Blog Kang One

Catatan Sederhana untuk Berbagi

Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Siasat




JODOH_SANG_DUDA_DIGERBANG_PESANTREN (18)

Judul : siasat Ihsan.2

JAKARTA.

'Toktoktok'

"Masuk!"

'Ceklek' "Selamat siang, Pak."

"Hmm."

"Ada yang ingin bertemu dengan Bapak."

"Persilahkan masuk!"

Orang tersebut menunduk, lalu melangkah kearah pintu, mempersilahkan tamu yang ingin bertemu dengan atasannya itu.

"Selamat siang, Pak Juand," sapa sang tamu.

Juanda, sang wakil Direktur di perusahaan keluarganya, menyambut uluran tangan tamu itu, "siang, silahkan duduk!"

"Pak Putra, tolong pesankan jamuan untuk tamu saya!" ucap Juand pada sekretarisnya.

"Baik, Pak. Saya undur diri."

Juand mengangguk sekali. Menunggu sampai Putra(sekretarisnya) benar-benar keluar.

"Jadi, apa yang kamu dapat sekarang?" Juand meninggalkan sikap formalnya ketika mereka sudah berdua saja.

"Aku mendapatkan laporan tentang penyelundup obat terlarang itu. Dia menyamar menjadi mahasiswa di kampus tempatmu mengajar."

Bibir Juand terangkat satu, "sudah kuduga."

Tamu itu menganga, "jadi, kamu sudah tahu?"

Juand melirik kearah tamu itu sekilas, "aku mencurigainya. Dan ternyata kecurigaanku benar."

Tamu itu mengangguk-anggukan kepalanya, "terus, apa rencanamu selanjutnya."

"Sedikit bermain, tentu saja. Kita ikuti permainannya. Dia berpura-pura, maka kita juga sama. Bersikap seperti biasa seolah tidak mengetahuinya."

Sang tamu kembali menganggukkan kepalanya.

"Rio, bagaimana tentang adikku?"

"Aku sudah--" 'toktoktok' ucapan Rio yang tak lain adalah tamu itu, terhenti karena suara pintu di ketuk.

''Masuk!''

'Ceklek' seorang OB masuk sambil membawa air serta cemilan.

"Aku sudah mengetahui lokasinya," Rio mengulang ucapannya, ketika mereka sudah berdua kembali.

"Dimana dia sekarang?"

"Di Jawa Timur. Tepatnya, di Kota Malang," jawab Rio, sambil menyodorkan map tentang Mila. Adik bosnya.

Juand mengernyitkan dahinya, dia kira Mila kembali kabur ke belahan dunia lainnya, ternyata balik ke Negaranya sendiri. Tapi, kenapa mesti Jawa Timur?

"Kali ini sebuah Pondok Pesantren menjadi destinasinya, dia menjadi salah satu santri di sana."

Juand menghela nafasnya, lebih baik seperti itu. Daripada hidup seorang diri di negri orang.

"Apa nama Pesantrennya?"

"Pesantren Al-Zamil."

Juand menautkan alisnya, seperti tidak asing baginya.

"Ok, thanks ya, Bro."

"Hmm, tapi meski urusan sudah selesai, kamu jangan dulu mengusirku, ya! Aku mau habisin jamuan ini, mubadzir," ucap Rio.

Juand tersenyum, "terserah," jawabnya. Dia berjalan menuju kursi kebesarannya kembali. Membuka amplop yang diberikan Rio. Seketika, senyumannya tersungging tipis di bibirnya. 'Pantas saja dia merasa tak asing.'

'Pluk' sesuatu terjatuh dari mejanya kala dirinya menaruh amplop. Memungutnya. Bibirnya kembali menyungging, ketika melihat apa yang jatuh barusan. 'Buku harian milik Zahra?' ah iya, Juand ingat, buku itu dia temukan yang tak sengaja Zahra jatuhkan, karena sedang terburu-buru keluar dari ruangan dosen kemarin.

Juand terkekeh, merasa lucu saja. Di Zaman Now, masih saja ada yang menulis curhatan di buku harian. Padahal sekarang tempat curhatan yang sedang booming, adalah medsos. Mungkin Zahra adalah type manusia Zaman Old.

Tak akan berdosa kan? Jika dirinya mengintip sedikit isi buku tersebut? Sepertinya gak akan. Kecuali jika Zahra mengetahuinya. 'Nona Zahra, saya izin membuka buku harianmu, ya!' ucap Juand dalam hati.

Juand membaca kata demi kata di buku harian Zahra, namun lengkungan bibirnya langsung menjadi datar kala matanya membaca deretan kalimat di dalamnya. Juand tersenyum kecut, 'menjadi manusia gagal move on huh?' gumamnya sinis. Melemparkan buku tersebut, kemudian berdiri sambil membawa kunci mobil.

"Hei, mau kemana?" Rio yang sedang asik makan, heran dengan tingkah laku bossnya.

"Aku mau cari angin dulu, di sini gerah," jawab Juand sambil berlalu pergi.

Rio mengerutkan dahinya heran. 'Aneh banget si Bos, kalau mau cari angin mah, kenapa gak nyalain kipas aja.'

Tak pedulikan urusan Bosnya, dia kembali melahap makanan di hadapannya.

................

Malang. Jawa Timur.

"Ini, Mas," ucap sang istri.

"Terimakasih, Sayang," jawab suaminya.

Sang istri, yang tak lain adalah Mina, cucu ke tiga dari Pak Kyai itu, mengangguk sambil tersenyum. Duduk di sebelah suaminya yang lagi fokus dengan tab di hadapannya.

Senyumannya tak pernah lepas dari bibir Mina. Suaminya. Lukman. Wajah tampan itu terlihat sangat fokus dan serius pada deretan hurup dan angka di hadapannya.

Tangannya mengusap lembut perutnya, kala merasakan tendangan samar dari dalam, 'kamu senang di dekat Ayah ya, Sayang?Ayahmu tampan, bukan?'

"Kenapa natap Mas serius banget? Terpesona, huh?" Lukman menggoda Mina, yang hanya dibalas senyuman malu-malu ala istrinya itu.

Lukman terkekeh, lalu mencubit hidung sang istri, "Mas selalu suka, melihat wajah cantikmu merah merona seperti ini, karena Mas."

"Iih .. Mas, kebiasaan deh, jail banget," ucap Mina pura-pura marah.

"Karena Mas, menyukainya. Wajah istri Mas meningkat berkali lipat cantiknya, jika sedang merona."

Mina menepuk pelan lengan suaminya.

"Mas."

"Ya, Sayang?"

"Semoga, anak kita berjenis kelamin laki-laki, ya!"

Lukman mengerutkan dahinya, "kenapa harus laki-laki?"

Mina cemberut, "ya, mau aja laki-laki. Di keluarga Kakek, hampir semuanya perempuan."

Lukman mengusap pipi istrinya penuh kasih sayang, "Mas tidak setuju kata-katamu, Sayang. Siapapun dia, Mas sangat menantikannya. Lagian, kalaupun bayi kita perempuan, Mas senang. Karena Mas yakin, akan secantik Mamanya, humm."

"Ish, Mas--"

"Sst! Kalau nanti bayi kita perempuan, kita akan berusaha kembali, bekerjasama lagi, terus-menerus, sampai mendapat bayi laki-laki," potong Lukman membawa Mina ke pelukannya.

Mina tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyumannya, 'bisakah aku sampai ke tahap itu?' lirih Mina getir dalam hatinya.

'Tingnong' suara bel rumah berbunyi.

"Siapa yang bertamu?" tanya Lukman.

"Mungkin santriwati yang aku pinta kesini," jawab Mina.

Terlihat pembantu rumah tangga mereka berjalan tergopoh menuju pintu utama.

"Mau di suruh apa memangnya?"

"Bukan di suruh, Mas. Tapi aku mau minta tolong. Aku kan tidak di izinin nyuci sama Mas."

"Kenapa tidak si Mbok saja yang nyuci?"

"Ehm, gak tahu. Pingin Mbak santri aja yang nyuci," jawab Mina singkat.

Terdengar suara langkah kaki mendekat kearah mereka berdua. Tiba-tiba, tubuh Lukman menegang, bahkan dia tidak menyadari, tangannya mengepal kuat di pergelangan istrinya.

"M,mas, sakit," lirih Mina hampir meringis.

Lukman yang mendengar lirihan istrinya, langsung melepaskan cekalannya. Dia terlihat sangat merasa bersalah, Mina tersenyum sambil menepuk tangan suaminya.

Lukman menutup matanya, jantungnya berdegup kencang. Dia tahu, senyuman istrinya, tidak sampai kematanya. Dia sudah ...

"Assalamu'alaikum, Nok Mina," seseorang mengucap salam.

Lukman langsung membalikkan badannya, kala mendengar suara itu. Matanya menatap nyalang kearah orang tersebut.

"Anda keluar dari area pesantren dengan menggunakan minyak wangi? Apa kalian tak sadar, siapa kalian itu?" Lukman mencerca orang tersebut, tanpa mempedulikan tubuh bergetar di hadapannya, karena amat ketakutan.

"Ma,maafkan ka,kami, Gus L,Lukman!" ucap orang itu bergetar.

"Mas, sudahlah! Itu semua salahku. Aku memanggil mereka mendadak, jadi mungkin mereka tidak sempat ganti baju dulu." Mina segera memotong niat Lukman yang akan kembali mencerca santriwati di hadapannya itu.

"Se,sebetulnya ka--"

'Ddrrt' pembelaan santri itu terhenti kala mendengar ponsel bergetar. Lukman membalikkan tubuhnya, dan segera menerima panggilan masuk.

"Assalaamu'alaikum, Gus."

"....."

"Sekarang?"

"...."

"Baiklah."

"......"

"Wa'alaikumussalaam." 'tut'

"Dari siapa, Mas?" tanya Mina.

"Gus Attar," jawab Lukman, "Sayang, Mas harus ke kantor sekarang."

Mina mengernyit, "ada apa?"

"Sebenarnya, hari kamis kemarin, Gus Attar tidak masuk, dan dia meninggalkan setumpuk pekerjaan yang katanya hari ini akan beliau kerjakan. Tapi, barusan dia bilang, dia ada urusan dengan Gus Fatah."

Mina sebenarnya ingin membantah, 'tak bisakah di hari senin saja?' Namun tentu itu hanya terucap di dalam hatinya. Terlebih, Mina melihat suaminya, sangat tidak nyaman sekarang ini. 'Mungkin Mas Lukman membutuhkan waktu sendiri.'

Tersenyum, lalu mengangguk, " kalau sudah selesai, cepat pulang, ya!"

Lukman menghampiri istrinya, "maaf, Sayang! Janji, Mas akan secepatnya pulang."

"Hati-hati, Mas."

"Tentu, InsyaAlloh. Mas pamit dulu, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam."

Lukman berlalu keluar rumah, terdengar suara mesin dinyalakan, hingga menghilang tak terdengar.

"Ma,maaf, Nok Mina! Ka,kami tak bermaksud se,seperti itu," ucap santriwati itu.

"Tidak apa-apa. Jangan di ambil hati ucapan suamiku, Mbak Rohmi, Mbak Tia. Maafkan Mas Lukman, ya! Itu, karena beliau sangat peduli pada kalian," jawab Mina lembut.

Mina menghampiri Rohmi dan Tia, memeluk keduanya erat. Matanya ia pejamkan, menghirup wangi yang sangat ia sukai. Aroma khas suaminya. Jilo-Strawberry.

"Wangi kalian enak banget, aku sangat menyukainya," ucap Mina tersenyum.

"Se,sebenarnya, ini bukan milik kami, Nok Mina. Tapi, milik Mbak Nisa. Kami memakainya Shubuh tadi. Dan ternyata wanginya awet sekali," jawab Rohmi masih terbata. Dia masih syok. Bagaimana tidak? Rohmi baru kali ini bertemu dengan Gus Lukman secara live, dan sekalinya bertemu, dia dan Tia langsung mendapatkan cercaan pedas. 'Ternyata Gus Lukman sangat garang,' monolognya dalam hati.

"Jangan takut! Sebenarnya Mas Lukman sangat romantis, Kok," canda Mina, berharap Rohmi dan Tia sedikit rileks.

Rohmi dan Tia hanya mampu tersenyum, dan mengangguk, "maaf, Nok. Sekiranya, apa yang bisa kami bantu?" tanya Rohmi.

"Ah, iya. Seperti biasa, aku minta tolong untuk mencuci bajuku dan baju Mas Lukman, ya!"

"Baik, Nok Mina. Kalau begitu, kami undur diri ke belakang," pamit Rohmi sopan.

"Silahkan. Terimakasih sebelumnya ya, Mbak."

"Sama-sama, Nok Mina. Senang bisa membantu."

Rohmi dan Tia berlalu ke belakang, sementara Mina berjalan masuk ke kamarnya. Melangkah kearah meja riasnya. Membuka laci, dan mengambil buku hariannya.

Duduk di kursi depan meja rias tersebut. Matanya terpejam, sambil menghirup nafasnya yang terasa sedikit sempit, sesak.

Mina tahu, suaminya sangat mencintai dirinya, sorot mata Lukman selalu memuja dan menatapnya penuh cinta kepadanya. Tapi, tetap saja. Mina selalu merasa tak nyaman, jika tentang Anisa masih berefek kuat bagi cinta halalnya.

Membuka halaman yang masih bersih tanpa coretan tinta, tangan kirinya mengelus perut tidak ratanya itu, yang tiba-tiba melilit dan keram.

Menghirup udara sebanyak-banyaknya, sebelum menggoyangkan pena, untuk merangkai kata. Menumpahkan apa yang tengah dia rasakan.

'Mbak Anisa, maafkan aku!' Mina menengadahkan kepalanya, berharap bulir bening itu tak jatuh dari pelupuk matanya. Sungguh, dia kesakitan.

...........

PonPes Al-Zamil.

"Mbak Mila, bisa kerumah Gus Fakhri sekarang?"

Tubuh Mila menegang, tangannya mendadak bergetar, walau sangat samar.

Dia menoleh kearah Anisa sambil memelas, "Mbak, please ..."

Anisa memegang kedua pundak Mila, menatap lurus mata coklat itu, mencoba menembusnya, hanya ingin meyakinkan sahabatnya itu, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Dari kemarin Gus kecil itu uring-uringan, minta Mbak Mila yang nyuciin bajunya, di tambah sekarang, ayahnya malah pergi ke kantor meninggalkannya. Kasian Mbok Sum, yang menjadi sasaran kekesalannya," ucap Anisa menjelaskan.

Mila menghela nafasnya, dia sungguh belum siap berpapasan dengan Gus duda beranak satu itu. Tapi, ah ... Tadi? Apa katanya?

"Mbak Anisa bilang apa tadi? Ayahnya alias Gus Fakhri pergi ke kantor? Kan ini hari sabtu, Mbak?"

"Justru, itulah sebabnya kenapa Gus Ihsan merasa kesal? Karena ayahnya pergi ke kantor."

Mila termenung, kalau tak di turuti, kasian juga. Entah karena dirinya terlalu baik, atau wajah Ihsan yang terlalu menggemaskan, sehingga dia tak bisa menolak keinginan anak kecil tersebut. Pokoknya, Mila selalu gak bisa nolak keinginannya itu.

Tapi, kalau dia menuruti, takut hanya jebakan betman belaka. Keparnoannya, membuat Mila, tetap waspada siaga empat.

"Mbak Mila," Anisa kembali memanggil.

"Tapi, beneran kan? Ayahnya tidak ada di rumahnya?"

"Dari tadi, emang tidak ada, Mbok Sum yang mengatakan begitu. Tapi, alangkah lebih baik Mbak Mila meminta maaf saja, daripada terus di hantui perasaan takut, setiap saat?"

"Justru itu, aku tak berani, Mbak Anisa," keluh Mila.

"Ya sudah. Sekarang, bisakah kita pergi? Hari sudah mulai beranjak siang. Kita masih punya banyak pekerjaan, apalagi sekarang, Mbak Rohmi dan Mbak Tia sedang kerumah Nok Mina."

"Baiklah, tapi beneran kan? Kalau Gus Fakhri tidak di rumahnya?"

Anisa mengangguk, "iya, Mbak."

"Baiklah," Mila akhirnya mengalah.

Anisa menggandeng Mila sambil terus menepuk pundak temannya.

"Assalamu'alaikum."

Ihsan berjingkrak, kala mendengar suara Mila mengucapkan salam. Namun, hanya sekejap saja. Setelahnya, dia sudah memasang wajah cemberut, membuat orang percaya, kalau dirinya sedang merajuk. Padahal ... ?

"Wa'alaikumussalaam, mari Ning, masuk kedalam!" terdengar suara Mbok Sum menyilahkan masuk.

"Assalamu'alaikum, Gus Ihsan," Mila menyapa.

Ihsan menoleh sedikit, juga hanya sebentar saja, "Wa'alaikumussalaam," jawabnya singkat.

"Apa sekiranya yang bisa saya bantu, Gus?" tanya Mila tanpa perlu basa-basi. Dia yakin, dirinya takkan bisa merayu Gus kecil sedang dalam mood angry ini. Lebih baik cari amankan? Daripada ikut kena semprotan.

Ihsan menatap lekat ke wajah Mila, membuat yang ditatap berasa tak nyaman, mungkin sedikit was-was. 'Astagfirullah ... Baru juga ditatap anaknya, sudah nervous duluan. Bagaimana nasibnya jika ditatap ayahnya? Bisa bisa jantungan dia,' racau Mila dalam hatinya.

Mila menggelengkan kepalanya, ketika otaknya malah membayangkan Fakhri yang sedang mengintimidasinya.

"Kemarin hari kamis, Note kemana? Kenapa tidak mau membantu saya?" tanya Ihsan, setelah beberapa detik terdiam.

"A,anu ... Gus, saya waktu i,itu ..." 'Sangat takut bertemu dengan ayahmu,' lanjut Mila dalam hatinya.

"Sudahlah! Mau cari alasan apapun juga, tidak bisa mengembalikan waktu itu. Note tahu? Hari itu, si Mbok sakit encoknya kumat, sehingga tidak bisa mencuci, makanya saya minta Note buat membantu kami. Karena Note tidak mau membantu mencuci pakaian kami, maka terpaksa Papa yang mencuci. Papa tidak masuk kantor hari itu, dan sekarang ... Papa harus kerja di hari Sabtu, menggantikan hari Kamis itu," ucap Ihsan seperti sedang curhat. Panjang dan lebar.

Mila langsung merasa bersalah, "maafkan saya, Gus," hanya itu yang bisa dia ucapkan.

Bibir mungil itu terangkat keatas dengan samar, hanya dirinya dan Alloh, juga para pembaca yang tahu, bahwa Ihsan tengah tersenyum. Sedangkan Mila, tidak menyadarinya.

"Dimaafkan. Sekarang ayok bantu saya merapikan pakaian!" jawab Ihsan antusias.

Mila langsung menatap Ihsan, "pakaian siapa, Gus?" tanyanya penuh kewaspadaan.

"Pakaian saya, Note. Lihat!" jawab Ihsan sambil menunjuk kamarnya yang tidak tertutup itu. Benar saja, sangat berantakan.

Mila berjalan kearah kamar Ihsan, mengikuti tuan kamar tersebut. Melangkah, menghampiri pakaian yang benar-benar belum di rapikan teronggok di atas kasur.

Mila memulai pekerjaannya, sementara Ihsan duduk tak jauh dari sana.

"Note, kenapa waktu hari kamis Note tak mau membantu kami?" tanya Ihsan.

Mila menghela nafasnya, 'sepertinya, Ihsan akan terus bertanya,' "sebenarnya saya merasa takut, jika harus bertemu dengan Ayah Gus Ihsan," akhirnya, Mila menjawab jujur.

"Takut pada Papa? Wajah Papa seram, ya?"

"Tidak samasekali," bantah Mila, "hanya saja, saya mengaku telah berbuat kesalahan pada beliau."

"Kesalahan?"

"Iya."

"Kesalahan apa? Sangat besarkah? Sehingga membuat Note merasa ketakutan."

Mila menghela nafasnya kembali. Haruskah ia curhat pada anak kecil? Bisa-bisa Ihsan akan mengatakan langsung pada ayahnya nanti. Makin berabe.

"Oia, Gus. Saya mendengar dari orang-orang, ayah Gus ini mempunyai parfum yang tidak dimiliki orang lain. Apa betul?" Mila lebih baik mengalihkan pembicaraannya, lagian semua kesalahan itu bermula dari parfum tersebut bukan?

"Katanya sih, iya. Parfum yang saya berikan pada Note, itu parfum milik Papa," jawab Ihsan tenang.

"APA?" Mila refleks menjerit. Tetap saja. Meski dia sudah tahu. Tapi, mengetahui fakta secara langsung dari mulut tersangkanya, membuat dia tak bisa merasa kalem-kalem bae.

"G,gus, ap,apa Papa anda tahu soal parfum yang anda berikan pada saya itu?" tanya Mila makin terbata.

Masih dengan sikap tenangnya, Ihsan kembali mengangguk, "saya katakan, bahwa Note sangat membutuhkannya."

"APPPAAAA." Mila bukan hanya berteriak, tapi menjerit histeris. Tubuhnya langsung tegap berdiri. Matanya melotot kearah Ihsan.

"Ck, Note, kenapa mesti berteriak sih? Apalagi dengan pelototan itu, macam ibu tiri yang jahat saja."

Mila menganga, bagaimana dia tak histeris coba, jika dirinya sedang di fitnah anak kecil.

Wajah Ihsan begitu tenang dan datar. Seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi, dalam hatinya, dia sedang terbahak, melihat perempuan yang menurutnya sangat manis ini, pucat karena terkejut. Lagian, dia tidak bohong kan? Apalagi memfitnah. Dia memang memberikan parfum itu, karena dia tahu, bahwa Note-nya itu pasti akan membutuhkannya, jika alerginya kembali kambuh. Apa dia salah?

"Ke,ke,kenapa bis,bis,bisa G,g,g,gus berkata se,se,sep,seperti i,i,itu?" sungguh. Mila benar-benar seperti sosok IJAT dalam serial IPAN DAN APIN. latah, seeelatah-latahnya.

"Not---" 'breem' ucapan Ihsan terhenti kala mendengar suara mobil masuk ke pekarangan rumahnya. Dia beranjak, lalu mengintip melalui jendela kamarnya.

"Papa? Kenapa Papa sudah pulang?" tanya Ihsan, lebih pada dirinya sendiri. Merasa heran.

"APAAA?" 'tamatlah sudah, kau Milaaaaaaa' jerit Mila menangis kejer.

Labels: cerbung, cerita humor, cerpen, hiburan, puisi

Thanks for reading Cerbung : Jodoh Sang Duda Eps. Siasat. Please share...!

Back To Top