Posted by
One_Esc on
Monday, November 4, 2019
Sistem Tanam Paksa Oleh
Pemerintah Hindia Belanda
A.
Latar Belakang Sistem Tanam
Paksa
Pemerintah Belanda terus mencari cara bagaimana
untuk mengatasi problem ekonomi. Berbagai pendapat mulai dilontarkan oleh para
para pemimpin dan tokoh masyarakat. Salah satunya pada tahun 1829 seorang tokoh
bernama Johannes Van den Bosch mengajukan kepada raja Belanda usulan yang berkaitan
dengan cara melaksanakan politik kolonial Belanda di Hindia.
Van den Bosch berpendapat untuk memperbaiki ekonomi,
di tanah jajahan harus dilakukan penanaman tanaman yang dapat laku dijual di
pasar dunia. Sesuai dengan keadaan di negeri jajahan, maka penanaman dilakukan dengan
paksa. Mereka menggunakan konsep daerah jajahan sebagai tempat mengambil
keuntungan bagi negeri induk. Seperti dikatakan Baud, Jawa adalah “gabus tempat
Nederland mengapung”. Jadi dengan kata lain Jawa dipandang sebagai sapi
perahan.
Konsep Bosch itulah yang kemudian dikenal dengan
Cultuurstelsel (Tanam Paksa). Dengan cara ini diharapkan perekonomian Belanda
dapat dengan cepat pulih dan semakin meningkat. Bahkan dalam salah satu tulisan
Van den Bosch membuat suatu perkiraan bahwa dengan Tanam Paksa, hasil tanaman ekspor
dapat ditingkatkan sebanyak kurang lebih f.15. sampai f.20 juta setiap tahun.
Van den Bosch menyatakan bahwa cara paksaan seperti yang pernah dilakukan VOC
adalah cara yang terbaik untuk memperoleh tanaman ekspor untuk pasaran Eropa.
Dengan membawa dan memperdagangkan hasil tanaman sebanyak-banyaknya ke Eropa,
maka akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar.
B.
Ketentuan Tanam Paksa
Raja Willem tertarik serta setuju dengan usulan dan
perkiraan Van den Bosch tersebut. Tahun 1830 Van den Bosch diangkat sebagai
Gubernur Jenderal baru di Jawa. Setelah sampai di Jawa Van den Bosch segera
mencanangkan sistem dan program Tanam Paksa. Secara umum Tanam Paksa mewajibkan
para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang dapat diekspor di pasaran dunia.
Jenis tanaman itu di samping kopi juga antara lain tembakau, tebu, dan nila.
Rakyat kemudian diwajibkan membayar pajak dalam bentuk barang sesuai dengan
hasil tanaman yang ditanam petani.
Gambar 1.20 Van den Bosch.
Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu
termuat pada Lembaran Negara (Staatsblad)
Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara
lain sebagai berikut.
1.
Penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa.
2. Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa
tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk
desa.
3. Waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa
tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4.
Tanah yang disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran
pajak tanah.
5.
Hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan
kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir
melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan
dikembalikan kepada rakyat.
6.
Kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi
tanggungan pemerintah.
7. Penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa
berada di bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang
pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum.
8. Penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik
milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun.
Menurut apa yang tertulis di dalam
ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tampaknya tidak terlalu memberatkan
rakyat. Bahkan pada prinsipnya rakyat boleh mengajukan keberatan-keberatan
apabila memang tidak dapat melaksanakan sesuai dengan ketentuan. Ini artinya
ketentuan Tanam Paksa itu masih memperhatikan martabat dan nilai-nilai
kemanusiaan.
C.
Pelaksanaan Tanam Paksa
Menurut Van den Bosch, pelaksanaan sistem Tanam
Paksa harus menggunakan organisasi desa. Oleh karena itu, diperlukan faktor
penggerak, yakni lembaga organisasi dan tradisi desa yang dipimpin oleh kepala
desa. Berkaitan dengan itu pengerahan tenaga kerja melalui kegiatan seperti
sambatan, gotong royong maupun gugur gunung, merupakan usaha yang tepat untuk dilaksanakan.
Dalam hal ini peran kepala desa sangat sentral. Kepala desa di samping sebagai
penggerak para petani, juga sebagai penghubung dengan atasan dan pejabat pemerintah.
Oleh karena posisi yang begitu penting itu maka kepala desa tetap berada di
bawah pengaruh dan pengawasan para pamong praja.
Yang jelas pelaksanaan Tanam
Paksa itu tidak sesuai dengan peraturan yang tertulis. Hal ini telah mendorong
terjadinya tindak korupsi dari para pegawai dan pejabat yang terkait dengan
pelaksanaan Tanam Paksa. Tanam Paksa telah membawa penderitaan rakyat. Banyak
pekerja yang jatuh sakit. Mereka dipaksa fokus bekerja untuk Tanam Paksa,
sehingga nasib diri sendiri dan keluarganya tidak terurus. Bahkan kemudian
timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah. Misalnya di Cirebon
(1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan pada tahun 1850.
Sementara itu dengan pelaksanaan Tanam Paksa ini
Belanda telah mengeruk keuntungan dan kekayaan dari tanah Hindia. Dari tahun
1831 hingga tahun 1877 perbendaharaan kerajaan Belanda telah mencapai 832 juta
gulden, utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu dan benteng pertahanan dibangun.
Belanda menikmati keuntungan di atas penderitaan sesame manusia. Memang harus
diakui beberapa manfaat adanya Tanam Paksa, misalnya, dikenalkannya beberapa
jenis tanaman baru yang menjadi tanaman ekspor, dibangunnya berbagai saluran
irigasi, dan juga dibangunnya jaringan rel kereta api. Beberapa hal ini sangat
berarti dalam kehidupan masyarakat kelak.
c. Sistem
usaha swasta
Pelaksanaan Tanam Paksa memang telah berhasil
memperbaiki perekonomian Belanda. Kemakmuran juga semakin meningkat. Bahkan
keuntungan dari Tanam Paksa telah mendorong Belanda berkembang sebagai Negara industri.
Sejalan dengan hal ini telah mendorong pula tampilnya kaum liberal yang
didukung oleh para pengusaha. Oleh karena itu, mulai muncul perdebatan tentang
pelaksanaan Tanam Paksa. Masyarakat Belanda mulai mempertimbangkan baik buruk
dan untung ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan
Tanam Paksa.
Pihak yang pro dan setuju Tanam Paksa tetap
dilaksanakan adalah kelompok konservatif dan para pegawai pemerintah. Mereka
setuju karena Tanam Paksa telah mendatangkan banyak keuntungan. Begitu juga
para pemegang saham perusahaan NHM (Nederlansche Handel Matschappij), yang
mendukung pelaksanaan Tanam Paksa karena mendapat hak monopoli untuk mengangkut
hasil-hasil Tanam Paksa dari Hindia Belanda ke Eropa. Sementara, pihak yang menentang
pelaksanaan Tanam Paksa adalah kelompok masyarakat yang merasa kasihan terhadap
penderitaan rakyat pribumi. Mereka umumnya kelompok-kelompok yang dipengaruhi
oleh ajaran agama dan penganut asas liberalisme. Kaum liberal menghendaki tidak
adanya campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi. Kegiatan ekonomi
sebaiknya diserahkan kepada pihak swasta.
Nederlansche Handel Matschappij: perusahaan dagang
yang didirikan oleh Raja William I di Den Haag pada 9 Maret 1824 sebagai
promosi antara lain bidang perdagangan dan perusahaan pengiriman, dan memegang
peran penting dalam mengembangkan perdagangan Belanda-Indonesia.
Pandangan dan ajaran kaum liberal itu semakin
berkembang dan pengaruhnya semakin kuat. Oleh karena itu, tahun 1850 Pemerintah
mulai bimbang. Apalagi setelah kaum liberal mendapatkan kemenangan politik di
Parlemen (Staten Generaal). Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam urusan
tanah jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut
adanya perubahan dan pembaruan. Peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi harus
dikurangi, sebaliknya perlu diberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk
mengelola kegiatan ekonomi. Pemerintah berperan sebagai pelindung warga,
mengatur tegaknya hukum, dan membangun sarana prasarana agar semua aktivitas
masyarakat berjalan lancar.
Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di
Hindia Belanda diakhiri. Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku
pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan
nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak-kontrak
Gula) tulisan Frans van de Pute. Kedua buku ini memberikan kritik keras terhadap
pelaksanaan Tanam Paksa. Penolakan terhadap Tanam Paksa sudah menjadi pendapat umum.
Oleh karena itu, secara berangsurangsur Tanam Paksa mulai dihapus dan mulai diterapkan
sistem politik ekonomi liberal. Hal ini juga didorong oleh isi kesepakatan di
dalam Traktat Sumatera yang ditandatangani tahun 1871. Di dalam Traktat
Sumatera itu antara lain dijelaskan bahwa Belanda diberi kebebasan untuk
meluaskan daerahnya sampai ke Aceh. Tetapi sebagai imbangannya Inggris meminta
kepada Belanda agar menerapkan ekonomi liberal agar pihak swasta termasuk
Inggris dapat menanamkan modalnya di tanah jajahan Belanda di Hindia.
Edward Douwes Dekker
Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal
memberikan peluang pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah
jajahan. Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri jajahan,
Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
1. Tahun 1864 dikeluarkan Undang-undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet
Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda
harus diketahui dan disahkan oleh Parlemen.
2. Undang-undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain mengatur
tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang kemudian secara bertahap
akan diserahkan kepada pihak swasta.
3. Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini
mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan.
Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain :
a. Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, tanah milik penduduk pribumi berupa persawahan, kebun, ladang dan
sebagainya. Kedua, tanah-tanah hutan, pegunungan dan lainnya yang tidak
termasuk tanah penduduk pribumi dinyatakan sebagai tanah pemerintah.
b.
Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah.
c. Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah maupun tanah
penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha swasta sampai 75 tahun.
Tanah penduduk dapat disewa selama lima tahun, ada juga yang disewa sampai 30
tahun. Sewa-menyewa tanah ini harus didaftarkan kepada pemerintah.
Sejak dikeluarkan UU Agraria itu, pihak swasta
semakin banyak memasuki tanah jajahan di Hindia Belanda. Mereka memainkan
peranan penting dalam mengeksploitasi tanah jajahan. Oleh karena itu, mulailah
era imperialism modern. Berkembanglah kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah
jajahan berfungsi sebagai:
1) tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di
Eropa, dan tempat penanaman modal asing,
2)
tempat pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa,
3)
penyedia tenaga kerja yang murah.
Usaha perkebunan di Hindia
Belanda semakin berkembang. Beberapa jenis tanaman perkebunan yang dikembangkan
misalnya tebu, tembakau, kopi, teh, kina, kelapa sawit, dan karet. Hasil barang
tambang juga meningkat. Industri ekspor terus berkembang pesat seiring dengan
permintaan dari pasaran dunia yang semakin meningkat.
Untuk mendukung pengembangan
sektor ekonomi, diperlukan sarana dan prasarana, misalnya irigasi, jalan raya,
jembatan-jembatan, dan jalan kereta api. Hal ini semua dimaksudkan untuk
membantu kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari daerah
pedalaman ke daerah pantai atau pelabuhan yang akan diteruskan ke dunia luar.
Pada tahun 1873 dibangun
serangkaian jalan kereta api. Jalan-jalan kereta api yang pertama dibangun
adalah antara Semarang dan Yogyakarta, kemudian antara Batavia dan Bogor, dan
antara Surabaya dan Malang. Pembangunan jalan kereta api juga dilakukan di
Sumatera pada akhir abad ke-19. Tahun 1883 Maskapai Tembakau Deli telah
memprakarsai pembangunan jalan kereta api. Pembangunan jalan kereta api ini
direncanakan untuk daerah-daerah yang telah dikuasai dan yang akan dikuasai,
misalnya Aceh. Oleh karena itu, pembangunan jalan kereta api di Sumatra ini,
juga berdasarkan pertimbangan politik dan militer. Jalur kereta api juga dibangun
untuk kepentingan pertambangan, seperti di daerah pertambangan batu bara di Sumatra
Barat.
Di samping angkutan darat,
angkutan laut juga mengalami peningkatan. Tahun 1872 dibangun Pelabuhan Tanjung
Priok di Batavia, Pelabuhan Belawan di Sumatra Timur, dan Pelabuhan Emmahaven
(Teluk Bayur) di Padang. Jalur laut ini semakin ramai dan efisien terutama
setelah adanya pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869.
Bagi rakyat Bumiputera pelaksanaan usaha swasta tetap membawa penderitaan.
Pertanian rakyat semakin merosot. Pelaksanaan kerja paksa masih terus dilakukan
seperti pembangunan jalan raya, jembatan, jalan kereta api, saluran irigasi,
benteng-benteng dan sebagainya. Di samping melakukan kerja paksa, rakyat masih
harus membayar pajak, sementara hasil-hasil pertanian rakyat banyak yang
menurun. Kerajinan-kerajinan rakyat mengalami kemunduran karena terdesak oleh
alat-alat yang lebih maju. Alat transportasi tradisional, seperti dokar,
gerobak juga semakin terpinggirkan. Dengan demikian rakyat tetap hidup menderita.
d. Perkembangan agama Kristen
Perkembangan agama Kristen
di Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni Kristen
Katolik dan Kristen Protestan. Seperti halnya agama Hindu, Buddha dan Islam,
penyebaran agama Kristen juga melalui aktivitas pelayaran dan perdagangan.
Aktivitas pelayaran dan perdagangan waktu itu sudah menjangkau ke seluruh
wilayah Kepulauan Indonesia. Dalam kenyataannya agama Kristen Katolik dan
Kristen Protestan berkembang di berbagai daerah. Bahkan di daerah Indonesia
bagian Timur seperti di Papua, daerah Minahasa, Timor, Nusa Tenggara Timur,
juga daerah Tapanuli di Sumatera, agama Kristen menjadi mayoritas.
Kemudian bagaimana proses masuknya agama Kristen itu ke Indonesia?.
Mengenai proses masuknya
agama Kristen ke Indonesia ini dapat dikatakan dalam dua gelombang atau dua
kurun waktu. Pertama dikatakan bahwa agama Kristen masuk di Indonesia sudah
sejak zaman kuno. Menurut Cosmas Indicopleustes dalam bukunya Topographica
Christiana, diceritakan bahwa pada abad ke-6 sudah ada komunitas Kristiani di
India Selatan, di pantai Malabar, dan Sri Lanka. Dari Malabar itu agama Kristen
menyebar ke berbagai daerah. Pada tahun 650 agama Kristen sudah mulai
berkembang di Kedah (Semenanjung Malaya) dan sekitarnya. Pada abad ke-9 Kedah berkembang
menjadi pelabuhan dagang yang sangat ramai di jalur pelayaran yang
menghubungkan India-Aceh-Barus- Nias-melalui Selat Sunda-Laut Jawa dan terus ke
Cina. Jalur inilah yang disebut sebagai jalur penyebaran agama Kristen dari
India ke Nusantara. Diberitakan bahwa agama Kristen kemudian mulai tumbuh di
Barus (Fansur). Di daerah ini terdapat gereja yang dikenal dengan Gereja Bunda
Perawan Murni Maria. Disebutkan juga bahwa di Lobu Tua dekat Kota Barus
terdapat desa tua yang dinamakan “Desa Janji Mariah”.
Dari uraian tersebut dapat
dijelaskan bahwa agama Kristen (Katolik dan Protestan) masuk dengan cara damai
melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan. Agama ini tumbuh di daerah-daerah
pantai di Semenanjung Malaya dan juga pantai barat di Sumatera. Penganut agama
Kristen hidup di kota-kota pelabuhan sambil beraktivitas sebagai pedagang.
Mereka kemudian juga membangun pemukiman di daerah itu.
Periode berikutnya,
penyebaran agama Kristen menjadi lebih intensif seiring dengan datangnya
bangsa-bangsa Barat ke Indonesia pada abad ke-16. Kedatangan bangsa-bangsa
Barat itu semakin memantapkan dan mempercepat penyebaran agama Kristen di
Indonesia. Orang-orang Portugis menyebarkan agama Kristen Katolik (selanjutnya
disebut Katolik). Orang-orang Belanda membawa agama Kristen Protestan
(selanjutnya disebut Kristen). Telah diterangkan dalam uraian sebelumnya bahwa
pada abad ke-16 telah terjadi penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru. Oleh
karena itu, periode ini sering disebut The Age of Discovery.
Kegiatan penjelajahan
samudra untuk menemukan dunia baru itu dipelopori oleh orang-orang Portugis dan
Spanyol dengan semboyannya; gold, glory, dan gospel. Dengan motivasi dan
semboyan itu maka penyebaran agama Katolik yang dibawa oleh Portugis tidak dapat
terlepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Setelah menguasai Malaka tahun
1511 Portugis kemudian meluaskan eksploitasi ke Kepulauan Maluku dengan maksud
memburu rempah-rempah.
Pada tahun 1512 pertama kali
kapal Portugis mendarat di Hitu (di Pulau Ambon) Kepulauan Maluku. Pada waktu
itu perdagangan di Kepulauan Igis ramai. Melalui kegiatan peradagangan ini pula
Islam sudah berkembang di Maluku. Kemudian datang Portugis untuk menyebarkan
agama Katholik.
Berkembanglah agama Katolik
di beberapa daerah di Kepulauan Maluku.
Para penyiar agama Katolik
diawali oleh para pastor (dalam bahasa Portugis, padre yang berarti imam).
Pastor yang terkenal waktu itu adalah Pastor Fransiscus Xaverius SJ dari ordo
Yesuit. Ia aktif mengunjungi desa-desa di sepanjang Pantai Leitimor, Kepulauan
Lease, Pulau Ternate, Halmahera Utara dan Kepulauan Morotai. Usaha penyebaran
agama Katolik ini kemudian dilanjutkan oleh pastor-pastor yang lain. Kemudian
di Nusa Tenggara Timur seperti Flores, Solor, dan Timor agama Katolik berkembang
tidak terputus sampai sekarang.
Berikutnya juga berkembang
agama Kristen di Kepulauan Maluku terutama setelah VOC menguasai Ambon. Pada
waktu itu para zendeling aktif menyebarkan agama baru ini dengan semangat
piesme, yaitu menekankan pertobatan orang-orang Kristen. Penyebaran agama
Kristen ini juga semakin intensif saat Raffles berkuasa. Agama Katolik dan
Kristen berkembang pesat di Indonesia bagian timur.
Agama Katholik juga berkembang
di Minahasa setelah Portugis singgah di tempat itu pada abad ke-16. Penyebaran
agama Katholik di daerah Minahasa dipimpin oleh pastor Diogo de Magelhaens dan Pedro
de Mascarenhas. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1563, yang dapat dikatakan
sebagai tahun masuknya agama Katolik di Sulawesi Utara. Tercatat pada ekspedisi
itu sejumlah rakyat dan raja menyatakan masuk agama Katolik dan dibaptis.
Misalnya Raja Babontehu bersama 1.500 rakyatnya telah dibaptis oleh Magelhaens.
Agama Kristen juga masuk dan berkembang di tanah Minahasa.
Agama Katolik dan Kristen
berkembang di daerah-daerah Papua, wilayah, Timur Kepulauan Indonesia pada
umumnya, Sulawesi Utara dan tanah Batak di Sumatera. Singkatnya agama Katholik
dan Kristen dapat berkembang di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di
Batavia dan Jawa pada umumnya. Bahkan di Jawa ada sebutan Kristen Jawa.
DAMPAK SISTEM TANAM PAKSA TERHADAP
KEHIDUPAN SOSIAL DAN EKONOMI RAKYAT INDONESIA
a. Tokoh-tokoh Belanda Penentang Sistem
Tanam Paksa
1.
Eduard Douwes Dekker (1820–1887)
Eduard
Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya adalah seorang residen di Lebak,
(Serang, Jawa Barat). Ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa
Indonesia akibat sistem tanam paksa dan berusaha membelanya. Ia mengarang
sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan
terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat
di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Selain itu, ia juga mencela
pemerintah Hindia-Belanda atas segala kebijakannya di Indonesia. Eduard Douwes
Dekker mendapat dukungan dari kaum liberal yang menghendaki kebebasan.
Akibatnya, banyak orang Belanda yang mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.
2.
Baron van Hoevell (1812–1870)
Selama
tinggal di Indonesia, Baron van Hoevell menyaksikan penderitaan bangsa
Indonesia akibat sistem tanam paksa. Baron van Hoevell bersama Fransen van de
Putte menentang sistem tanam paksa. Kedua tokoh itu juga berjuang keras
menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.
3.
Fransen van der Putte (1822-1902)
Fransen
van der putte yang menulis 'Suiker Contracten' sebagai bentuk protes terhadap
kegiatan tanam paksa.
B. Golongan Pengusaha
Golongan
pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam
paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang
Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa
dihapuskan. Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan penghapusan kewajiban
penanaman nila, teh, kayu manis (1965), tembakau (1866), tanaman tebu (1884)
dan tanaman kopi (1916).
Hasil
dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara
bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras
di pasaran Eropa. Secara berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel adalah
sebagai berikut.
·
Pada tahun 1860,
penghapusan tanam paksa lada.
·
Pada tahun 1865,
penghapusan tanam paksa untuk the dan nila.
·
Pada tahun 1870,
hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.
Karena
banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa yang tidak
berperikemanusiaan tidak hanya di negara Indonesia namun di negeri Belanda,
maka sistem tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal
kolonial.
C. Dampak Tanam Paksa
1)
Bagi Belanda
1. Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan
dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
2. Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir
mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan.
3. Belanda mendapatan keuntungan yang besar,
keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada
tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.
4. Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
5. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
6. Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan
mampu melunasi utang-utang Indonesia.
7. Menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil
tanaman tropis.
2)
Bagi Indonesia
1. Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang
berkepanjangan.
2. Beban pajak yang berat.
3. Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan
panen.
4. Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana.
5. Pemaksaan bekerja sewenang-wenang kepada penduduk
pribumi.
6. Jumlah penduduk Indonesia menurun.
7. Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik
menanam jenis-jenis tanaman baru.
8. Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang
laku dipasaran ekspor Eropa.
9. Memperkenalkan teknoligo multicrops dalam pertanian.
D. Pengaruh Sistem Tanam Paksa Di
Masyarakat
1)
Bidang Sosial
1. Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur
agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil
penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi
yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. (Sartono, 1987: 321).
2. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal
ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri.Penduduk lebih senang
tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya
wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
3. Tanam paksa secara tidak sengaja juga membantu
kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam hal mempersiapkan modernisasi dan membuka
jalan bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
4. Peranan bahasa melayu dan bahasa daerah dikalangan
penguasa.
2)
Bidang Ekonomi
1. Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja
mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih
mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota
pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
2. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa
diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman
eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan
pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman
eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut
menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.(Burger, 1977: 18).
Akibat
lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu
kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan
bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial
berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah
pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk
tentara kolonial.
Labels:
sejarah,
sistem tanam paksa
Thanks for reading Materi Sejarah 5e : Sistem Tanam Paksa Dan Dampaknya. Please share...!