Mila, membuat yang ditatap
berasa tak nyaman, mungkin sedikit was-was. 'Astagfirullah ... Baru juga
ditatap anaknya, sudah nervous duluan. Bagaimana nasibnya jika ditatap ayahnya?
Bisa bisa jantungan dia,' racau Mila dalam hatinya.
Mila menggelengkan kepalanya, ketika otaknya malah
membayangkan Fakhri yang sedang mengintimidasinya.
"Kemarin hari kamis, Note kemana? Kenapa tidak mau
membantu saya?" tanya Ihsan, setelah beberapa detik terdiam.
"A,anu ... Gus, saya waktu i,itu ..." 'Sangat
takut bertemu dengan ayahmu,' lanjut Mila dalam hatinya.
"Sudahlah! Mau cari alasan apapun juga, tidak bisa
mengembalikan waktu itu. Note tahu? Hari itu, si Mbok sakit encoknya kumat,
sehingga tidak bisa mencuci, makanya saya minta Note buat membantu kami. Karena
Note tidak mau membantu mencuci pakaian kami, maka terpaksa Papa yang mencuci.
Papa tidak masuk kantor hari itu, dan sekarang ... Papa harus kerja di hari
Sabtu, menggantikan hari Kamis itu," ucap Ihsan seperti sedang curhat.
Panjang dan lebar.
Mila langsung merasa bersalah, "maafkan saya,
Gus," hanya itu yang bisa dia ucapkan.
Bibir mungil itu terangkat keatas dengan samar, hanya
dirinya dan Alloh, juga para pembaca yang tahu, bahwa Ihsan tengah tersenyum.
Sedangkan Mila, tidak menyadarinya.
"Dimaafkan. Sekarang ayok bantu saya merapikan
pakaian!" jawab Ihsan antusias.
Mila langsung menatap Ihsan, "pakaian siapa, Gus?"
tanyanya penuh kewaspadaan.
"Pakaian saya, Note. Lihat!" jawab Ihsan sambil
menunjuk kamarnya yang tidak tertutup itu. Benar saja, sangat berantakan.
Mila berjalan kearah kamar Ihsan, mengikuti tuan kamar
tersebut. Melangkah, menghampiri pakaian yang benar-benar belum di rapikan
teronggok di atas kasur.
Mila memulai pekerjaannya, sementara Ihsan duduk tak jauh
dari sana.
"Note, kenapa waktu hari kamis Note tak mau membantu
kami?" tanya Ihsan.
Mila menghela nafasnya, 'sepertinya, Ihsan akan terus
bertanya,' "sebenarnya saya merasa takut, jika harus bertemu dengan Ayah
Gus Ihsan," akhirnya, Mila menjawab jujur.
"Takut pada Papa? Wajah Papa seram, ya?"
"Tidak samasekali," bantah Mila, "hanya saja,
saya mengaku telah berbuat kesalahan pada beliau."
"Kesalahan?"
"Iya."
"Kesalahan apa? Sangat besarkah? Sehingga membuat Note
merasa ketakutan."
Mila menghela nafasnya kembali. Haruskah ia curhat pada anak
kecil? Bisa-bisa Ihsan akan mengatakan langsung pada ayahnya nanti. Makin
berabe.
"Oia, Gus. Saya mendengar dari orang-orang, ayah Gus
ini mempunyai parfum yang tidak dimiliki orang lain. Apa betul?" Mila
lebih baik mengalihkan pembicaraannya, lagian semua kesalahan itu bermula dari
parfum tersebut bukan?
"Katanya sih, iya. Parfum yang saya berikan pada Note,
itu parfum milik Papa," jawab Ihsan tenang.
"APA?" Mila refleks menjerit. Tetap saja. Meski
dia sudah tahu. Tapi, mengetahui fakta secara langsung dari mulut tersangkanya,
membuat dia tak bisa merasa kalem-kalem bae.
"G,gus, ap,apa Papa anda tahu soal parfum yang anda
berikan pada saya itu?" tanya Mila makin terbata.
Masih dengan sikap tenangnya, Ihsan kembali mengangguk,
"saya katakan, bahwa Note sangat membutuhkannya."
"APPPAAAA." Mila bukan hanya berteriak, tapi
menjerit histeris. Tubuhnya langsung tegap berdiri. Matanya melotot kearah
Ihsan.
"Ck, Note, kenapa mesti berteriak sih? Apalagi dengan
pelototan itu, macam ibu tiri yang jahat saja."
Mila menganga, bagaimana dia tak histeris coba, jika dirinya
sedang di fitnah anak kecil.
Wajah Ihsan begitu tenang dan datar. Seolah tidak terjadi
apa-apa. Tapi, dalam hatinya, dia sedang terbahak, melihat perempuan yang
menurutnya sangat manis ini, pucat karena terkejut. Lagian, dia tidak bohong
kan? Apalagi memfitnah. Dia memang memberikan parfum itu, karena dia tahu,
bahwa Note-nya itu pasti akan membutuhkannya, jika alerginya kembali kambuh.
Apa dia salah?
"Ke,ke,kenapa bis,bis,bisa G,g,g,gus berkata
se,se,sep,seperti i,i,itu?" sungguh. Mila benar-benar seperti sosok IJAT
dalam serial IPAN DAN APIN. latah, seeelatah-latahnya.
"Not---" 'breem' ucapan Ihsan terhenti kala
mendengar suara mobil masuk ke pekarangan rumahnya. Dia beranjak, lalu
mengintip melalui jendela kamarnya.
"Papa? Kenapa Papa sudah pulang?" tanya Ihsan,
lebih pada dirinya sendiri. Merasa heran.
"APAAA?" 'tamatlah sudah, kau Milaaaaaaa' jerit
Mila menangis kejer.
Labels:
cerbung,
cerita humor,
cerpen,
hiburan,
puisi
Thanks for reading Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Siasat. Please share...!