Posted by
One_Esc on
Monday, November 4, 2019
1.
PERKEMBANGAN
KOLONIALISME INGGRIS DI INDONESIA (1811-1816)
Tanggal 18 September 1811 adalah
tanggal dimulainya kekuasaan Inggris di Hindia. Gubernur Jenderal Lord Minto
secara resmi mengangkat Raffles sebagai penguasanya. Pusat pemerintahan Inggris
berkedudukan di Batavia. Sebagai penguasa di Hindia, Raffles mulai melakukan
langkah-langkah untuk memperkuat kedudukan Inggris di tanah jajahan.
Dalam rangka menjalankan
pemerintahannya, Raffles berpegang pada tiga prinsip:
·
Pertama, segala bentuk kerja rodi dan penyerahan
wajib dihapus, diganti penanaman bebas oleh rakyat.
·
Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut
pajak dihapuskan dan para bupati dimasukkan sebagai bagian pemerintah kolonial.
·
Ketiga, atas dasar pandangan bahwa tanah itu milik
pemerintah, maka rakyat penggarap dianggap sebagai penyewa. Berangkat dari tiga
prinsip itu Raffles melakukan beberapa langkah, baik yang menyangkut bidang
politik pemerintahan maupun bidang sosial ekonomi.
a. Kebijakan dalam
bidang pemerintahan
Dalam menjalankan tugas di
Hindia, Raffles didampingi oleh para penasihat yang terdiri atas: Gillespie,
Mutinghe, dan Crassen. Secara geopolitik, Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan.
Selanjutnya untuk memperkuat kedudukan dan mempertahankan keberlangsungan kekuasaan
Inggris, Raffles mengambil strategi membina hubungan baik dengan para pangeran
dan penguasa yang sekiranya membenci Belanda. Strategi ini sekaligus sebagai
upaya mempercepat penguasaan Pulau Jawa sebagai basis kekuatan untuk menguasai
Kepulauan Nusantara. Sebagai realisasinya, Raffles berhasil menjalin hubungan
dengan raja-raja di Jawa dan Palembang untuk mengusir Belanda dari Hindia.
Tetapi nampaknya Raffles tidak tahu balas budi.
Setelah berhasil mengusir Belanda
dari Hindia, Raffles mulai tidak simpati terhadap tokoh-tokoh yang membantunya.
Sebagai contoh dengan apa yang terjadi pada Raja Palembang, Baharuddin. Raja
Baharuddin termasuk raja yang banyak jasanya terhadap Raffles dalam
mengenyahkan Belanda dari Nusantara, tetapi justru Raffles ikut mendukung usaha
Najamuddin untuk menggulingkan Raja Baharuddin.
Pada waktu Raffles berkuasa,
konflik di lingkungan istana Kasultanan Yogyakarta nampaknya belum surut.
Sultan Sepuh yang pernah dipecat oleh Daendels, menyatakan diri kembali sebagai
Sultan Hamengkubuwana II dan Sultan Raja dikembalikan pada kedudukannya sebagai
putera mahkota. Tetapi nampaknya Sultan Raja tidak puas dengan tindakan
ayahandanya, Hamengkubuwana II. Melalui seorang perantara bernama Babah Jien
Sing, Sultan Raja berkirim surat kepada Raffles. Surat itu isinya melaporkan
bahwa di bawah pemerintahan Hamengkubuwana II, Yogyakarta menjadi kacau.
Dengan membaca isi surat dari
Sultan Raja itu, Raffles menyimpulkan bahwa Sultan Hamengkubuwana II seorang
yang keras dan tidak mungkin diajak kerja sama bahkan bisa jadi akan menjadi
duri dalam pemerintahan Raffles di tanah Jawa. Oleh karena itu, Raffles segera
mengirim pasukan di bawah pimpinan Kolonel Gillespie untuk menyerang Keraton
Yogyakarta dan memaksa Sultan Hamengkubuwana II turun dari tahta. Sultan
Hamengkubuwana II berhasil diturunkan dan Sultan Raja dikembalikan sebagai
Sultan Hamengkubuwana III. Sebagai imbalannya Hamengkubuwana III harus
menandatangani kontrak bersama Inggris.
Isi politik kontrak itu antara
lain sebagai berikut.
1. Sultan Raja secara resmi ditetapkan sebagai
Sultan Hamengkubuwana III, dan Pangeran Natakusuma (saudara Sultan Sepuh)
ditetapkan sebagai penguasa tersendiri di wilayah bagian dari Kasultanan
Yogyakarta dengan gelar Paku Alam I.
2. Sultan Hamengkubuwana II dengan puteranya
Pangeran Mangkudiningrat diasingkan ke Penang.
3. Semua harta benda milik Sultan Sepuh selama
menjabat sebagai sultan dirampas menjadi milik pemerintah Inggris.
b. Tindakan dalam bidang ekonomi
Raffles tidak ubahnya Daendels,
bisa dikatakan adalah tokoh pembaru dalam menata tanah jajahan. Pandangannya di
bidang ekonomi juga cukup revolusioner.
Yang jelas Raffles telah
melakukan beberapa tindakan untuk memajukan perekonomian di Hindia. Tetapi
program itu tujuan utamanya untuk meningkatkan keuntungan pemerintah kolonial.
Beberapa kebijakan dan tindakan yang dijalankan Raffles antara lain sebagai
berikut.
1. Pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak tanah
(land rent) yang kemudian meletakkan dasar bagi perkembangan sistem
perekonomian uang.
2.
Penghapusan pajak dan penyerahan wajib hasil
bumi.
3.
Penghapusan kerja rodi dan perbudakan.
4.
Penghapusan sistem monopoli.
5.
Peletakan desa sebagai unit administrasi
penjajahan.
Kebijakan dan program land rent
yang dicanangkan Raffles tersebut tidak terlepas dari pandangannya mengenai
tanah sebagai faktor produksi. Menurut Raffles, pemerintah adalah satu-satunya
pemilik tanah. Dengan demikian sudah sewajarnya apabila penduduk Jawa menjadi
penyewa dengan membayar pajak sewa tanah dari tanah yang diolahnya. Pajak
dipungut perorangan. Jumlah pungutannya disesuaikan dengan jenis dan produksi
tanah. Tanah yang paling produktif akan membayar pajak sekitar 1/2 dari hasil
dan tanah yang paling tidak produktif hanya 1/4 dari hasil. Kalau dirata-rata
setiap wajib pajak itu akan menyerahkan sekitar 2/5 dari hasil. Setelah itu
petani bebas menggunakan sisanya.
Pajak yang dibayarkan penduduk
diharapkan berupa uang. Tetapi kalau terpaksa tidak berupa uang dapat juga
dibayar dengan barang lain misalnya beras. Kalau dibayar dengan uang,
diserahkan kepada kepala desa untuk kemudian disetorkan ke kantor residen.
Tetapi kalau dengan beras yang bersangkutan harus mengirimnya ke kantor residen
setempat atas biaya sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ulah pimpinan
setempat yang sering memotong/mengurangi penyerahan hasil panen itu. Kita tahu
bahwa para pimpinan atau pejabat Pribumi sudah dialihfungsikan menjadi pegawai
pemerintah yang digaji. Pelaksanaan sistem land rent itu diharapkan dapat lebih
mengembangkan sistem ekonomi uang di Hindia.
Kemudian ditempatkannya desa
sebagai unit administrasi pelaksanaan pemerintah, dimaksudkan agar desa menjadi
lebih terbuka sehingga bisa berkembang. Kalau desa berkembang maka produksi
juga akan meningkat, hidup rakyat bertambah baik, sehingga hasil penarikan pajak
tanah juga akan bertambah besar. Raffles juga ingin memberikan kebebasan bagi
para petani untuk menanam tanaman yang sekiranya lebih laku di pasar dunia,
seperti kopi, tebu, dan nila.
Raffles memang orang yang
berpandangan maju. Ia ingin memperbaiki tanah jajahan, termasuk ingin
meningkatkan kemakmuran rakyat. Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan menghadapi
berbagai kendala. Budaya dan kebiasaan petani sulit diubah, pengawasan
pemerintah kurang, dalam mengatur rakyat peran kepala desa dan bupati lebih kuat
dari pada asisten residen yang berasal dari orang-orang Eropa. Raffles juga
sulit melepaskan kultur sebagai penjajah. Kerja rodi, perbudakan dan juga
monopoli masih juga dilaksanakan. Misalnya kerja rodi untuk pembuatan dan
perbaikan jalan ataupun jembatan, dan melakukan monopoli garam. Secara umum
Raffles boleh dikatakan kurang berhasil untuk mengendalikan tanah jajahan
sesuai dengan idenya. Pemerintah Inggris tidak mendapat keuntungan yang
berarti. Sementara rakyat juga tetap menderita.
2. DOMINASI PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA
Tahun 1816 Raffles mengakhiri
pemerintahannya di Hindia. Pemerintah Inggris sebenarnya telah menunjuk John
Fendall untuk menggantikan Raffles. Tetapi pada tahun 1814 sudah diadakan
Konvensi London. Salah satu isi Konvensi London adalah Inggris harus
mengembalikan tanah jajahan di Hindia kepada Belanda. Dengan demikian pada
tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda. Sejak itu
dimulailah Pemerintahan Kolonial Belanda.
a. Jalan tengah bersama Komisaris
Jenderal
Setelah kembali ke tangan
Belanda, tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama Komisaris
Jenderal. Komisaris Jenderal ini dibentuk oleh Pangeran Willem VI yang terdiri
atas tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes
(anggota), dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen (anggota).
Sebagai rambu-rambu pelaksanaan pemerintahan di negeri jajahan Pangeran Willem
VI mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah untuk negeri jajahan (Regerings
Reglement) pada tahun 1815. Salah satu pasal dari undang-undang tersebut
menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas. Hal ini
menunjukkan bahwa ada relevansi dengan keinginan kaum liberal sebagaimana
diusulkan oleh Dirk van Hogendorp.
Berbekal ketentuan dalam undang-undang
tersebut ketiga anggota Komisaris Jenderal itu berangkat ke Hindia Belanda.
Ketiganya sepakat untuk mengadopsi beberapa kebijakan yang pernah diterapkan
oleh Raffles. Mereka sampai di Batavia pada 27 April 1816. Ketika melihat
kenyataan di `lapangan, Ketiga Komisaris Jenderal itu bimbang untuk menerapkan
prinsip prinsip liberalisme dalam mengelola tanah jajahan di Nusantara. Hindia
dalam keadaan terus merosot dan pemerintah mengalami kerugian. Kas negara di
Belanda dalam keadaan menipis. Mereka sadar bahwa tugas mereka harus
dilaksanakan secepatnya untuk dapat mengatasi persoalan ekonomi baik di Tanah
Jajahan maupun di Negeri Induk. Sementara itu perdebatan antar kaum liberal dan
kaum konservatif terkait dengan pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan
keuntungan sebesar-besarnya belum mencapai titik temu. Kaum liberal
berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan mendatangkan keuntungan yang
besar bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi kebebasan dalam menanam.
Sedang kelompok konservatif berpendapat pengelolaan tanah jajahan akan
menghasilkan keuntungan apabila langsung ditangani pemerintah dengan pengawasan
yang ketat.
Dengan mempertimbangkan amanat UU
Pemerintah dan melihat kenyataan di lapangan serta memperhatikan kaum liberal
dan kaum konservatif, Komisaris Jenderal sepakat untuk menerapkan kebijakan
jalan tengah. Maksudnya, eksploitasi kekayaan di tanah jajahan langsung
ditangani pemerintah Hindia Belanda agar segera mendatangkan keuntungan bagi
negeri induk, di samping mengusahakan kebebasan penduduk dan pihak swasta untuk
berusaha di tanah jajahan. Tetapi kebijakan jalan tengah ini tidak dapat
merubah keadaan. Akhirnya pada tanggal 22 Desember 1818 Pemerintah
memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi di tanah jajahan
adalah gubernur jenderal.
Gambar 1.19 Van der
Capellen
Van der Capellen kemudian
ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Ia ingin melanjutkan strategi jalan tengah.
Tetapi kebijakan Van der Capellen itu berkembang ke arah sewa tanah dengan
penghapus peran penguasa tradisional (bupati dan para penguasa setempat).
Kemudian Van der Capellen juga menarik pajak tetap yang sangat memberatkan
rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong terjadinya perlawanan. Kemudian ia
dipanggil pulang dan digantikan oleh Du Bus Gisignies. Ia berkeinginan
membangun modal dan meningkatkan ekspor. Tetapi program ini tidak berhasil
karena rakyat tetap miskin sehingga tidak mampu menyediakan barang-barang yang
diekspor. Yang terjadi justru impor lebih besar dibanding ekspor. Tentu ini
sangat merugikan bagi pemerintah Belanda. Kondisi tanah jajahan dalam kondisi
krisis, kas Negara di negeri induk pun kosong. Hal ini disebabkan dana banyak
tersedot untuk pembiayaan perang di tanah jajahan. Sebagai contoh Perang
Diponegoro yang baru berjalan satu tahun sudah menguras dana yang luar biasa,
sehingga pemerintahan Hindia Belanda dan pemerintah negeri induk mengalami
kesulitan ekonomi. Kesulitan ekonomi Belanda ini semakin diperberat dengan
adanya pemisahan antara Belanda dan Belgia pada tahun 1830. Dengan pemisahan
ini Belanda banyak kehilangan lahan industri sehingga pemasukan negara juga
semakin berkurang.
Labels:
Kolonialisme di Indonesia,
sejarah
Thanks for reading Materi Sejarah 5c : Kolonialisme Inggris Dan Belanda Di Indonesia. Please share...!