Posted by
One_Esc on
Friday, September 27, 2019
Proses Masuknya Hindu ke
Indonesia
Ada beberapa hipotesis
yang dikemukakan para ahli tentang proses masuknya budaya Hindu-Buddha ke
Indonesia.
1. Hipotesis Brahmana
1. Hipotesis Brahmana
Hipotesis ini
mengungkapkan bahwa kaum brahmana amat berperan dalam upaya penyebaran budaya
Hindu di Indonesia. Para brahmana mendapat undangan dari penguasa Indonesia
untuk menobatkan raja dan memimpin upacara-upacara keagamaan. Pendukung
hipotesis ini adalah Van Leur.
2. Hipotesis Ksatria
2. Hipotesis Ksatria
Pada hipotesis ksatria,
peranan penyebaran agama dan budaya Hindu dilakukan oleh kaum ksatria. Menurut
hipotesis ini, di masa lampau di India sering terjadi peperangan antargolongan
di dalam masyarakat. Para prajurit yang kalah atau jenuh menghadapi perang,
lantas meninggalkan India. Rupanya, diantara mereka ada pula yang sampai ke
wilayah Indonesia. Mereka inilah yang kemudian berusaha mendirikan
koloni-koloni baru sebagai tempat tinggalnya. Di tempat itu pula terjadi proses
penyebaran agama dan budaya Hindu. F.D.K. Bosch adalah salah seorang pendukung hipotesis
ksatria.
3. Hipotesis Waisya
Menurut para pendukung
hipotesis waisya, kaum waisya yang berasal dari kelompok pedagang telah
berperan dalam menyebarkan budaya Hindu ke Nusantara. Para pedagang banyak
berhubungan dengan para penguasa beserta rakyatnya. Jalinan hubungan itu telah
membuka peluang bagi terjadinya proses penyebaran budaya Hindu. N.J. Krom
adalah salah satu pendukung dari hipotesis waisya.
4. Hipotesis Sudra
4. Hipotesis Sudra
Von van Faber
mengungkapkan bahwa peperangan yang tejadi di India telah menyebabkan golongan
sudra menjadi orang buangan. Mereka kemudian meninggalkan India dengan
mengikuti kaum waisya. Dengan jumlah yang besar, diduga golongan sudralah yang
memberi andil dalam penyebaran budaya Hindu ke Nusantara.
Selain pendapat di atas, para ahli menduga banyak pemuda di wilayah Indonesia yang belajar agama Hindu dan Buddha ke India. Di perantauan mereka mendirikan organisasi yang disebut Sanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali untuk menyebarkannya. Pendapat semacam ini disebut Teori Arus Balik.
Selain pendapat di atas, para ahli menduga banyak pemuda di wilayah Indonesia yang belajar agama Hindu dan Buddha ke India. Di perantauan mereka mendirikan organisasi yang disebut Sanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali untuk menyebarkannya. Pendapat semacam ini disebut Teori Arus Balik.
Pada umumnya para ahli cenderung kepada
pendapat yang menyatakan bahwa masuknya budaya Hindu ke Indonesia itu dibawa
dan disebarluaskan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Bukti tertua pengaruh
budaya India di Indonesia adalah penemuan arca perunggu Buddha di daerah
Sempaga (Sulawesi Selatan). Dilihat dari bentuknya, arca ini mempunyai langgam
yang sama dengan arca yang dibuat di Amarawati (India). Para ahli
memperkirakan, arca Buddha tersebut merupakan barang dagangan atau barang persembahan
untuk bangunan suci agama Buddha. Selain itu, banyak pula ditemukan prasasti
tertua dalam bahasa Sanskerta dan Malayu kuno. Berita yang disampaikan
prasasti-prasasti itu memberi petunjuk bahwa budaya Hindu menyebar di Kerajaan
Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.
Proses masuknya Budha ke
Indonesia
Masuknya agama Buddha di
Indonesia terjadi sekitar awal abad pertama atau saat dimulainya perdagangan
melalui jalur laut. Kerajaan Srivijaya (Sriwijaya) merupakan asal mula peranan
kehidupan Agama Buddha di Indonesia, dimulai pada zaman Srivijaya di
Suvarnadvipa (Sumatera) pada abad ke-7. Hal ini terlihat pada catatan seorang
sarjana dari China bernama I-Tsing yang melakukan perjalanan ke India dan
Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha di sana. Biarawan Buddha
lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang Profesor
dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari
India Selatan.
Selain kerajaan Sriwijaya,
masih banyak kerajaan-kerajaan lain yang bercorak Buddha di Indonesia, seperti
kerajaan Tarumanegara, Mataram kuno, dan lain sebagainya. Semua kerajaan itu
berperan dalam proses perkembangan agama Buddha di Indonesia, pengaruh India
pada masa kerajaan-kerajaan itu sangat terasa.
Di Jawa juga berdiri kerajaan
Buddha yaitu kerajaan Syailendra, tepatnya sekarang berada di Jawa Tengah,
meskipun tidak sebesar kerajaan Sriwijaya, kerajaan ini meninggalkan beberapa
peninggalan penting yaitu candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga
sekarang, salah satunya adalah Candi Borobudur, warisan kebudayaan bangsa yang
amat kita banggakan dan termasuk salah satu dari keajaiban dunia.
Candi ini adalah cerminan
kejayaan agama Buddha di zaman lampau. Selain itu ditemukan juga lempengan batu
berwarna di satu puing rumah bata yang diperkirakan kamar Bhiksu Buddha.
Lempengan batu itu berisi 2 syair Buddhist dalam bahasa Sansekerta yang ditulis
dengan huruf Pallawa.
Namun pada perkembagannya
kini, pengaruh India kian memudar. Justru pengaruh dari negeri Tionghoa lah
yang paling mendominasi agama Buddha sampai saat ini, terbukti dari bentuk
bentuk patung, tempat sembahyangnya, maupun seluruh ornamen dalam Agama Buddha
saat ini lebih didominasi unsur Tionghoa ketimbang India.
Hal ini di sebabkan oleh
banyaknya orang Tionghoa beragama Buddha yang berdagang di Indonesia sejak
zaman dahulu, sehingga proses perkembangan Agama Buddha lebih banyak di
dominasi oleh kebudayaan orang Tionghoa ketimbang dari India.
Di masa pemerintahan
Sriwijaya, Syailendra dan Majapahit, agama Buddha berkembang dengan pesat di
Indonesia. Bahkan, Sriwijaya menjadi pusat pendidikan Buddhis terkenal pada
masa itu.
Dari India, agama Buddha
menyebar ke SriLanka. Dari India dan SriLanka, agama Buddha menyebar ke Asia
Tenggara dan sekarang berakar kuat di Thailand dan Myanmar lalu Indonesia.
Akulturasi agama Buddha dengan
kebudayaan masyarakat setempat di Indonesia tercermin lewat bangunan
candi-candi bercorak Buddhis yang dibangun dengan megah pada masa pemerintahan
raja-raja wangsa Syailendra. Pembangunan candi-candi Buddhis seperti Borobudur,
Mendut dan Pawon menunjukkan kebudayaan bangsa kita yang sangat tinggi pada
saat itu.
Pengaruh unsur budaya Hindu
kedalam aspek kehidupan bangsa Indonesia
Akulturasi kebudayaan yaitu
suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan
kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan baru yang merupakan
hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian/ciri khasnya.
Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus
seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan
kebudayaan Indonesia asli.
Contoh hasil akulturasi antara
kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia asli sebagai berikut.
1. Seni Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan candi
di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya
Hindu-Buddha dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah,
patung-patung perwujudan dewa atau Buddha, serta bagian-bagian candi dan stupa
adalah unsur-unsur dari India. Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya
adalah punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan
salah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut.
2. Seni Rupa dan Seni Ukir
Masuknya pengaruh India juga
membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir. Hal ini
dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dinding-dinding
candi. Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan di
Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha. Di sekitar Sang Buddha
terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan burung merpati.
Pada relief kala makara pada
candi dibuat sangat indah. Hiasan relief kala makara, dasarnya adalah motif
binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum
Hindu. Binatang-binatang itu dipandang suci, maka sering diabadikan dengan cara
di lukis.
3. Seni Pertunjukan
Menurut JLA Brandes, gamelan
merupakan satu diantara seni pertunjukan asli yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia sebelum masuknya unsur-unsur budaya India. Selama waktu berabad-abad gamelan
juga mengalami perkembangan dengan masuknya unsur-unsur budaya baru baik dalam
bentuk maupun kualitasnya. Gambaran mengenai bentuk gamelan Jawa kuno masa
Majapahit dapat dilihat pada beberapa sumber, antara lain prasasti dan kitab kesusastraan.
Macam-macam gamelan dapat dikelompokkan dalam chordaphones, aerophones,
membranophones, tidophones, dan xylophones.
4. Seni Sastra dan Aksara
Pengaruh India membawa
perkembangan seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada yang berbentuk
prosa dan ada yang berbentuk tembang (puisi). Berdasarkan isinya, kesusastraan dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum,
dan wiracarita (kepahlawanan). Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di
Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul wiracarita
hasil gubahan dari para pujangga Indonesia. Misalnya, Baratayuda yang digubah
oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya cerita-cerita Carangan.
Berkembangnya karya sastra
terutama yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni
pertunjukan wayang kulit (wayang purwa). Pertunjukan wayang kulit di Indonesia,
khususnya di Jawa sudah begitu mendarah daging. Isi dan cerita pertunjukan
wayang banyak mengandung nilai-nilai yang bersifat edukatif (pendidikan).
Cerita dalam pertunjukan wayang berasal dari India, tetapi wayangnya asli dari
Indonesia. Seni pahat dan ragam luas yang ada pada wayang disesuaikan dengan
seni di Indonesia.
Di samping bentuk dan ragam
hias wayang, muncul pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya
tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, dan Petruk. Tokoh-tokoh ini tidak
ditemukan di India. Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh
penggunaan huruf pallawa, misalnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno. Pada
prasasti-prasasti yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur budaya
Indonesia. Misalnya, ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan huruf Bali Kuno
(Indonesia).
Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha
di Indonesia meninggalkan beberapa prasasti yang sebagian besar berhuruf
Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Dalam perkembangan selanjutnya bahkan hingga
saat ini, bahasa Indonesia memperkaya diri dengan bahasa Sanskerta itu. Kalimat
atau kata-kata bahasa Indonesia yang merupakan hasil serapan dari bahasa
Sanskerta, yaitu Pancasila, Dasa Dharma, Kartika Eka Paksi, Parasamya
Purnakarya Nugraha, dan sebagainya.
Berkembangnya pengaruh India
di Indonesia membawa kemajuan besar dalam bidang sastra. Karya sastra terkenal
yang mereka bawa adalah kitab Ramayana dan Mahabharata. Adanya kitab-kitab itu
memacu para pujangga Indonesia untuk menghasilkan karya sendiri. Karya-karya
sastra yang muncul di Indonesia adalah:
1. Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa,
2. Sutasoma, karya Mpu Tantular, dan
3. Negarakertagama, karya Mpu Prapanca
5. Sistem Kepercayaan
Sejak masa praaksara,
orang-orang di Kepulauan Indonesia sudah mengenal simbol-simbol yang bermakna filosofis.
Sebagai contoh, kalau ada orang meninggal, di dalam kuburnya disertakan
benda-benda. Di antara benda-benda itu ada lukisan orang naik perahu, ini
memberikan makna bahwa orang yang sudah meninggal tersebut rohnya akan
melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yang membahagiakan yaitu alam baka.
Masyarakat waktu itu sudah
percaya adanya kehidupan sesudah mati, yakni sebagai roh halus. Oleh karena
itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih hidup (animisme). Setelah
masuknya pengaruh India kepercayaan terhadap roh halus tidak punah. Misalnya
dapat dilihat pada fungsi candi. Fungsi candi atau kuil di India adalah sebagai
tempat pemujaan.
Di Indonesia, di samping
sebagai tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu
jenazah raja yang telah meninggal. Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan
abu jenazah raja didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa yang dipujanya.
Ini jelas merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan tradisi
pemakaman dan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia.
Bentuk bangunan lingga dan
yoni juga merupakan tempat pemujaan terutama bagi orang-orang Hindu penganut
Syiwaisme. Lingga adalah lambang Dewa Syiwa. Secara filosofis lingga dan yoni
adalah lambang kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga lambang laki-laki dan
yoni lambang perempuan.
6. Sistem Pemerintahan
Setelah datangnya pengaruh
India di Kepulauan Indonesia, dikenal adanya sistem pemerintahan secara
sederhana. Pemerintahan yang dimaksud adalah semacam pemerintah di suatu desa
atau daerah tertentu. Rakyat mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala
suku. Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah tua
(senior), arif, dapat membimbing, memiliki kelebihan-kelebihan tertentu
termasuk dalam bidang ekonomi, berwibawa, serta memiliki semacam kekuatan gaib (kesaktian).
Setelah pengaruh India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja dan
wilayahnya disebut kerajaan. Hal ini secara jelas terjadi di Kutai.
Salah satu bukti akulturasi
dalam bidang pemerintahan, misalnya seorang raja harus berwibawa dan dipandang
bila sang raja memiliki kekuatan gaib seperti pada pemimpin masa sebelum Hindu-Buddha.
Karena raja memiliki kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang dekat
dengan dewa. Raja kemudian disembah, dan kalau sudah meninggal, rohnya
dipuja-puja.
7. Arsitektur
Bentuk alkulturasi budaya lain
yang dapat dilihat hingga saat ini adalah arsitektur pada bangunan-bangunan
keagamanan. Bangunan keagamaan berupa candi atau arca sangat dikenal pada masa
Hindu-Buddha. Hal ini terlihat pada sosok bangunan sacral peninggalan Hindu
seperti Candi Sewu, Candi Gedungsongo, dan masih banyak lagi. Juga bangunan
pertapaan – wihara merupakan bangunan berundak. Bangunan ini dapat dilihat pada
beberapa Candi Plaosan, Candi Jalatunda, Candi Tikus, dan masih banyak lagi.
Bentuk lain berupa stupa berundak yang dapat dilihat pada bangunan Borobudur.
Di samping itu juga terdapat bangunan Gua, seperti Gua Selomangkleng Kediri,
dan Gua Gajah. Bangunan lainnya dapat berupa gapura paduraksa seperti Candi
Bajangratu, Candi Jedong, dan Candi Plumbangan.
Bangunan suci berundak itu
sebenarnya sudah berkembang subur dalam zaman praaksara, sebagai penggambaran
dari alam semesta yang bertingkat-tingkat. Tingkat paling atas adalah tempat persemayaman
roh nenek moyang. Punden berundak itu menjadi sarana khusus untuk
persembahyangan dalam rangka pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Pemikiran dasar dan filsafat
yang melandasi kepercayaan ini terus hidup di dalam alam kehidupan, meskipun
tidak begitu tampil di permukaan. Sebagai lokal genius yang menentukan arah perkembangan
kebudayaan Indonesia dalam mengolah pengaruh Hindu-Buddha maka unsur-unsur
praaksara itu makin Nampak pengaruhnya. Ungkapan-ungkapan seperti candi,
misalnya dipahami maknanya hanya sebagai pemujaan roh nenek moyang.
Alas atau kaki candi berbentuk
persegi/bujursangkar, berketinggian menyerupai batur dan dicapai melalui tangga
yang langsung dapat menuju bilik candi. Di tengah kaki candi terdapat perigi
tempat menanam peripih. Bagian kaki candi disimbolkan sebagai Bhurloka dalam
ajaran Hindu atau Kamaloka dalam ajaran Buddha.
Denah bagian tubuh candi pada
umumnya berdimensi lebih kecil dari alasnya, sehingga membentuk serambi. Bagian
tubuh ini dapat berbentuk kubus atau silinder yang berisi satu atau empat bilik.
Pada candi Hindu lubang perigi yang ditutup yoni terdapat di tengah bilik
utama, dinding luar terdapat relung-relung yang isi arca. Pada bagian atas
setiap pintu masuk candi dihiasi kepala kala yang dikenal sebagai banaspati,
yaitu lambang penjaga.
Bagian atap candi selalu
terdiri dari susunan tingkatan yang mengkecil ke atas, dan diakhiri dengan
mahkota. Mahkota ini dapat berupa stupa, lingga, ratna, atau berbentuk kubus.
Bagian atap candi disimbolkan sebagai tempat persemayaman dewa. Khusus untuk
candi-candi Buddha menggunakan stupa sebagai elemennya.
Secara keseluruhan candi menggambarkan hubungan makrokosmos atau alam
semesta yang dibagi menjadi tiga, yaitu alam bawah tempat manusia yang masih
mempunyai nafsu, alam antara tempat manusia telah meninggalkan keduniawian dan dalam
keadaan suci menemui Tuhannya, dan alam atas tempat dewa-dewa.dari berbagai sumber
Labels:
hindu budha,
sejarah
Thanks for reading Materi Sejarah 3b : Perkembangan HIndu Budha di Indonesia. Please share...!